Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS General Anestesi Pada Operasi Laparotomi Ileus Obstruktif Dengan Riwayat Hipertensi Disusun Untuk Sebagai

Syarat Dalam Mengikuti Ujian Profesi Kedokteran Bagian Ilmu Anestesiologi dan Reanimasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada: dr. H Fauzi AR, Sp. An Disusun Oleh: Aditya Panji Prakosa (20060310051)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

PRESENTASI KASUS

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien Umur Berat/ tinggi badan Pekerjaan Agama Alamat No. RM Tanggal Masuk RS Tanggal Operasi : Ny. S : 62 tahun : 46 kg/ 145 cm : Ibu rumah tangga : Islam : Kelapa Sawit 05/1 Bulus Pesantern : 825985 : 6 September 2012 : 7 September 2012

II. KEADAAN UMUM


Kesadaran Tekanan Darah Nadi Suhu Respirasi : Compos Mentis, tampak kesakitan : 150/80 mmHg : 85 x/ menit : 37,50 C : 20 x/ menit

III. ANAMNESIS
Keluhan Utama Nyeri Perut, tidak bisa BAB Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan mengeluhkan nyeri perut dan tidak bisa BAB 2 hari SMRS. Awalnya ketika pasien akan buang air besar yang keluar hanya lendir disertai dengan adanya darah. Pasien merasakan sangat sakit pada perutnya apalagi bila ditekan. Pasien hanya mengobatinya dengan mengompres perut dengan botol yang diisi dengan air hangat. Pasien juga

tidak dapat kentut. 1 hari SMRS. Pusing (-), Demam (-), mual (+), muntah (+), penurunan kesadaran (-), buang air kecil tidak ada perubahan. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat operasi disangkal Riwayat mondok di rumah sakit disangkal Riwayat batuk lama disangkal Riwayat asma atau sesak nafas disangkal Riwayat alergi obat disangkal Riwayat Hipertensi terkontrol Riwayat Diabetes Mellitus disangkal Pasien tidak sedang dalam pengobatan suatu penyakit tertentu dan tidak mengkonsumsi obat-obatan apapun. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat anggota keluarga yang menderita keluhan serupa disangkal Riwayat penyakit diabetes melitus atau kencing manis disangkal Riwayat penyakit hipertensi atau darah tinggi disangkal Anamnesis Sistem Sistem Cerebrospinal photophobia (-), Sistem Cardiovascular dingin (-), sesak (-) Sistem Respiratorius Sistem Gastrointestinal menurun (-), diare (-) Sistem Urogenital Sistem Integumentum Sistem Muskoloskeletal : BAK lancar, nyeri (-), panas (-), hematuria : Sesak nafas (-), batuk (-) : Mual (+), muntah (+), nafsu makan : Nyeri dada (-), berdebar-debar (-), keringat : Demam (-), Nyeri kepala (-), pingsan (-),

(-), BAK tidak puas (-), nokturia (-) : Akral hangat (+), sianotik (-), eritema (-),

gatal (-), tangan basah dingin (-). : Nyeri tulang (-), gangguan gerak (-),

penurunan tonus otot (-), pruritus (-). Kebiasaan/Lingkungan :

Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.

IV. PEMERIKSAAN FISIK Kepala Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), refleks

cahaya (+/+), pupil isokor 3 mm, alis mata simetris (+/+), bulu mata rontok (-/-), pertumbuhan bulu mata normal (+/+), entropion (-/-), ekstropion (-/-), ptosis (-/-), kelopak mata bengkak (-/-), sekret (-/-). Hidung Telinga (-/-) Mulut Leher getah bening (-) Thorak : Inspeksi Palpasi krepitasi (-) Auskutasi : vesikuler +/+, ronki basah halus -/-, ronki : dinding dada simetris (+), sikatrik (-) : nyeri tekan (-), fremitus normal kanan kiri, : Bibir kering (+), pucat (-), pecah-pecah (-). : Deformitas (-), tanda inflamasi (-), pembesaran kelenjar : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-) : Bentuk daun telinga normal, pendengaran normal, sekret

basah kasar -/-, suara jantung S1 dan S2 normal. Perkusi Abdomen : Inspeksi : sonor, batas jantung normal : distensi abdomen (+), Darm contour (-),

