Anda di halaman 1dari 12

PRINSIP PENGOBATAN CAIRAN PADA DEHIDRASI Evaluasi yang cermat terhadap pasien memungkinkan kita untuk menentukan baik

secara kualitatif maupun kuantitatif jumlah cairan yang diperlukan oleh pasien dalam waktu tertentu. Biasanya secara arbitrer periode waktu yang diambil adalah setiap 24 jam. Disamping menentukan jenis serta jumlah cairan yang akan diberikan dalam 24 jam mendatang, mutlak pula ditentukan apakah cairan akan diberikan dengan kecepatan yang sama selama 24 jam ataukah diperlukan kecepatan khusus dalam periode tertentu. Bila dehidrasi disertai renjatan, maka terapi cairan merupakan tindakan darurat yang harus segera dilaksanakan, sedangkan pemeriksaan lengkap ditunda sampai renjatan teratasi. Sedapat-dapatnya keadaan dehidrasi dievaluasi secara cermat dan lengkap, direncanakan pengobatan yang tepat, kemudian diberikan terapi cairan. Evaluasi meliputi besarnya defisit, jenis dehidrasi (iso-, hipo-, atau hipernatremik), serta keseimbangan ion kalium dan hidrogen. Pengobatan dehidrasi yang disebabkan oleh berbagai etiologi dapat dilakukan berdasarkan pendekatan terapi dasar dengan sedikit modifikasi. Pada dehidrasi ringan diberikan cairan peroral, berupa oralit, larutan gula garam, air tajin, kuah sayur, atau cairan rumah tangga lainnya. Banyaknya cairan yang dianjurkan adalah 50 ml/kgBB, yang dapat diberikan dalam 4-6 jam. Setelah dehidrasi teratasi dapat diberikan cairan biasa dengan dosis rumatan. Pada dehidrasi sedang diberikan cairan oralit per oral sebanyak 100 ml/kg BB selama 4-6 jam. Setelah tercapai rehidrasi diberikan cairan rumatan. Tahap terapi Untuk keperluan praktis, diperlukan pembagian fase terapi cairan parenteral, yang biasanya terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap inisial, tahap lanjut, dan tahap akhir. Pada kehilangan cairan melalui traktus gastro intestinalis, hilangnya cairan meliputi seluruh kompartemen tubuh. Oleh karena itu, cairan yang diberikan hendaknya memadai untuk penggantian cairan di berbagai kompartemen tubuh tersebut. Keadaan yang mendesak pada pasien dengan dehidrasi dengan berkurangnya cairan plasma adalah penggantian volume plasma. Darah berfungsi untuk membawa oksigen serta nutrien ke jaringan, dan mengangkut hasil metabolisme. Tanpa oksigen dan makanan yang memadai, jaringan akan mati. Oleh karena itu, pengembalian volume plasma merupakan hal yang mendesak pada tahap inisial. Sebagian besar kehilangan air pada dehidrasi hiponatremik adalah dari cairan ekstraseluler. Disamping plasma, komponen yang hilang adalah cairan interstisial, yang berfungsi sebagai medium transport hampir semua bahan aktif

