Anda di halaman 1dari 36

Presentasi Kasus I.

Identitas Nama Usia Warga Negara Pekerjaan Agama Status Perkawinan Alamat Suku Bangsa Tanggal Masuk : Tn.A : 69 tahun : Indonesia : tidak bekerja : Islam : Menikah : Lingkungan Jombang Kali : Jawa : 31 Januari 2012

Tanggal Pemeriksaan : 01 Februari 2012 Ruangan : Aster

II.

Anamnesa ( Dilakukan tanggal 01 februari 2012 Autoanamnesa) Keluhan Utama : Sulit buang air kecil sejak 2 bulan Keluhan Tambahan : Buang air kecil harus dengan selang Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke RSUD Cilegon dengan keluhan sulit buang air kecil sejak 2 bulan SMRS. Buang air kecil dirasakan tidak lancar, untuk keluarnya air seni harus menunggu terlebih dahulu dan juga harus mengedan, air seni keluar terputusputus, pancaran keluarnya dirasakan lemah dan diakhir kencing pasien mengaku kencing menetes. Setelah selesai buang air kecil pasien juga mengaku perut terasa anyang-anyangan sehingga sering ingin buang air kecil kembali, hal ini juga dirasakan pada malam hari, pasien mengaku pada malam hari bisa 10 kali buang air kecil sehingga pasien sulit untuk tidur. Saat terasa ingin buang air kecil pasien mengaku masih dapat menahannya sampai ke kamar mandi, pasien juga tidak
1

pernah sampai mengompol, adanya nyeri pada penis setelah buang air kecil disangkal.

Selama ini buang air kecil tidak pernah bercabang, tidak pernah mengeluarkan serbuk-serbuk seperti pasir melalui air seni, air seni tidak pernah berwarna merah, dan juga air seni tidak pernah dikerumuni oleh semut. tidak terdapat nyeri punggung, perasaan baal atau kesemutan disangkal, kelemahan anggota gerak bagian bawah disangkal, buang air besar lancar. Pasien mengaku 1 bulan SMRS tidak bisa kencing sama sekali sehingga harus dipasang selang, pasien sudah 4 kali ganti selang urin dipuskesmas. Saran dari puskesmas untuk di rawat di RS. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Diabetes Melitus disangkal Riwayat Hipertensi disangkal Riwayat Kencing Berpasir atau Kencing Batu disangkal Riwayat Hematuri disangkal Riwayat Infeksi Saluran Kemih disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang memiliki sakit sama dengan pasien sekarang Riwayat Diabetes Melitus disangkal Riwayat Hipertensi disangkal Riwayat Kencing batu disangkal

III.

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu : Tampak sakit sedang : GCS (E4V5M6 = 15) ; Compos Mentis : 170/100 mmHg : 84 x/menit, reguler, isi cukup : 24 x/menit, simetris : 36,4 oC
2

Status Generalisata : Kepala Mata 3mm/3mm Mulut Leher Thoraks Pulmo Cor Inspeksi Palpasi Perkusi : Ictus Cordis terlihat : Teraba Ictus Cordis , Thrill (-) : Batas jantung dalam batas normal Inspeksi Palpasi Perkusi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis, Retraksi (-) : Fremitus vokal dan taktil simetris kanan dan kiri : Sonor dikedua lapang paru : Mulut tidak kering, Lidah tidak Kotor, Faring tidak hiperemis, : Tidak terdapat pembesaran Kelenjar Getah Bening : : Normocephal : Konjungtiva Anemis (/) Sklera Ikterik (-/-) Pupil Isokor

Auskultasi : VBS (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-)

Auskultasi : BJ I-II reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen : Inspeksi tak terlihat Auskultasi : Bising usus (+) normal, Bruit Aorta (-) Perkusi Palpasi : Timpani Seluruh lapang abdomen, Nyeri ketuk (-) : Dinding abdomen supel, defans muscular (-), : datar, tak tampak massa dan sikatriks, peristaltik usus

organomegali (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)

Ekstremitas : Akral hangat, tidak sianosis, tidak edema

I.

Status Lokalis (Status Urologikus) Regio Costo Vertebrae Angle (CVA) sinistra et dextra: Inspeksi Palpasi Palpasi : Bulging (-/-) : Ballotement (-/-) : Nyeri ketok (-/-)

Regio suprapubik Inspeksi Palpasi Perkusi : Datar, tidak tampak massa : Nyeri tekan (-), tidak teraba massa : Timpani

Regio genitalia eksterna Inspeksi : Tidak tampak massa, tidak tampak pembesaran

scrotum, terpasang DC, produksinya ada, urin berwarna kuning jernih. Palpasi : nyeri tekan tidak ada, tidak teraba massa, tidak teraba

pengerasan pada bagian ventral penis.

Regio anal Inspeksi Palpasi Rectal Toucher : Tidak tampak massa : Tidak ada nyeri tekan : Tonus sfingter Ani Cukup, ampula recti tidak

kolaps, mukosa rectum licin. Prostat : teraba membesar, pole atas tidak dapat diraba, kenyal, permukaan licin. Sarung tangan ada. : feses tidak ada, darah tidak ada, lendir tidak

IV.