Darm steifung (-) Auskultasi : peristaltik (+), metalis sound (+),

Borborygmi (-) Palpasi Perkusi : Nyeri Tekan (+) : Hipertimpani

Ekstremitas

Status Lokalis : deformitas -/PEMERIKSAAN LABORATORIUM HB AT AL BT CT Gol. Darah GDS : 11,5 % : 217 ribu : 15,2 ribu/ mmk : 2 menit : 3 menit :O : 87

V.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Rontgen Abdomen 3 posisi : Kesan : tampak adanya obstruksi letak tinggi

VI. KESIMPULAN Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta laboratorium, maka: Diagnosa pre-operatif : Ileus Obstruktif Status operatif : ASA 2

VII. TINDAKAN ANESTESI Keadaan pre-operarif : Pasien sudah terpasang NGT sejak tanggal 6 September 2012. Keadaan pasien tampak

kesakitan, kooperatif, tensi 150 / 80 mmHg, nadi 85 x/ menit Jenis Anestesi : anestesi umum, semi closed, general endotracheal anestesi dengan ET oral no: 6,5 respirasi kontrol. Premedikasi yang diberikan : 5 menit sebelum dilakukan induksi anestesi, diberikan premedikasi berupa Anestesi yang diberikan : Induksi anestesi

Untuk induksi digunakan Safol 110 mg. Kemudian diberikan atracarium ,Setelah itu pasien diberi O2 murni selama 1 menit, Setelah terjadi relaksasi kemudian dilakukan intubasi melalui oral dengan ET no. 6,5. Setelah di cek pengembangan paru dan suara nafas paru kanan dan kiri sama, ET di fiksasi dan dihubungkan dengan sistem apparatus anestesi. Pernafasan pasien dibantu sampai terjadi nafas spontan. Maintenance Untuk mempertahankan status anestesi digunakan kombinasi O2 3 L/ menit, N2O 3 L/ menit, Halothane 30 cc. Selain itu juga diberikan dexamethasone 10 mg, asam tranexamat 500 mg dan ondansetron 4 mg. Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi senantiasa di kotrol setiap 5 menit. Tekanan darah sistolik berkisar antara 94-120 mmHg, dan 47-80 mmHg untuk diastolik, nadi berkisar antara 80-95 x/ menit. Infus asering dan tetra hes diberikan pada penderita sebagai cairan rumatan. Keadaan post operasi Operasi selesai dalam waktu 75 menit, tetapi pemberian agent anestesi masih dipertahankan dengan tujuan agar tindakan ekstubasi dalam dilakukan pada keadaan tidak sadar penuh sehingga tidak menimbulkan batuk dan mencegah kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia dan sianosis. Ruang Rumatan Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan diobsevasi mengenai pernafasan, tekanan darah, nadi. Bila pasien tenang dan Aldrette Score 8 tanpa nilai nol, dapat dipindah ke bangsal. Namun, pada kasus ini, pasien langsung dipindahkan ke ruang ICU untuk mendapatkan pengawasan yang lebih intensif. Program post operasi Pasien dikirim ke bangsal dengan catatan: Setelah pasien sadar, pasien harus tiduran dengan kepala yang ditinggikan dengan bantal selama 24 jam, pasien belum boleh duduk dan berdiri. Kontrol tekanan darah, nadi dan pernafasan tiap 30 menit.

Bila pasien kesakitan beri ketorolac 30 mg IV, boleh diulang tiap 8 jam. Bila pasien mual-muntah diberi ondansetron 4 mg IV. Bila pasien menggigil beri petidin 12,5 mg IV. Cairan infuse NaCl, beri O2 lewat nasal. Jika paien sadar penuh dan peristaltik (+), coba makan dan minum

PEMBAHASAN
Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Tindakan anesthesia yang memadai, meliputi 3 komponen: 1. Hipnotik 2. Analgesik 3. Relaksasi Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah sebelumnya adalah dilakukan premedikasi yaitu tindakan awaln anesthesia dengan memberikan obat-obat pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik, sedatif, dan analgetik. Tujuan dari pemberian obat-obatan premedikasi adalah: 1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, yang meliputi bebas dari rasa takut, tegang, dan khawatir: bebas nyeri dan mencegah mual muntah. 2. Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus. 3. Memudahkan/memperlancar induksi. 4. Mengurangi dosis obat anesthesia. 5. Mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah.