fungsi tubuh. Komponen ini juga memerlukan penggantian agar proses metabolik dapat berlangsung dengan normal. Cairan intraseluler juga mengalami defisit dan memerlukan penggantian untuk menjamin faal sel yang normal. Masing-masing tiga komponen tersebut secara kasar berhubungan dengan tahap-tahap terapi cairan. 1. Tahap inisial Tahap inisial hanya diperlukan bila terjadi defisit sirkulasi yang bermakna. Bila hal tersebut tidak ada, maka fase inisial ini hanya merupakan pemberian cairan yang lebih cepat dari pada tahap lanjut, atau bahkan dapat ditiadakan sama sekali. Penekanan pada tahap inisial ditujukan untuk mengatasi atau mencegah renjatan dengan cara mengganti volume plasma (intravaskuler); secara ideal cairan yang diberikan harus tetap ada dalam ruang intravaskuler. Pemberian transfusi darah bukan merupakan pengobatan yang tepat, karena diperlukan waktu untuk melakukan uji silang golongan darah serta bahaya terjadinya trombosis, hepatitis atau reaksi imunologik lain. Demikian pula halnya dengan plasma bukan merupakan pilihan pertama. Cairan yang dianjurkan adalah yang mengandung natrium isotonik ditambah dengan larutan elektrolit lain sesuai dengan keperluannya. Larutan yang lazim dipakai sebagai cairan parenteral adalah larutan NaCl 0,9% dengan glukosa 5% aa ditambah dengan larutan bikarbonat, atau cairan laktat-glukosa. Cairan inisial untuk bayi harus mengandung glukosa, yang berfungsi sebagai penambah kalori dan pencegah hipoglikemia. Larutan NaCl 0,9% dengan kandungan Na dan Cl masing-masing 154 mEq/l, yang dicampur dengan larutan glukosa 5% merupakan salah satu cairan yang bermanfaat untuk mengatasi dehidrasi disertai alkalosis metabolik, seperti stenosis pilorus. Larutan yang hanya mengandung glukosa, Na dan Cl ini tidak tepat diberikan pada pasien dengan asidosis metabolik, yang biasanya mekanisme kompensasi oleh ginjalnya untuk mensekresi ion hidrogen belum berjalan dengan baik akibat perfusi ginjal yang buruk. Cairan netral tersebut bahkan dapat memperburuk keadaan, sebab terjadi pengenceran bicarbonat. Untuk pasien dengan asidosis metabolik ini dianjurkan pemberian inisial yang mengandung bicarbonat atau prekursor bikarbonat. Kekurangan cairan yang mengandung prekursor bikarbonat adalah tidak dapat langsung dimetabolisme menjadi bikarbonat. Pemberian cairan inisial dilakukan secepat-cepatnya untuk mengatasi renjatan serta merestorasi deplesi cairan intravaskuler. Jumlah yang diberikan 20-30 ml/kgBB, pada renjatan diberikan secepatnya; pada keadaan yag lebih ringan diberikan dalam waktu 1 jam. Bila dengan kecepatan tersebut renjatan belum teratasi, maka sejumlah cairan yang sama diberikan dengan kecepatan yang sama pula. Hal ini dapat dilakukan sampai 3 kali, meskipun jarang diperlukan. Pada umumnya renjatan sudah teratasi pada pemberian 20 ml/kgBB

yang pertama, sehingga pada saat hasil laboratorium diketahui, tetesan dapat diperlambat sesuai dengan rencana pengobatan selanjutnya. Bila diberikan sampai 90 ml/kgBB, berarti 9% dari berat badan, cukup untuk mengatasi dehidrasi sedang dan berat, maka seyogyanya dilakukan pemantauan tekanan vena sentral untuk mencegah kelebihan cairan. Cara pengobatan tersebut dapat dilakukan pada dehidrasi hipo-, iso-, maupun hipernatremik. Dengan cara ini umumnya kadar natrium serum kembali normal. Dengan mekanisme yang belum diketahui, kadang-kadang pada dehidrasi hipernatremik terjadi peninggian kadar natrium yang tidak melebihi 3 mEq/l meskipun diberikan larutan NaCl isotonik. Kalium tidak diberikan pada tahap ini, kecuali bila jelas terdapat tanda hipokalemia. Pemberian kalium dinilai setelah fungsi ginjal dipastikan berjalan baik. Mungkin dengan pemberian cairan tersebut renjatan tetap tidak teratasi; dalam hal ini dapat diberikan darah 10 ml/kgBB, plasma atau cairan sejenis lainnya (plasma expander). 2. Tahap lanjut Lama waktu tahap inisial dan tahap lanjut adalah kira-kira sepertiga dari 24 jam, atau 8 jam. Dalam tahap lanjut penekanan ditujukan pada pemulihan cairan intertisial. Jumlah yang diberikan dalam 8 jam pertama tersebut (tahap inisial + tahap lanjut) kira-kira 50 % dari kebutuhan yang diperhitungkan untuk 24 jam. Dengan demikian maka kecepatan tetesan infus diatur dengan memperhatikan jumlah cairan yang harus diberikan dalam 8 jam pertama serta dengan memperhitungkan jumlah cairan yang telah diberikan dalam tahap inisial. Jenis cairan yang dipergunakan pada tahap lanjut ini bergantung pada hasil pemeriksaan analisis gas darah arteri serta elektrolit. Pada umumnya cairan dasar yang dipakai adalah larutan glukosa 5%. Kandungan natrium yang diberikan bergantung dari kadar natrium plasma pada saat tersebut, dan biasanya bervariasi dari 40-80 mEq/l. Bila diuresis sudah ada, maka kalium dapat ditambahkan meskipun pada umumnya cukup aman untuk memberikan larutan tanpa kalium dalam 24 jam pertama. Bila terbukti ada hipokalemia atau pada penyakit yang diduga dapat menimbulkan hipokalemia dapat diberikan kalium, misalnya pada stenosis pilorus dengan alkalosis hipokloremik, diare kronik atau asidosis diabetik,walaupun kadar kalium sebelumnya normal atau hanya sedikit merendah. Meskipun demikian perlu tetap diperhatikan, bahwa pada kasus demikian pun pemberian kalium baru dimulai setelah ada produksi air kemih; pada umumnya kalium sebanyak 20 mEq/l sudah cukup untuk mencegah efek klinis deplesi kalium. Klorida serta basa (bikarbonat) diberikan sesuai dengan keadaan asam-basa pasien. Dehidrasi isonatremik Pada dehidrasi isonatremik, tidak hanya terjadi kehilangan natrium dari ekstraseluler, tetapi ditemukan juga perpindahan natrium ke dalam ruang

