Anda di halaman 1dari 37

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGATURAN DIET PADA LANSIA PENDERITA HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI AUR

KABUPATEN PASAMAN BARAT TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Berbagai perubahan fisiologis akibat proses penuaan akan dialami oleh lansia yang diantaranya mengarah pada gangguan sistem kardiovaskuler, termasuk terjadinya hipertensi. Kadar kolesterol total meningkat secara bertahap seiring dengan bertambahnya usia. Bukti peningkatan tingginya kadar kolesterol LDL dan rendahnya kadar kolesterol HDL adalah prediktor yang penting untuk penyakit arteri koroner pada lansia yang berusia di atas 65 tahun. Pengaturan diet untuk mengatasi berbagai masalah tersebut (khususnya penyakit hipertensi) menjadi sangat penting dan efektif bagi lansia (Mickey, 2007: 17). Penyakit hipertensi semakin berkembang selain karena faktor usia, juga karena terjadinya perubahan pola makan yang menjurus ke sajian siap santap yang mengandung lemak, protein, dan garam tinggi tapi rendah serat pangan (dietary fiber). Penelitian Lancet (2008) mendapatkan jumlah penderita hipertensi di seluruh dunia terus meningkat. Di India misalnya jumlah penderita hipertensi mencapai 60,4 juta orang pada tahun 2002 . Di bagian lain di Asia tercatat 38,4 juta penderita hipertensi dan di Indonesia mencapai 1721% dari populasi penduduk dan kebanyakan tidak terdeteksi. Menurut WHO 59% dari penderita hipertensi yang terdeteksi hanya 25% yang mendapat pengobatan dan hanya 12,5% yang bisa diobati dengan baik. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (2010) menunjukkan prevalensi penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi di Indonesia cukup tinggi, yaitu 123 per 1.000 anggota rumah tangga (Depkes RI, 2010: 62). Kasus hipertensi juga semakin sering dijumpai di masyarakat. Hasil pendataan kesehatan tahun 2010 dari laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota Padang didapatkan angka kejadian penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi sebesar 29,5% hal ini terus meningkat setiap tahunnya (Laporan Tahunan DKK, 2010). Data Kabupaten Pasaman Barat tahun 2010 menunjukkan angka kejadian penyakit hipertensi berada pada urutan ke tiga dari 10 penyakit terbanyak, yaitu sebesar 68%. Kasus hipertensi ini terus meningkat setiap tahunnya, dari data tahun 2008 sebesar 59% dan data tahun 2009 sebesar 61% (Laporan Dinas Kesehatan Kab. Pasaman Barat, 2010). Laporan tahunan Puskesmas Sungai Aur menunjukkan kasus hipertensi berada pada urutan ke tiga dalam 10 penyakit terbanyak, yang dialami oleh 23% wanita dan 14% pria yang berusia di atas 60 tahun. Kasus ini meningkat dari laporan tahun 2009 dimana kasus hipertensi hanya dialami oleh 20% wanita dan 13,5% pria berusia lebih dari 60 tahun (Laporan Tahunan Puskesmas Sungai Aur Tahun 2010).

Data lebih lanjut dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 10 lansia yang mengalami hipertensi di Puskesmas Sungai Aur pada akhir Nopember 2011 diketahui bahwa 8 lansia tidak bisa menjalankan diet yang tepat untuk mengatasi hipertensi, seperti membatasi konsumsi sementara ikan asin, daging dan makanan berkadar garam tinggi tetap dikonsumsi (tanpa pembatasan). Data studi pendahuluan tersebut juga menunjukkan bahwa terdapat 2 lansia yang terlalu membatasi konsumsi daging dan ikan untuk mencegah hipertensi hingga tubuhnya tampak kurus (BB di bawah normal). Pengaturan menu yang tepat bagi lansia yang mengalami hipertensi dapat dilakukan dengan empat cara. Cara pertama adalah diet rendah garam, yang terdiri dari diet ringan (konsumsi garam 3,75-7,5 gram per hari), menengah (1,25-3,75 gram per hari) dan berat (kurang dari 1,25 gram per hari). Cara kedua adalah dengan diet rendah kolesterol dan lemak terbatas. Cara ketiga adalah melalui diet tinggi serat, dan cara keempat adalah dengan diet rendah energi, terutama bagi lansia yang kegemukan (Astawan, 2007: 13). Jika lansia yang mengalami hipertensi tidak mengetahui pola pengaturan diet hariannya, maka akan beresiko terhadap timbulnya komplikasi akibat hipertensi yang diderita seperti CVA, gagal jantung dan sebagainya. Demikian pula halnya jika lansia melakukan pembatasan diet secara berlebihan, kasus hipertensinya belum tentu tertangani bahkan justru akan menimbulkan masalah baru seperti kurang gizi. Suatu area yang menjadi perhatian perawat adalah yang berhubungan dengan diet untuk mencegah terjadinya hipertensi dan yang berhubungan dengan pembatasan diet berlebihan untuk menghindari hipertensi, yang justru dapat menimbulkan asupan nutrisi lansia menjadi tidak adekuat. Perawat perlu memainkan peranannya sebagai health educator dan counselor agar lansia bisa mengendalikan terjadinya hipertensi melalui pengaturan diet, tanpa harus mengalami kurang gizi. Rekomendasi tambahan diet yang membatasi asupan protein dan lemak harus dibuat secara hati-hati. Lansia sering memerlukan bantuan untuk memperoleh diet yang seimbang yang terdiri atas distribusi kalori yang sesuai dan vitamin serta mineral yang esensial tanpa sumber pengubah lipid dari lemak hewani (Stanley, 2007: 21). Menurut Niven (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi pengaturan diet yaitu: pengetahuan, sikap, dukungan keluarga dan dukungan profesional kesehatan. Menurut Green dalam Notoadmodjo (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi pengaturan diet antara lain : pengetahuan, pendidikan, gaya hidup, pengalaman, sikap dan kepercayaan. Proses penuaan secara fisiologis membawa konsekuensi terhadap perubahan dan gangguan pada sistem kardiovaskuler, antara lain terjadinya penyakit hipertensi. Hipertensi pada lansia diharapkan bisa dikendalikan melalui pengaturan pola makan atau diet yang tepat, sehingga hipertensi dapat terkontrol dan dampak yang ditimbulkan oleh hipertensi tersebut dapat diminimalisasi. Namun fakta dilapangan menunjukkan gejala yang sebaliknya. Masyarakat belum memahami cara pengaturan diet dan pola makan (diet) yang tepat, sehingga kasus hipertensi bukannya berkurang, tapi justru semakin meningkat, bahkan bisa timbul kasus lain yang justru dapat memperberat hipertensi seperti malnutrisi yang terjadi akibat pembatasan makanan berlebihan untuk mencegah hipertensi. Menurut penelitian di poliklinik penyakit kardiovaskuler RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo tentang Hipertensi yang dilakukan oleh EM. Moegni (2010) menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan pengaturan diet yang tepat pada lansia hipertensi sebesar 78%, penelitian yang dilakukan oleh Sigarlaki (2009) menyatakan adanya hubungan antara peran tenaga kesehatan dengan pengendalian pola makan pada lansia hipertensi sebesar 39%, penelitian Meutia (2008) menyatakan adanya hubungan antara motivasi keluarga dengan pengaturan pola makan lansia hipertensi sebesar 81% (EM. Moegni, 2010). Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas

Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, peneliti membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat tahun 2012.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat tahun 2012. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Diketahuinya distribusi frekuensi pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat tahun 2012. b. Diketahuinya distribusi frekuensi pengetahuan lansia penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat tahun 2012. c. Diketahuinya distribusi frekuensi dukungan keluarga lansia penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat tahun 2012. d. Diketahuinya distribusi frekuensi dukungan petugas kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat tahun 2012. e. Diketahuinya hubungan pangetahuan lansia dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat tahun 2012. f. Diketahuinya hubungan dukungan keluarga dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat tahun 2012. g. Diketahuinya hubungan dukungan petugas kesehatan dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat tahun 2012.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat memberi gambaran dan menambah pengetahuan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat, serta sebagai bentuk aplikasi dari ilmu-ilmu yang penulis dapat selama mengikuti perkuliahan. 1.4.2 Bagi Puskesmas

Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat, untuk kemudian dipergunakan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat di pengurangan angka kejadian hipertensi.

1.4.3 Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat disampaikan kepada masyarakat misalnya melalui kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan seperti tahlilan yang ada di desa sehingga menjadi informasi bagi masyarakat, khususnya para lansia terkait dengan pengaturan diet pada lansia yang menderita hipertensi. 1.4.4 Bagi Peneliti selanjutnya Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

1.5

Ruang Lingkup Penelitian

Untuk membatasi cakupan pembahasan dan penelitian, maka peneliti hanya membatasi penelitian untuk variabel independen yaitu pengetahuan, dukungan keluarga, dukungan petugas kesehatan dan variabel dependen yaitu pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1

Hipertensi Pengertian Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg atau bila pasien memakai obat anti hipertensi (Mansjoer, 1999: 2). Menurut JNC VI hipertensi adalah kenaikan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan

tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg (Rohaendi, 2008: 11). Menurut WHO (1987) batas tekanan darah normal adalah 140/90 mmHg dan tekanan darah yang sama dengan atau diatas 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi (Suyono, 2001: 24). Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah, terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya (Sustrani, 2006: 3). 2.1.2 Fisiologi

Hipertensi dapat terjadi jika ada kenaikan curah jantung dan tahanan perifer total, dan disebabkan juga oleh meningkatnya kadar epineprin plasma, sehingga memberikan efek pada sistem kardiovaskuler, oleh karena itu akan terjadi perubahan fungsi pada sistem pengendalian darah karena tidak berfungsinya reflek baroreseptor atau reflek kemoreseptor, sehingga pusat vasomotor dibatang otak menjadi hiperaktif. Dan melalui saraf simpatis ke jantung dan di lain pihak pada pembuluh darah menyebabkan perubahan diameter yang semakin menyempit sehingga tekanan perifer meningkat (Yogiantoro, 2006: 74). 2.1.3 Faktor-faktor yang berpengaruh pada kejadian hipertensi

Sampai saat ini penyebab hipertensi secara pasti belum diketahui dengan jelas disebut dengan hipertensi primer dan terdapat 95% dari kasus hipertensi (Mansjoer, 1999: 5). Menurut Elsanti (2009: 24), ada 2 faktor yang mempermudah terkena hipertensi yaitu faktor yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol. Beberapa faktor yang tidak dapat dikontrol antara lain: a. Jenis kelamin Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause (Marliani, 2007: 31). b. Umur Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar 50% diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitas atau kelenturan serta tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Peningkatan kasus hipertensi akan berkembang pada umur lima puluhan dan enampuluhan. Dengan bertambahnya umur, dapat meningkatkan risiko hipertensi.

c.

