Anda di halaman 1dari 6

FAKTA KEPUNAHAN

A. Tinggal Nama Faktor yang paling dominan yang menjadi penyebab kepunahan bukit sepuluh ribu Tasikmalaya adalah manusia. Walaupun demikian, faktor alam juga ikut berperan meski dalam jangka waktu yang lama, misalnya saja melalui proses pengikisan oleh air atau erosi. Pertumbuhan jumlah manusia Tasikmalaya yang tergolong sangat cepat, menuntut terpenuhinya berbagai kebutuhan hidup termasuk kebutuhan lahan untuk pemukiman. Sebagai bahan perbandingan, pada tahun 1971 (sensus) penduduk Tasikmalaya berjumlah 1.315.739 dengan tingkat pertumbuhan 2,5 % per tahun, dan pada tahun 2004 (data pemilu) penduduk Tasikmalaya (Kabupaten dan Kota) sudah menjadi 2.156.648 orang dengan tingkat pertumbuhan rata- rata 2% per tahun. Hal ini berarti dalam jangka waktu 33 tahun penduduk Tasikmalaya (Kabupaten dan Kota) bertambah 840.909 orang atau 25.482 orang per tahun. Angka pertumbuhan seperti ini termasuk luar biasa untuk daerah seperti Tasikmalaya. Akibatnya tuntutan terhadap pemenuhan berbagai kebutuhan sangat tinggi. Salah satu diantaranya adalah kebutuhan lahan dan material bahan bangunan. Dalam benak masyarakat awam, bukit- bukit yang ada disekitarnya memiliki kandungan pasir dan batu yang sangat baik untuk bahan bangunan. Oleh karena itu apabila dieksploitasi kebutuhannya akan terpenuhi dan memperoleh sejumlah uang dari hasil penjualan pasir dan batu tersebut. Di samping itu, lahan sisa bukit dapat dijadikan areal untuk perumahan dan pemukiman, tanpa harus berpikir lebih lanjut mengenai pelestarian dan perlindungan alam. Pola berpikir seperti ini memang praktis dan rasional ditinjau dari sudut personal. Ditambah lagi, peraturan perundangan yang mengatur hal tersebut belum ada. Akan tetapi, dalam visi pembangunan yang berwawasan lingkungan tentu saja sangat merugikan. Banyak akibat negatif yang akan dirasakan oleh manusia dengan tidak dihiraukannya eksistensi bukit sepuluh ribu ini. Fakta di lapangan menunjukan bahwa begitu banyak bukit- bukit yang telah punah. Kini hanya tinggal namanya saja. Orang baru atau generasi baru mungkin tidak akan tahu, mengapa nama-nama daerah di Tasikmalaya banyak yang diawali dengan kata gunung, bilamana tidak ada penjelasan yang sistematis melalui proses pendidikan baik formal, nonformal, maupun informal. Data hasil survey tercatat bahwa nama-nama daerah berikut ini sudah tidak ada bukti fisik gunungnya. Misalnya saja (1) Gunung Roay, (2) Gunung Singa, (3) Gunung Sabeulah, (4) Gunung Pereng, (5) Gunung Pongpok, dan masih banyak lagi. Bahkan ada upaya untuk mengganti nama-nama daerah ini dengan nama yang dianggap lebih modern. Kalau ini terjadi, maka hilanglah jejak sejarah toponimi Tasikmalaya itu, dan generasi penerus akan kehilangan jejak tentang mata rantai sejarah daerahnya sendiri. Bukan hal yang mustahil apabila hal ini merupakan cikal bakal lunturnya nasionalisme (cinta tanah air), patriotisme dan persatuan kesatuan bangsa.