intraseluler untuk menggantikan kalium yang keluar dari ruang intraseluler tersebut . Jadi, pemberian natrium sesuai dengan kalkulasi defisit ekstraseluler akan menyebabkan jumlah natrium dalam tubuh yang berlebihan. Setelah pemberian kalium, maka natrium intraseluler akan kembali keluar dan meninggikan kadar natrium ekstraseluler. Untuk mencegah keadaan tersebut, rencana pemberian air dan natrium selama 24 jam pertama hanya diberikan sebanyak 2/3 dari kehilangan ekstraseluler. Sebagai contoh, anak dengan dehidrasi isonatremik berat dan kehilangan berat badan sebanyak 15%. Kalkulasi defisit cairan adalah 150 ml/kgBB (15% berat badan) dan defisit natrium sebesar 21 mEq/kgBB (kadar natrium dianggap 140 mEq/l). Dalam 24 jam pertama hanya 100 ml/kgBB air dan 14 mEq/kgBB natrium yang boleh diberikan. Dari jumlah tersebut 20-30 ml/kgBB cairan dan 3-4 mEq/kgBB natrium (mungkin lebih bila renjatan belum teratasi) diberikan dalam waktu 2-4 jam pertama sebagai terapi inisial. Sisanya sebesar 70-80 ml/kgBB cairan dan 10-11 mEq/kgBB natrium diberikan dalam sisa 20-22 jam berikutnya dengan menggunakan cairan yang sama seperti pada terapi inisial. Dalam pemberian jumlah cairan dan elektrolit, kalkulasi penggantian defisit harus mencakup kehilangan normal yang tetap berlangsung dan setiap kehilangan abnormal yang masih berlanjut, seperti diare atau pengisapan cairan usus. Setelah 24 jam pertama, terapi selanjutnya ditujukan untuk melengkapi penggantian air dan natrium serta mulai mengganti kalium yang hilang. Banyaknya kebutuhan air dan natrium dapat ditambah 25% dari kebutuhan rumatan, dengan ditambah setiap kehilangan yang masih berlanjut (bandingkan dengan kebutuhan rumatan). Karena hampir selalu terjadi pengeluaran kalium dari sel, pemberian kalium dalam 24 jam pertama dengan kecepatan sama dengan derajat hilangnya natrium, akan menimbulkan hiperkalemia. Karena itu pemberian kalium dilakukan dengan kecepatan lebih lambat selama 3-4 hari berikutnya. Sekali-kali jangan diberikan kalium bila terdapat hiperkalemia atau bila ginjal belum berfungsi nyata; terutama pada asidosis pemberian kalium harus lebih diawasi. Konsentrasi kalium tidak boleh melebihi 40 mEq/l dan kecepatan pemberiannya tidak boleh melebihi 3 mEq/kg BB/ 24 jam, kecuali pada keadaan yang luar biasa. Kebijaksanaan pengobatan parenteral dehidrasi berat pada tahap inisial dan tahap lanjut adalah sebagai berikut: cairan rehidrasi perenteral yang biasa digunakan adalah Ringer Laktat, sebanyak 30 ml/kgBB dalam 1 jam pertama, dilanjutkan dengan 10 ml/kgBB/jam selama 7 jam berikutnya. Setelah itu bila masih dehidrasi dapat diberikan cairan peroral sebanyak 40 ml/kgBB selama 2-4 jam. Bila tidak dapat diberikan peroral, cairan diberikan secara intragastrik dengan kecepatan 20 ml/kgBB/jam selama 2-4 jam. Kalau kedua cara (per oral dan intragastrik) tidak dapat dilakukan, maka rehidrasi perenteral dilanjutkan dengan kecepatan 10 ml/kgBB/jam sampai tercapai rehidrasi. Pada tahap rehidrasi atau tahap lanjutan diberikan cairan rumatan atau minuman dan makanan secara bertahap.

