Anda di halaman 1dari 76

LAPORAN PBL

Makassar, 19 November 2012

BLOK RESPIRASI MODUL MEROKOK

KELOMPOK VI A

MUHAMMAD UNGGUL RHOBBINGFIRLY FADIAH FATHANIAH MUSTAMIN RESKIYANI MUHAMMAD ISYA ANSYARI ANDI DWI WULANDARI SUKMA PRAJA ARYANI SUSDIAMAN NURHASANAH WAHAB RESTU ZULFIANI NOOR

110 211 0052 110 211 0060 110 211 0085 110 211 0103 110 211 0113 110 211 0121 110 211 0127 110 211 0133 110 211 0144

TUTOR: dr. Irna Diana Kartika

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2012

I.

SKENARIO Seorang laki-laki 56 tahun datang ke rumah sakit karena batuk hebat dan sesak napas. Ia memiliki sesak berulang sejak tiga tahun lalu dan semakin memburuk terutama selama tiga bulan terakhir. Hasil pemeriksaan tanda vital: suhu 37C, denyut nadi adalah 104 x/menit, dan pernapasan 34 x/menit yang tampak terengah-engah pada pemeriksaan dada. Dokter melakukan tes spirometry dan hasilnya PEF 50% dari nilai prediksi. Tes oksimetri 84%. Dia adalah seorang perokok berat yang mulai merokok sejak ia berusia 15 tahun. Dia biasanya merokok dua bungkus rokok per hari, tapi sejak gejala penyakitnya makin berat ia hanya merokok satu bungkus per hari.

II.

KLARIFIKASI ISTILAH SULIT a. Tes spirometry, adalah pengukuran kapasitas pernapasan pada paru, seperti pada uji fungsi paru. (Kamus Kedokteran Dorland edisi 31) b. PEF (peak expiratory flow) adalah pengukuran jumlah aliran udara maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa dalam waktu tertentu yang dilakukan dengan menggunakan peak flow meter atau spirometer. c. Tes oksimetri, adalah penentuan saturasi oksigen dari darah arteri menggunakan oksimeter. (Kamus Kedokteran Dorland edisi 31)

III.

KATA/ KALIMAT KUNCI d. Seorang laki-laki 56 tahun e. Batuk hebat dan sesak napas. f. Sesak berulang sejak tiga tahun lalu dan semakin memburuk selama tiga bulan terakhir. g. Hasil pemeriksaan tanda vital: suhu 37C, denyut nadi adalah 104 x/menit, dan pernapasan 34 x/menit yang tampak terengah-engah pada pemeriksaan dada.

h. PEF 50%. i. Tes oksimetri 84%. j. Mulai merokok sejak ia berusia 15 tahun. k. Merokok dua bungkus rokok per hari, tapi sejak gejala penyakitnya makin berat ia hanya merokok satu bungkus per hari.

IV.

PERTANYAAN 1. Bagaimana gambaran pada perokok? 2. Apa saja zat-zat yang terkandung dalam rokok dan efek yang ditimbulkannya? 3. Jelaskan mekanisme tejadinya gejala pada skenario serta keterkaitannya! 4. Jelaskan tentang penyakit sistem respirasi yang memiliki kaitan dengan rokok! 5. Bagaimana perbedaan dan persamaan perokok aktif dan perokok pasif? 6. Bagaimana edukasi berhenti merokok pada perokok?

GAMBARAN PEROKOK

Seseorang yang merokok atau bukan perokok tetapi menghirup udara tercampur dengan asap rokok lingkungan, maka asap rokok tadi akan masuk saluran napas terdistribusi secara merata bersama udara napas ke seluruh cabang saluran napas sampai ke alveolus. Beberapa komponen gas berdifusi lewat membran alveoli-kapiler dan bahan-bahan partikel di absorbsi juga lewat membran tersebut, kemudian masuk ke peredaran darah. Adanya aktivitas merokok berulang atau terjadinya paparan asap rokok kronis akan memberikan dampak berupa efek patofisiologis berikut: 1) Perubahan pada saluran napas sentral Yang timbul adalah perubahan-perubahan histologis pada sel epitel bronkus: silia hilang (berkurang), hiperplasi kelenjar mukus, meningkatnya jumlah sel goblet. Selain itu terjadi pseudostratified cilliated epithelium berubah menjadi karsinoma bronkogenik invasif. 2) Perubahan pada saluran napas tepi Pada perokok aktif kronis yang terjadi obstruksi kronik saluran napas, diketahui terjadi inflamasi, atrofi, metaplasia sel goblet, metaplasia skuamosa dan sumbatan lendir bronkiolus terminalis dan respiratorius. 3) Perubahan pada alveoli dan kapiler Pada perokok terjadi kerusakan jaringan peribronkial alveoli serta pengurangan jumlah kapiler perialveolar dan terdapat penebalan intima dan tunika media pada pembuluh darah. 4) Perubahan fungsi imunologis Pada perokok ditemukan perubahan fungsi imunologi dan inflamasi, seperti jumlah leukosit darah tepi meningkat, dan beberapa kasus peningkatan IgE

ZAT-ZAT YANG BERBAHAYA DALAM ROKOK SERTA EFEK YANG DITIMBULKANNYA A. Zat Berbahaya dalam Rokok 1. Nikotin Zat ini mengandung candu bisa menyebabkan seseorang ketagihan untuk terus menghisap rokok. Pengaruh bagi tubuh manusia :

menyebabkan kecanduan / ketergantungan merusak jaringan otak menyebabkan darah cepat membeku mengeraskan dinding arteri

2. Tar Bahan dasar pembuatan aspal yang dapat menempel pada paru-paru dan bisa menimbulkan iritasi bahkan kanker. Pengaruh bagi tubuh manusia :

membunuh sel dalam saluran darah Meningkatkan produksi lendir diparu-paru Menyebabkan kanker paru-paru

3. Karbon Monoksida Gas yang bisa menimbulkan penyakit jantung karena gas ini bisa mengikat oksigen dalam tubuh. Pengaruh bagi tubuh manusia :

mengikat hemoglobin, sehingga tubuh kekurangan oksigen menghalangi transportasi dalam darah

4. Zat Karsinogen Pengaruh bagi tubuh manusia :

Memicu pertumbuhan sel kanker dalam tubuh

5. Zat Iritan

Mengotori saluran udara dan kantung udara dalam paru-paru Menyebabkan batuk Zat-zat asing berbahaya tersebut adalah zat yang terkandung dalam

dalam asap rokok, dan ada 4000 zat kimia yang terdapat dalam sebatang rokok, 40 diantaranya tergolong zat yang berbahaya misalnya : hidrogen sianida (HCN) , arsen, amonia, polonium, dan karbon monoksida (CO).

B. Efek yang dapat ditimbulkan oleh rokok Rokok masuk ke sistem pernapasan dan menyebabkan iritasi pada lapisan mukosa di paru-paru. Hal ini karena asap rokok terdiri dari campuran bahan kimia beracun seperti karbon dioksida, karbon monoksida dan nikotin yang sangat dapat membahayakan system pernapasan Anda. Mekanisme pertahanan paru-paru langsung mencoba untuk melemparkan asap beracun ini keluar dari tubuh melalui batuk. Jika asap terus dihisap, maka akan melumpuhkan lapisan pelindung dan crumples paru-paru dan sistem kekebalan tubuh Anda. selanjutnya, batuk hilang dan gas-gas beracun yang tertinggal terus berjalan melalui darah ke sistem tubuh lainnya. Setelah nikotin memasuki hati, ia mulai bertindak seperti obat dan merangsang sekresi glukosa darah. Pada saat yang sama, ia bertindak pada otak menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Zat tersebut tetap dalam darah untuk beberapa waktu sebelum diekskresikan oleh ginjal dan hati. Perlu dicatat bahwa rokok tidak hanya mempengaruhi paru-paru, tetapi juga sebagian besar organ tubuh vital tubuh termasuk otak dan jantung. Hampir tidak ada sistem dalam tubuh manusia yang tidak dipengaruhi oleh merokok.

1. Penyakit Kardiovaskular Merokok adalah salah satu faktor risiko utama untuk hipertensi dan serangan jantung fatal. Rokok menimbulkan aterosklerosis atau terjadi pengerasan pada pembuluh darah. Kondisi ini merupakan penumpukan zat lemak di arteri, lemak dan plak memblok aliran darah dan membuat penyempitan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan penyakit jantung. Jantung harus bekerja lebih keras dan tekanan ekstra dapat menyebabkan angina atau nyeri dada. Jika satu arteri atau lebih menjadi benar-benar terblokir, serangan jantung bisa terjadi. Semakin banyak rokok yang dihisap dan semakin lama seseorang merokok, semakin besar kesempatannya mengembangkan penyakit jantung atau menderita serangan jantung atau stroke. 2. Infertilitas Merokok mempengaruhi kesehatan perempuan dengan infertilitas menyebabkan, keguguran, kehamilan rumit dan menopause

dini. Selama kehamilan dan menyusui dapat memiliki efek berbahaya pada bayi pada anak usia dini dan juga saat mereka tumbuh dewasa. Selain itu janin dapat lahir dengan berat badan rendah. Hal ini diakibatkan menyempit/ kakunya pembuluh darah yang membawa suplai nutrisi ke janin. Merokok juga diketahui menyebabkan kelainan sperma yang menyebabkan infertilitas pada pria. Rokok merupakan faktor resiko utama untuk penyakit pembuluh darah perifer, yang mempersempit pembuluh darah yang membawa darah ke seluruh bagian tubuh. Pembuluh darah ke penis kemungkinan juga akan terpengaruh karena merupakan pembuluh darah yang kecil dan dapat mengakibatkan disfungsi ereksi/impoten. 3. Gangguan Paru-Paru Racun dalam asap dapat menyebabkan gangguan paru-paru seperti emfisema, penyakit paru obstruktif kronik, bronkitis, dan pengurangan yang signifikan dalam fungsi paru-paru. Hal ini karena kantung alveolar di bronkiolus yang fungsional oksigen dan pertukaran

karbon dioksida yang rusak. Batuk perokok merupakan gejala umum yang berkembang sebagai sistem pertahanan mencoba untuk mengusir bahan kimia terakumulasi dalam saluran udara dan paru-paru. Secara bertahap, sistem pernapasan menjadi lebih rentan terhadap infeksi karena menurunkan kekebalan tubuh. 4. Efek lain Nikotin mempengaruhi tulang, sendi dan otot tubuh. Sebuah batang rokok mengandung sekitar 9 mg nikotin, sebagian besar yang dibakar dan 1 mg memasuki tubuh. Sedikit nikotin dapat mengakibatkan kerusakan pada tubuh, seperti menyebabkan

osteopenia, osteoporosis. Merokok dapat menyebabkan hilangnya rasa, bau mulut, karies gigi, gigi bernoda, luka mulut dan gusi surut. Mulut kering dan hilangnya nafsu makan adalah beberapa tanda-tanda kecanduan merokok.