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pemeriksaan darah rutin Hb Ht Leukosit Trombosit LED Masa Pembekuan Masa Perdarahan Golongan Darah : 9,2 gr/dl : 30,4 % : 11.400 /l : 583.000 /l : 50 mm/jam : 8 menit : 3 menit : O/ Rh +

Imunoserologis
4

HBsAg Anti HIV

: Non Reaktif : Non Reaktif

Glukosa Darah GDS Fungsi Liver SGOT SGPT : 20 U/I : 12 U/I : 98 mg/dl

Fungsi Ginjal Ureum Creatinin


Skor I-PSS Dalam 1 bulan terakhir tidak sama sekali 1. Terasa sisa kencing 2. Sering kencing 3. Terputus-putus 4. Tidak dapat menunda 5. Pancaran lemah 6. Mengejan 7. Kencing malam 8. Perasaan tidak nyaman Total = 31 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 < 1 x dlm 5 kejadian <50% kejadian 50% > 50% hampir selalu

: 11mg/dl : 1,1

kejadian kejadian

Menurut Skor Internasional Gejala Prostat (I-PSS), penderita mengalami gejala LUTS berat. V. Resume Pasien laki-laki, usia 69 tahun datang ke RSUD Cilegon dengan keluhan sulit buang air kecil sejak 2 bulan SMRS. Buang air kecil dirasakan tidak lancar, untuk keluarnya air seni harus menunggu terlebih dahulu dan juga harus mengedan, air seni keluar terputus-putus, pancaran keluarnya dirasakan lemah dan diakhir kencing pasien

mengaku kencing menetes. Setelah selesai buang air kecil pasien juga mengaku perut terasa anyang-anyangan sehingga sering ingin buang air kecil kembali, hal ini juga dirasakan pada malam hari, pasien mengaku pada malam hari bisa 10 kali buang air kecil sehingga pasien sulit untuk tidur. Saat terasa ingin buang air kecil pasien mengaku masih dapat menahannya sampai ke kamar mandi, pasien juga tidak pernah sampai mengompol. Pasien mengaku 1 bulan SMRS tidak bisa kencing sama sekali sehingga harus dipasang selang, pasien sudah 4 kali ganti selang urin dipuskesmas. Prostat : teraba membesar, pole atas tidak dapat diraba, sulcus medianus mendatar, sulcus lateralis tidak teraba, kenyal, permukaan licin. WHO PSS 31 (gejala LUTS berat) VI. Diagnosis Kerja Benign Prostate Hiperplasia Grade IV

VII.

Diagnosis Banding Striktur Uretra vesikolitiasis

VIII.

Penatalaksanaan Medikamentosa IVFD Ringer Laktat 20 gtt/menit Antibiotik Analgetik Anti Hipertensi : Cefotaxime Inj 2x1 gram : Ketorolac Inj 3x1 ampul : Amlodipin 1x10 mg

Transfusi PRC 2 labu

Non Medikamentosa Pasang DC Tindakan Operatif : Prostatectomy

IX.

Prognosis Quo ad vitam Qua ad functionam : ad bonam : dubia ad bonam

Follow Up
Tgl 01/02 /2012 Subjektif Batuk berdahak dengan dahak warna kekuningan Objektif KU : tampak sakit sedang Kes : CM * Rencana Operasi Hari ini TD : 170/100 mmHg HR : 84 x/menit RR : 24 x/menit T : 36,4 oC Kepala : normocephal Mata : CA (/), SI (-/-) pupil isokor kaki Cor : BJ I-II reguler, M(-), G(-) Pulmo : VBS (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-) Abdomen : datar, supel, BU (+) normal, NT/NL/NK (-/-/-) Eks : akral hangat, tidak ada edema , tidak ada sianosis. Status Lokali : - Regio Costo Vertebrae Angle (CVA) sinistra et dextra: Inspeksi : Bulging (-/-) Palpasi : Ballotement (-/-) Palpasi : Nyeri ketok (-/-) - Regio suprapubik Inspeksi : Datar, tidak tampak massa Palpasi : Nyeri tekan (-), tidak teraba massa Perkusi : Timpani - Regio genitalia eksterna Inspeksi : Tidak tampak massa, tidak tampak pembesaran scrotum, terpasang DC, produksinya ada, urin berwarna kuning jernih. Palpasi : nyeri tekan tidak ada, tidak teraba massa, tidak teraba pengerasan pada bagian ventral penis. - Regio anal Inspeksi : Tidak tampak massa Palpasi : Tidak ada nyeri tekan Rectal Toucher : Tonus sfingter Ani Cukup, ampula recti tidak kolaps, mukosa rectum licin. Prostat : teraba membesar, pole atas tidak dapat diraba, kenyal,
7