A. Induksi Tramus (Atracurium) Tramus merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Pelumpuh otot non depolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya

menghalangi asetilkolin menempatinya sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Mula kerja dan lamanya tergantung pada dosis yang diberikan. Pada dosis untuk intubai endotrakea, mula kerjanya 2-3 menit setelah suntikan tunggal intravena, sedangkan lama kerjanya berkisar 15-35menit. Atrakurium mengalami metabolism didalam darah atau plasma melalui reaksi kimia yang unik yang disebut dengan reksi Hoffman yang tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal, sehingga penggunaannya pada

penyakit ginjal atau hati tidak memerlukan perhatian khusus. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang, sehingga masa kerjanya singkat. Tidak mempengaruhi fungsi kardiovaskular, sehingga merupakan pilihan pada pasien yang menderita kelainan fungsi

kardiovaskular. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan sesudah masa kerjanya berakhir, atau apabila diperlukan dapat diberikan obat

antikholinesterase.

Dosis dan cara pemberiannya: 1. Untuk intubasi endotrakea, dosisnya 0,5 0,6 mg/kgBB, diberikan secara intravena. 2. Untuk relaksasi otot pada saat pembedahan, dosisnya 0,5 0,6 mg/kgBB,diberikan secara intravena. 3. Pada keadaan tertentu, dapat diberikan secara infus tetes kontinyu. Ketamin 100 mg Terhadap susunan saraf pusat Mempunyai efek analgesia sangat kuat, akan tetapi efek hipnotiknya kurang dan disertai dengan efek disosiasi, artinya pasien mengalami perubahan persepsi terhadap rangsang dan lingkungannya. Pada dosis lebih besar, efek hipnotiknya lebih sempurna. Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami perunbahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari, seperti gerakan menguyah, menelan, tremor, dan kejang. Apabila diberikan secara intramuscular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial. Terhadap mata

Menimbulkan lakrimasi, nistagmus, dan kelopak mata terbuka secara spontan. Terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada fleksus koroidalis. Terhadap system kardiovaskular Ketamin adalah obat anesthesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung. Peningkatan tekanan darah disebabkan oleh karena efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Terhadap system respirasi Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap system respirasi. Bisa menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma. Terhadap metabolisme Ketamin merangsang sekresi hormone-hormon katabolic seperti

katekolamin, kortisol, glucagon, tiroksin dan lain-lainnya, sehingga laju katabolisme tubuh meningkat. Dosis dan cara pemberian 1. Untuk induksi Diberikan intravena dalam bentuk larutan 1% dengan dosis lazim 12/kgBB pelan-pelan. 2. Untuk pemeliharaan Diberikan intravena intermitten atau tetes kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setipa 10-15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai. Kontra indikasi: Tekanan inta cranial meningkat, misalnya pada tumor kepala, trauma kepala dan operasi intracranial. Tekanan intra ocular meningkat seperti pada glaucoma. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obatobat simpatomimetik.

B. Maintanance a. N2O (Nitrous Oksida) Kemasan dan sifat fisik N2O diperoleh dengan memanaskan amonium nitrat sampai 250C (NH4 NO32H2O + N2O). N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Absorpsi, distribusi dan eliminasi Berdasarkan saturasinya di dalam darah, absorpsi N2O dalam darah bertahap; Pada 5 menit pertama absorpsinya mencapai saturasi 100% dicapai stelah 5 jam. Pada tingkat saturasi 100% tidak ada lagi absorpsi dari alveoli dan dalam darah. Pada keadaan ini konsentrasi N2O dalam darah sebanyak 47 ml N2O dalam 100 ml darah. Di dalam darah, N2O tidak terikat dengan hemoglobin tetapilarut dalam plasma dengan kelarutan 15 kali lebih besar dari kelarutan oksigen. N2O mampu berdifusi ke dalam semua rongga-rongga dalam tubuh, sehingga bisa menimbulkan hipoksia-difusi apabila diberikan tanpa kombinasi dengan oksigen, oleh karena itu setiap mempergunakan N2O harus selalu dikombinasikan dengan oksigen. Terhadap sistem saraf pusat Berkhasiat analgesia dan tidak mempunyai efek hipnotik. Khasiat analgesianya relatif lemah akibat kombinasinya dengan oksigen. Efeknya terhadap tekanan intracranial sangat kecil bila dibandingkan dengan obat anesthesia yang lain. Terhadap susunan saraf otonom, N2O merangsang reseptor alfa saraf simpatis, tetapi tahanan perifer pembuluh darah tidak mengalami perubahan. Terhadap sistem organ yang lain Pada pemakaian yang lazim dalam praktek anesthesia, N2O tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap sistem kardiovaskular, hanya sedikit menimbulkan dilatasi pada jantung. Terhadap system respirasi, ginjal, system reproduksi, endokrin dan metabolism serta system otot rangka tidak