Keturunan (Genetik) Menurut Rohaendi (2008: 43), mengatakan bahwa Tekanan darah tinggi cenderung diwariskan dalam keluarganya. Jika salah seorang dari orang tua ada yang mengidap tekanan darah tinggi, maka anaknya akan mempunyai peluang sebesar 25% untuk mewarisinya selama hidup. Jika kedua orang tua mempunyai tekanan darah tingi maka peluang anaknya untuk terkena penyakit ini akan meningkat menjadi 60%.

Sedangkan faktor yang dapat dikontrol pada umumnya berhubungan dengan gaya hidup dan pola makan yaitu: a. Obesitas

Pada usia pertengahan ( + 50 tahun ) dan dewasa lanjut asupan kalori sehingga mengimbangi penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia karena dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi (Rohendi, 2008: 57). Untuk mengetahui seseorang mengalami obesitas atau tidak, dapat dilakukan dengan mengukur berat badan dengan tinggi badan, yang kemudian disebut dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut: BB (kg) IMT = -------------TB x TB (m)

Tabel 2.1 Standar indek masa tubuh

Status Gizi Normal Kegemukan Obesitas

Wanita 17 23 23 27 >27

Laki-laki 18 25 25 27 >27

Ket: BB = Berat Badan, TB = Tinggi Badan b. Kurang olahraga Olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu. Olahraga yang tepat untuk penderita hipertensi adalah yang bisa meningkatkan detak jantung dan pernapasan, seperti berenang, berjalan, jogging, bahkan aktivitas yang dilakukan sehari-hari seperti naik tangga, berkebun, membersihkan rumah dan pekerjaan lainnya akan sangat menyehatkan. Lakukanlah olahraga paling tidak 30 menit sehari (http://www.tipsdietcepat.com/cara-mengatasi-darah-tinggi-hipertensi). Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri.

c.

Kebiasaan merokok

Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis. Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari Brigmans and Womens Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari (Rahyani, 2007: 76). d. Mengkonsumsi garam yang berlebihan Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi (Wolff, 2008: 32-35). e. Minum alkohol Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan organorgan lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi (Marliani, 2007: 62). f. Minum kopi

Faktor kebiasaan minum kopi di dapatkan dari satu cangkir kopi mengandung 75-200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg. 2.1.4 Klasifikasi Hipertensi

2.1.4.1 Berdasarkan penyebab dikenal dua jenis hipertensi, yaitu : Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup + 90% dari kasus hipertensi (Wibowo, 1999: 117). Hipertensi sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi (Sheps, 2005: 17). 2.1.4.2 Berdasarkan bentuk hipertensi, yaitu hipertensi diastolic, campuran dan sistolik

Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi) yaitu peningkatan tekanan darah pada sistol dan

diastol. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut. (Gunawan, 2001: 31). Menurut WHO dalam buku ajar keperawatan kardiovaskuler kategori hipertensi seperti tabel 2.1 di bawah ini : Tabel 2.2 Kategori Hipertensi menurut WHO

Kategori Optimal Normal High Normal Hipertensi : Derajat I Derajat II Derajat III

Sistolik Mmhg <120 <130 130-139 140-159 160-179 >180

Diastolik <80 <85 85-89 90-99 100-109 >110

Sumber: Masjoer, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. 2.1.5 Penatalaksanaan Hipertensi

Menurut Purwati, Salimar, Rahayu (2004: 28), tujuan pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah dan secara langsung akan menurunkan morbilitas dan mortalitas. Pengobatan pada hipertensi ada 2 macam yaitu pengobatan farmakologis dan non farmakologis yaitu: a. Pengobatan non farmakologis antara lain perubahan gaya hidup meliputi perubahan pola makan seperti diet rendah garam, diet rendah kolesterol dan lemak terbatas diet tinggi garam. Kemudian mengurangi konsumsi alkohol, berhenti merokok, mengurangi berat badan bagi penderita yang obesitas, meningkatkan aktivitas fisik, olahraga teratur, menghindari ketegangan, istirahat cukup, berdoa, selain dari segi nonfarmakologis pengobatan farmakologis juga dibutuhkan.

b. Farmakologis Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta blocker, calcium chanel blocker atau calcium antagonist, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/ blocker (ARB).

2.2 2.2.1

Lansia Pengertian Lanjut usia

Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun keatas (Setiabudi dan Hardywinoto, 2005: 77). Menurut UU No. 13 Tahun 1998 (BAB I Pasal 1 Ayat 2) tentang

Kesejahteraan Lanjut Usia Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas. Teori Genetik dan Mutasi menyebutkan bahwa menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Menua ini terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah dipakai (Sikhan, 2009: 68). Menurut Nugroho (2008: 22) menyebutkan bahwa pengertian usia lanjut adalah mereka yang telah berusia 60 tahun atau lebih. Jadi lanjut usia dapat kita artikan sebagai kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya. 2.2.2 Batasan Lanjut Usia

Menurut WHO tingkatan lanjut usia adalah: a. Eelderly ialah kelompok usia 60 sampai 74 tahun. b. Lanjut usia tua (old) ialah kelompok usia 75 sampai 90 tahun. c. Usia sangat tua (very old) ialah usia di atas 90 tahun. Menurut Sumiati (2000: 64), Membagi periodisasi biologis perkembangan manusia sebagai berikut: Umur 40-65 tahun : masa setengah umur (prasenium), 65 tahun ke atas : masa lanjut usia (senium). Sedangkan menurut Nugroho (2008: 11), Pengelompokan lanjut usia sebagai berikut: Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 atau 70 tahun. Untuk umur 70-75 tahun (young old), 75-80 tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old). Kalau dilihat pembagian umur dari beberapa ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang telah berumur 65 tahun ke atas.