Dehidrasi hiponatremik Keadaan ini timbul bila kehilangan natrium relatif lebih banyak daripada kehilangan air, sehingga konsentrasi natrium serum kurang dari 130 mEq/l. Hiponatremia mengakibatkan overhidrasi (keracunan air) dan edema sel, termasuk sel otak, dan dapat menyebabkan kejang. Gejala ini mirip dengan dehidrasi umumnya, yaitu gangguan kesadaran, renjatan, ketakutan, dan kejang. Biasanya kejang baru timbul pada keadaan hiponatremia berat dengan konsentrasi natrium kurang dari 120 mEq/l. Penatalaksanaan dehidrasi hiponatremik serupa dengan dehidrasi isonatremik, bedanya hanya karena adanya pemberian tambahan natrium. Tambahan natrium ini diberikan merata dalam beberapa hari sebagai koreksi bertahap. Pemberian larutan natrium hipertonik jarang diperlukan, kecuali bila ada gejala keracunan air. Untuk mencegah terjadinya keracunan air dan hiponatremia yang lebih berat, pemberian larutan hipotonik pada fase inisial harus dihindarkan. Aplikasi penatalaksanaannya adalah sebagai berikut : (1) Mengatasi dehidrasi dan renjatan dengan cairan Ringar Laktat atau NaCl 0,9% sebanyak 20-30 ml/kgBB selama 1-2 jam. (2) Plasma sebanyak 10 ml/kgBB dapat diberikan, bila perlu diguyur. (3) Banyaknya defisit natrium dikoreksi dengan memakai rumus menurut berat badan, sebagai berikut : Defisit Na = (140-serum Na) x BB x 0,6 mEq/l Keterangan : Defisit Na = defisit natrium ( mEq/l) Angka 140 = kadar normal natrium serum; pilihan lain angka 135. Serum Na = kadar serum natrium pasien BB = berat badan (kg) Angka 0,6 = volume normal cairan tubuh (60% dari BB); pilihan lain 0,50 atau 0,55 sebagai volume cairan tubuh dalam keadaan dehidrasi. Pada bayi dan anak biasanya jumlah defisit natrium berkisar antara 10-12 mEq/kgBB, kalium 8-10 mEq/kgBB, dan klorida 10-12 mEq/kgBB. Karena itu dapat dipakai cairan Darrow glukosa aa atau cairan NaCl 0,9% + KCl 1,5 gr/l (20mEq/l). (4) Umumnya pada hiponatremia ringan (kadar natrium serum 120-130 mEq/l) cukup diberikan cairan isotonik dan tidak memerlukan koreksi. (5) Pada hiponatremia berat, mungkin disertai kejang, dapat diberikan larutan NaCl 3% dengan kecepatan tetesan 1ml/menit sampai maksimum 12 ml/kgBB selama 1-4 jam untuk menaikkan kadar natrium serum sebesar 5-10 mEq/l.

Dehidrasi hipernatremik Penanganan dehidrasi hipernatremik lebih sulit. Hiperosmolalitas yang terjadi dapat menyebabkan cacat neurologik yang bersifat permanen, seperti kejang, perdarahan otak yang luas, trombosis otak, effusi subdural, atau cerebral palsi. Tanpa kelainan patologikpun dehidrasi hipernatremik berat sudah dapat menimbulkan gejala kejang. Adanya kerusakan otak ditandai dengan meningkatnya kadar protein dalam cairan serebrospinalis. Selain itu kejang dapat timbul saat kadar natrium serum kembali mencapai nilai normal setelah terapi. Kadar natrium yang tinggi dalam sel otak selama dehidrasi mengalami pengenceran mendadak dengan masuknya air kedalam sel otak, sedangkan natrium belum sempat keluar. Walaupun mekanisme ini belum jelas, tetapi kejadian kejang dapat diturunkan dangan melakukan koreksi hipernatremia secara lambat dalam beberapa hari. Penurunan kadar natrium mencapai nilai normal selama terapi tidak boleh melebihi 10mEq/l /24 jam. Selain gambaran neurologik, gajala klinis lain sering pula ditemukan. Anak sering menangis dan menjerit-jerit sangat keras dengan nada yang tinggi, gelisah, terangsang, dan kadang-kadang somnolen. Turgor kulit sering tidak jelas menurun, meskipun ada dehidrasi. Defisit natrium pada dehidrasi hipernatremik relatif sedikit; cairan ekstraseluler tidak banyak keluar, sehingga kebutuhan air dan natrium lebih rendah dibandingkan dengan dehidrasi hipo- atau isonatremik. Bila tidak ada renjatan, cairan yang dapat diberikan adalah yang mengandung glukosa 5% dan natrium 25 mEq/l dalam bentuk bikarbonat atau klorida, sebanyak 60-75 ml/kgBB/24 jam. Jumlah cairan ini, yang diperlukan untuk mengembalikan kadar natrium menjadi normal kembali, dapat pula dihitung dengan rumus berikut : V= serum Na-140 x BB x 0,6 liter 140 Keterangan: V Serum Na Angka 140 BB Angka 0,6 = volume cairan yang diperlukan = kadar natrium serum pasien = kadar normal natrium serum; pilihan lain angka 135 = berat badan (kg) = volume normal cairan tubuh