mengalami perubahan, tonus otot tetap tidak berubah sehingga dalam penggunaannya mutlak memerlukan obat pelumpuh otot. Efek Samping N2O akan meningkatkan efek depresi nafas dari obat tiopenton terutama setelah diberikan premedikasi narkotik. Kehilangan pendengaran pasca anesthesia, hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan solubilitas antara N2O dan N2 sehingga terjadi perubahan tekanan pada rongga telinga kanan. Pemanjangan proses pemulihan anastesia akibat difusinya ke tubuh seperti misalnya pneumothoraks. Pemakaian jangka panjang menimbulkan depresi sumsum tulang sehingga bisa menyebabkan anemia aplastik. Mempunyai efek teratogenik pada embrio terutama pada umur embrio 8 hari 6 minggu, yang dianggap periode kritis. Hipoksia difusi pasca anesthesia.Hal ini terjadi sebagai akibat dari sifat difusinya yang luas sehingga proses evaluasinya terlambat. Oleh karena itu pada akhir anesthesia, oksigenasi harus diperhatikan. Penggunaan Klinik Dalam praktik anastesia, N2O digunakan sebagai obat dasar dari anestesi umum yang selalu dikombinasikan dengan oksigen dengan perbandingan antara N2O dan O2 = 70 : 30 (untuk pasien normal), 60 : 40 (untuk pasien yang memerlukan tunjungan oksigen lebih banyak) atau 50 : 50 (untuk pasien yang beresiko tinggi). Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20%:80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%.

b. Halothane (Fluothane) Halothane adalah obat anestesi inhalasi dalam bentuk cairan bening tak berwarna yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane sebaiknya bersama dengan oksigen atau nitrous oksidase 70% - oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi untuk halothane

agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah dikendalikan. Pada nafas spontan rumatanane stesi 1-2 vol% dan pada nafas kendali sekitar 0,51 vol% yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Kelebihan dosis menyebabkan depresi pernafasan, menurunya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Paska pemberian halothane sering menyebabkan pasien menggigil.

D. Intubasi Endotracheal Tujuan dilakukan tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk

membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal: a. Mempermudah pemberian anestesia. b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan. c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk). d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial. e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama. f. Mengatasi obstruksi laring akut. g. Obat.

TINJAUAN PUSTAKA ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI USIA LANJUT

Pendahuluan Jumlah lansia semakin lama semakin banyak. Di Indonesia saja, di tahun 2007 sudah ada 5.65% populasi penduduk yang berusia 65 tahun ke atas (Depkes RI, 2009). Demikian juga masalah kesehatan yang berkaitan dengan mereka. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kesehatan lansia adalah kesehatan pembuluh darah dan jantung. Hipertensi pada usia lanjut perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Selain elastisitas pembuluh darah penderita yang menurun, kerja jantung umumnya pun sudah mulai terganggu. Pada usia lanjut bila tekanan darahnya, baik sistolik maupun diastolik, meninggi dalam waktu yang tidak terlalu lama maka harus dicurigai adanya pembuluh darah ginjal yang terganggu. Hal ini dikenal sebagai hipertensi renovaskuler aterosklerotik. Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai hipertensi pada usia lanjut menghasilkan hal-hal yang menarik diketahui. Ternyata upaya