Diagnosis - Pre OP BPH Grade IV dengan anemia - HT Grade II

Terapi - Operasi Tunda - Transfusi PRC 2 labu - cek Hb post Transfusi -Amlodipin 1x10 mg

permukaan licin. Sarung tangan : feses tidak ada, darah tidak ada, lendir tidak ada. Hasil Lab Darah tgl 31/01/2012 Hb : 9,2 gr/dl 02/02 /2012 Batuk berdahak sudah 2 hari KU : tampak sakit sedang Kes : CM TD : 170/80 mmHg HR : 86 x/menit RR : 28 x/menit T : 37 oC Kepala : normocephal Mata : CA (-/-), SI (-/-) pupil isokor ka-ki Cor : BJ I-II reguler, M(-), G(-) Pulmo : VBS (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-) Abdomen : datar, supel, BU (+) normal, NT/NL/NK (-/-/-) Eks : akral hangat, tidak ada edema , tidak ada sianosis. Status Lokali : Co dr.Supriyono,Sp.B (via Telp) Hb post Transfusi PRC 2 labu 11,1 gr/dl , bagaimana rencana operasi. KU : tampak sakit sedang Kes : CM TD : 160/80 mmHg HR : 80 x/menit RR : 32 x/menit T : 36,3 oC Kepala : normocephal Mata : CA (-/-), SI (-/-) pupil isokor ka-ki Cor : BJ I-II reguler, M(-), G(-) Pulmo : VBS (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-) Abdomen : datar, supel, BU (+) normal, NT/NL/NK (-/-/-) Eks : akral hangat, tidak ada edema , tidak ada sianosis. Status Lokali : Laporan Operasi tgl 03/02/2012 : - insisi mediana - vu dibuka, prostat fibrosis - reseksi posterior - tutup luka Diagnosis prabedah : BPH Diagnosis PascaBedah : Fibrosis Prostat
8

- Pre OP BPH Grade IV - HT Grade II

- Hb post Transfusi -Amlodipin 1 x 5 mg

Jam 16.25 03/02 /2012 Batuk berdahak

Jawaban ACC OP besok - Pre OP BPH Grade IV - HT Grade II -Amlodipin 1 x 5 mg - IVFD Ringer Laktat 20 tpm

Terapi Post OP: - Ceftriaksone 2x1 gr - Ketorolac 3x1

04/02 /2010

Luka jahitan sakit, batuk berdahak

Tindakan : Reseksi KU : tampak sakit sedang Kes : CM TD : 140/80 mmHg HR : 72 x/menit RR : 20 x/menit T : 36,5 oC Kepala : normocephal Mata : CA (-/-), SI (-/-) pupil isokor ka-ki Cor : BJ I-II reguler, M(-), G(-) Pulmo : VBS (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-) Abdomen : datar, supel, BU (+) normal, NT/NL/NK (-/-/-) Eks : akral hangat, tidak ada edema , tidak ada sianosis. Status Lokali at Regio hipogastrium : I : luka op tertutup verban, verban kering, tidak ada rembesan darah dan pus, tandatanda radang disekitar luka (-) P : nyeri tekan (-)

Post reseksi fibrosis prostat H1

- IVFD Ringer Laktat 20tpm - Ceftriaksone inj 2x1 gr - Ketorolac inj 3x1 amp - Amlodipin 1x5 mg

06/02 /2012

Menggigil tadi malam, badan panas, batuk berdahak

KU : tampak sakit sedang Kes : CM TD : 160/70 mmHg HR : 96 x/menit RR : 28 x/menit T : 38,5 oC Kepala : normocephal Mata : CA (-/-), SI (-/-) pupil isokor ka-ki Cor : BJ I-II reguler, M(-), G(-) Pulmo : VBS (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-) Abdomen : datar, supel, BU (+) normal, NT/NL/NK (-/-/-) Eks : akral hangat, tidak ada edema , tidak ada sianosis. Status Lokali at Regio hipogastrium : I : luka jahitan kering, tidak ada rembesan darah dan pus, tanda-tanda radang disekitar luka (-) P : nyeri tekan (-)

Post op reseksi fibrosis prostat H3

- IVFD Ringer Laktat 20tpm - Ceftriaksone inj 2x1 gr - Ketorolac inj 3x1 amp - PCT 3X500 mg - Amlodipin 1x5 mg

07/02 /2012

Batuk berdahak dan sesak, luka operasi tidak nyeri

KU : tampak sakit sedang Kes : CM TD : 140/70 mmHg HR : 80 x/menit RR : 24 x/menit T : 36,0 oC Kepala : normocephal
9

Post op reseksi fibrosis prostat H4

- IVFD Ringer Laktat 20tpm - Ceftriaksone inj 2x1 gr - Ketorolac inj 3x1 amp - Amlodipin 1x5

Mata : CA (-/-), SI (-/-) pupil isokor ka-ki Cor : BJ I-II reguler, M(-), G(-) Pulmo : VBS (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-) Abdomen : datar, supel, BU (+) normal, NT/NL/NK (-/-/-) Eks : akral hangat, tidak ada edema , tidak ada sianosis. Status Lokali at Regio hipogastrium : I : luka jahitan kering, tidak ada rembesan darah dan pus, tanda-tanda radang disekitar luka (-) P : nyeri tekan (-) 08/02 /2012 Batuk berdahak KU : tampak sakit sedang Kes : CM TD : 130/70 mmHg HR : 80 x/menit RR : 28 x/menit T : 36,6 oC Kepala : normocephal Mata : CA (-/-), SI (-/-) pupil isokor ka-ki Cor : BJ I-II reguler, M(-), G(-) Pulmo : VBS (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-) Abdomen : datar, supel, BU (+) normal, NT/NL/NK (-/-/-) Eks : akral hangat, tidak ada edema , tidak ada sianosis. Status Lokali at Regio hipogastrium : I : luka jahitan kering, tidak ada rembesan darah dan pus, tanda-tanda radang disekitar luka (-) P : nyeri tekan (-) Jam 17.00 Sesak KU : tampak sakit sedang Kes : CM TD : 120/90 mmHg HR : 80 x/menit RR : 22 x/menit T : 36,6 oC Pulmo : VBS (/n), Rh (-/-), Wh (-/-) KU : tampak sakit sedang Kes : CM TD : 130/80 mmHg HR : 96 x/menit RR : 36 x/menit T : 36,8 oC Kepala : normocephal Mata : CA (-/-), SI (-/-) pupil isokor ka-ki
10

mg

Post op reseksi fibrosis prostat H5

- IVFD Ringer Laktat 20tpm - Ceftriaksone inj 2x1 gr - Ketorolac inj 3x1 amp - Amlodipin 1x5 mg