2.3 2.3.1

Diet Untuk Mencegah Hipertensi Pengertian Diet

Menurut Purwati, Salimar, Rahayu (2004: 4), diet hipertensi adalah salah satu cara untuk mengatasi hipertensi tanpa efek yang serius, karena metode pengendaliannya yang alami. Hanya saja banyak orang yang menganggap diet hipertensi sebagai sesuatu yang merepotkan dan tidak menyenangkan. Banyak makanan kesukaan bisa masuk daftar terlarang, misalnya garam penyedap, pop corn asin dan kentang.

Tujuan diet hipertensi menurut Purwati, Salimar, Rahayu, (2004: 8-13) sebagai berikut : a. Mengurangi asupan garam Mengurangi garam sering juga diimbangi dengan asupan lebih banyak kalsium, magnesium dan kalium. Puasa garam untuk kasus tertentu dapat menurunkan tekanan darah secara nyata. Umumnya seseorang mengkonsumsi lebih banyak garam dari pada yang dibutuhkan tubuh. Idealnya cukup menggunakan sekitar satu sendok teh saja atau sekitar 5 gram per hari.

b. Memperbanyak serat Mengkonsumsi lebih banyak sayur yang mengandung banyak serat akan memperlancar buang air besar dan menahan sebagian asupan natrium. Sebaiknya penderita hipertensi menghindari makanan kalengan dan makanan siap saji dari restoran, yang dikhawatirkan mengandung banyak pengawet dan kurang serat, misalya semangkuk sereal mengandung sekitar 7 gram serat. c. Menghentikan kebiasaan buruk Menghentikan rokok, kopi dan alcohol dapat menguragi beban jantung, sehingga jantung dapat bekerja dengan baik. Rokok dapat meningkatkan resiko kerusakan pembuluh darah dengan mengendapkan kolesterol pada pembuluh darah jantung koroner, sehingga jantung bekerja lebih keras. Sedangkan alkohol dapat memacu tekanan darah. Selain itu, kopi dapat memacu detak jantung. Menghentikan kopi berarti menyayangi jantung agar tidak terbebani lebih berat. d. Perbanyak asupan kalium Penelitian menunjukkan dengan mengkonsumsi 3500 mg kalium dapat membantu mengatasi kelebihan natrium, sehingga dengan volume darah ideal yang dapat dicapai kembali tekanan darah yang normal. Makanan yang banyak mengandung kalium misalnya pisang, sari jeruk, alpokat, melon, tomat, kentang, jagung dan brokoli. e. Penuhi kebutuhan magnesium Penelitian menunjukkan bahwa asupan magnesium yang tinggi yaitu menurut RDA (Recommended Dietary Allowance) adalah sekitar 3500 mg dapat mengurangi tekanan darah pada seseorang yang mengalami hipertensi. Untuk memperoleh asupan magnesium yang cukup dapat mengkonsumsi jenis makanan yang kadar magnesiumnya tinggi misalnya kacang-kacangan, buncis, sayuran berwarna hijau gelap, gandum murni dan makanan laut. Makanan dari kedelai seperti tahu, tempe, dan susu kedelai juga kaya akan magnesium. f. Lengkapi kebutuhan kalsium Kandungan kalsium yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu 800 mg yang setara dengan 3 gelas susu dapat mencegah terjadinya komplikasi pada penyakit hipertensi. Makanan yang banyak mengandung kalsium misalnya bayam, brokoli, sawi, keju rendah lemak, ikan salmon dan sardine. g. Manfaat sayuran dan bumbu dapur Sayuran dan bumbu dapur yang bermanfaat untuk pengontrol tekanan darah seperti tomat, wortel, seledri, bawang putih dan kunyit. 2.3.2 Pola Makan untuk Mencegah Hipertensi

Pola makan adalah cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengkonsumsi dan menggunakan makanan yang tersedia, yang didasarkan faktor-faktor sosial dan budaya dimana mereka hidup. Pola makan tersebut akan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain kebiasaan, kesenangan, agama, ekonomi, lingkungan sesuatu yang kompak yang dapat disebut sebagai pola konsumsi (Santoso, 1999: 14). Dari pengertian tentang pola diet tersebut memerlukan landasan pengetahuan tentang makanan sehat bergizi dalam memenuhi konsumsi sehari-hari, khususnya bagi setiap individu pendidikan gizi sulit berhasil bila tidak disertai peningkatan pengetahuan mengenai sikap, kepercayaan, dan nilai dari masyarakat. Disamping itu makanan biasanya mempunyai hubungan dengan perasaan seseorang, rasa suka akan suatu makanan terbentuk oleh rasa senang atau puas yang diperoleh pada saat makan makanan tersebut sebelumnya. Hal ini kemudian akan membentuk kebiasaan makan yaitu suatu pola perilaku konsumsi pangan yang terjadi berulang-ulang.