Banyaknya cairan dan natrium untuk keperluan rumatan pada tahap lanjutan harus dikurangi 25% , karena pada hipernatremia terjadi oliguria akibat meningginya kadar hormon anti diuretik (ADH). Penggantian kehilangan cairan yang masih berlanjut tidak diperlukan.

Berbagai komplikasi sering menyertai keadaaan dehidrasi hipernatremik sendiri, maupun penanganannya. Terapi dehidrasi hipernatremik dangan air yang berlebihan dengan/tanpa natrium seringkali menimbulkan ekspansi volume cairan ekstraseluler sebelum asidosis teratasi atau sebelum ekskresi klorida terjadi. Sebagai konsekuensinya terjadi edema dan gagal jantung yang memerlukan digitalisasi. Selama pengobatan kadang-kadang terjadi hipokalsemia yang memerlukan pemberian kalsium intravena; hal ini dapat dicegah dengan pemberian kalsium selama terapi lanjutan. Komplikasi lain adalah kerusakan tubulus ginjal disertai azotemia dan hilangnya daya konsentrasi ginjal, sehingga tindakan pengobatan harus dimodifikasi. Mengingat komplikasi neurologik yang serius serta penanganannya yang sulit, maka tindakan pencegahan terjadinya dehidrasi hipernatremik sangat penting. Penyebabnya biasanya bersifat iatrogenik, karena itu kejadiannya mudah dicegah. Secara singkat penanganannya adalah seperti berikut ini : (1) Mengatasi dehidrasi dan renjatan dengan cairan NaCl 0,9% atau cairan Ringer Laktat, sebanyak 20 ml/kgBB sampai gejala teratasi. (2) Volume cairan yang diperlukan untuk mengembalikan kadar natrium serum menjadi normal dihitung dengan cara seperti diuraikan diatas. Jenis cairan yang diberikan adalah larutan yang mengandung glukosa 5% dan Na 25 mEq/l; yang paling mudah adalah larutan glukosa 5% + larutan NaCl 0,25%. (3) Pada terapi lanjutan, jumlah cairan dan natrium rumatan dikurangi 25%. (4) Evaluasi keadaan penderita dan bila mungkin periksa kadar natrium serum tiap 6 jam untuk menentukan tindakan pengobatan lebih lanjut. (5) Bila terjadi kejang, selain luminal atau diazepam diberikan pula larutan NaCl 3% atau manitol hipertonik sebanyak 3-5 ml/kgBB. (6) Bila kadar kalsium serum kurang dari 9 mg/dl, diberikan kalsium glukonas atau kalsium klorida 10 mg secara intravena. Tahap pemulihan awal Penekanan pada tahap pemulihan awal adalah penggantian cairan intraseluler. Kecepatan infus diturunkan sehingga sisa cairan yang diperhitungkan untuk sehari (yaitu 50%) diberikan secara rata dalam 16 jam yang tersisa. Komposisi cairan dipergunakan pada umumnya sama dengan komposisi cairan pada tahap lanjut. Dimulai sejak pemberian minuman atau makanan per oral yang diberikan secara bertahap, bergantung pada umur, berat badan, jenis penyakit dan keadaan anak. Susu disediakan dalam bentuk yang lebih encer, kemudian konsentrasinya sedikit demi sedikit ditingkatkan, sehingga dalam beberapa hari tercapai konsentrasi yang normal. Demikian pula mengenai makanan, diawali