- O2 1-2 ltr/menit K/P - Rontgen Thoraks PA - Terapi lain lanjut Post op reseksi fibrosis prostat H6 - IVFD Ringer Laktat 20tpm - Ceftriaksone inj 2x1 gr - Ketorolac inj 3x1 amp - Amlodipin 1x5 mg

09/02 /2012

Batuk berdahak, sesak

Cor : BJ I-II reguler, M(-), G(-) Pulmo : VBS (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-) Abdomen : datar, supel, BU (+) normal, NT/NL/NK (-/-/-) Eks : akral hangat, tidak ada edema , tidak ada sianosis. Status Lokali at Regio hipogastrium : I : luka jahitan kering, tidak ada rembesan darah dan pus, tanda-tanda radang disekitar luka (-) P : nyeri tekan (-) 10/02 /2012 Batuk berdahak KU : tampak sakit sedang Kes : CM TD : 130/80 mmHg HR : 86 x/menit RR : 28 x/menit T : 36,5 oC Kepala : normocephal Mata : CA (-/-), SI (-/-) pupil isokor ka-ki Cor : BJ I-II reguler, M(-), G(-) Pulmo : VBS (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-) Abdomen : datar, supel, BU (+) normal, NT/NL/NK (-/-/-) Eks : akral hangat, tidak ada edema , tidak ada sianosis. Status Lokali at Regio hipogastrium : I : luka jahitan kering, tidak ada rembesan darah dan pus, tanda-tanda radang disekitar luka (-) P : nyeri tekan (-) Post op reseksi fibrosis prostat H7

- Foto Thoraks

Visit dr.supriyono,Sp. B: - App DC - BLPL - Ciprofloksasin 500 mg 2x1 - Asam Mefenamat 500 mg 3x1

11

TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Kelenjar Prostat Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak disebelah inferior buli-buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus, yaitu lobus medius, lobus lateralis (2 lobus), lobus anterior, dan lobus posterior. Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam beberapa daerah dan zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona preprostatik sfingter, dan zona anterior (McNeal 1970).

Zona Anterior atau Ventral : sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.

Zona Perifer : sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma terbanyak.

Zona Sentralis : lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah meliputi 25% massa glandular prostat. Zona ini resisten terhadap inflamasi.

Zona Transisional : zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benign prostatic hyperplasia (BPH).

12

Kelenjar-Kelenjar Periuretra : bagian ini terdiri dan duktus-duktus kecil dan susunan selsel asinar abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal. Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika.

Secara histopatologik kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyanggah yang lain. Perdarahan kelenjar prostat berasal dari arteri vesikalis inferior, arteri pudenda interna dan arteri hemoroidalis medius. Drainase vena prostat menuju pleksus periprostatik yang berhubungan dengan vena dorsalis profunda penis dan vena iliaka interna. Limfe terutama dicurahkan ke nodus iliaka interna dan nodus sakralis. Persarafan prostat berasal dari pleksus hipogastrikus inferior dan membentuk pleksus prostatikus. Prostat mendapat persarafan terutama dari serabut saraf tidak bermielin. Beberapa serat ini berasal dari sel ganglion otonom yang terletak di kapsula dan di stroma. Serabut motoris, mungkin terutama simpatis, tampak mempersarafi sel-sel otot polos di stroma dan kapsula sama seperti dinding pembuluh darah. Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat.

13

Prostat mendapat inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus (pleksus pelvikus) menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S 2-4 dan simpatik dari nervus hipogastrikus (T 10- L2). Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat , dan leher buli-buli. Di tempat-tempat ini banyak terdapat reseptor adrenergik-. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.

Hiperplasia Prostat Jinak Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu jaringan yang disebabkan oleh penambahan jumlah sel pembentuknya. Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar periuretral atau hiperplasia fibromuskular yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer

Histopatologi Daerah yang sering dikenai adalah lobus lateral bagian tengah dan lobus medial. Berat prostat bisa mencapai 60-100 gram (normal 20 gram). Pernah juga dilaporkan pembesaran prostat yang beratnya melebihi 200 gram. Secara mikroskopik gambaran yang terlihat tergantung pada unsur yang berproliferasi. Bila kelenjar yang banyak berproliferasi maka akan tampak penambahan jumlah kelenjar dan sering terbentuk kista-kista yang dilapisi oleh epitel silindris atau kubis dan pada beberapa tempat membentuk papila-papila ke dalam lumen. Membrana basalis masih utuh. kadang-kadang terjadi penambahan kelenjar kecilkecil sehingga menyerupai adenokarsinoma. Di dalam lumen sering ditemukan deskuamasi sel epitel, sekret yang granuler dan kadang-kadang corpora amylacea (hyaline concretion).
14

Dalam stroma sering ditemukan infiltrasi sel limfosit. Bila unsur fibromuskuler yang bertambah maka tampak jaringan ikat atau jaringan otot dengan kelenjar-kelenjar yang letaknya berjauhan, disebut hiperplasia fibromatosa.