menurunkan tekanan darah pada usia lanjut memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan golongan usia muda dan menengah. Hubungan antara tekanan darah yang meninggi dengan penyakit jantungpembuluh darah (kardiovaskuler) lebih nyata terlihat pada penderita yang lanjut usia. Umumnya tekanan darah diastolik meningkat mengikuti pertambahan umur. Akan tetapi, tekanan darah sistolik peningkatannya lebih nyata pada usia lanjut. Hal hal berikut perlu diperhatikan untuk menangani hipertensi pada penderita yang berusia lanjut. Selain kondisi tubuh yang sudah tidak prima, penderita pun perlu ditangani secara lebih sabar. Tekanan darah diukur pada posisi berdiri. Penurunan tekanan darah lebih dari 20 mmHg setelah 1 menit pada posisi tegak. dianggap abnormal. Tekanan darah diturunkan bertahap. Bila tekanan darah sebelumnya lebih tinggi dari 180 mmHg, tekanan diturunkan 20 mmHg lebih rendah.

Selanjutnya tekanan diturunkan bertahap sampai sistolik kurang dari 160 mmHg dan diastolik kurang dari 90 mmHg.

Definisi Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001). Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas : ( Darmojo, 1999 ). Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan / atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg. Semakin tua umur seseorang, tekanan darah normalnya pun semakin meningkat. Tekanan darah orang dewasa disebut tinggi jika tekanan sistoliknya 140 mmHg ke atas atau tekanan diastoliknya 90 mmHg ke atas. Menurut JNC (Joint National Committee) VII yang berlaku 2003, hipertensi ditemukan sebanyak 60-70% pada populasi berusia di atas 65 tahun. Bahkan lansia yang berumur di atas 80 tahun sering mengalami hipertensi persisten, dengan tekanan sistolik menetap di atas 160 mmHg. Jenis hipertensi yang khas sering ditemukan pada lansia adalah isolated systolic hypertension, di mana tekanan sistoliknya saja yang tinggi (di atas 140 mmHg), namun tekanan diastolik tetap normal (di bawah 90 mmHg). Banyak juga orang yang beranggapan bahwa tekanan darah tinggi, yaitu tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg, adalah hal normal bagi orang tua dan tidak perlu mendapat obat hipertensi.

Klasifikasi hipertensi

Faktor yang mempengaruhi hipertensi pada lansia

Ada beberapa faktor yang mungkin berpengaruh di sini yaitu : 1. Terjadi pengerasan pembuluh darah, khususnya pembuluh nadi (arterial). Hal ini disertai pengurangan elastisitas dari otot jantung (miokard). 2. Sensitivitas baroreseptor pada pembuluh darah berkurang karena rigiditas pembuluh arteri. Akibatnya pembuluh darah tidak dapat berfluktuasi dengan segera sesuai dengan perubahan curah jantung. 3. Selain itu fungsi ginjal juga sudah menurun. Ginjal dalam keadaan normal juga berperan pada pengaturan tekanan darah, yaitu lewat sistem reninangiotensin-aldosteron. menghasilkan renin Jika lebih tekanan banyak darah untuk sistemik turun, ginjal

mengubah

angiotensinogen

(angiotensin I) menjadi angiotensin II, zat yang dapat menimbulkan vasokonstriksi pada pembuluh darah. Akibatnya tekanan darah akan meningkat. Pada lansia, regulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron sudah kurang baik.

Batasan Hipertensi pada Lansia

Batasan tekanan darah untuk lansia sama dengan untuk orang dewasa (di atas 18 tahun).

Pada bagan berikut dapat dilihat batasan tekanan darah yang disebut hipertensi dan bukan pada dewasa berusia di atas 18 tahun, menurut JNC VII (2003), dan perubahannya dibandingkan dengan JNC VI.

Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya.

Penderita dengan klasifikasi prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu.

Etiologi Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan perubahan pada : Elastisitas dinding aorta menurun Katub jantung menebal dan menjadi kaku Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya. Kehilangan elastisitas pembuluh darah Hal ini terjadi karenakurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer

Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut : Faktor keturunan Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi Ciri perseorangan Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah: Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat ) Jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan ) Ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih )

Kebiasaan hidup Konsumsi garam yang tinggi ( melebihi dari 30 gr ) Kegemukan atau makan berlebihan Stress Merokok Minum alcohol Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )

Di samping klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu sebagai berikut: 1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).