MEKANISME GEJALA PADA SKENARIO SERTA KETERKAITANNYA A. BATUK Mekanisme batuk dibagi menjadi 3 fase: a) Fase 1 (Inspirasi), paru-paru memasukan kurang lebih 2,5 liter udara, oesofagus dan pita suara menutup, sehingga udara terjerat dalam paruparu b) Fase 2 (Kompresi), otot perut berkontraksi, diafragma naik dan menekan paru-paru, diikuti pula dengan kontraksi intercosta internus. yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan pada paru-paru meningkat hingga 100mm/hg. c) Fase 3 (Ekspirasi), Spontan oesofagus dan pita suara terbuka dan udara meledak keluar dari paru-paru. Tidak kalah pentingnya adalah saat udara keluar dari paru-paru dengan kecepatan yang relatif tinggi, trachea dan bronkus yg tidak bercartilago akan terinvaginasi, sehingga udara dapat melalui celah bronkus and trachea. hal ini membantu untuk membersihkan saluran napas dari kotoran, kuman, virus, bakteri, and bahan berbahaya lainnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa batuk bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu reaksi fisiologis tubuh untuk membersihkan saluran napas, sama halnya dengan bersin. (Sumber: Buku fisiologi kedokteran, Guyton) B. SESAK NAPAS Dispnea atau yang biasa dikenal dengan sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan biasanya merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonal. Orang yang mengalami sesak napas sering mengeluh napasnya terasa pendek dan dangkal. Gejala objektif sesak napas termasuk juga penggunaan otot otot pernpasan tambahan seperti sternocleidomastoidseus, scalenus, trapezius,

dan pectoralis mayor, adanya pernapasan cuping hidung, tachypnea dan hiperventilasi. Tachypnea adalah frekuensi pernapasan yang cepat, yaitu lebih dari 20 kali permenit yang dapat muncul dengan atau tanpa dispnea. Hiperventilasi adalah ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahan kan pengeluaran CO2 normal, hal ini dapat diidentifikasi kan dengan memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangan pa CO2 yaitu lebih rendah dari angka normal yaitu 40mmHg. Sumber penyebab dispnea termasuk : a) Reseptor reseptor mekanik pada otot otot pernapasan, paru, dinding dada dalam teoti tegangan panjang, elemen elemen sensoris, gelendong otot pada khususnya berperan penting dalam membandingkan tegangan otot dengan drjat elastisitas nya. Dispnea dapat terjadi jika tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu panjang otot. b) Kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 c) Peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkat nya rasa sesak napas. d) Ketidak seimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi Dispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika ruang fisiologi meningkat maka akan dapat menyebab kan gangguan pada pertukaran gas antara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi makin meningkat sehingga terjadi sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini hanya berjumlah sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang dalam keadaan patologis pada saluran pernapasn maka ruang mati akan meningkat. Begitu juga jika terjadi peningkatan tahanan jalan napas maka pertukaran gas juga akan terganggu dan juga dapat menyebabkan dispnea. Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami penurunan terhadap compliance paru, semakin rendah kemampuan terhadap

compliance paru maka makinbesar gradien tekanan transmural yang harusdibentuk selama inspirasi untuk menghasilkan pengembangan paru yang normal. Penyebab menurunnya compliance paru bisa bermacam salah satu nya adalah digantinya jaringan paru dengan jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi asbston atau iritan yang sama. C. TAKIKARDI Takikardi atau denyut jantung yang cepat biasanya didefinisikam pada orang dewasa sebagai denyut jantung yang lebih dari 100 kali per menit. Penyebab umum takikardi meliputi kenaikan suhu tubuh, ransangan jjantung oleh saraf simpatis, atau keadaan toksik pada jantung. Frekuensi denyut jantung meningkat kira-kira 10 denyut permenit untuk setiap kenaikan suhu tubuh sebesar satu derajat farenheit (18 denyut per derajat celcius) sampai suhu tubuh kira-kira mencapai 105F (40,5C); di atas suhu ini, frekuensi denyut jantung dapat menurun karna melemahnya denyut jantung cesara progresif akibat demam. Demam menyebabkan takikardia, karna kenaikan suhu akan meningkatkan kecepatan metabolisme nodus sinus, yang selanjutnya secara lansung meningkatkan akssitabilitas dan frekuensi irama jantung. Berbagai factor yang dapat menyebabkan system saraf simpatis meransang jantung. Sebagai contoh, bila seorang pasien kehilangan darah dan berada dalam keadaan syok atau semisyok, ransangan reflex simpatis pada jantung seringkali akan meningkatkan frekuensi denyut jantung hingga 150 sampai 180 kali permenit. Kelemahan ringan pada miokardium biasanya akan meningkatkan frekuensi denyut jantung, karna jantung yang lemah tidak dapat memompa darah ke system arteri dalam jumlah normal, dan keadaan ini menimbulkan reflex simpatis untuk meningkatkan frekuensi denyut jantung.

D. TAKIPNEA Takipnea adalah frekuensi pernapasan yang cepat, lebih cepat dari pernapasan normal (12 hingga 20 kali per menit) yang dapat muncul dengan atau tanpa dispnea. Frekuensi pernapasan kadang-kadang dapt meningkat sampai 40-50 kali per menit, keadaan ini dapat menimbulkan volume pernapasan semenit lebih dari 200 literr/menit, atau lebih dari 30 kali normal. Kebanyakan orang tidak dapat menahan lebih dari setengah sampai duapertiga jumlah ini lebih dari 1 menit. E. HUBUNGAN ANTAR GEJALA: Adanya benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan menyebabkan, teransangnya sel goblet untuk menghasilkan mucus. Dan ketika mucus ini hendak dikeluarkan maka silia membawanya ke daerah yang memiliki reseptor batuk, yang kemudian dikeluarkan melalui batuk. Namun apabila mucus ini tidak dapat di bawa oleh silia ke daerah yang memiliki reseptor batuk, maka akan terjadi penimbunan, sehingga menyebabkan sesak. Serangan faktor pencetus (rokok) menyebabkan bronkhiale hiperaktif sehingga terjadi bronkhospasme atau penyempitan jalan nafas. Mekanisme pertahanan tubuh kemudian berupaya meningkatkan kerja pernafasan, terjadi peningkatan kebutuhan akan O2 dengan manifestsi

takikardi,takhipnea dan gelisah.

PENYAKIT SISTEM RESPIRASI YANG MEMILIKI KAITAN DENGAN ROKOK A. ASMA BRONKHIAL 1) Defenisi Menurut National Heart, Lung and Blood Institute, asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas di mana banyak sel berperan terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Asma ditandai dengan bronkospasme episodik reversibel yang terjadi akibat respon bronkokontriksi berlebihan terhadap berbagai rangsangan. Asma bronkialis dianggap sebagai peradangan kronis jalan napas. Secara klinis asma bermanifestasi sebagai serangan dipsneu, batuk, dan mengi (suara bersiul lembut sewaktu ekspirasi). 2) Etiologi Karena asma adalah penyakit heterogen yang dipicu oleh beragam sebab. Asma diklasifikasikan menjadi dua kategori utama berdasarkan ada tidaknya penyakit imun penyebab, yaitu: Asma ekstrinsik, episodik asma biasanya disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipicu oleh pajanan suatu antigen ekstrinsik. Tiga jenis asma ekstrinsik yang dikenal, yaitu asma atopik, asma pekerjaan, dan aspergilosis bronkopulmonal alergik. Asma atopik merupakan jenis asma yang tersering. Asma intrinsik, yang mekanisme pemicunya bersifat nonimun. Pada bentuk ini , sejumlah rangsangan yang kecil atau tidak berefek pada orang

normal dapat menyebabkan bronkospasme pada pasien. Faktor tersebut mencakup aspirin, infeksi paru (terutama oleh virus), dingin, stres psikologis, olahraga, dan inhalasi iritan seperti ozon dan sulfur dioksida. Biasanya kadar IgE serum normal. 3) Patofisiologi a) Asma Ekstrinsik (alergik) Terjadi akibat hipersensitivitas tipe I, asma ekstrinsik didorong oleh sensitisasi sel CD4+ tipe TH2, yang mengeluarkan sitokin terutama interleukin 4, 5, dan 13. Kemudian meningkatkan sintesis IgE, pertumbuhan sel mast, serta pertumbuhan dan pengaktifan eosinofil. Induksi respon TH2 merupakan hal mendasar pada patogenesis asma alergik, dan IgE, sel mast, serta eosinofil adalah pemain kunci yang memerantainya. Serangan asma terbagi menjadi dua fase, yaitu fase awal, dimulai 30 hingga 60 menit setelah inhalasi antigen dan kemudian mereda, diikuti 4 hingga 8 jam kemudian oleh fase lanjut yang lebih berkepanjangan. Pengaktifan awal sel mast terjadi di permukaan mukosa, mediator yang kemudian dilepaskan membuka taut antarsel mukosa sehingga antigen dapat lebih banyak masuk ke sel mast mukosa. Selain itu stimulasi langsung nervus vagus (parasimpatis) subepitel memicu refleks bronkokonstriksi.

Pengaktifan sel mast menyebabkan pembebasan beragam mediator primer dan sekunder yang berfungsi baik pada fase awal maupun pada fase lanjut asma. Mediator fase awal mencakup: Leukotrien C4, D4, dan E4; mediator sangat kuat menyebabkan bronkokonstriksi berkepanjangan,

peningkatan permeabilitas vaskular, dan peningkatan sekresi musin. Prostaglandin D2, E2, dan F2, memicu bronkokontriksi dan vasodilatasi. Histamin, menyebabkan bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskular Platelet activating factor, menyebabkan agregasi trombosit dan pembebasan histamin dari granula Triptase sel mast: menginaktifkan peptida yang

menyebabkan bronkodilatasi normal Reaksi awal ini akan dilanjutkan dengan fase lanjut (selular) yang didominasi oleh leukosit rekrutmen: basofil, neutrofil, dan eosinofil. Mediator sel mast yang berperan dalam fase lanjut ini adalah: Faktor kemotaktik eosinofilik dan neurofilik setra

leukotrien B4 merekrut dan mengaktifkan eosinofil dan neutrofil

IL-4 dan IL-5, memperkuat respon Th2 sel T CD4+ dengan meningkatkan sintesis IgE serta faktor kemotaktis dan proliferasi eosinofil

Platelet activating factor, kemotaktik kuat bagi eosinofil bila terdapat IL-6

Faktor nekrosis tumor: meningkatkan molekul perekat (adhesion molecules) di endotel vaskular serta di sel radang

Kedatangan leukosit di tempat degranulasi sel mast akan menyebabkan keluarnya mediator yang akan aktifkan kembali sel mast dan menyebabkan kerusakan pada epitel. Sel epitel sendiri merupakan sumber mediator, seperti endotelin dan nitrat oksida, yang masing-masing dapat menyebabkan kontraksi dan relaksasi otot polos. Penumpukan eosinofil ditunjang oleh beberapa faktor kemotaktik sel mast, dan eotaksin yang diproduksi oleh eptel bronkus aktif, makrofag, dan otot polos jalan napas. b) Asma Intrinsik Mekanisme peradangan dan hiperresponsivitas bronkus

merupakan mekanisme yang terjadi pada pasiien asma intrinsik (nonatopik). Yang diperkirakan berperan pada kasus ini adalah infeksi oleh virus dan polutan inhalan, seperti sulfur dioksida, ozon, dan nitrogen dioksida. Zat ini meningkatkan hiperreaktivitas saluran napas. Pada penelitian dotemukan bahwa efek humoral dan selular

pada asma intrinsik bertumpang tindih dengan efek pada asma ekstrinsik. Misalnya, pada infeksi virus, dipostulasikan bahwa respiratory syncytial virus mendorong sekresi profil sitokin dominan TH2 dari sel T spesifik-antigen sehingga mendorong infiltrasi eosinofil. Selain itu, pada saat terjadi infeksi, epitel bronkus sendiri banyak mengandung sitokin proinflamasi, dan sebagian berperan dalam pematangan dan kemotaksis eosinofil. Oleh karena itu eosinofil juga memegang peranan kunci pada asma tipe ini. begitu pula asma yang dipicu oleh aspirin, diduga terutama diperantarai oleh leukotrien terutama leukotrien C4. Namun mekanisme disini belum diketahui. Secara singkat, pada asma terjadi mekanisme sebagai berikut: Bronkokontriksi Pada asma eksaserbasi bronkospasme akut yang menyebabkan penyempitan saluran napas sebagai respon terhadap berbagai stimuli terhadap alergen atau iritan. Bronkokontriksi akut akibat alergen terjadi lewat igE-dependent release of mediator dari sel mast. Juga mekanisme non igE dalam pelepasan mediator. Edema saluran napas Jika inflamasi semakin progresif ada faktor-faktor lain yang menghambat aliran udara antara lain: edema, hipersekresi mukus, mukus plug, hipertropi dan hiperplasi otot polos saaluran napas. Hiperesponsif saluran napas