Ketergantungan sejumlah relatif elemen stroma dan kelenjar, maka tipe hiperplasia prostat yang sering ditemukan adalah fibromyoglandular dan fibromyomatosa. Perubahan sekunder yang terjadi adalah infark akibat nodul menekan pembuluh darah.

Etiologi 1. Dihydrotestosteron Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam target cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5-alpha reductase menjadi 5-dihydrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi hormone receptor complex. Kemudian hormone receptor complex ini mengalami transformasi reseptor, menjadi nuclear receptor yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintesa protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat. Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi.

15

2. Imbalans estrogen-testosteron Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat. Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis diperoleh kesimpulan bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Sedangkan dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen. 3. Teori Growth Factor (Faktor pertumbuhan) Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara unsur stroma dan unsur epitel prostat yang berakibat hiperplasia prostat. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor- (TGF-) akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat. 4. Penurunan kematian sel Proses penuaan dapat mengakibatkan blokade proses maturasi pada stem sel, mencegahnya memasuki tahap kematian sel terprogram (apoptosis). Akibat dari proses penuaan pada penelitian hewan nampaknya dimediasi melalui sinergisme estrogen yang menginduksi reseptor androgen, menganggu
16

metabolisme

steroid,

berakibat

meningkatkan kadar DHT dalam prostat sehingga menghambat kematian sel ketika diberikan bersamaan dengan androgen dan menstimulasi produksi kolagen stroma. 5. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis) Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan steady state, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
Teori Dihydrotestosteron Penyebab Efek 5- reductase dan reseptor hiperplasia epitel dan stroma androgen estrogen- oestrogens testosteron hiperplasia stroma epidermal growth factor/ hiperplasia epitel dan stroma fibroblast growth factor transforming growth factor oestrogen waktu hidup sel stroma dan epitelium stem cells proliferasi transit cells

Imbalans testosteron Interaksi stromal epitel

Penurunan kematian sel ( apoptosis) Teori stem cells

Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori reawakening, tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya.

Epidemiologi Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, dimana pada selang waktu tersebut terjadi peningkatan cepat dalam ukuran yang berkelanjutan sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasia. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi.
17

Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50% dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik. Dari beberapa autopsi dalam ukuran prostat dan insiden histologi hiperplasia prostat, mereka melaporkan bahwa prostat tumbuh dengan cepat selama masa remaja sampai ukuran dewasa dalam tiga dekade dan pertumbuhan melambat sampai laki-laki mencapai usianya yang ke 40 dan 50 tahun, mulai memasuki pertumbuhan yang makin lama makin besar. Tidak ada bukti yang meyakinkan mengenai korelasi antara faktor-faktor lain selain usia dalam peningkatan kejadian BPH. Merokok juga diduga sebagai faktor yang berhubungan dengan prostatektomi, namun ras, habitus, riwayat vasektomi, kebiasaan seksual dan penyakit-penyakit lain serta obat-obatan belum ditemukan mempunyai korelasi dengan peningkatan kejadian BPH.

Patofisiologi Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat detrusor. Tonjolan mukosa yang kecil disebut sakula, sedangkan yang besar disebut divertikulum. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Biasanya akan ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi : I. Gejala dan tanda obstruksi Penderita harus menunggu keluarnya kemih pertama (hesitency) terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra. Miksi terputus-putus (intermittency) terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Menetes pada akhir miksi (terminal dribbling) terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli. Pancaran miksi menjadi lemah Rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.

18

II. Gejala dan tanda iritasi Bertambahnya frekuensi miksi (frequency) terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek. Nokturia terjadi karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur. Miksi sulit ditahan (urgency) karena ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter. Nyeri pada waktu miksi (Disuria) karena ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Sedangkan gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukkan berat keluhan klinis. Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut , pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan infravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis. Gambaran Klinis Hiperplasia prostat hampir mengenai semua orang tua tetapi tidak semuanya disertai dengan gejala-gejala klinik. Gejala klinis yang menonjol dan hiperplasia prostat adalah
19

sumbatan saluran kencing bagian bawah. Terjadinya gejala tersebut dapat disebabkan oleh dua komponen, pertama adanya penekanan yang bersifat menetap pada uretra (komponen statik) dimana terjadi peningkatan volume prostat yang pada akhirnya akan menekan uretra pars prostatika dan mengakibatkan terjadinya hambatan aliran kencing. Kedua disebabkan oleh peningkatan tonus kelenjar prostat yang diatur oleh sistem saraf otonom (komponen dinamik) yang akhimya dapat meninggikan tekanan dan resistensi uretra, hal tersebut selanjutnya menyebabkan terjadinya sumbatan aliran kencing. Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan didalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur harus diperhatikan konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba benjolan yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat asimetri dengan bagian yang lebih keras. Dengan colok dubur dapat pula diketahui batu prostat bila teraba krepitasi. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intervensi pada hiperplasia prostat. Derajat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6-8ml/detik, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi infravesikal tidak dapat dibedakan dengan pengukuran pancaran kemih. Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolitiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan penyulit harus dilakukan secara teratur.