Upaya penanggulangan hipertensi melalui pengaturan makanan pada dasarnya dengan mengurangi konsumsi garam/diet garam rendah, diet rendah lemak, dan diet rendah kalori bila obesitas serta diet tinggi serat (Purwati, Salimar, Rahayu, 2004: 31). a. Diet Rendah Garam

Diet rendah garam mempunyai 2 tujuan yaitu pertama untuk menurunkan tekanan darah dan yang kedua untuk mencegah oedema dan penyakit jantung. Selain itu untuk menghilangkan retensi air atau garam sehingga dapat menurunkan tekanan darah (Bagian Gizi RSCM dan persatuan ahli gizi Indonesia, 2009). Menurut Purwati, Salimar, Rahayu (2004: 32), Diet rendah garam dibagi dalam 3 kategori yaitu diet rendah garam I (200-400 mg natrium), diet rendah garam II (600-900 mg natrium) dan diet rendahgaram III (1000-1200 mg natrium). Dalam diet rendah garam, selain membatasi konsumsi garam dapur, juga harus membatasi sumber garam lainnya. Sumber garam lain antara lain makanan yang mengandung soda kue, baking powder, MSG (Mono Sodium Glutamat), pengawet makanan yang terdapat pada saos, kecap, jelly, selai serta makanan yang dibuat dari mentega, serta obat yang mengandung Natrium. Bagi penderita hipertensi biasakan dalam penggunaan obat dikonsultasikan dengan dokter terlebih dahulu. Secara umum penderita tekanan darah tinggi atau hipertensi yang sedang menjalani diet pantang garam harus memperhatikan beberapa hal antara lain jangan menggunakan garam dapur, baik untuk penyedap masakan atau dimakan langsung, hindari makanan yang diawetkan yang diolah menggunakan garam, hindari bahan makanan yang diolah dengan menggunakan bahan makanan atau tambahan atau penyedap rasa seperti saos, batasi penggunaan penyedap rasa untuk menambah kelezatan makanan, hindari penggunaan baking soda atau obat-obatan yang mengandung sodium, batasi konsumsi bahan makanan hewani ataupun nabati yang tinggi kadar natriumnya, batasi minuman yang bersoda seperti cocacola, fanta, sprite (Purwati, Salimar, Rahayu, 2004: 34). b. Diet Rendah Kolesterol dan lemak

Kolesterol merupakan bagian dari lemak dan didalam tubuh terdapat tiga bagian lemak yaitu kolesterol, trigliserida dan pospolipid. Tubuh memperoleh kolesterol dari makanan sehari dan hasil sintesis dalam hati. Sekitar 25-50% kolesterol yang dimakan dapat diabsorbsi oleh tubuh, selebihnya akan dibuang melalui faeces. Jika konsumsi kolesterol berlebihan penyerapan didalam tubuh juga meningkat. Dalam makanan lemak terdiri dari 2 macam lemak yaitu lemak jenuh dan tak jenuh. Lemak jenuh bersifat menaikan kadar kolesterol dan trigliserida darah. Lemah jenuh banyak terdapat pada makanan yang berasal dari hewan dan sebagian kecil tumbuh-tumbuhan. Lemak tak jenuh cenderung menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah dan banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan seperti minyak kedelai dan lain-lain (Purwati, Salimar, Rahayu, 2004: 37). c. Diet Tinggi Serat

Serat dikenal ada 2 macam yaitu serat kasar dan serat makanan. Serat kasar terdapat pada buah dan sayuran, serat makanan terdapat pada selain buah dan sayuran serta umbi-umbian. Menurut dokter ahli serat makanan, Dr. James A. dari Amerika Serikat dalam Purwati, Salimar, Rahayu, (2004: 38) bahwa mengungkapkan bahwa serat kasar dapat mencegah tekanan darah tinggi, serat ini akan mengikat kolesterol maupun asam empedu dan membuangnya melalui feces, keadaan ini dapat dicapai jika makanan yang dikonsumsi mengandung serat cukup tinggi. Berdasarkan hal diatas penderita hipertensi dianjurkan setiap hari mengkonsumsi makanan tinggi serat antara lain golongan buah-buahan, golongan sayuran segar. Karena pemberian makan yang masih segar seperti buah dan sayuran segar dapat mengganti kalium yang banyak keluar akibat pemberian diuretik. Selain itu dapat juga diberikan golongan protein nabati, susu tanpa lemak dan makanan lain

seperti agar-agar dan rumput laut (Purwati, Salimar, Rahayu, 2004: 39). d. Diet Kalori

Untuk penderita hipertensi yang mempunyai berat badan diatas normal dianjurkan untuk menurunkan berat badannya dengan pembatasan kalori dan perlu diperhatikan masukan kalori dikurangi 25% dari kebutuhan energi atau 500 kalori untuk penurunan 500 gram / kg berat badan perminggu, menu makanan harus seimbang dan memenuhi zat gizi seperti protein, vitamin dan mineral, selain itu perlu melakukan aktivitas olah raga ringan (Purwati, Salimar, Rahayu, 2004: 42).

2.4

Pengaturan Diet Pada Lansia

Pengaturan diet pada usia lanjut bertujuan agar yang bersangkutan tetap dapat berproduktivitas tinggi dan mencegah penyakit degeneratif yang muncul pada usia lanjut. Penatalaksanaan diet yang tepat pada lansia dipengaruhi juga oleh pengetahuan dan pendidikan. Pengaturan diet pada lansia antara lain: 1. Jumlah energi sehari lebih rendah dari pada dewasa muda.