Mekanisme hiperesponsif saluran napas bersifat multipel termasuk inflamasi, disfungsi neuroregulasi, dan perubahan struktural Airway remodeling Airway remodeling menimbulkan perubahan struktural yang meningkatkan hambatan aliran udara saluran napas dan

hiperesponsif saluran napas dan menyebabkan pasien kurang respons terhadap pengobatan. 4) Diagnosis Didasarkan secara klinis berdasarkan gejala khas dan dipastikan dengan bukti objektif hambatan aliran udara yang bervariasi. Riwayat penyakit Mengi, dada rasa penuh, dan sesak napas merupakan gejalaa kardinal asma. Karakteristik penyakit asma adalah bervariasi seiring waktu (misalnya asma noktural yang terjadi pada jam 4-6 pagi). Kadang asma hanya muncul dengan keluhan batuk kronis (batuk menetap dan timbul berulang). Biasanya batuk timbul akibat paparan dengan zat tertentu, aktivitas, gangguan emosi, atau infeksi virus. Batuk yang memberat pada waktu malam adalah karakteristik asma. Adanya riwayat faktor atopi keluarga membantu diagnosis asma. Pemeriksaan fisik Hasil temuan pemfis sebagai akibat dari: efek langsung penyempitan saluran napas difus dan hipersekresi mukus, efek tidak langsung

sebagai akibat dari peningkatan kerja napas,, peningkatan kebutuhan metabolik dan rangsangan saraf simpatik difus. Takipneu dan takikardi, adalah tanda umum yang dijumpai pada asma akut. Pernapasan antara 25-28 x/menit (dapat juga mencapai >30x/menit) dan rata-rata detak jantung

>100x/menit (dapat juga >120x/menit). Wheezing difus adalah khas untuk asma tetapi keberadaan atau in tensitasnya tidak dapat mempredik berat ringannya asma. Ekspirasi memanjang Dada hiperinflasi, akibat hambatan aliran udara dan air trapping. Penggunaan otot tambahan, pulsus paradoksus dan banyak keringat adalah tanda obstruksi saluran napas berat. Pemeriksaan faal paru Untuk menilai keparahan penyakit dan menggunakan pemeriksaan spirometri untuk menilai FEV dan dengan alat peak flow meter untuk mengukur PEF. Laboratorium Untuk melihat kadar eosinofil. Pada penderita asma alergi, kadar eosinofilnya 5-15% dari leukosit total. Selain itu mengukur kadar IgE. Radiologi

Sebagian besar menunjukkan normal atau hiperinflasi, namun gambaran ini terkadang dianggap tidak begitu penting. 5) penatalaksanaan Obat untuk asma dapat digolongkan menjadi pengendali (controller) yang digunakan sehari-hari untuk membuat asma dalam keadaan terkontrol terutama melalui efek inflamasi, dan pelega (reliever) yang digunakan bila diperlukan untuk menghilangkan efek bronkokontriksi dan gejalanya. Obat-obat asma dapat diberikan lewat beberapa cara seperti oral, inhalasi, atau injeksi. Keuntungan utama obat perinhalasi adalah langsung ke saluran napas, menghasilkan konsentrasi lokal tinggi dengan resiko efek sistemik kurang. Controller Kortikosteroid (inhalasi,sistemik) Reliever Short acting b2 agonist (SABA):

inhalasi, oral Leucotriene modifier Long acting b2 agonist Kortikosteroid sistemik (LABA): Antikolinergik: oxitropium ipratropium br,

inhalasi, oral

Chomolin: sodium cromoglycate dan Teofilin nedocromil sodiem Teofilin Anti IgE Antikoligernik: tiotropium

B. KANKER PARU 1) Defenisi Kanker paru adalah kanker yang berasal dan terjadi pada satu atau kedua paru. Umumnya terjadi pada salah satu paru kemudian menyebar ke kelenjar limpa ke jaringan paru yang lain misalnya pleura ataupun paru yang lain. 2) Epidemiologi Kanker paru ditemukan banyak di negara berkembang dengan insiden yang terus meningkat antara lain karena tingkat merokok yang tinggi. Sebagian besar kanker paru menyerang pria diduga karena kebiasaan merokok yang lebih tinggi pada pria. Selain itu dapat pula mengenai anakanak ataupun wanita yang tergolong perokok pasif. 3) Jenis jenis tumor paru a) Kanker paru jenis bukan sel kecil (Non Small Cell Lung Cancer/ NSCLC) i. Adeno carcinoma, berasal dari secretory portion paru Khas dengan bentuk formasi grandular, dan cenderung ke arah pembentukan konfigurasi papilari. Biasanya membentuk musin, sering tumbuh dari bekas kerusakan jaringan paru. Dengan penanda tumor CEA, karsinoma ini dapat dibedakan dari mesotelioma. ii. Squamous cell carcinoma, berasal dari saluran napas besar Berciri khas proses keratinisasi dan pembentukan bridge intraselular. iii. Bronchoalveolar carcinoma, berasal dari air sacs atau alveoli

Meliputi permukaan alveolar tanpa menginvasi/ merusak jaringan paru. b) Kanker paru jenis sel kecil (Small Cell Lung Cancer/ SCLC), berasal dari hormonal sel dalam paru.

Gambaran histologisnya yang khas adalah didominasi sel-sel kecil yang hampir semuanya diisi oleh mukus dengan sebaran kromatin yang sedikit sekali tanpa nukleoli. Disebut juga oat cell carcinoma karena bentuknya mirip dengan bentuk biji gandum. Sel kecil ini cenderung berkumpul di sekeliling pembuluh darah halus menyerupai pseudoroset. Sel-sel yang bermitosis banyak ditemukan begitu pula gambaran nekrosis. DNA yang terlepas menyebabkan warna gelap sekitar pembuluh darah. 4) Etiologi Penyebab pasti dari kanker paru belum diketahui, tetapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama, disamping faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik dan lain-lain. Terdapat kaitan antara kasus merokok dengan insiden terjadinya kanker paru. Efek rokok tidak hanya menyebabkan kanker paru, tetapi juga dapat menimbulkan kanker pada organ lain seperti mulut, laring, dan esofagus. Diperkirakan terdapat metabolit dalam asap rokok yang bersifat karsinogen terhadap organ tubuh tersebut. Zat-zat yang bersifat karsinogen (C), kokarsinogenik (CC), tumor promoter (TP), dan mutagen (M). Etiologi lain dari kanker paru yang pernah dilaporkan adalah: Yang berhubungan dengan paparan zat karsinogen, seperti: Asbestos, sering menimbulkan mesotelioma Radiasi ion pada pekerja tambang uranium Radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, vinil klorida

Polusi udara Pasien kanker paru lebih banyak di daerah urban yang banyak polusi udaranya dibandingkan yang tinggal di daerah rural.

Genetik Terdapat perubahan/ mutasi beberapa gen yang berperan dalam

kanker paru, yakni: proto oncogen, tumor supressor gene, gene encoding enzyme Teori onkogenesis Terjadinya kanker paru di dasari dari perubahan tampilnya gen supresor tumor dalam genom (onkogen). Adanya inisiator mengubah gen supresor tumor dengan cara menghilangkan (delesi) atau penyusupan (insersi) sebagian sususan pasangan basanya, tampilnya gen erbB2 berperan dalam anti apoptosis (mekanisme sel untuk mati secara alamiah/ programmed cell death). Perubahan tampilan gen kasus ini menyebabkan sel sasaran dalam hal ini sel paru berubah menjadi sel kanker, dengan sifat pertumbuhan yang otonom. Rokok selain sebagai inisiator juga merupakan promotor dan progresor, dan rokok diketahui sangat berkaitan (terbesar) dengan terjadinya kanker paru. Dengan demikian kanker merupakan penyakit genetik yang pada permulaan terbatas pada sel sasaran kemudian menjadi agresif pada jaringan sekitarnya bahkan mengenai organ lain. Diet Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya resiko terkena kanker paru.

5) Patogenesis tumor Pada dasarnya, jumlah produksi sel baru dengan jumlah sel yang mati dalam tubuh mahluk hidup dipertahankan dengan baik. Berbagai jenis sel matang dalam tubuh memiliki masa tertentu. Kadang, pertumbuhan sel

tidak dapat dikontrol, sehingga sel tumbuh membentuk klon yang berkembang dan akhirnya menimbulkan tumor atau neoplasma. Tumor sering terjadi pada orang dengan supresi sistem imun dibanding orang normal. Tumor terjadi menjadi melalui proses transformasi, bila sel mengalami perubahan genetik dan mendapatkan kemampuan untuk melepaskan diri dari mekanisme regulator seperti: Sel tunggal menunjukkan perubahan sifat perkembangan di jaringan Proliferasi sel yang berubah membentuk masa sel tumor lokal atau jinak Sel menjadi progresif dan invasif menyebar ke lamina basal di bawahnya. Tumor sekarang disebut maligna (ganas) Tumor ganas menunjukkan metastasis dengan penglepasan gerombol sel tumor kecil dari tumor dan dibawa oleh darah dan limfe ke tempat lain di tubuh Imunitas tumor adalah proteksi sistem imun terhadap adanya tumor. Respon imun tersebut hanya terjadi pada subset tumor yang

mengekspresikan imunogenik. Beberapa antigen tumor seperti Tumor Spesific Antigen (TSA), Tumor Assosiated Antigen( (TAA) Respon imun terhadap tumor a) Imunitas humoral Tubuh membentuk antibodi terhadap antigen tumor. Antibodi tersebut dapat menghancurkan sel tumor secara langsung atau dengan bantuan komplemen atau melalui sel efektor ADCC. Yang akhir memiliki reseptor Fc misalnya sel NK dan makrofag (opsonisasi) atau dengan jalan mencegah adhesi sel tumor. b) Imunitas selular

Sistem imun dapat menghancurkan sel tumor tanpa sensitasi sebelumnya. Limfosit matang akan mengenal TAA dalam pejamu. i. CTL (sitolitik) Banyak antigen unik yang dapat menhancurkan tumor. CTL mengenal TSA atau MHC-I ii. Sel NK (Natural Killer) Adalah limfosit sitotoksik yang mengenal sel sasaran yang tidak antigen spesifik dan juga tidak MHC dependen. Diduga bahwa fungsi terpenting sel NK adalah antitumor. Sel NK mengekspresikan FcR yang dapat mengikat sel tumor yang dilapisi antibodi dan dapat membunuh sel sasaran melalui ADCC dan penglepasan protease, perforin, dan granzim. iii. Makrofag Makrofag memiliki enzim dengan fungsi sitotoksik dan melepas mediator oksidatif seperti superoksid dan oksida nitrit. Makrofag juga melepas TNF- yang mengawali apoptosis. Diduga makrofag mengenal sel tumor melalui IgG-R yang mengikat antigen tumor dan mempresentasikan ke sel CD4+. Jadi makrofag berfungsi sebagai inisiator dan efektor imun terhadap tumor Tumor dapat menghindari sistem imun dengan berbagai mekanisme sehingga sel tumor tidak dapat dipresentasikan dan diproses oleh karena tidak memiliki molekul B7 (CD80) dan CD86 sebagai kostimulator. Sel tumor tidak mengekspresikan molekul untuk mengaktifkan sel T terutama MHC-II atau molekul adhesi ICAM-I atau LFA-3. Banyak sel tumor hanya mengekspresikan sedikit MHC-I yang menimbulkan resistensi terhadap sel Tc. Tumor lain mengekspresikan Fasl yang menginduksi

apoptosis limfosit yang menginfiltrasi jaringan dengan tumor. Tumor sendiri dapat melepas berbagai faktor imunosupresif seperti TGF-yang merupakan sitokin imunosupresif poten. 6) Gejala kanker paru Fase awal, gejala klinis tidak tampak, bila menampakkan gejala, berarti pasien dalam keadaan stadium lanjut. Gejala dapat bersifat: a) Lokal Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis Hemoptisis Mengi karena ada obstruksi saluran napas Kadang terdapat kavitas seperti abses paru Atelektasis

b) Invasi lokal Nyeri dada Dipsnea karena efusi pleura Invasi ke perikardium, terjadi tamponade atau aritmia Sindrom vena cava superior Sindrom horner Suara sesak, karena penekanan nervus laryngeal recurrent Sindroam pancoast karena penekan pada pleksus brakialis dan saraf simpatis servicalis c) Gejala metastasis Pada otak, tulang, hati, adrenal Limfadenopati servical dan supraclavicula

d) Sindrom paraneoplastik e) Asimtomatik dengan kelainan radiologis Kelainan berupa nodul soliter