B. Perencanaan Tidak Berpihak Dari pengamatan lapangan, salah satu penyebab percepatan punahnya bukit-bukit sepuluh ribu adalah aspek perencanaan yang tidak berpihak pada eksistensi bukit-bukit itu. Mungkin dengan maksud mempercepat proses pembangunan, maka dibuatlah rencana jaringan jalan ke berbagai arah tanpa memperhitungkan atau melibatkan keberadaan bukitbukit disekitarnya. Pendekatan seperti ini dalam sebuah perencanaan dikenal dengan pendekatan fisis determinisme (ketergantungan terhadap alam) atau anthropogegrafis. Maksudnya, untuk mempercepat perubahan suatu bentang alam menjadi bentang budaya, maka cukup dibuat suatu jaringan jalan. Nanti juga manusia akan berduyun-duyun mendekati jalan dimaksud dengan berbagai aktivitasnya. Hal ini telah terbukti dan berhasil. Hanya saja, dengan pola seperti ini akan sulit dikendalikan apa yang akan terjadi di sepanjang jalan itu, termasuk di dalamnya keberadaan bukit sepuluh ribu. Beberapa contoh bukit-bukit yang mengalami nasib harus dibongkar karena tersedianya jaringan jalan adalah Gunung Gadung, Gunung Pasar, dan Gunung Gombong, semuanya berada di sekitar pasar Cikurubuk kota Tasikmalaya. Sedangkan Gunung Lame, berada di dekat bunderan by pass jalan Ir. H. Juanda, juga di kota Tasikmalaya. Demikian pula bukitbukit yang berada di sepanjang jalur jalan raya utama, misalnya antara TasikmalayaSingaparna, tidak kurang dari 20 bukit telah berubah status menjadi lahan pemukiman atau pemukiman. Jalur antara bunderan by pass menuju Cibeureum tidak kurang dari 15 bukit yang sudah dieksploitir. Jalur jalan antara by pass (Ir. H. Juanda) ke Indihiang, tidak kurang dari 10 bukit sudah dieksploitasi. Belum lagi yang berada di sepanjang jalan Ir. H. Juandanya sendiri. Mungkin tidak kurang dari 25 bukit sudah diratakan. Bukit-bukit yang berada atau berdekatan dengan pusat kota sudah mengalami kepunahan terlebih dahulu, tanpa mempertimbangkan ada atau tidaknya jalur jalan raya yang melewati daerah itu. Akibatnya ruang hijau dan terbuka di kota Tasikmalaya semakin sempit, dan cuaca dirasakan semakin kurang bersahabat. Demikian halnya dengan air tanah, semakin tahun kedalamanya semakin tidak bisa diharapkan. Sebabnya ialah, karena air yang masuk meresap ke dalam tanah jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang mengalir di permukaan. Bila musim hujan tiba, banjir lokal di kota Tasikmalaya sudah menjadi sesuatu yang biasa di jalan HZ. Mustofa (Nagarawangi) dan di Padayungan misalnya, banjir itu kerap kali terjadi, dan mengganggu lalu lintas. Anehnya dari tahun ke tahun hal ini dianggap rutinitas belaka, tanpa ada penanganan atau penyelesaian yang sungguh-sungguh. Di masa yang akan datang, pendekatan perencanaan sebaiknya menganut pendekatan possibilisme atau positivisme, di masa pertimbangan aktivitas manusia menjadi bagian dari rencana itu. Artinya, bilamana dibangun suatu jaringan jalan, maka di kiri-kanan jalan itu juga harus termasuk bagian dari perencanaan. Dengan demikian upaya proteksi terhadap keberadaan bukit-bukit sepuluh ribu dapat menjadi unsur integral rencana itu, sekaligus aktivitas manusianya. Dampak dari perencanaan yang tidak berpihak terhadap keberadaan bukit sepuluh ribu, juga diakibatkan oleh lemahnya payung hukum perencanaan itu. Sampai saat ini tidak ada aturan yang secara eksplisit melindunginya. Apalagi pemetaan lapangan bukit-bukit sepuluh ribu, dalam arti mana bukit yang boleh diekspolitir dan mana yang tidak, belum ada.