2. Susunan makanan sehari hendaknya terdiri dari campuran tiga kelompok bahan makanan, yaitu: a. Sumber energi, antara lain: beras dan hasil olah, roti, mie ubi dan kentang. Makan 3-5 gelas nasi sehari. Energi sebaiknya tidak berasal dari energi kosong seperti permen dan minuman ringan. Kue manis dan makanan penutup. Kalau makan snack, nasi dikurangi. b. Sumber zat pembangun antara lain susu dan hasil olah, daging, ayam, ikan, telur, kacang-kacangan dan hasil olah seperti tempe dan tahu. c. Sumber zat pengatur yaitu sayur dan buah. Utamakan sayur kacang-kacangan, sayuran daun yang berwarna hijau, merah-jingga, dan kuning-jingga seperti bayam, daun singkong, tomat, wortel, jeruk dan pepaya. Makan 2-3 mangkok sayuran dan 23 porsi buah-buahan sehari. 3. Dianjurkan makan ikan (tawar, laut) secara teratur 3-4 kali seminggu untuk mencegah penyakit jantung. 4. Usahakan minum segelas susu setiap hari. Kalau tidak tahan, susu dapat diganti dengan bubur kacang hijau, susu kedelai dan lain-lain. 5. Sebaiknya banyak makan sayur dan buah-buahan untuk mencegah sembelit. Sayur dan buah mengandung vitamin dan mineral yang sangat diperlukan. 6. Minum air putih dalam jumlah yang cukup, sekitar 8 gelas sehari.

7. Olahraga secara teratur untuk mencaga kebugaran tubuh, olahraga ringan seperti jalan santai setiap akhir pekan sanagat disarankan (Irianto, 2007: 56-58).

2.5 2.5.1

Kandungan Gizi yang Dibutuhkan Lansia Hipertensi Karbohidrat

fungsi karbohidrat adalah penyedia energi. Pada lansia kebutuhan gula dibatasi karena :

a. Gula tidak mengandung gizi kecuali zat tenaga. Sedangkan pada lansia konsumsi zat-zat gizi lain seperti vitamin, protein dan mineral diutamakan untuk mencegah proses penurunan fungsi tubuh. b. Gula cepat diserap (absorpsi) sehingga mengakibatkan perubahan kadar gula darah dan memungkinkan terjadinya obesitas (kegemukan) dan diabetes. Makanan yang dianjurkan: beras, kentang, singkong, terigu, gula yang diolah tanpa garam seperti macaroni, mie, biskuit dll. Makanan yang dihindari: roti dan kue yang dimasak menggunakan garam dapur. 2.5.2 Protein

Fungsi dari protein sebagai zat pembangun dari sel tubuh. Pada lansia sebaiknya memilih daging unggas-unggasan daripada daging sapi atau kambing dan hendaknya tidak makan lebih dari 2 potong daging dalam sehari. Makanan yang dianjurkan: daging, ikan, telur dan susu, semua kacang-kacangan dan sayuran. Makanan yang dihindari: ikan asin, keju, kornet, dendeng, udang, kacang tanah dan sayuran yang dimasak atau diawetkan dengan garam dapur. 2.5.3 Lemak

Lemak berfungsi sebagai pelarut vitamin A, D, E, dan K membentuk tekstur mkanan dan memberi rasa kenyang yang lama. Lemak juga berfungsi sebagai cadangan energi. Makanan yang dianjurkan: minyak margarine dan dan mentega tanpa garam. Makanan yang dihindari: margarine dan mentega biasa. Pada lansia lemak sebaiknya dibatasi, mengingat: a. Berkurangnya aktivitas tubuh sehingga kebutuhan energi juga menurun.

b. Berkurangnya produksi enzim mengakibatkan pencernaan lemak tidak jenuh sempurna, sehingga membebani usus dan lambung yang akan mengakibatkan gangguan pada usus. c. Lemak dengan kandungan asam lemak jenuh yang tinggi memicu penyakit jantung dan pembuluh darah. d. Kelebihan lemak akan tersimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk timbunan lemak yang menyebabkan kegemukan. 2.5.4 Vitamin

Fungsi dari vitamin yaitu untuk mempercepat metabolisme, mempertahankan fungsi jaringan tubuh dan mempengaruhui pertumbuhan dan pembentukan jaringan. Pada lansia vitamin sangat penting terutama vitamin B1 agar tubuh selalu bugar yang dapat diperoleh dari beras merah. Makanan yang dianjurkan: semua buah yang tidak diawetkan dan air putih. Makanan yang dihindari: durian, buah-buahan yang diawetkan oleh garam dan soda, kopi dan coklat. 2.5.5 Mineral dan Air

Fungsi dari mineral yaitu pembentukan jaringan tubuh dan memilihara keseimbangan asam basa. Kalsium sangat penting bagi lansia terutama lansia wanita yang muda terjadi osteoporosis akibat monopause. Cuntoh makana yang tinggi kalsium adalah susu, ikan ikan yang dimakan dengan tulangnya, sayuran hijau, kedelai dan rumput laut. Lansia hendaknya minum 6-8 gelas susu sehari mengingat fungsi ginjal menurun dan untuk melancarkan buang air besar.

2.5.6

Serat

Serat tidak dapat dicerna, maka serat tidak mengandung gizi tetapi tetap dibutuhkan untuk mencegah sembelit, wasir, kanker usus, penyakit jantung dan kegemukan bila kekurangan serat (maryam dkk, 2008: 76-79).