Selain itu, ada pula gejala yang disebutkan pada sumber lainnya, seperti: Batuk persisten (lebih dari 2 minggu tanpa respon terhadap obat batuk) Batuk darah Sesak Hilang nafsu makan dan penurunan berat badan (>4 kg/ 6 bulan) Rasa capai yang berlebihan (unusual and unexplained fatique) Radang paru yang kerap berulang Suara parau Rasa nyeri persisten di dada, bahu atau punggung Pembengkakan leher dan wajah

7) Pengobatan Tujuan pengobatan kanker: Kuratif: menyembuhkan atau memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan hidup Paliatif: mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup Rawat rumah pada kasus terminal: mengurangi dampak fisik maupun psikologis bagi penderita maupun keluarg Suportif: menunjang pengobatan kuratif paliatif

a) NSCLC Terapi bedah adalah pilihan pertama pada stadium I dan II pada pasien dengan sisa cadangan parenkim parunya adekuat. Radioterapi Pada kasus yang inoperable, radioterapi digunakan sebagai pengobatan kuratif dan bisa juga sebagai terapi adjuvan/ paliatif pada tumor dengan komplikasi seperti mengurangi efek obstruksi/ penekanan terhadap pembuluh darah/ bronkus.efek samping yang dapat ditimbulkan yakni disfagiakarena

esofagitis post radiasi. Radioterapi dilakukan pada kasus dengan penyakit penyerta sebagai penyulit operasi atau pasien menolak dioperasi. Radiasi post operasi dianjurkan jika tumor sudah merambat sebatas bekan syatan operasi. Radiasi pre operasi dianjurkan untuk mengurangi ukuran tumor agar reseksi lebih komplit. Radiasi paliatif pada kasus sindrom vena cava superior atau kasus dengan komplikasi dalam rongga dada. Kemoterapi Karena sel kanker memiliki sifat perputarab lebih tinggi, maka tingkat proliferasi dan mitosis juga tinggi. Penggunaan resimen kemoterapi agresif (dosis tinggi) harus didampingi dengan rescue sel induk darah yang berasal dari sumsum tulang atau darah tepi yang akan menggantinkan sel induk darah akibat mieloablatif. dikombinasikan Untuk secara pengobatan terintegrasi kuratif, dengan kemoterapi modalitas

pengobatan kanker lainnya. Kemoterapi digunakan sebagai terapi baku untuk pasien mulai dari stadium IIIA dan untuk pengobatan paliatif. Kemoterapi neoadjuvan diberikan mulai dari stadium II dengan sasaran lokoregionaltumor dapat direseksi secara lengkap. Kemoterapi konkomitan bertujuan untuk meningkatkan kontrol lokoregional, mulai diberikan dari stage III. Obat yang diberikan seperti sitostatik yang mempunyai aktivitas yang cukup baik pada NSCLC dengan tingkat respon antara 15-33%, walaupun dengan penggunaan tunggal tidak mencapai remisi komplit. Kombinasi dapat meningkatkan tingkat respon yang akan berdampak pada harapan hidup. Mula-mula resimen CAMP yang terdiri dari siklofosfamid, doksorubisin, metotreksat, dan prokabarsin, tingkat respon regimen ini adalah 26%. Selain itu telah ditemukan obat-obatan baru yang dicoba sebagai obat tunggal

seperti

paclitaxel,

docetaxcel,

vinorelbine,

gemcitabine,

irenotexan dengan hasil yang cukup menjanjikan. Kemoterapi adjuvan dengan atau tanpa radioterapi yakni siklofosfamid, doksorubisin, dan cisplatin. dengan Sedangkan

kemoterapi konkomitan menggunakan protokol dengan basis cisplatin misalnya FP (5-Flourouracil dan cisplatin).

Kemoterapi biologi seperti BCG, levamisole, interferon dan interleukin, yang dikgunakan dengan modalitas lainnya. b) SCLC SCLC dibagi menjadi dua yaiut limited stage disease yang diobati dengan tujuan kuratif (kombinasi radioterapi dan kemoterpai) dengan tingkat keberhasilan 20%, dan extensive stage disease yang diobati dengan kemoterapi.

Peran suplemen/ chemoprevention: Adalah penggunaan bahan alami, farmakologik ataupun biologik dengan tujuan menghentikan atau membalikkan (reversing) progresi dari pre malignant disease sebelum menjadi kanker invasif. Bahan yang mungkin dapat memberikan harapan Beta Carotene atau Retinoids Banyak didapatkan laporan bahwa penurunan resiko kanker paru pada orang yang mengkonsumsi buah dan sayuran dalam jumlah banyak. Penurunan resiko ini konsisten antara 50% bila dibandingkan dengan orang yang jarang mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran. Namun tidak dianjurkan dikonsumsi dalam bentuk suplemen. Ginseng N- acetylcysteine (NAC) Diketahui bahwa glutathion berperan penting dalam detoksifikasi xenobiotik. NAC merupakan suatu aminothiol serta prekusor dari cystein

dan glutathion intraselular. Dalam hal ini, tidak mustahil NAC mempunyai efek chemopreventif terhadap kanker paru

C. TB Paru 1) Defenisi Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit granulamatosa kronis menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tidak hanya mengenai paru, penyakit ini juga dapat mengenai organ lain. Penularan langsung terjadi melalui inhalasi mikroaerosol ekspektorasi (droplet) atau pajanan ke sekresi pasien TB. Selain M. tuberculosis, M.bovis juga menyebabkan TB orofaring dan usus yang berjangkit melalui susu sapi perah yang mengidap tuberkulosis. Sedangkan M.avium-intracellulare merupakan strain yang sering ditemukan pada pasien AIDS, mengenai 10 hingga 30% pasien. Penularan strain ini melalui tanah, air, unggas, babi, dan hewan ternak. Namun, di antara semuanya M.tuberculosis

merupakan penyebab tersering. 2) Epidemiologi WHO memperkirakan TB menyebabkan 6% kematian di seluruh dunia.1 Pada tahun 2004, penanggulangan global TB oleh WHO menyatakan bahwa 265 kasus/ 100.000 (555.000 kasus) yang 46% di antaranya merupakan kasus baru. Berdasarkan umur, tampak TB bergerak ke kelompok usia tua sekitar 55-64 tahun. Meskipun, sebagian besar
2

kasus saat ini ditemukan pada kelompok usia 15-64 tahun.

Indonesia

adalah negeri dengan prevalensi TB ketiga tertinggi di dunia setelah China dan India. Berdasarkan survei kesehatan nasional 2001, TB menempati posisi ketiga sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Angka kejadian TB di Indonesia terlepas dari angka kejadian infeksi HIV hingga kini. Akan tetapi, hal ini dapat berubah pada masa mendatang mengingat

laporan kasus HIV yang terus meningkat. Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki prevalensi tertinggi TB pada survei tahun 1979-1982.3 Dan pada tahun 2012 indonesia menempati urutan kelima dengan tingkat persentase TB tertinggi di dunia. Kejadian TB berkaitan erat dengan kemiskinan, kepadatan penduduk, dan penyakit kronis. Insiden kejadiannya juga meningkat pada pasien AIDS. Disamping itu, penyakit tertentu seperti diabetes mellitus, penyakit Hodgkin, penyakit paru kronis, gagal ginjal kronis, malnutrisi, dan alkoholisme mampu meningkatkan faktor risiko.1 Progresivitas penyakit pada pasien yang terinfeksi mungkin terkait genetik (terbukti pada hewan dan diyakini pada manusia bahwa terdapat keterlibatan antigen histokompabilitas HLA-Bw15). 4 3) Etiologi M. tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang langsing berukuran 0.4 x 3m yang tahan asam dan bersifat aerobik. Disebut basil tahan asam karena sulit didekolorisasi dengan alkohol ataupun asam. Oleh karena sulit didekolorisasi dengan alkohol (95% etil alkohol yang mengandung 3% asam hidroklorat) , mikobakterium tidak dapat diklasifikasikan gram positif atau negatif. Teknik pewarnaan yang digunakan adalah teknik Ziehl Neelsen. Mikobakteri memperoleh energi dari oksidasi senyawa karbon sederhana dimana peningkatan PCO2 memacu pertumbuhan. Pembelahan biner basil TB adalah 18 jam dan cenderung lebih lambat dibandingkan bakteri lainnya. Perbedaan dengan bakteri umum lainnya adalah

mikobakterium resisten terhadap agen antibakterial seperti penisilin dan mampu bertahan dalam kondisi kekeringan dalam waktu yang lama (pada sputum yang kering) 4) Patogenesis Tuberkulosis Secara Umum

Patogenesis tuberkulosis pada individu imunokompeten yang belum pernah terpajan berpusat pada pembentukan imunitas selular yang menimbulkan resistensi terhadap organisme dan menyebabkan terjadinya hipersensitifitas jaringan terhadap antigen tuberkulosis. Hipersensitifitas jaringan yang destruktif memunculkan gambaran patologik berupa granuloma perkijuan dan kavitasi. Perjalanan kuman TBC dalam tubuh adalah sebagai berikut: Strain virulen mikobakteri masuk ke dalam endosom makrofag diperantarai reseptor manosa makrofag yang mengenali glikolipid berselubung manosa di dinding sel tuberkular. Setelah itu, organisme dapat menghambat respon mikrobisida normal dengan memanipulasi pH endosom dan menghentikan pematangan endosom. Dengan terganggunya pembentukan fagolisosom efektif, mikobakteri dapat berproliferasi tanpa gangguan. Polimorfisme pada gen NRAMP1 (natural resistance-associated machrophage protein-1)dibuktikan berkaitan dengan peningkatan insiden tuberkulosis. Dipostulasikan bahwa variasi genotipe NRAMP1 tersebut menurunkan fungsi mikrobisida. Berdasarkan proses di atas, fase dini TB primer (<3 minggu) pada orang yang belum tersensitisasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam makrofag alveolus dan rongga udara sehingga terjadi bakterimia dan penyebaran ke berbagai tempat. Namun, pada tahap ini kebanyakan masih asimptomatik atau mengalami gejala mirip flu. Imunitas seluler umumnya muncul dalam 3 minggu setelah pajanan. Antigen mikobakterium diproses kemudian mencapai kelenjar getah bening regional dan disajikan dalam konteks histokompatibilitas mayor kelas II oleh makrofag ke sel TH0 CD4+ uncommited yang memiliki reseptor sel T. Selanjutnya, sel tersebut akan mengalami pematangan menjadi sel T CD4+ subtipe TH1 dengan bantuan IL-12. IL-12 itu sendiri