2. Hipertensi sekunder: Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar: Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA. Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR: Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik ginjal, stenosis arteri renalis. Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal congenital, sindroma Conn (hiperaldosteronisme primer), phaeochromacytoma,

hipotiroidisme. Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat Hypertension), porfiria akut, tanda-tanda keracunan. Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa,

hiperkalsemia, peningkatan volume intravaskuler (overload).

Patogenesis Terjadinya Hipertensi Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya secara spesifik. Hal ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus-kasus hipertensi tersebut bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan, seperti penyempitan arteri renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma, cushings disease, akromegali, dan hipertensi dalam kehamilan.

Sedangkan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya sering disebut sebagai hipertensi esensial. Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari kasuskasus hipertensi. Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan

ketidaknormalan peningkatan aktivitas simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada keadaan febris, hipertiroidisme atau terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (SVR) atau kedua-duanya. Peningkatan SVR merupakan penyebab hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi. Pola perkembangan terjadinya hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal. Ketika hipertensi semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR meningkat menjadi tidak normal. Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH (left ventricle hypertrophy) dan merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral sehingga cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi dipertahankan pada tekanan yang tinggi. Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan menggunakan hukum Law, yaitu: BP = CO x SVR Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi, dipertahankan pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat yang mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance) dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan volume cairan intravaskuler (gambar 1). Hal lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor sebagai pengatur aktivitas saraf otonom, yang bersama dengan mekanisme humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan menyeimbangkan fungsi dari keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon lokal yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga

mempengaruhi pengaturan SVR. Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO) berefek vasodilatasi dan endotelin-1 berefek vasokonstriksi.

Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2001). Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya hipertensi palsu disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo, 1999). Farmakologi Dasar Obat-Obat antihipertensi Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam tubuh. Kategori obat antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atauprinsip kerjanya, yaitu: 1. Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan volume darah, sehingga CO berkurang. Contohnya: golongan thiazide, loop diuretics. 2. Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan cara menumpulkan refleks arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi pembuluh darah perifer, menghambat fungsi kardiak, meningkatkan pengisian vena sehingga terjadi penurunan CO. Contohnya: beta dan alpha blocker, methyldopa dan clonidine, ganglion blocker, dan post ganglionic symphatetic blocker (reserpine, guanethidine). 3. Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara relaksasi otot-otot polos vaskuler. Contoh: nitroprusside, hydralazine, calcium channel blocker. 4. Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini menurunkan resistensi perifer dan volume darah, yaitu dengan menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II dan menghambat metabolisme dari bradikinin.

Lansia ternyata tetap perlu mendapat obat hipertensi apabila tekanan darahnya tinggi. Penelitian Beckett et.al (2008) menunjukkan terapi hipertensi pada lansia yang berusia di atas 80 tahun dapat menurunkan risiko kematian akibat stroke sebanyak 39% dan menurunkan risiko gagal jantung sebanyak 64%. Hal ini sejalan dengan penelitian dari HYVET (hypertension in the very elderly trial). Adapun sasaran tekanan darah yang diharapkan pada kasus hipertensi persisten adalah 150/80 mmHg. Obat yang dianjurkan adalah indapamid (golongan diuretik tiazid) lepas lambat (1.5 mg) dan/atau perindopril (golongan ACE-inhibitor) 2-4 mg. Diuretik tiazid yang umum yaitu HCT (hidroklorotiazid), terkenal sering menyebabkan gangguan keseimbangan kalium (potasium), yaitu hipokalemia. Hal ini dapat menyebabkan aritmia fatal pada lansia. Kombinasinya dengan ACEinhibitor dapat menetralkan efek hipokalemia ini, karena ACE-inhibitor dapat menghambat ekskresi ion kalium. Indapamid juga tidak menyebabkan hiperglikemia dan hiperlipidemia, seperti halnya HCT.

MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI

Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu: Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya. Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi. Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita. Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu

relatif hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakoligis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronariasebesar 16%.

PERTIMBANGAN ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas

kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan

menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 2025% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12 Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS _ 180 mmHg dan/atau TDD _ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.