2.6 Faktor-faktor yang berhubungan dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi

Dalam pelaksanaannya penelitian ini mengacu kepada kerangka konsep perilaku teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007: 108) ada tiga faktor utama yaitu : a. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistim nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. Untuk berprilaku kesehatan, misalnya: dalam penanggulangan hipertensi diperlukan pengetahuan dan kesadaran lansia tentang manfaat diet terhadap hipertensi. Disamping itu kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat lansia untuk melakukan diet, misalnya : kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan konsumsi garam yang tidak terbatas. Faktor-faktor ini apabila di ubah menjadi sikap yang positif maka akan mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah.

b.

Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Factors)

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana pendukung, misalnya alat pemeriksaan tekanan darah yang ada di puskesmas, puskesmas pembantu dan posyandu lansia. Dengan ketersediaan alat-alat yang lengkap, lansia diharapkan rutin memeriksakan kesehatannya pada tempat-tempat tersebut, selain karena tahu dan sadar akan manfaat pemeriksaan kesehatan, lansia juga dengan mudah memperoleh fasilitas atau menjangkau tempat pemeriksaannya. Fasilitas ini biasanya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin. c. Faktor-faktor Penguat (Reinforcing Factors)

Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintahan daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat biasanya bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku yang dapat dijadikan referensi dari hasil penglihatan langsung.

Menurut teori L. Green dalam Notoatmodjo (2007: 108), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku adalah:

1. 2.

3. 4.

Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber: L. Green dalam Notoatmodjo (2007: 108)

2.6.1

Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003: 128), pengetahuan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan suatu hal. Pengetahuan adalah apa yang diketahui seseorang tentang sesuatu hal yang didapat baik secara formal maupun informal. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari Tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dorongan fisik dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun dengan dorongan sikap perilaku setiap orang sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan stimulasi terhadap tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003: 128). Bloom dalam Notoatmodjo (2003: 122-123), menguraikan pengetahuan subjek atau respon dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Tahu (Know), adalah mengingat materi yang telah dipelajari sebelumnya.

b. Memahami (Comprehension), adalah kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang diketahui. c. Aplikasi (Aplication), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. d. Analisa (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjalankan materi/objek kedalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitan satu sama lain. e. Sintesis (Syntesis), adalah menunjukkan kepada suatu komponen untuk melakukan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi (Evaluation), adalah berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu objek, penelitian itu berdasarkan suatu kriteria yang sudah ada. Berdasarkan teori di atas maka dalam mencegah terjadinya hipertensi, pengetahuan adalah apa saja yang diketahui oleh lansia mengenai upaya penanggulangan penyakit hipertensi. Seandainya lansia sudah mengetahui dan mengerti tentang pengaturan diet dalam pola makan yang meliputi diet rendah garam, diet rendah kolesterol dan lemak, diet tinggi serat dan diet kalori maka akan timbul pemikiran yang positif. Pemikiran itu akan menghasilkan sikap positif yaitu setuju dalam hal tersebut dan selanjutnya lansia berniat untuk melakukan pengaturan diet dalam pola makan seharihari. 2.6.2 Dukungan keluarga

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman, 1998: 110). Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses pengembangan timbal balik rasa cinta dan kasih sayang antara anggota keluarga, antar kerabat, serta antar generasi yang merupakan dasar keluarga yang harmonis. Hubungan kasih sayang dalam keluarga merupakan suatu rumah tangga yang bahagia. Dalam kehidupan yang diwarnai oleh rasa kasih sayang maka semua pihak dituntut agar memiliki tanggung jawab, pengorbanan, saling tolong menolong, kejujuran, saling mempercayai, saling membina pengertian dan damai dalam rumah tangga (Soetjiningsih, 1995: 47). Fungsi keluarga menurut Carpenito (2000: 33-35) adalah : a. Fungsi afektif Gambaran diri anggota keluarga, perasaan memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan keluarga terhadap anggota keluarga lain, saling menghargai dan kehangatan di dalam keluarga.

b. Fungsi sosialisasi Interaksi atau hubungan dalam keluarga, bagaimana keluarga belajar disiplin, norma, budaya dan perilaku. c. Fungsi kesehatan Sejauh mana keluarga menyediakan pangan, perlindungan dan merawat anggota yang sakit, sejauh mana pengetahuan tentang masalah kesehatan, kemampuan keluarga untuk melakukan 5 tugas kesehatan dalam keluarga serta kemauan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan yang sedang dihadapi. d. Fungsi ekonomi Keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Keluarga memanfaatkan sumber yang ada di masyarakat dalam upaya peningkatan status kesehatan keluarga. Hal yang menjadi pendukung keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang sehat, fasilitas-fasilitas yang dimiliki keluarga untuk menunjang kesehatan. Fasilitas mencakup fasilitas fisik, fasilitas psikologis atau dukungan dari masyarakat setempat. Menurut Caplan (1964) dalam Friedman (1998: 113-115) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa jenis dukungan sosial keluarga yaitu: a. Dukungan informasional Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pemberian uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk ini dapat mengurangi stres karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang behubungan dengan materi. b. Dukungan penilaian Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian. Bentuk dukungan ini melibatkan pemberiaan informasi, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan mudah. c. Dukungan instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya : kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan. Dukungan instrumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah yang dianggap dapat dikontrol.

d. Dukungan emosional Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh keluarga sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol. Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial kelurga internal, seperti dukungan dari suami atau istri serta dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman, 1998: 117). Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998: 119). Wills (1985) dalam Friedman (1998: 125) menyimpulkan bahwa baik efek-efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Ryan dan Austin dalam Friedman, 1998: 132). 2.6.3 Dukungan Petugas Kesehatan

