Anda di halaman 1dari 13

RINITIS ALERGI

R.Hakbar Rafsanjani
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna utara no.6 Kebon Jeruk, Jakarta

PENDAHULUAN Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Ada dua penyebab : a. Rinitis alergi musiman umumnya disebabkan kontak dengan alergen dari luar rumah, seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk penyerbukannya, debu dan polusi udara atau asap. b. Rinitis alergi yang terjadi terus menerus diakibatkan karena kontak dengan alergen yang sering berada dirumah misalnya kutu debu rumah, debu perabot rumah, bulu binatang peliharaan serta bau-bauan yang menyengat.

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Telepon : 08569943774, Email : the.rafsanjany@yahoo.com NIM : 10.2009.116, Kelompok : D8

ANAMNESIS Keluhan utama : Hidung tersumbat terutama pagi hari, sering bersin, hidung gatal dan ingus encer. Pada anamnesis ditanyakan :

Identitas Keluhan Riwayat penyakit sekarang Riwayat penyakit dahulu Riwayat penyakit keluarga Apakah bersin bersin berulang ? Apakah keluar ingus (rinore) yang encer ? Apakah hidung tersumbat ? Apakah terasa gatal pada hidung dan mata ? Apakah pada saat bersin, air mata juga keluar ?

PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik untuk rinitis alergi berfokus pada hidung , tetapi pemeriksaan pada wajah, mata, telinga, leher, paru-paru dan kulit juga penting.

a. Wajah - Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung. - Nasal crease yaitu lipatan horizontal yang melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok ke atas dengan tangan.

b. Hidung - Pada rhinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat, disertai adanya sekret encer dan banyak. - Karakteristik mukus encer dan putih. - Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis.
2

- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip dan tumor. Polip berupa massa yang berwarna abu-abu. Dengan dekongestan topikal polip tidak akan menysusut, sedangkan mukosa hidung akan menyusut.

c. Telinga, Mata dan Orofaring - Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, kelainan mobilitas dari membran timpani dapat dilihat dengan menggunakan otoskopi pnematik. Kelainan tersebut dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan disfungsi tuba eustachius dan OM sekunder. - Pada pemeriksaan mata akan ditemukan injeksi dan pembengkakan konjungtiva palpebral yang disertai dengan produksi air mata.1

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain hitung eosinofil dalam apusan darah tepi, pemeriksaan IgE total, skin prick test. Skin test : menggunakan pelbagai allergen untuk mendeteksi allergen penyebab

DIAGNOSIS KERJA : RHINITIS ALERGI

Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah paparan alergen melalui inflamasi yang di perantarai IgE pada mukosa hidung.

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berrlangsungnya, yaitu :

1.

Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2.

Rinitits alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anakanak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.2
4

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. 2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 1. Ringan bila tidak di temukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. 2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan di atas.

DIAGNOSIS BANDING Common cold (Rhinitis akut ec virus) merupakan infeksi saluran napas atas terutama hidung, umumnya disebabkan oleh virus. Sebagian besar yang mencakup virus, meliputi Rhinovirus, Respiratory syncytial viruses (RSV), virus Parainfluenza, virusinfluenza, dan adenovirus. Virus-virus lainnya adalah: myxovirus, virus Coxsackie, dan virus ECHO. Rhinovirus, dikenal ada lebih dari 100 serotipe, adalah penyebab common cold pada orang dewasa; sekitar 20 40 % kasus commond cold disebabkan virus ini, terutama pada musim gugur.

Permulaan penyakit ini biasanya tiba-tiba dan ditandai dengan rasa kering, gatal, atau rasa panas di hidung atau nasofaring. Segera timbul menggigil dan malaise, disertai dengan bersin dan ingus encer. Pada saat ini biasanya tidak disertai demam. Sering terasa nyeri kepala ringan atau perasaan penuh di antara kedua mata. Penyakit ini akan berkembang pesat dalam waktu 48 jam dan ditandai dengan suara serak, mata berair, ingus encer dan berkurang atau hilangnya penciuman dan pengecapan. Gejala yang paling mengganggu pada pasien ini ialah hidung yang tersumbat. Rasa nyeri yang tidak terlalu berat disekitar dahi, mata dan kadangkadang pipi, berhubungan dengan pembengkakan mukosa hidung.

Rinitis Vasomotor

ETIOLOGI Rinitis melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anakanak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan.

Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitifterhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman
6

biasanya berupa serbuk sari dan jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.

Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta seprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke pegunungan membantu identifikasi terpaparnya serbuk sari.

Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor non spesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.3

EPIDEMIOLOGI Rinitis alergi adalah salah satu penyakit yang paling umum ditemukan pada manusia. Di perkirakan sekitar 20-30 % populasi orang dewasa Amerika dan lebih dari 40% anak-anak menderita penyakit ini. Rinitis alergi sering di asosiasikan dengan asma, rinosinusitis, infeksi telinga media, radang polip, infeksi saluran nafas.

Di Amerika serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis alergi atau sekitar 20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi sekitar 15% pada laki-laki dan 14% pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini mungkin diakibatkan karena perbedaan geografik , tipe dan potensi alergen.

Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda tergantung perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi. Dalam hubungannya dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa kanak-kanak maka laki-laki lebih tinggi dari pada wanita, namun pada dewasa prevalensinya sama antara laki-laki dengan wanita. Dilaporkan bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak, pada laki-laki terjadi antara onset 8-11 tahun , namun demikian rinitis alergi dapat terjadi pada semua umur.

PATOFISIOLOGI Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah

akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).4

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: 1. Respon primer -Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. 2. Respon sekunder - Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila

Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. 3. Respon tersier - Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

TERAPI Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya dan eliminasi.

MEDIKAMENTOSA Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 dan generasi-2 (non sedatif). AH generasi 1 dapat menembus sawar darah otak sehingga mempunyai efek pada SSP, plasenta serta efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Sedangkan yang dapat diberikan topikal ialah azelastin.

AH generasi 2 sulit menembus sawar darah otak, tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik, dan efek pada SSP minimal (non sedatif). AH di absorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. AH non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin dan levosetirisin.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergikalfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun

10

pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon).5

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratopium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.

Operatif Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

Imunoterapi Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.6

KOMPLIKASI Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah : 1. Polip hidung - biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan sekitar ostiasinus di meatus medius. 2. 3. Otitis media - yang sering residif, terutama pada anak-anak. Sinusitis paranasal - Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob. Selain dari
11

itu, proses alergi akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator-mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.

Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan obstruksi ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka pengobatan rasionalnya adalah pemberian antihistamin, dekongestan, antiinflamasi,antibiotia adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatif.

PENCEGAHAN 1. 2. 3. Menghindari makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan alergi. Jangan biarkan hewan berbulu masuk kedalam rumah, jika alergi terhadap bulu hewan. Bersihkan debu dengan menyedot dan lap basah, minimal 2-3 kali dalam satu minggu, jangan menggunakan sapu yang dapat menyebarkan debu. 4. Gunakan pembersih udara elektris (AC) untuk membuang debu rumah, jamur dan pollen dari udara. Cuci dan ganti filter secara berkala. 5. 6. Tutup perabotan berbahan kain dengan lapisan yang bisa dicuci sesering mungkin. Jangan mengunakan bahan atau perabot yang dapat menampung debu didalam debu kamar. 7. Untuk menghindari kontak dengar allergen, gunakan sarung tangan dan masker ketika sedang bersih-bersih di dalam maupun di luar rumah. 8. Larang rokok dan pengunaan produk yang beraroma di rumah.

PROGNOSIS Ad Vitam : bonam, karena bila menghindari alergen, gejala alergi tidak tampak. Ad Functionam : dubia ad bonam, bila terpapar alergen terus maka rinitis alergi dapat berkembang menjadi rinitis infeksiosa, polip, sinusitis, otitis media, tapi bila alergen dihindari maka tidak akan terjadi. Ad Sanationam : dubia ad bonam, karena alergi merupakan kondisi yang dipengaruhi genetik, maka tidak dapat sembuh selama masih ada alergen, jadi hindarilah alergen agar tidak ada serangan.

12

DAFTAR PUSTAKA 1. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 106-108. 2001. 2. Soepardi Efiaty, Iskandar Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Edisi 6. Jakarta : FKUI. hal : 128-133. 2007 3. Irawati, N; Kasakeyan, E; Rusmono, N. Alergi Hidung . In: Soepardi, EA; Iskandar, N., et al, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. 4. Mangunkusumo, Endang. Nizar, N.W. 2006. Kelainan Septum. Dalam: Buku Ajar Ilmu Telinga-Hidung-Tenggorokan, hal.99. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 5. Gunawan GS, Setiabudi R, dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007 6. Sheikh J. Rhinitis, Allergic: Treatment & Medication. 2009. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/134825-treatment. Pada tanggal 13 Maret 2012.

13

Anda mungkin juga menyukai