dihasilkan oleh makrofag yang menampilkan antigen M.tuberculosis tersebut. Subtipe TH1 tersebut dapat mengeluarkan TNF- yang penting untuk mengaktifkan makrofag. Selanjutnya, makrofag akan mengeluarkan mediator seperti TNF (yang berperan untuk merekrut monosit) dan IFN- yang bersama TNF akan mengaktifkan gen inducible nitric oxide synthase (iNOS). Monosit nantinya akan mengalami pengaktifan dan differensiasi menjadi histiosit epiteloid yang menandai respon granulomatosa. Sementara itu, iNOS akan menyebabkan peningkatan nitrat oksida di tempat infeksi. Nitrat oksida dapat menimbulkan kerusakan oksidatif pada beberapa konstituen mikobakteri dari dinding sel sampai DNA. Selain mengaktifkan makrofag, sel T CD4+ juga mempermudah terbentuknya sel T sitotoksik CD8+ yang dapat mematikan makrofag yang terinfeksi tuberkulosis. Selain sel T, ada juga sel T yang tidak hanya mengeluarkan IFN- tetapi juga sebagai sel efektor sitotoksik. Defek atau gangguan pada setiap langkah pada respon TH1 (termasuk pembentukan IL-12, IFN- atau nitrat oksida) menyebabkan granuloma tidak terbentuk sempurna, tidak adanya resistensi dan dapat terjadi perkembangan penyakit. a) Tuberkulosis Primer7 TB primer adalah bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang belum pernah terpajan (sehingga tidak pernah tersensitisasi). Pasien usia lanjut maupun imunosupresi berat dapat mengalami tb primer beberapa kali karena kehilangan sensitivitas mereka terhadap basil tuberkel. Pada TB primer, organisme berasal dari luar (eksogen). Manifestasi yang muncul pada perkembangan penyakit dapat berupa konsolidasi parenkim, atelektasis, limfadenopati, efusi pleura atau pun miliar. 2,7

Konsolidasi biasanya bersifat unifokal dengan melibatkan multilobar (25%). Konsolidasi dapat terjadi pada lobus

manapun,tetapi paling sering dilaporkan bahwa lobus bawah paling sering terkena pada orang dewasa. Pada anak-anak sering terjadi atelektasis segmental maupun lobar. Sering terjadi pembesaran hilus atau nodus limfa mediastinal (43% pada dewasa dan 96% pada anakanak). Efusi pleura ditemukan pada 6-7% penderita tuberkulosis primer, biasanya bersifat unilateral dan cairan efusi bebas serta tidak terperangkap (loculated). Gambaran miliar biasanya terlihat bilateral berupa nodul menyebar dengan ukuran 1-3 mm dan simetris (meski tidak selalu). Tuberkulosis primer dapat menyebabkan timbulnya

hipersensitivitas dan resistensi. Selain itu, fokus jaringan parut mungkin mengandung basil hidup selama bertahun-tahun, bahkan seumur hidup. Oleh karena itu,saat pertahanan pejamu melemah, dapat terjadi reaktivasi di kemudian hari. Pada penderita AIDS atau gangguan nonspesifik pertahanan pejamu (malnutrisi atau usia lanjut), dapat terjadi tuberkulosis primer progresif. Insidensinya tinggi pada pasien positif HIV dengan derajat imunosupresi lanjut (CD4+ < 200 sel/mm3). Pada TB primer progresif, penyakitnya berkembang tanpa interupsi. Imunosupresi menyebabkan pasien tidak mampu membentuk sel T CD4+ untuk menahan infeksi. Tidak adanya reaksi hipersensitivitas jaringan menyebabkan nonreaktif). hilangnya granuloma melalui perkijuan khas

(tuberkulosis

Penyebaran

limfohematogen

merupakan penyakit penyulit yang ditakuti serta dapat menimbulkan meningitis tuberkulosis atau tuberkulosis miliaris. Morfologi

Tuberkulosis primer umumnya berawal dari paru. Basil yang terhirup cenderung melekat pada rongga udara distal di bagian bawah lobus atas atau bagian atas lobus bawah, umumnya dekat pleura. Seiring terjadinya sensitisasi, muncul daerah konsolidasi meradang berukuran 1-1,5 yang disebut fokus gohn. Pada sebagian besar kasus, terdapat nekrosis perkijuan pada bagian tengah dari fokus gohn. Sementara itu, basil tuberkel baik bebas maupun dalam fagosit dapat mengalir ke kelenjar regional yang juga sering mengalami perkijuan. Kombinasi tersebut disebut kompleks ghon. Dalam beberapa minggu pertama, terjadi penyebaran limfogen dan hematogen ke bagian tubuh lain. Namun, 95% kasus, imunitas seluler dapat mengendalikan infeksi. Oleh karena itu, kompleks gohn mengalami fibrosis progresif,yang sering diikuti kalsifikasi yang dapat terdeteksi secara radiologis (kompleks ranke). Jika dilihat secara histologis, dapat ditemukan reaksi peradangan granulomatosa yang membentuk tuberkel perkijuan dan non perkijuan yang merupakan penanda tempat yang terlibat aktif. Granuloma baru tampak secara makroskopik jika tuberkel menyatu dalam jumlah banyak. Granuloma biasanya terbungkus cincin fibroblastik disertai limfosit. Juga, ditemukan sel raksasa berinti banyak. Tuberkulosis Sekunder Tuberkulosis sekunder dapat diartikan sebagai pola penyakit yang muncul pada pejamu yang telah tersensitisasi. Secara umum, tb sekunder terjadi karena reaktivasi bakteri yang dorman terutama saat resistensi pejamu melemah. Namun, dapat juga terjadi segera setelah infeksi primer. Selain itu, penyakit ini dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena berkurangnya proteksi yang dihasilkan penyakit primer atau karena besarnya inokulum basil hidup. Pada daerah

dengan prevalensi tinggi, reinfeksi eksogen lebih sering terjadi. Dari mana pun sumber organismenya, kurang dari 5% pasien dengan penyakit primer kemudian mengalami tuberkulosis sekunder. TB paru sekunder, umumnya terbatas di apeks satu atau kedua lobus atas yang kemungkinan besar berkaitan dengan tingginya tegangan oksigen di sana. Respon jaringan terjadi segera dan nyata yang cenderung membatasi fokus karena memang sudah terdapat hipersensitivitas. Dengan begitu, kgb regional kurang begitu terlibat. Namun, kavitasi hampir selalu terjadi pada tb sekunder yang tidak diobati, dan erosi yang mengenai saluran napas menjadi sumber penularan melalui sputum yang dikeluarkan. Morfologi Lesi awal biasanya berupa fokus kecil konsolidasi dengan garis tengah kurang dari 2 cm dan dalam 1 hingga 2 cm apeks pleura. Batas fokus tegas dan padat, warna abu-abu putih hingga kuning dengan nekrosis perkijuan dan fibrosis perifer dengan derajat yang bervariasi. Secara histologis, lesi aktif memperlihatkan tuberkel yang menyatu dengan perkijuan di tengah. TB paru sekunder, lokal dan apkes dapat sembuh secara fibrosis baik secara spontan maupun terapi atau dapat juga berkmbang dengan berbagai cara seperti: 7

Tuberkulosis paru progresif Lesi di apeks membesar disertai meluasnya daerah perkijuan. Erosi ke dalam bronkus menyebabkan bagian tengah perkijuan keluar, menciptakan kavitas ireluar yang dilapisi bahan kaseosa. Jika terjadi erosi pembuluh darah, dapat terjadi hemoptisis (batuk berdarah). Proses tersebut dapat berhenti jika diberikan terapi yang adekuat meskipun bentuk paru sering mengalami distorsi akibat fibrosis. Jika terapi tidak memadai atau pertahanan tubuh

pejamu mengalami gangguan, infeksi dapat menyebar secara langsung melalui saluran napas, limfatik atau sistem vaskular.

Tuberkulosis endobronkus, endotrakea, dan laring Hal tersebut dapat terjadi jika bahan infeksiosa menyebar melalui limfe atau bahan infeksiosa yang dibatukan. Lapisan mukosa mungkin ditaburi lesi granulomatosa kecil, kadang-kadang hanya tampak pada pemeriksaan mikroskopik.

Tuberkulosis milier sistemik Terjadi jika fokus infeksi di paru dicemari aliran balik vena paru ke jantung. Organisme akan menyebar melalui sistem arteri sistemik. Hampir semua organ dapat mengalami penyebaran dengan lesi mirip di paru. TB milier paling jelas di hati, sumsum tulang,limfa adrenal, meningen, ginjal, tuba fallopi, dan epididimis. Di sana, dapat terjadi tuberkulosis organ tersendiri. Jika vertebra terkena, penyakit disebut sebagai penyakit Pott.6, 7

Limfadenitis Merupakan bentuk tersering tuberkulosis ekstraparu, biasanya terjadi di daerah leher (skrofula).Pada individu negatif-HIV, limfadenopati cenderung satu fokus, dan sebagian besar pasien tidak memperlihatkan tanda-tanda penyakit ekstranodus. Pasien positif HIV, hampir selalu memperlihatkan penyakit multifokus, gejala sistemik, dan adanya tuberkulosis aktif di paru atau organ lain.

Tuberkulosis usus Selain fokus primer, hal ini juga dapat terjadi akibat tertelannya bahan menular yang dibatukan. Organisme biasanya terperangkap

di agregat limfoid mukosa di usus halus dan besar. Agregat ini kemudian mengalami pembesaran yang meradang , disertai ulserasi mukosa di atasnya, terutama ileum. Tuberkulosis Milar Tuberkulosis miliar terjadi hanya pada pasien yang mempunyai imunitas seluler tidak adekuat. Hal ini dapat terjadi pada bayi atau anak usia kurang dari 5 tahun yang belum mempunyai imunitas seluar yang mantap. Dapat pula terjadi pada penderita keganasan, status nutrisi buruk, alkoholisme, atau pada penderita pasien dengan pengobatan imunosupresif, serta penderita HIV. Tuberkulosis paru miliaris terjadi jika organisme keluar melalui limfatik ke dalam duktus limfatikus, yang mengalirkan isinya ke dalam vena menuju sisi kanan jantung dan kemudian ke dalam arteri paru. Setiap lesi adalah fokus mikroskopik atau fokus kecil (2 mm)konsolidasi yang tersebar di seluruh parenkim paru. Lesi-lesi tersebut dapat menyatu. Jika terus berkembang, rongga pleura dapat terkena dan mengalami efusi pleura serosa, empiema tuberkulosis, atau pleuritis fibrosa obliteratif. Gejala sistemik yang menyertai dapat berupa demam, lesu, penurunan berat badan drastis, kelelahan dan anoreksia. Selain itu, batuk dan dispnea merupakan gejala yang jelas. 5) Gambaran Klinis Batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah Batuk darah Sesak nafas Badan lemas Nafsu makan menurun

Berat badan menurun Malaise Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik Demam meriang lebih dari satu bulan

6) Diagnosis Diagnosis tb paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis, dan penunjang yang lain. Gejala: Respiratorik : batuk > 2 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas Sistemik: demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat badan turun. Penderita dengan gejala tersebut dianggap sebagai curiga TB dan harus diperiksa dahaknya Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Pemeriksaan Fisik

Tanda fisik pada TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk membedakan TB dengan penyakit respiratory lain. Tanda fisik bergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara nafas bronchial, amforik, ronki basah. Pada efusi pleura didapatkan nafas tertinggal, kerudapan dan usara nafas menurun sampai tidak terdengar. Bila tyerdapat limfedenitis tuberkulosa diudapatkan pembesaran kelenjar limfe, sering di daerah leher, kadang disertai adanya skrofuloderma. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis. Specimen dapat berupa dahak, cairan pleural, cairan serebrospinalis, bilasan lambung, bronchoalveolar lavage, urin, dan jaringan biuopsy. Dilakukan secara mikroskopis dan biakan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam pada pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil dikatakan positif bila sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak positif BTA. Foto Toraks Gambaran radilogis yang dicurigai lesi TB aktif: a. Bayangan berawan/ nodular di segmen apical dan posterior lobus atas, dan segmen superior lobus bawah b. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular c. Bayangan bercak miler d. Efusi pleura Gambaran yang dicurigai lesi TB inaktif: a. Fibroyik terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau segmen superior lobus bawah

b. Kalsifikasi c. Penebalan pleura Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin kurang spesifik. LED penting sebagai indicator kestabilan penyakit sehingga sehingga dapat digunakan sebagai evaluasi penyembuhan. Pemeriksaan serologi dan histopatologi juga dapat dijadikan sebagai pemeriksaan penunjang. 7) PENGOBATAN TBC Pengobatan TBC Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TBC) dan II (Terinfeksi TBC/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 510 mg/kgbb/hari. a) Pencegahan (profilaksis) primer Anak yang kontak erat dengan penderita TBC BTA (+). INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-). Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau sumber penularan TB aktif sudah tidak ada. b) Pencegahan (profilaksis) sekunder Anak dengan infeksi TBC yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit TBC. Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan. Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
o

Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih

dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
o

Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.