Sehingga masyarakat dengan bebas membongkarnya untuk berbagai kepentingan seperti pembangunan gedung, perumahan, pengurungan, dll. Di samping itu, perolehan ijin untuk ekspolitasi bahan galian C, nampaknya tidak ada pengawasan dan pengendalian khusus. Orientasi terhadap perolehan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah Setempat (PADS) terlalu menonjol. Akhirnya, bukit sepuluh ribu itulah yang menjadi korban. Sampai saat ini, memang belum ada reward and punishment (Penghargaan dan hukumnya) terhadap siapa pun yang memproteksi atau membongkar bukit sepuluh ribu. Satu-satunya yang berusaha memelihara keberadaan bagian dari bukit sepuluh ribu adalah pengelola kolam renang di Mangkubumi. Itu pun mungkin karena berperan sebagai objek wisata. Yang lainnya lebih bersemangat menjual batu dan pasirnya daripada melestarikannya. Dari fakta ini, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh baik dari pemerintah maupun masyarakat secara bersama-sama agar kekayaan alam Tasikmalaya ini tidak punah. Tidak mudah memang, diperlukan ikhtiar yang serius atau bahkan lobi-lobi politis yang berkesinambungan. Sekarang ini lebih banyak masyarakat yang belum tahu akan manfaat keberadaan bukti sepuluh ribu dibandingkan dengan yang tahu. Setelah masyarakat tahu pun, diperlukan upaya lain untuk membentuk sikap masyarakat (trend to action) agar mereka cenderung berpihak pada pelestarian bukit-bukit itu. Selanjutnya barulah perilaku nyata yang diharapkan. Dengan demikian, pihak pemerintah tidak perlu berpikir sepihak tentang besarnya anggaran untuk membeli bukit-bukit itu. Masyarakat dengan kesadarannya sendiri, berdasarkan aturan dan payung hukum yang ada, akan berbuat dan bertindak sesuai azas pembangunan yang berwawasan lingkungan. Pantaslah apabila para pakar perencanaan menyatakan bahwa rencana yang baik, pada hakekatnya telah berhasil mewujudkan tujuan sebesar 50% dari keseluruhan. Oleh karenanya, peninjauan ulang terhadap seluruh rencana tata ruang, adalah sesuatu yang wajib dilakukan demi penyelamatan lingkungan hidup Kota Tasikmalaya dan masyarakatnya. C. Bisnis menggiurkan Pendorong utama bagi masyarakat pemilik bukit sepuluh ribu untuk mengekspoitasinya atau menjualnya kepada pengusaha bahan bangunan adalah karena faktor materi atau uang yang bisa diperoleh cukup besar. Kalau saja harga pasar gunung (istilah lokal untuk pasir yang diperoleh dari bukit sepuluh ribu), satu truk yang berisi 3 meter kubik adalh Rp. 150.000,-, dan batu seharga Rp. 75.000,-, maka apabila seseorang memiliki bukit yang panjangnya 50 meter, tinggi 25 meter, dan lebar 50 meter, dia akan memperoleh 62.500 meter kubik. Seandainya pasir dan batu 1:2 saja, maka pemilik akan memperoleh uang sebesar Rp. 2.604.175.000,-. Belum lagi apabila bukitnya sudah tidak ada, lahan yang rata akan naik harganya, apabila lokasinya berada di pinggir jalan raya. Kebanyakan para pemilik bukit tidak mengusahakan sendiri. Akan tetapi mereka menjualnya kepada pengusaha besar yang memiliki alat-alat berat seperti Buldozer, Beku, atau sejenisnya. Para pengusaha kebanyakan membeli bukit setengah harga dari harga ideal, dengan catatan pemilik tidak mau tahu menahu tentang berbagai hal seperti perijinan, resiko lingkungan, dsb. Pemilik hanya mau menerima lahannya sudah menjadi rata. Dan itu lebih

menguntungkan dibandingkan dengan mengerjakannya sendiri. Kondisi inilah yang kemudian menjadi kontributor percepatan punahnya bukit-bukit sepuluh ribu. Pemerintah daerah merasa bahwa dengan segala keterbatasannya tidak mungkin membeli atau memberikan uang ganti rugi kepada para pemilik, karena jumlah uang yang disediakan akan sangat besar dan bisa menyedot anggaran daerah. Karena itu, upaya yang ditempuh terkesan lambat dan tidak pernah menyentuh masyarakat pemiliki bukit. Di masa depan, diperlukan usaha dan pendekatan yang bersifat pesuasif-edukatif kepada masyarakat, agar bersama-sama dengan pemerintah mau melakukan upaya-upaya perlindungan terhadap keberadaan gunung sarewu ini (istilah lokal untuk bukit sepuluh ribu). Namun demikian, langkah wal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah inventarisasi dan pemetaan bukit-bukit yang masih utuh, yang sedang diekspoitasi, dan yang sudah tinggal namanya saja. Setelah itu dituangkan ke dalam rencana proteksi atau pelestarian, baik pelestarian secara fisik bagi bukit-bukit yang masih utuh, ataupun pelestarian namanya untuk bukit-bukit yang sudah tidak ada. Sedangkan untuk bukit-bukit yang sedang dieksploitasi, diupayakan satu atau dua bukit dibiarkan tersisa setengahnya untuk mengetahui struktur fisik bukit-bukit itu sehingga dapat dijadikan bahan untuk studi bagi mereka yang berminat. Ekspoitasi bukit sepuluh ribu pasca letusan Galunggung 1982-1983 sempat agak terhenti, oleh karena pasir Galunggung lebih mudah diperoleh. Pasir ini dinilai lebih baik mutunya untuk kontruksi bengunan beton. Bahkan kebutuhan pasir untuk Jakarta, Bogor, Bandung, dan kota-kota besar lainnya di Jawa Barat dan DKI Jakarta disuplai oleh Galunggung. Jalur jalan kereta api Indihiang, Tasikmalaya ke Galunggung dibangun khusus untuk angkutan pasir. Tidak kurang dari dua atau tiga rangkaian gerbong pengangkut pasir hilir mudik setiap harinya dari Galunggung ke Jakarta. Demikian pula truk-truk besar, hampir ratusan jumlahnya mengangkut pasir dari Galunggung ke berbagai daerah di Jawa Barat. Kini angkutan pasir melalui kereta api sudah berhenti. Mungkin kebutuhannya tidak sebesar dulu, atau persediaan pasir di Galunggung sudah agak menipis. Namun demikian, truk-truk besar masih berlangsung, meskipun jumlahnya yang tidak seperti waktu-waktu lampau. Seiring dengan minimnya angkutan pasir dari Galunggung karena persediaannnya mungkin sudah tidak melimpah lagi, maka pembongkaran bukit-bukit kembali marak. Kualitas pasir dari bukit sepuluh ribu tidak terlalu banyak memerlukan campuran semen, sehingga secara ekonomis dipandang lebih irit. Hal ini yang mendorong masyarakat lebih menyukai pasir gunung untuk membangun rumah atau tempat tinggal mereka. Untuk bangunan tertentu, seperti bangunan beton bertingkat, pasir Galunggung lebih diminati daripada pasir gunung.