20

WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score)


Pertanyaan Keluhan pada bulan terakhir Tidak ada sama sekali 0 0 0 0 0 0 0 0 (tdk ada masalah) <20 % 1 1 1 1 1 1 1 1 Jawaban dan Skor <50%

50%

>50%

Hampir selalu 5 5 5 5 5 5 5 5 (tdk bisa terima)

a. Adakah anda merasa buli-buli tidak kosong setelah bak? b. Berapa kali anda hendak bak lagi di dalam waktu 2 jam setelah bak? c. Berapa kali terjadi bahwa arus kemih berhenti sewaktu bak? d. Berapa kali terjadi anda tidak dapat menahan kemih? e. Berapa kali terjadi arus lemah sekali sewaktu bak? f. Berapa kali terjadi anda mengalami kesulitan memulai bak? g. Berapa kali anda bangun untuk bak di waktu malam? h. Andaikata cara bak seperti anda alami sekarang ini akan seumur hidup tetap seperti ini. Bagaimanakah persaan anda? Jumlah Skor : 0 = baik sekali 1 = baik 2 = kurang baik 3 = kurang 4 = buruk 5 = buruk sekali

2 2 2 2 2 2 2 2

3 3 3 3 3 3 3 3

4 4 4 4 4 4 4 4

Derajat Hiperplasi Prostat menurut PSS Skor 0-7 Skor 8-18 Skor 19-35
ringan sedang berat

Jika pada waktu kencing penderita hampir selalu mengedan, lama kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Adanya batu saluran kemih menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Hematuria bisa juga terjadi karena ruptur dari vena-vena yang berdilatasi pada leher vesika urinaria. Selain itu, batu tersebut bisa menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pyelonefritis. Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui penderita sama sekali tidak dapat kencing sehingga harus dikeluarkan dengan kateter.

21

Pemeriksaan Pencitraan Dengan pemeriksaan radiologik, seperti foto polos perut dan pielografi intravena, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan, misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikulum kandung kemih. Jika dibuat foto setelah miksi, dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung, pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada gambaran sistogram tampak terangkat atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sistogram retrograd. Ultrasonografi dapat dilakukan transabdominal atau transrektal (transrectal ultrasonography, TRUS), selain untuk mengetahui pembesaran prostat, pemeriksaan ultrasonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti divertikulum, tumor, dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal, dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi suprapubik. CT-Scan atau MRI jarang dilakukan. Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila pada anamnesa ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria. Pemeriksaan untuk ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter , atau batu radiolusen di dalam vesika. Selain itu sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan urin dapat memberikan keterangan adanya kelainan lain yang penting yang harus diperhatikan dalam penanganan penderita selanjutnya, seperti adanya diabetes melitus, proteinuria yang dapat memberi petunjuk adanya gangguan fungsi ginjal, lekositouria yang harus dipikirkan adanya infeksi, hematuria mikroskopik yang harus dipikirkan adanya batu dan keganasan. Kadar ureum atau Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin dan elektrolit pada darah dapat memberi gambaran mengenai fungsi ginjal. Selain itu biakan kuman urin dan tes sensitifitas dapat memberi keterangan adanya infeksi dan sekaligus identifikasi kuman dan pemilihan antibiotik yang tepat. Pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai
22

deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bilai PSA 4-10 ng/ml hitunglah Prostate Specific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.

Diagnosis

The Third International Consultation on BPH menganjurkan untuk menganamesa keluhan kencing terhadap setiap pria berumur 50 tahun atau lebih jika ditemukan prostatismus lakukan pemeriksaan dasar standar kemudian jika perlu dilengkapi dengan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan standar meliputi : o Hitung skor gejala, dapat ditentukan dengan menggunakan skor IPSS (International Prostate Symptom Score, IPSS) o Riwayat penyakit lain atau pemakai obat yang memungkinkan gangguan kencing. o Pemeriksaan fisik khususnya colok dubur.

Pemeriksaan Tambahan : o Pemeriksaan uroflowmetri (pengukuran pancaran urin pada saat kencing) o Pemeriksaan TRUS-P (Transrectal Ultrasonography of the prostate) o Pemeriksaan serum PSA (Prostate spesific antigen) o Pemeriksaan USG transabdominal o Pemeriksaan patologi anatomi (diagnosis pasti)

Diagnosis Banding Proses miksi bergantung pada kontraksi detrusor, elastisitas leher kandung kemih dengan tonus ototnya, dan resistensi uretra. Setiap kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut. Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih neurologik), misalnya pada lesi medulla spinalis, neuropati diabetes, bedah radikal yang mengorbankan persarafan di daerah pelvis, penggunaan obat penenang, obat penghambat reseptor ganglion, dan parasimpatolitik. Kekakuan leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi uretra disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas,
23

tumor di leher kandung kemih, batu diuretra, atau striktur uretra. Kelainan tersebut dapat dilihat dengan sistoskopi. Diagnosis banding obstruksi saluran kemih karena hiperplasi prostat Kelemahan detrusor kandung kemih - gangguan neurologik Kelainan medula spinalis Neuropati diabetes melitus Pascabedah radikal pelvis Farmakologik ( obat penenang, penghambat alfa, parasimpatolitik)

Kekakuan leher kandung kemih - fibrosis Resistensi uretra - hiperplasia prostat jinak atau ganas - kelainan yang menyumbat uretra - uretralitiasis - uretritis akut atau kronik

Tata Laksana

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadangkadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja. Namun, diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah. Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi infravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urine setelah miksi, dan (6) mencegah progresifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif.