Dosis obat antituberkulosis (OAT) Obat Dosis harian (mg/kgbb/hari) INH 5-15 (maks 300 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-40 (maks. 2 g) 15-25 (maks. 2,5 g) 15-40 (maks. 1 g) Dosis 2x/minggu (mg/kgbb/hari) 15-40 (maks. 900 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 50-70 (maks. 4 g) 50 (maks. 2,5 g) Dosis 3x/minggu (mg/kgbb/hari) 15-40 (maks. 900 mg) 15-20 (maks. 600 mg) 15-30 (maks. 3 g) 15-25 (maks. 2,5 g)

Rifampisin Pirazinamid Etambutol Streptomisin

25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

Sejak 1995, program Pemberantasan Penyakit TBC di Indonesia mengalami perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan strategi global yanng direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjuti Indonesia WHO joint Evaluation dan National Tuberkulosis Program in Indonesia pada April 1994. Dalam program ini, prioritas ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman TBC di masyarakat. Program ini dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari,terutama pada fase awal pengobatan. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah diimplementasikan

secara meluas dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai

"pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari. Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data (DST) akan menjadi alat pemantau dan indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat. Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TBC dan lemahnya implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi TBC dengan kuman yang bersifat MDR (Multi-drugs Resistant). Untuk kasus MDRTB dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TBC yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin, levofloxacin (hanya sangat disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan). Pengobatan TBC pada orang dewasa

Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:

o o

Penderita baru TBC paru BTA positif. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.

Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada:


o o o

Penderita kambuh. Penderita gagal terapi. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.

Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3 Diberikan kepada:


o

Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.

Pengobatan TBC Adapun dosis untuk pengobatan TBC jangka pendek selama 6 atau 9 bulan, yaitu: a) 2HR/7H2R2 : INH+Rifampisin setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH +Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 7 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH). b) 2HRZ/4H2R2 : INH+Rifampisin+Pirazinamid: setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH+Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 4 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH). Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan rifampisin diberikan bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10 mg/kgbb dan rifampisin 15 mg/kgbb.

D. Penyakit Paru Obstruktif Kronik 1) Definisi. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi yang terhadap gas atau partikel yang berbahaya. 2) Epidemiologi. Pada studi populasi sela ma 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 822%. Studi prevalensi PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3 063 wanita yang berumur 18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 simpang baku di bawah VEP prediksi, dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%. abnormal dari paru-paru

Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI 1992

menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Tingkat morbiditas dan mortalitas PP OK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat

Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118 pada wanita vs pria secara berurutan. Di bawah ini di gambarkan angka kematian pria per 100.000 populasi. Tabel 2. Angka kematian pria per 100.000 populasi.

3) Faktor Resiko PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan hipersekresi mukus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat merokok dihentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel,

pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosio-ekonomi, nutrisi dan komorbiditas. a. Genetik. PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai 1

interaksi lingkungan genetik yang seder hana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah diteliti lama adalah defisiensi PPOK yang merupakan contoh defisiensi 1

antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis antitripsin adalah

emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat pada kromosom 2q. b. Paparan Partikel Inhalasi

Setiap individu pasti akan

terpapar oleh beragam partikel

inhalasi selama hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat berkontribusi terhadap perbedaan dari

besarnya risiko dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung terhadap pajanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers itu

sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi meningkat. Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat menarik bahwa ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang telah terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6) yang mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang (7,1%, p<0,02).

Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debudebu yang terkait dengan pekerjaan (occupational dusts) dan bahanbahan kimia. Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi

sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANES III didapati hampir 10.000 orang dewasa

berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK. Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogendioksida (NO2) juga dapat memberikan

sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru. c. Pertumbuhan dan perkembangan paru. Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian

menyokong kepada terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi-bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya. d. Stres Oksidatif. Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya positif

telah memiliki proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru. Ketidakseimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK. e. Jenis Kelamin. Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada Pria dibandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak ol eh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang merupakan perokok saat ini. f. Infeksi. Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting

terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan denga n peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun. g. Status sosioekonomi dan nutrisi.

Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut berhubungan er at dengan status sisioekonomi. h. Komorbiditas. Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK. 4) Patologi, Patogenesis dan Patofisiologi. Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema par u yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal

bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata. Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplas ia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahank an inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi te rsebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi

penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet,

infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.

Gambar 1. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang sehat. Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar (sentrilobular), emfisema panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar (perilobular) yang sering dibahas dan skar emfisema atau

irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kem udian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi. Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok.

Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangk an pada emfisema paru, ketidakseimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.

Peningkatan netrofil, makrofag

dan limfosit T di paru-paru akan

memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang diantaranya adalah berperan dalam proses penyakit, CXC

leucotrien B, chemotactic factors seperti

chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene , TNF , IL-1 dan TGF. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inak tifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada. Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasia otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal. 5) Inflamasi Pada Ppok. Inflamasi Lokal dan Sistemik. Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pa da PPOK yang stabil, dimana sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait dengan eksase rbasi pada PPOK.

Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak sistem sehingga menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi komponen. Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahanperubahan seluler dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi

tersebut meluas keparenkim dan arteri pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan infi ltrasi limfosit T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi juga pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana limfosit T sitotoksik (CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang penting juga terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada subepitel bronku s dan kelenjar submukosa penghasil sekret. TNF yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkoordinasi dan menyebabkan p eningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1 dan IL-6 yang kemudian akan menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitoki n-sitoin diatas selain berada didalam saluran nafas, juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada saluran nafas sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit pada gambaran darah tepi. Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu jelas dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan proses tersebut. Mekanisme pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu faktor risikoyaitu asap rokok.

Gambar 2. Mekanisme Inflamasi Pada PPOK. Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara independen menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan inflamasi sistemik melalui stres oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer dan menariknya kejadian ini juga akan dialami oleh perokok pasif meski hanya te rpapar beberapa tahun. Mekanisme kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama

menyatakan bahwa respon inflamasi lokal berdiri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari penelitian akan kadar TNF R dan IL8 pada sputum yang ternyata meskipun tinggi pada sputum,

ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat. Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bakterial yang pro inflamasi, lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses

inflamasi lokal berupa kenaikan temperatur tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya saja terjadi perbedaan dimana memang

inflamasi sistemik tampak pada subjek yang mengalami demam, tetapi tidak pada subjek yang hanya m engalami gangguan saluran nafas tanpa demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang pada PPOK, dimana hipoksia yang terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan mengaktivasi sistem TNF dan makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi pada sirkulasi perifer.

Gambar 3. Lingkaran terjadinya proses kerusakan pada PPOK. TNF Alpha pada PPOK. TNF Alpha atau sinonim lainnya Lymphotoxin B, Cachectin adalah sitokin inflamasi pleotropik. Teori tentang respon anti tumoral dari sistim imun secara in vivo sudah diketahui sejak 100 tahun yang lalu oleh seorang medis William B. Coley. Pada tahun 1968 Dr. Gale A Granger dari University of California melaporkan adanya faktor sito toksik yang dihasilkan oleh lymphocyte dan diberi nama Lymphotoxin (LT). Sesuda h itu pada tahun 19 75 Dr. Lloyd J. Old dari Memorial Sloan-Kettering Cancer Center, New York , melaporkan faktor sitotoksik lainnya yang diproduksi oleh makrofag dan diberi nama Tumor Necrosis Factor (TNF). Tumor Necrosis Factor (TNF)- adalah sitokin pleotropik yang memiliki efek yang bermacam-macam, seperti growth promotion, growth

inhibition,

angiogenesis,

cytotoxicity,

inflammation,

dan

imunomodulation yang berimplikasi terhadap beberapa kondisi inflamasi. Sitokin ini tidak hanya diproduksi oleh aktivasi makrofag tetapi juga oleh sistim imun yang lainnya meliputi : lymphocytes, natural killer cells, mast cells dan jaringan stromal meliputi : endotelhelial cells, fibroblasts, microglial cells. TNF disintesis oleh monomeric Type-2 transmembrane protein (tmTNF) berada di dalam membran homotrimer dan membelah menjadi matrix metalloprotease TNF- converting enzyme (TACE) dan untuk soluble circulating trimer (solTNF). Dimana keduanya tmTNF dan solTNF merupakan bentuk biologi yang aktif. Keseimbangan antara tmTNF dan solTNF menberikan signal yang dapat mempengaruhi tipe dari sel, aktivasi dari sel, dan menstimulus produksi dari TNF , aktifitas TACE , dan ekspresi dari endogenous TACE inhibitors merupakan

petunjuk efek dari penyimpangan hidup sel.

TNF mediated pada kelangsungan

Alveolar macrophages memainkan peranan yang penting sebagai imunitas bawaan dan didapat., yang berperan sebagai pertahanan patogen terhadap paru-paru, pember sih dari partikel-partikel inhalasi dan respon inflamasi. Alveolar macrophages memiliki tempat yang unik di dalam tubuh, karena mereka berlokasi diantara penghubung yaitu udara dan jaringan paru-paru, dan bertindak sebagai pertahan pertama ter hadap pertikel-partikel inhalasi yang berasal dari udara. Normalnya alveolar macrophages berjumlah kurang lebih 95% dari leukosit airspace , serta 1 sampai 4% limphosit dan hanya 1% neutophil, ini adalah alasannya bahwa alveolar macrophages berhubungan dengan sel phagositosis dari sistem imun bawaan pada paru-paru. Sel ini memegang peranan sebagai poros dari proses inflamasi pada PPOK. Alveolar macrophages mengalami

kenaikan (5-10 kali) pada saluran nafas, parenkim paru, Broncho Alveolar Lavage (BAL) dan sputum pada penderita PPOK yang merokok dan

peningk atan jumlah makrophag ini juga berhubungan dengan tingkat keparahan dari PPOK. Paparan asap rokok memang merupakan penyebab tersering dari PPOK, dimana sebagai akibat dari asap rokok ini akan mengaktivasi makrofag untuk melepaskan beberapa mediator inflamasi, salah satunya adalah TNF . TNF di percaya memerankan peranan yang sangat penting terhadap patofisiologi dari PPOK. TNF di perlihatkan pada bi natang percobaan yang dapat menginduksi perubahan pat ologi pada

PPOK, termasuk infiltrasi sel inflamasi pada paru-paru, fibrosis paru dan emphisema. Secara In vivo peninggian kadar TNF juga dapat dijumpai pada darah perifer, biopsi bronkhial, induksi sputum dan BAL dari pasienpasien PPOK stabil yang dibandingkan dengan kontrol. 6) Diagnosis. Penderita yang datang dengan keluhan klinis di spneu, batuk kronik atau produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya dipikirkan sebagai PPOK. Di agnosis PPOK di pastikan melalui pemeriksaan spirometri paksa bronkhodilator. Perasaan rasa sesak nafas dan dada terasa menyempit merupakan gejala non spesifik yang dapat bervariasi seiring waktu yang dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK. Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK. Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat kerusakan yang bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksi memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Pada inspeksi dapat di temukan sentral sianosis, bentuk dada barel-shaped, takhipneu, edema tungkai bawah sebagai tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi dan palpasijarang membantu diagnosis PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang akan mengaburkan batas jantung dan menurunkan batas paru-hati.