HIPERTENSI INTRAOPERATIF Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah menjaga kestabilan tekanan darah pasien. Pasien batas akhir hipertensi dapat diobati seperti pasien dengan tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan autoregulasi aliran darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi

mempertahankankan aliran darah otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien dengan hipertensi yang lama harus dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner dan hipertrofi jantung,sehingga peningkatan tekanan darah yang

berlebihan dapat dihindari. Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan takikardia, dapat memicu terjadinya iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan keduanya. Tekanan darah arteri umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat pra operasi. Jika hipertensi terjadi sebelum operasi dimana tekanan darah lebihdari 180/120 mmHg, maka tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam batas normal, yaitu 150-140/90-80 mm Hg. (Morgan, 2006).

Tabel 2. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi akut.

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel 3).

Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan: Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik. Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik. Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat. Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi sedang sampai berat. Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau pencegahan iskemia miokard. Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal. Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

MANAJEMEN POSTOPERATIF Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACEinhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium

nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.

DAFTAR PUSTAKA 1. National Institute of Health (2003). JNC 7 Express: The 7th Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. 2. Beckett NS, Peters R, Fletcher AE, Staessen JA, Liu L, Dumitrascu D, et.al. Treatment of Hypertension in Patients 80 Years of Age or Older. N Engl J Med 2008; 359: 1887-98. 3. Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Perioperative hypertension (HTN). Decision making in anesthesiology-an algorithmic approach. 4th ed. Philadhelpia: Elsevier; 2007.p.124-6. 4. Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at: http://www. emedicine.com/MED/ topic3158.htm.. 5. Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at: http://www.4um.com/ tutorial/anaesthbp.htm. 6. Benowitz NL. Antihypertensive agentcardiovaskular- renal drugs. In: Katzung BG, editor. Basic and clinical pharmacology. 9th ed. New York: McGrawHill; 2004.p.160-83. 7. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In: Hines RL, Marschall KE, editors. Stoeltings anesthesia and co-existing disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.

Anda mungkin juga menyukai

  • Referat-Dhf DR - Hj.niarna Lusi
    Referat-Dhf DR - Hj.niarna Lusi
    Dokumen30 halaman
    Referat-Dhf DR - Hj.niarna Lusi
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Stase Ilmu Kesehatan Anak
    Stase Ilmu Kesehatan Anak
    Dokumen5 halaman
    Stase Ilmu Kesehatan Anak
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Presus Gemeli
    Presus Gemeli
    Dokumen20 halaman
    Presus Gemeli
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • PPOK
    PPOK
    Dokumen17 halaman
    PPOK
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Referat-Dhf DR - Hj.niarna Lusi
    Referat-Dhf DR - Hj.niarna Lusi
    Dokumen30 halaman
    Referat-Dhf DR - Hj.niarna Lusi
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Peritonitis E.C. Perforasi Gaster
    Peritonitis E.C. Perforasi Gaster
    Dokumen37 halaman
    Peritonitis E.C. Perforasi Gaster
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Benzodi A Zep in
    Benzodi A Zep in
    Dokumen3 halaman
    Benzodi A Zep in
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Refrat Hernia
    Refrat Hernia
    Dokumen35 halaman
    Refrat Hernia
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    100% (1)
  • Fraktur
    Fraktur
    Dokumen17 halaman
    Fraktur
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Premature Rupture of Fetal Membrane (PROM) Referat Pku
    Premature Rupture of Fetal Membrane (PROM) Referat Pku
    Dokumen18 halaman
    Premature Rupture of Fetal Membrane (PROM) Referat Pku
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Refleksi Kasus
    Refleksi Kasus
    Dokumen3 halaman
    Refleksi Kasus
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Journal Reading Anestesi
    Journal Reading Anestesi
    Dokumen18 halaman
    Journal Reading Anestesi
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Refleksi Kasus
    Refleksi Kasus
    Dokumen3 halaman
    Refleksi Kasus
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Presus Pneumothorax 2
    Presus Pneumothorax 2
    Dokumen12 halaman
    Presus Pneumothorax 2
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Presus JIwa
    Presus JIwa
    Dokumen9 halaman
    Presus JIwa
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Referat Anestesi 1
    Referat Anestesi 1
    Dokumen18 halaman
    Referat Anestesi 1
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • D Numularis
    D Numularis
    Dokumen24 halaman
    D Numularis
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • D Numularis
    D Numularis
    Dokumen24 halaman
    D Numularis
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat
  • Diare Akut
    Diare Akut
    Dokumen2 halaman
    Diare Akut
    Aditya Hardjo Pawiro Diningrat
    Belum ada peringkat