D. Lahan Sawah Menciut Mungkin istilah cut and fill tepat digunakan untuk menyebut pemangkasan bukit-bukit sepuluh ribu di satu sisi dan pengurungan sawah di sisi lain. Akan tetapi dalam konteks ini terasa agak kurang pas diterima oleh nurani kita. Sebabnya ialah, sawah-sawah yang diurug di wilayah Tasikmalaya ini umumnya sawah kelas satu, yang menurut undang-undang agraria tidak diperkenankan dialihfungsikan statusnya. Namun proses ini berjalan terus, tanpa memperdulikan ketentuan perundang-undangan itu. Untuk dimaklumi, berdasarkan data yang ada, tingkat kesuburan lahan di wilayah Tasikmalaya (Kabupaten dan Kota) didominasi oleh wilayah bagian utara. Wilayah ini senantiasa diperbaharui tingkat kesuburannya oleh erupsi Galunggung. Demikian pula dalam hal sumber air, Tasikmalaya utara sangat subur. Hal ini mempunyai korelasi dengan keberadaan gunung api Galunggung. Di Tasikmalaya bagian selatan, selain tingkat kesuburan lahannya rendah, sumber airnya juga tidak sebanyak di wilayah utara. Oleh karena itu, wilayah utara Tasikmalaya menjadi daerah pertanian yang sangat subur dan menjadi penyuplai pangan utama bagi daerah Tasikmalaya dan daerah-daerah lain di sekitanya. Tidaklah heran apabila Tasikmalaya utara ini juga menjadi pemusatan penduduk, dalam arti jumlah penduduknya lebh banyak dibandingkan dengan daerah Tasikmalaya Selatan. Apabila sawah-sawah kelas satu di Tasikmalaya utara (khususnya di daerah perkotaan) sebagai penghasil pangan utama, terus menerus diurug dan dijadikan areal pemukiman, maka konsekwensinya lahan sawah semakin lama juga akan turut punah, seiring dengan punahnya bukit sepuluh ribu. Dari sudut pandang ekonomi, mungkin pengalihfungsian sawah menjadi tempat kegiatan non pertanian akan lebih menguntungkan. Namun demikian harus dipikirkan lahan penggantinya sehubungan dengan ekstensifikasi di bidang pertanian di wilayah Tasikmalaya ini sudah cukup sulit dilaksanakan. Solusi yang terbaik, kembali pada aspek perencanaan. Apakah dengan pengalihfungsian lahan sawah ini akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan di masa depan ataukah tidak. Seandainya saja pengembangan areal pemukiman ini diarahakan pada lahanlahan yang tidak produktif, dan seandainya perencanaan wilayahnya mampu membaca kecenderungan masalah yang akan terjadi di masa depan, mungkin gejala seperti ini tidak perlu terjadi. Sawah-sawah kelas satu akan tetap menghijau, sementara pemukiman dengan segala aktivitasnya berkembang memanfaatkan lahan-lahan yang kurang priduktif tadi. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah terjadinya kecenderungan konglomerasi kepemilikan lahan di pusat-pusat perkotaan oleh sekelompok orang kaya, dan pemilik awal dari lahan-lahan tersebut cenderung menjadi buruh bagi para pemilik baru itu. Kalau hal ini menjadi kenyataan, barangkali inilah yang disebut survival of the fittest. Bahwa yang tetap hidup dan eksis adalah mereka yang kuat, mereka yang berduit, dan mereka yang memiliki kekuasaan. Tidaklah heran bila suatu saat liberalisme ekonomi akan menjadi model baru di Tasikmalaya. Orang-orang tidak lagi memperdulikan aspek humaniora, melainkan lebih mengedepankan aspek harta dan kedudukan. Manusia dinilanya tidak lebih sebagai kapital, bukan sebagai makhluk yang memiliki kepribadian dan harga diri, yang sama-sama memiliki hak hidup, hak berusaha, dan hak untuk memperoleh kesejahteraan.

Anda mungkin juga menyukai