Auskultasi sering memberikan kelemahan saluran nafas , dapat dengan disertai adanya mengi. Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di lakukan pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih memastikan diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas penyakit. Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif,

terstandarisasi dan most reproducible akan adanya hambatan aliran nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Diagnosa PPOK ditega kkan bila didapati nilai paksa paska bronkodilatornya VEP 1/KVP < 0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat keparahan dari PPOK.27,28 Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK, kecuali adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin adalah adanya tanda hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan volume udara pada rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan peningkatan corak vaskuler paru. Selain itu radiologis membantu dalam melihat

komorbiditas seperti gambaran gagal j antung. Untuk kepentingan operatif, CT Scan paru juga memegang peranan penting.

PEROKOK AKTIF DAN PEROKOK PASIF Telah lama tembakau dikenal oleh manusia. Tembakau dikonsumsi manusia dengan berbagai cara: dimakan ( nginang: biasanya dimakan bersama kapur, sirih, dan pinang), dibau sja (snuff), merokok (dalam bentuk serutu, pipa dengan tembakau, rokok sigaret) dan lain sebagainya. Yang palin umum dikonsumsi adalah sebagai rokok sigaret. Jenis rokok juga ada beberapa macam antara lain: rokok dengan atau tanpa filter, tembakau yang digunakan dicampur atau tidak dengan bahan pencampur. Umumnya rokok dibuat dengan digulung menggunakan kertas, ada yang dengan klobot atau lain bahan, misalnya daun nipah. Rokok yang dibakar akan mengeluarkan asap rokok. Asap rokok yang dihisap ke dalam paru atau ditelan oleh perokoknya disebut asap rokok utama. Rokok yang dibakar dan tanpa dihisap, asap rokok yang keluar berasal dari ujung rokok yang terbakar tadi disebut asap rokok sampingan. Sesudah rokok dibakar, selain asap rokok utama dan asap rokok sampingan, ada pula bahan yang terdapat dalam asap yang mudah menguap yang berdifusi keluar dari tembakau lewat kertas penggulung rokok ke udara sekitarnya. Individu yang tidak merokok tetapi menghisap udara dari lingkungannya yang mengandung asap rokok disebut sebagai perokok pasif. Mereka tanpa merokok tapi secara involunter dipaksa untuk menghirup aspa rokok, serta risiko menderita penyakit akibat rokok. Seperti diketahui bahwa bahan kimia yang terdapat pada asap sampingan lebih berbahaya daripada asap utama, antara lain karena tembakau akan terbakar pada temperatur yang lebih rendah ketika sedang tidak dihisap dan menjadi pembakaran yang tidak sempurna, dan mengeluarkan lebih banyak bahaan kimia. Jadi perokok pasif akan mendapatkan 85% asap sampingan dan 15% asap utama yang dihembuskan oleh perokok aktif ke lingkungan. Individu yang menghisap rokok yang telah terbakar salah satu ujungnya dan ujung lainnya dihisap asap ke dalam paru atau ditelan disebut sebagai perokok

aktif. Bagi perokok aktif, selain menghisap asap rokok utama secara penuh, maka dia juga akan menghisap udara napas yang berasal dari lingkungan di sekitarnya yag mengandung asap rokok sampingan. Jadi, pada kesimpulannya perokok aktif memiliki resiko terkena penyakit dibandingkan perokok pasif.

EDUKASI MENGENAI ROKOK Kesadaran Masyarakat, Pendidikan dan Program Berhenti Merokok

A. Pengetahuan tentang Risiko Kesehatan Salah satu argumen tentang konsumsi tembakau adalah bahwa perokok sendirilah yang membuat keputusan untuk membeli rokok berdasarkan pengetahuan yang cukup yang telah dimilikinya (informed decision). Argumen ini didasarkan pada teori ekonomi yang mengatakan bahwa konsumen mempunyai kedaulatan tentang bagaimana

membelanjakan uangnya atas dasar pengetahuan tentang biaya dan manfaat yang akan diperoleh dari pembelian tersebut dan bahwa konsumen sendirilah yang akan menanggung beban akibat pembeliannya. Kedua asumsi ini tidak berlaku bagi konsumen produk tembakau dan berbeda dalam tiga hal dengan produk konsumen lainnya.

Konsumen tidak sepenuhnya sadar akan resiko penyakit dan kematian dini akibat keputusannya membeli produk tembakau. Ini merupakan biaya terbesar yang harus dibayar. Beberapa faktor penyebab, antara lain karena tenggang waktu 20-25 tahun sejak orang mulai merokok dan timbulnya gejala penyakit.

Sebagian besar perokok pemula adalah remaja yang belum mempunyai kemampuan untuk menilai dengan benar informasi dampak merokok. Tidak kalah pentingnya adalah kecenderungan perokok pemula untuk menyepelekan biaya yang kelak akan ditanggung akibat adiksi nikotin. Mereka menganggap bahwa biaya tersebut disebabkan karena kelemahan perokok dewasa untuk memutuskan berhenti merokok ketika masih remaja. Mereka tidak menyadari efek adiktif nikotin yang sangat kuat yang akan mengikat dan menyebabkan orang sulit berhenti merokok.

Orang lain menanggung beban akibat pembelian dan konsumsi rokok oleh perokok. Disamping dampak fisik dan ekonomi pada bukan

perokok (perokok pasif), dampak ekonomi yang harus ditanggung oleh keluarga perokok adalah biaya rutin yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan adiksinya dan biaya sakit akibat merokok. Pada keluarga miskin, beban ekonomi ini dilakukan dengan mengalihkan pengeluaran makanan, pendidikan dan kesehatan untuk membeli rokok. Beban tidak langsung pada keluarga miskin adalah hilangnya produktifitas pencari nafkah utama karena sakit atau kematian dini yang berdampak pada turunnya pendapatan keluarga. Pada produk tembakau, telah terjadi kegagalan pasar yaitu keputusan konsumen untuk membeli produk tembakau tidak didasarkan pada informasi yang cukup tentang resiko produk yang dibeli, efek ketagihan dan dampak pembelian yang dibebankan pada orang lain. Karenanya dibutuhkan intervensi pemerintah dalam bentuk legislasi pengendalian dampak tembakau. Studi tentang faktor Studi tentang faktor pengaruh perilaku merokok pada remaja usia 13-21 tahun di Jawa Timur menunjukkan keragaman pengetahuan tentang bahaya mengonsumsi tembakau. Hanya 15% yang mengetahui adanya 4000 bahan kimia berbahaya yang terkandung dalam rokok; Walaupun secara umum (87%) mereka mengatakan merokok menyebabkan penyakit, hanya 68% yang mengetahui bahwa nikotin di dalamnya mengakibatkan ketagihan. Umumnya paham bahwa merokok mengakibatkan penyakit, tetapi menyangkal bahwa hal tersebut akan mengenai dirinya. Delapan dari 10 remaja tahu manfaat berhenti merokok, tetapi 43% menganggap tidak sulit untuk berhenti merokok. Dampak ketagihan nikotin kurang disadari diantara remaja. Alasan lain yang diberikan tentang mengapa mereka merokok adalah karena harga rokok cukup murah; separuh perokok remaja membeli rokok secara batangan.

Merokok juga dianggap sebagai hal yang biasa dan normal. Sebagian perokok mengaku mendapat rokok dari keluarga atau temannya dengan mudah tanpa perlu membeli. Sebanyak 70% mengatakan bahwa guru mereka merokok di sekolah bahkan ketika sedang mengajar. Walaupun 89% mengatakan ada peraturan larangan, tetapi pelanggaran tidak pernah ditindak. Tiga dari 4 pelajar memiliki teman-teman yang merokok dan mengatakan tidak keberatan dengan hal tersebut. Industri tembakau memasuki pasar ketika resiko penggunaannya belum diketahui. Pada saat dampak konsumsi tembakau ditemukan, telah banyak anggota masyarakat yang kecanduan. Faktor adiksi inilah yang sangat menyulitkan pemerintah di berbagai negara untuk menghilangkan produk tersebut dari pasar. Sementara masyarakat telah teradiksi, industri tembakau meneruskan kampanyenya dengan meyakinkan legislator dan masyarakat melalui strategi normalisasi produk tembakau: sebagai industri legal mereka berhak memasarkan produk normal yang legal seperti layaknya industri lain. Normalisasi ini diwujudkan dengan menggencarkan iklan, promosi, pemberian sponsor, pendanaan program pendidikan dalam etika bisnis, bahkan mendanai unit pelayanan paliatif di Rumah Sakit dimana separuh tempat tidurnya diisi korban produk industrinya. Pemasaran industri tembakau berlindung dibalik penormalan produk dan merasionalisasikan epidemi tembakau dengan retorika keliru tentang pilihan bebas. Perokok remaja berpendapat bahwa merokok adalah menarik, memudahkan pergaulan, mudah konsentrasi dan membuat hidup lebih mudah. Alasan yang sama seperti citra yang disampaikan oleh industri tembakau melalui iklan rokok. Tehnik pengiklanan menggunakan subliminal advertising yaitu mengekspos individu pada gambaran produk, nama dagang atau rangsangan produk dagang lainnya dimana individu tidak menyadari bahwa dirinya terekspos. Tehnik ini antara lain ditandai dengan pemanfaatan unsur emosi yang kuat dan pembentukan hubungan yang irasional antara diri dengan produk yang diiklankan. Penelitian yang dilakukan oleh UHAMKA dan Komnas Perlindungan Anak tahun 2007

menunjukkan bahwa 68% remaja memiliki kesan positif terhadap iklan rokok, 52% dapat menyebut lebih dari tiga slogan iklan rokok dan separuh dari remaja merasa dirinya lebih percaya diri seperti dicitrakan oleh iklan rokok B. Pendidikan Kesehatan 1) Program Pendidikan di Sekolah Hampir 80% perokok di Indonesia mulai merokok ketika usianya belum mencapai 19 tahun. Perokok remaja adalah calon perokok jangka panjang dan menempatkan mereka pada kerusakan kualitas generasi dan kematian dini yang sebenarnya dapat dicegah. Pemerintah dan sistem pendidikan di dunia pada umumnya memiliki kurikulum anti tembakau berbasis sekolah. Di banyak Negara, terutama yang memiliki keterbatasan sumber daya dan dana untuk pendidikan kesehatan, industri tembakau telah memanfaatkan peluang dengan menjual citra tanggung jawab sosialnya melalui program pencegahan merokok bagi remaja (Youth Smoking Prevention Program). Program ini tidak efektif, bahkan mendorong remaja untuk mencoba-coba merokok karena memposisikan merokok sebagai kebebasan dan kedewasaan yang sebaiknya tidak dilakukan oleh anak-anak (smoking as an adult choice). Di Indonesia, belum ada kurikulum khusus tentang masalah berhubungan dengan tembakau. Informasi bahaya merokok dimasukkan sebagai salah satu topik dalam mata ajaran Biologi dan Pendidikan Jasmani. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2006 melaporkan 7 dari 10 siswa SMP di Indonesia mendapat pelajaran bahaya merokok. Sementara hampir 80% (78,2%) mahasiswa Fakultas Kedokteran mengaku tidak ada kurikulum khusus berhenti merokok, walaupun 82% sudah memasukkan pertanyaan tentang kebiasaan merokok pada pasien ketika membuat riwayat penyakit dan 57% memberikan penyuluhan agar pasien perokok berhenti merokok.