dengan jenis makanan yang lebih encer atau lebih lunak, kemudian secara bertahap diberikan makanan yang biasa dihidangkan. Meskipun terapi cairan parenteral tidak memenuhi kebutuhan kalori penderita, tetapi hal ini tidak menjadi masalah selama pengobatan tidak berlangsung lama. Bila kemudian keadaan anak membaik dan mulai dapat diberikan makanan peroral, maka defisit lemak dan protein segera dapat dikoreksi. Dalam keadaan tertentu diperlukan pemberian cairan parenteral untuk jangka waktu lama karena pemberian per oral belum memungkinkan atau sukar dilaksanakan. Contohnya adalah keadaan muntah berulang, diare kronik, paska tindakan bedah. Dalam keadaan demikian diperlukan pemberian alimentasi parenteral. Pemantauan selama pengobatan Dalam uraian diatas disebutkan bahwa rencana terapi cairan seyogyanya telah ditetapkan pada saat penilaian awal pasien dengan dehidrasi, dan perencanaan diperhitungkan untuk waktu 24 jam. Hal tersebut bukan berarti bahwa semua perhitungan dan rencana tersebut bersifat kaku dan tidak dapat diubah. Keberhasilan terapi cairan bergantung pada banyak faktor, karenanya diperlukan pemantauan yang ketat terhadap pasien selama terapi cairan diberikan. Pemantauan klinis merupakan hal terpenting yang harus dilakukan. Observasi hendaknya dilakukan dengan ketat, mencakup keadaan umum pasien, kesadaran, sifat tangis, aktifitas, serta tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan). Semua penemuan dicatat dalam lembar khusus yang rapi. Jangan dilupakan catatan tentang jumlah cairan yang masuk, jumlah cairan yang masih keluar (melalui air kemih, tinja, muntah, salir lambung), dan perubahan berat badan. Dalam hal tertentu diperlukan pemeriksaan laboratorium berkala terhadap elektrolit serum dan air kemih, osmolalitas, analisis gas darah, pengukuran tekanan vena sentral, dan perekaman EKG. Perubahan yang terjadi harus segera ditangani.

DAFTAR PUSTAKA 1. Suharyono, Tumbelaka WAFJ. Gangguan keseimbangan asam basa. Dalam : Suharyono, Boediarso A, Halimun EM, penyunting. Gastroenterologi Anak Praktis. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1988; hal 77-84. 2. Alatas H, Madiyono B, Sastroasmoro S. Keseimbangan air dan elektrolit. Dalam : Markum AH, Ismael S, Alatas H, Akib A, Firmansyah A, Sastroasmoro S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jilid I. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1991; hal 80-115. 3. Suraatmaja S. Keseimbangan asam-basa. Dalam : Suraatmaja S, penyunting. Gastroenterologi Anak. Jakarta : Sagung Seto, 2007; hal 5368. 4. Moon J, OBrien D. Fluid and electrolyte therapy. Dalam : Kempe CH, Silver HK, OBrien D, penyunting. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. Canada : Lange Medical Publication, 1970; hal 768-791. 5. Greenbaum LA. The pathophysiology of body fluids and fluid therapy. Dalam : Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders, 2007; hal 267-319.

HIPERNATREMIA (Kadar Na plasma > 150 mEq/L)


Penyebab : Gejala : Na > 160 mEq/L - Iritabel - Depresi sensorium - Letargi - Kejang (Na > 165 mEq/L) Tatalaksana : Hitung defisit cairan dengan rumus : Defisit cairan (L) = 0,8 x BB x Serum Na _ 1 140 H2O defisit diberikan dalam 2 hari, ditambahkan pada cairan rumatan (NaCl fisiologis). Menurunkan kadar Na harus hati-hati. Jika kadar Na diturunkan terlalu cepat (dalam 24 jam), pada masa rehidrasi sering terjadi kejang karena terjadinya Na > 180 mEq/L - Bingung - Koma - Meninggal Intake air kurang. Kehilangan air pada diare. Ketoasidosis diabetika yang tidak diobati. Pemberian nutrisi parenteral atau obat-obatan yang tinggi kadar Na pada penderita dengan fungsi ginjal yang jelek. Intake garam berlebihan.

10

perdarahan fokal / edema otak yang dapat menyebabkan cacat otak permanen. Kecepatan penurunan kadar Na : 10 mEq/hari. Koreksi asidosis metabolik dilaksanakan jika pH < 7,15.

TUGAS SUB-BAGIAN GASTROENTEROLOGI

Oleh :

NELVIRINA

11

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG 2009

12

Anda mungkin juga menyukai