24

Watchfull waiting Pilihan terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama. Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urine, arau uroflowmetri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain. Medikamentosa Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan hormon testosteron / dihdrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5-reduktase. - Penghambat reseptor adrenergik- Fenoksibenzamin yaitu penghambat alfa yang tidak selektif yang ternyata mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Obat ini tidak disenangi karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, diantaranya adalah hipotensi postural dan kelainan kardiovaskular lain. Ditemukannya obat penghambat adrenergik-1 dapat mengurangi penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada 2 dari fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat penghambat adrenergik-1 adalah : prasozin yang diberikan dua kali sehari, terazosin, afluzosin, dan doksazosin yang diberikan sekali sehari. Obat-obatan golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urine. Akhir-akhir ini telah ditemukan golongan penghambat adrenergik-1A, yaitu tamsulosin yang sangat selektif terhadap otot polos prostat. Dilaporkan bahwa obat ini

25

mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.

- Penghambat 5-reduktase Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron yang dikatalisis oleh enzim 5 - reduktase didalam sel-sel prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun. Dilaporkan bahwa pemberian obat finasterid 5mg sehari yang diberikan sekali setelah enam bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28%; hal ini memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Operasi Pembedahan Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi non invasif lainnya membutuhkan jangka waktu sangat lama untuk melihat hasil terapi. Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi dan miksi yang tidak tuntas. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka, reseksi prostat transuretra (TURP), atau insisi prostat transuretra (TUIP atau BNI). Pembedahan direkomendasikan pada pasien-pasien BPH yang : (1) tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa, (2) mengalami retensi urine, (3) infeksi saluran kemih berulang, (4) hematuria, (5) gagal ginjal, dan (6) timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah.

26

Pembedahan terbuka Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari Millin yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik infravesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika, atau transperineal. Prostatekstomi terbuka adalah tindakan paling invasif, dan paling efisien sebagai terapi BPH. Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikel (Millin). Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (>100 gram). Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi adalah : inkontinensia urine (3%), impotensi (5-10%), ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (3-5%). Dibandingkan TURP dan BNI, penyulit yang terjadi berupa striktur uretra dan ejakulasi retrograde lebih banyak dijumpai pada prostatektomi terbuka. Perbaikan gejala klinis sebanyak 85-100%, dan angka mortalitas sebanyak 2%.

Pembedahan Endourologi TURP saat ini merupakan tindakan yang paling banyak dikerjakan. Operasi ini lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi pada kulit perut, massa mondok lebih cepat, dan memberikan hasil yang tidak banyak berbeda dengan tindakan operasi terbuka. Pembedahan endourologi transuretra dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik TURP (Transurethral Resection of the Prostate) atau dengan memakai energi Laser. Operasi terhadap prostat berupa reseksi (TURP), Insisi (TUIP), atau evaporasi.

- TURP (Transurethral Resection of the Prostate) Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak

27

terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, takanan darah meningkat, dan terdapat bradikardia. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%. Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi diri ini untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Disamping itu operator memasang sistostomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik. Penggunaan cairan non ionik lain selain H2O yaitu glisin dapat mengurangi resiko hiponatremia pada TURP, tetapi harganya cukup mahal. Selain sindroma TURP beberapa penyulit bisa terjadi pada saat operasi, pasca bedah dini, ataupun pasca bedah lanjut

Selama Operasi o Perdarahan o Sindroma TURP o Perforasi

Pasca Bedah Dini o Perdarahan o Infeksi lokal atau sistemik

Pasca Bedah Lanjut o Inkontinensia o Disfungsi ereksi o Ejakulasi Retrograd o Striktur Uretra

Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius, dan pada pasien yang umurnya masih muda hanya diperlukan insisi kelenjar prostat atau TUIP (Transurethral Incision of the Prostate) atau insisi leher buli-buli atau BNI (Bladder Neck Incision). Sebelum melakukan tindakan ini, harus disingkirkan kemungkinkan adanya karsinoma prostat dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi transrektal, atau pengukuran kadar PSA.

28

TURP (Transurethral Resection of the Prostate)

TUIP ( Transurethral Incision of the Prostate )

- Elektrovaporisasi prostat Cara elektrovaporisasi prostat adalah sama dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa mondok di rumah sakit singkat. Namun teknik ini hanya diperutukkan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.

- Laser Prostatektomi Terdapat 4 jenis energi yang dipakai : Nd:YAG, Holmium: YAG, KTP:YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melalui bare fibre, right angle fibre, atau interstitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih tinggi dari 100oC mengalami vaporasasi. Jika dibandingkan dengan pembedahan, pamakaian laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara poliklinis, penyembuhan lebih cepat, dan dengan hasil yang kurang lebih sama. Sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk
29

pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG). Sering banyak menimbukkan disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi, dan peak flow rate lebih rendah dari pada pasca TURP.