Program pencegahan dan pelarangan merokok pada anak dan remaja tidak efektif. Program ini sejalan dengan promosi industri tembakau yang mengatakan bahwa merokok adalah untuk orang dewasa yang akibatnya justru membuat merokok jadi lebih menarik bagi remaja. Program pendidikan di sekolah akan efektif bila diintegrasikan ke dalam kampanye yang menyeluruh, yang sekaligus memberikan

lingkungan yang mendukung. a) Program Pencegahan Merokok Bagi Remaja: i. ii. Effektif versus Tidak Efektif. Kampanye yang disponsori industri tembakau cenderung tidak efektif.

EFFEKTIF Bila dikemas dalam Tembakau

TIDAK EFEKTIF Program Pencegahan dan pendidikan remaja yang sebagai kegiatan yang berdiri sendiri

Pengendalian komprehensif Tidak

memposisikan

konsumsi Memposisikan

konsumsi

tembakau

tembakau sebagai kegiatan berkaitan sebagai dewasa dan dilarang. Pesandengan kedewasaan, tetapi sesuatu pesannya adalah: yang mengenai semua umur Remaja dilarang merokok Merokok dewasa Hanya orang dewasa yang boleh merokok dewasa) Patuhilah aturan (Boleh merokok setelah adalah pilihan orang

Katakan tidak Dukungan terhadap peningkatan cukai Tidak menyebut sama sekali tentang (dan harga) pentingnya peningkatan cukai (dan harga) EFFEKTIF TIDAK EFEKTIF

Dukungan terhadap larangan total dari Menekankan pengaruh teman sebagai iklan rokok penyebab utama merokok pada remaja tanpa menjelaskan pengaruh iklan dan promosi remaja Dukungan terhadap Kawasan Tanpa Mengabaikan Kawasan Tanpa Rokok Rokok Larangan pemajangang (display) Menekankan pembatasan akses remaja rokok yang menargetkan

produk tembakau dan membatasi rantai melalui bukti KTP, tanda larangan penjualan penjualan untuk anak, kebijakan tentang pembatasan umur untuk merokok Menekankan bahwa nikotin adalah Menggambarkan adiktif bahwa merokok

adalah pilihan dewasa bahwa remaja

Mendiskusikan resiko merokok bagi Menggambarkan semua umur

merokok merupakan masalah utama

Mendorong berhenti merokok pada Tidak mendorong berhenti merokok semua perokok, tua dan muda pada umur berapapun

b) Program Pendidikan Masyarakat Banyak diantara program pendidikan masyarakat yang terjadi di luar lingkungan sekolah: melalui media, film, pertunjukan seni dan internet. Media merupakan sarana yang penting untuk menyampaikan informasi kepada publik dan mempromosikan perlunya pengendalian tembakau. Salah satu sarana pendidikan masyarakat yang efektif dan tidak memerlukan biaya dari pemerintah adalah Peringatan Kesehatan berbentuk gambar di Bungkus Rokok (lihat Bab 8 tentang Label Peringatan Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau) : Menjangkau segala lapisan Efek repetitif: dilihat hampir 6000 kali/tahun oleh perokok yang merokok 1 bungkus/hr dengan 16 batang per bungkus Biaya produksi menjadi tanggungan industri rokok, bukan dana pemerintah Sebuah gambar yang jelas, kuat dan besar adalah sejuta kata Mudah dipahami oleh kelompok masyarakat berpendidikan rendah dan buta huruf Studi membuktikan terjadi perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku perokok setelah penerapan kebijakan peringatan kesehatan berbentuk gambar

Peringatan Kesehatan yang efektif adalah yang memenuhi syarat berikut: Minimum menempati 50% bungkus rokok di bagian atas pada sisi depan dan belakang permukaan lebar, berwarna, dengan spesifikasi bentuk dan ukuran huruf ditetapkan dalam produk hukum Pesan menginformasikan dampak penyakit secara jelas. Disertai pesan tulisan tunggal yang menjelaskan gambar

Terlihat jelas dari luar, tidak boleh tertutup penghalang Diberlakukan pada semua kemasan Diganti secara periodik

C. Program Berhenti Merokok Ketergantungan terhadap produk tembakau sangat tepat dianggap sebagai penyakit khronis dengan remisi dan relaps. Walaupun telah dilakukan intervensi baik minimal maupun intensif untuk berhenti merokok, tetapi umumnya perokok dengan bantuan berhenti merokok akan mengalami kambuhan dan membutuhkan pengulangan intervensi sebelum akhirnya benar-benar berhasil berhenti merokok. Surgeon General Report melaporkan intervensi farmakologis yang dikombinasikan dengan konseling memungkinkan 20-25% perokok untuk tetap berhenti merokok selama 1 tahun setelah pengobatani. Persentase keberhasilan tersebut sedikit lebih tinggi dari hasil studi Universitas Gajah Mada tahun 2001 pada perokok kelas menengah ke bawah di beberapa desa di Jawa Tengah, dimana terapi kombinasi menghasilkan tingkat keberhasilan berhenti merokok selama 12 bulan sebesar 15%. Walaupun angka ini masih lebih tinggi daripada intervensi dengan nikotin saja (keberhasilan 12 bulan adalah 7%) tetapi lebih rendah dari keberhasilan dengan metode konseling saja (17%). Nikotin sangat adiktif. Bahkan

orang yang cukup berpendidikan dan sangat ingin berhenti, masih mengalami kesulitan untuk berhenti merokokii. Salah satu indikator yang meyakinkan tentang efek adiktif nikotin adalah perbedaan jumlah perokok yang ingin berhenti dan yang berhasil berhenti merokok. Tingkat kesuksesan (success rate) terapi dihitung 3 bulan, 6 bulan dan 1 tahun setelah intervensi. Program berhenti merokok di Indonesia belum mendapat perhatian yang cukup karena fokus pengendalian masalah tembakau dewasa ini

diprioritaskan pada faktor lingkungan yang sangat mendorong orang untuk merokok dan mencegah orang berhenti merokok. Pemerintah belum memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi masyarakat untuk menangkal gencarnya iklan rokok, disamping rendahnya harga rokok yang akan mendorong meningkatkan konsumsi. Tambahan lagi, perlindungan menyeluruh terhadap paparan asap rokok orang lain masih belum berjalan dan pendidikan tentang bahaya rokok yang efektif dan menjangkau masyarakat luas melalui peringatan kesehatan berbentuk gambar belum diberlakukan. Walaupun demikian, upaya membantu perokok untuk berhenti merokok telah dirintis oleh Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada sejak beberapa tahun yang lalu melalui berbagai studi lapangan, program kerjasama dengan BP4 untuk memberikan pelatihan bagi petugas Puskesmas dan penyelenggaraan layanan klinik berhenti merokok dengan pendekatan konseling. Tahun 2008, IDI Cabang Makassar menyelenggarakan pelatihan program berhenti merokok selama 3 hari yang diikuti oleh 750 dokter umum se Sulawesi. Pada tahun yang sama, RSUP Persahabatan merintis klinik Berhenti Merokok dengan menggunakan intervensi farmako terapi. Secara umum, program berhenti merokok di Indonesia masih berada pada tahapan awal dan bersifat sporadis. 1) Keuntungan Berhenti Merokok Berhenti merokok pada usia berapapun selalu menguntungkan. Semakin cepat berhenti merokok, fungsi paru akan menjadi semakin baik, kematian dan kecacatan karena penyakit akibat rokok dapat dicegah.

Pada perokok tetap yang rentan terhadap dampak merokok, fungsi parunya menurun lebih cepat pada umur yang lebih dini dibandingkan bukan perokok. Lebih cepat berhenti merokok lebih baik. Sebagai contoh, berhenti merokok pada usia 45 tahun dapat memperbaiki fungsi paru dan mencegah kecacatan. Sekalipun berhenti merokok dilakukan pada usia lebih lanjut (misal 65 tahun), fungsi paru masih berpotensi untuk menjadi lebih baik dan umur harapan hidup diperpanjang. Perubahan pada tubuh setelah berhenti merokok: Dalam 20 menit : tekanan darah dan denyut nadi kembali normal Dalam 8 jam normal Dalam 24 jam : CO dieliminasi dari tubuh : kadar Oksigen darah kembali ke

Paru mulai mengeluarkan reak dan kotoran Dalam 48 jam tubuh Kemampuan pengecapan dan penciuman lebih baik Dalam 72 jam elastis Energi lebih meningkat Dalam 2-12 minggu tubuh membaik Dalam 3-9 bulan : Gangguan pernafasan seperti batuk, sesak, membaik : Sirkulasi darah di berbagai bagian : Bernafas terasa lega karena bronkhus lebih : Nikotin tidak dapat lagi dideteksi dalam

Secara keseluruhan fungsi paru meningkat 5-10% Dalam jangka panjang, berhenti merokok memberikan manfaat sebagai berikut. Dalam 1 tahun Dalam 5 tahun mulut turun 50% Dalam 10 tahun : Resiko kematian karena kanker paru dan stroke resiko bukan perokok : Resiko serangan jantung berkurang separuhnya : Resiko kematian karena kanker paru dan kanker

menurun sama dengan Dalam 15 tahun

: Resiko serangan jantung menurun sama dengan

resiko bukan perokok

2) Tehnik Berhenti Merokok Keinginan untuk terus merokok disebabkan karena kuatnya ketergantungan terhadap nikotin. Dibutuhkan kemauan yang kuat untuk berhenti merokok disamping dukungan lingkungan dan bantuan medik. Beberapa teknik untuk berhenti merokok adalah: a) Pendekatan perilaku (dengan konseling) dengan beberapa pilihan: Berhenti seketika (cold turkey) atau Berhenti bertahap melalui Pengurangan bertahap dari jumlah rokok yang diisap dan Penundaan waktu mulainya merokok setiap hari b) Pendekatan farmako terapi: Terapi Pengganti Nikotin (plester, permen karet, spray dan inhaler). Di Indonesia pada akhir tahun 2003 beredar obat NiQuitin plester (7 mg, 14 mg dan 21 mg). Untuk perokok sedang dan berat, pengobatan diberikan selama 10 minggu dengan pengurangan

dosis bertahap; Harga 1 paket tanpa biaya konsultasi adalah Rp 1.478.400, dan untuk perokok ringan, pengobatan diberikan selama 8 minggu, harga 1 paket pengobatan tanpa penghitungan biaya konsultasi adalah Rp 1.062.600. Tablet Bupropion yang merupakan obat anti depresan. Obat ini tidak terdapat di pasaran Indonesia. Tablet Varenicline yaitu obat generasi baru yang khusus dikembangkan untuk obat berhenti merokok (Nama dagangnya adalah Champix). Tidak mengandung nikotin sama sekali. Berfungsi agonis parsial yaitu mengikat reseptor nikotin di otak; nikotin di blok sehingga pelepasan Dopamin dikurangi secara parsial. Efek ini mengurangi gejala craving (keinginan yang kuat untuk merokok) dan sakau. Kurangnya Dopamin juga mengakibatkan kurangnya kepuasan sesaat yang ditimbulkan rokok (disebut efek antagonis). c) Terapi alternatif lain antara lain akupuntur, accupressure dan hipnoterapi.

DAFTAR PUSTAKA Dorland, W. A. Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi V. Jakarta: Interna Publishing Robbins, Stanley L. Etc. 2007. Buku Ajar Patologi edisi 7. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC Guyton, Arthur C., John E. Hall, 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta: EGC Hariadi, Slamet, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK-Unair Rab, Tabrani, Prof. dr.H. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: CV. Trans Info

Anda mungkin juga menyukai