Tindakan invasif Minimal Termoterapi Termoterapi kelanjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro pada frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan di dalam uretra. Dengan pemanasan yang melebihi 44oC menyebabkan destruksi jaringan pada zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi. Energi panas yang bersamaan dengan gelombang mikro dipancarkan melalui kateter yang terpasang didalam uretra. Besar dan arah pancaran energi diatur melalui sebuah komputer sehingga dapat melunakkan jaringan prostat yang membuntu uretra. Cara ini direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya kecil.

TUNA (Transurethral Needle Ablation of the Prostate) Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai mencapai 100oC, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan kedalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. Pasien sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urine, dan epididimo-orkitis.

30

Stent Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap atau tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi. Stent yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan logam super alloy, nikel, atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan anestesi umum atau regional. Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior atau mengalami enkrustasi. Sayangnya setelah pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak di daerah penis.

HIFU (High Intensity Focused Ultrasound) Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat berasal dari gelombang ultrasonografi dan transduser piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. Energi dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anestesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-60% dan Qmax rata-rata meningkat 40-50%. Efek lebih lanjut dari tindakan belum diketahui, dan sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sebanyak 10% setiap tahun.

31

TUBD (Transurethral balloon dilation of the prostate) Balon dilator prostat ditempatkan dengan kateter khusus yang dapat melebarkan fossa prostatika dan leher buli-buli. Lebih efektif pada prostat yang ukurannya kecil (<40cm3). Teknik ini jarang digunakan sekarang ini.

Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15, untuk itu dianjurkan untuk melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 keatas atau bila timbul obstruksi.

Derajat berat Hiperplasia Prostat berdasarkan Gambaran Klinis Derajat I II III IV Colok Dubur Penonjolan prostat , batas atas mudah diraba Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai Batas atas prostat tidak dapat diraba Sisa Volume Urin < 50 ml 50-100 ml > 100 ml Retensi urin total

Penderita derajat satu biasanya belum memerlukan tindak bedah diberikan pengobatan konservatif, misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosin, terazosin, dan tamsulosin. Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat

32

sedikitpun. Pemberian obat ini dapat menyebabkan hipotensi. Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama. Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan, biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( Trans Urethral Resection, TUR ). Kadang derajat dua dapat dicoba dengan pengobatan konservatif. Derajat tiga, reseksi endoskopik dapat dikerjakan. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka melalui transvesikal, retropubik atau perineal. Derajat empat, tindakan pertama yang harus dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif dengan TUR atau Pembedahan Terbuka.

Penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat alfa adrenoreseptor. Efek samping obat ini ialah gejala hipotensi, seperti pusing, lemas, palpitasi, dan rasa lemah. Pengobatan konservatif lain ialah dengan pemberian obat antiandrogen yang menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif ini adalah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping obat. Pada tingkat yang lebih rendah dapat diberikan obat anti androgen yang mekanisme kerjanya mencegah hidrolise testosteron menjadi DHT dengan memberikan penghambat 5-a reduktase inhibitors, sehingga jumlah DHT berkurang, contohnya obat tersebut adalah finesterid, Proscar. Obat antiandrogen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat yang mempunyai mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor DHT sehingga DHT tidak dapat membentuk kompleks DHTReseptor.

33

Pengobatan lain yang invasif minimal ialah pemanasan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang pada ujung kateter. Transurethral microwave thermotherapy (TUMT) ini diperoleh hasil perbaikan kira-kira 75% untuk gejala objektif. Transurethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP) digunakan cahaya laser. Uretra di daerah prostat dapat didilatasikan dengan menggunakan balon yang dikembangkan didalamnya (transurethtral balloon dilatation, TUBD), biasanya hanya memberikan perbaikan yang bersifat sementara.

Kontrol Berkala Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu kontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal kontrol tergantung pada tindakan apa yang sudah dijalaninya. Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan (watchfull waiting) dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor IPSS, uroflometri, dan residu urin pasca miksi. Pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5-reduktase harus dikontrol pada minggu ke 12 dan bulan ke 6 untuk menilai respon terhadap terapi. Kemudian setiap tahun untuk menilai perbaikan gejala miksi. Pasien yang menjalani pengobatan penghambat 5adrenergik harus dinilai respon terhadap pengobatan setelah 6 minggu dengan melakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri, dan residu urine paska miksi. Kalau terjadi perbaikan gejala tanpa menunjukkan penyulit yang berarti, pengobatan dapat diteruskan. Selanjutnya kontrol dilakukan setelah 6 bulan dan kemudian setiap tahun. Pasien setelah menerima pengobatan secara medikamentosa dan tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan perlu dipikirkan tindakan pembedahan atau terapi intervensi yang lain. Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6 minggu pasaca operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal harus menjalani kontrol secara teratur dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan setiap tahun.
34

Pada pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal, selain dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan pemeriksaan kultur urine.

35

Daftar Pustaka

1. Purnomo B Basuki, Dasar-dasar Urologi, Ed 2, 2007, Sagung Seto : Jakarta 2. Sjamsuhidayat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed 3, 2001, EGC : Jakarta 3. Reksoprodjo Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, 1995, FKUI : Jakarta 4. Mansjoer Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid Kedua, Ed 3. 2007, FKUI : Jakarta.

36

Anda mungkin juga menyukai