Peran petugas kesehatan adalah penampilan hasil karya personel baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Peran dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personel. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personel yang memangku jabatan fungsional maupun struktural tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personel di dalam organisasi. Interaksi petugas kesehatan dengan pasiennya terjadi di beberapa titik pelayanan yaitu poliklinik, laboratorium, tempat pengambilan obat dan pada waktu kunjungan rumah. Keberhasilan penanganan hipertensi sangat bergantung antara lain pada kemampuan petugas melakukan komunikasi interpersonal dengan pasien dan keluarganya (Ilyas, 2001: 38-42). Peranan petugas kesehatan dalam penyuluhan tentang hipertensi perlu dilakukan, karena masalah hipertensi banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan penyakit hipertensi. Kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan hipertensi. Penyuluhan hipertensi dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan dibagi dalam: a. Penyuluhan langsung bila dilakukan seperti: perorangan dan kelompok. b. Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media, dalam bentuk:

1. Bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk 2. Media massa, yang dapat berupa; media cetak sepertikoran, majalah, media elektronik seperti radio dan televisi.

2.7

Kerangka Konsep

Berdasarkan tinjauan teori dan tujuan penelitian ini maka ditarik kerangka konsep sebagai berikut: Variabel Independen Pengetahuan Lansia

Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Pengaturan Diet pada Lansia penderita Hipertensi

2.8

Hipotesis

1. Adanya hubungan pengetahuan lansia dengan pengaturan diet pada lansia penderita

hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat tahun 2012. 2. Adanya hubungan dukungan keluarga dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat tahun 2012. 3. Adanya hubungan dukungan petugas kesehatan dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat tahun 2012.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1

Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah survei analitik dengan desain Cross Sectional, dimana variabel independen dan variabel dependen diukur sekaligus pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2005: 148).

3.2

Lokasi dan waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2012.

3.3 3.3.1 Populasi

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia berusia 60 tahun ke atas yang menderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat yaitu berjumlah 113 orang lansia. 3.3.2 Sampel a. Besar Sampel

Untuk menentukan jumlah sampel diambil dengan menggunakan rumus (Ariawan, 1998 : 62) :

Keterangan :

n N

: Jumlah sampel : Besar populasi (113)

Z1-/2 : Derajat kepercayaan (CI 95% = 1,96) P Q d : Proporsi ( P = 0,5) :1-P : Presisi mutlak (gunakan 10% atau 0,1)

n = 52, 1 (52 orang)

b. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara probability sampling, dengan menggunakan Simple Random Sampling (Notoatmodjo, 2005: 88). Dengan kriteria sebagai berikut: 1. Kriteria Inklusi: a) b) c) 2. Bersedia menjadi responden. Berada di tempat pada saat wawancara. Bisa diajak berkomunikasi.

Kriteria Eksklusi : a) b) Responden tidak bisa ditemui dalam tiga kali kunjungan. Responden yang sudah pindah dari daerah yang dijadikan lokasi penelitian.

3.4

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dari penelitian ini diperoleh dari dua sumber data sebagai berikut: 3.4.1 Data primer

Data yang diperoleh dari wawancara secara langsung pada responden terhadap variabel independen (pengetahuan, dukungan keluarga dan dukungan tenaga kesehatan) dengan menggunakan kuesioner sebagai panduan. 3.4.2 Data sekunder

Data yang diperoleh dari laporan tahunan Puskesmas Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat serta gambaran demografinya dan lain-lain yang digunakan sebagai data pendukung dengan pelengkap data primer yang ada relevansinya dengan penelitian ini.

3.5

Teknik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data secara komputerisasi melalui suatu proses dengan tahapan sebagai berikut:

3 3.4 3.5.1 Pengeditan (Editing)

Dilakukan dengan memeriksa kelengkapan jawaban kuesioner dengan tujuan agar data yang masuk dapat diolah secara benar sehingga pengolahan data dikelompokkan dengan menggunakan aspek pengaturan. 3.5.2 Pengkodean (Coding)

Memberikan kode pada setiap jawaban yang diberikan responden, yaitu merubah huruf menjadi bentuk angka/bilangan yaitu: a. Variabel dependen Pengaturan Diet pada Lansia terhadap Hipertensi dilakukan koding: 1 = melakukan diet dan 0 = tidak melakukan diet. b. Variabel independen pengetahuan: 1 = tinggi dan 0 = rendah, dukungan keluarga: 1 = tinggi dan 0 = rendah, dukungan petugas kesehatan: 1 = tinggi dan 0 = rendah. 3.5.3 Memasukan Data (Entry)

Kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau database komputer. 3.5.4 Pengolahan Data (Processing).

Merupakan kegiatan pengolahan data mentah menjadi data jadi yang siap dibaca. Diberi scoring sesuai dengan kategori data dan jumlah item pertanyaan, kemudian dilakukan penjumlahan score responden tiap variabel scorenya 3.5.5 Pembersihan Data (Cleaning)

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientry, apakah ada kesalahan atau tidak.

3.6

Analisis Data

Data dianalisis secara statistik dimulai dari analisis univariat, bivariat dilanjutkan hingga analisis multivariat. 3.6.1 Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel independen dan variabel dependen. 3.6.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Uji yang digunakan adalah uji Chi-Square (X 2) dengan derajat kepercayaan 95%. Bila p value < 0,05 menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara variabel independen dengan variabel dependen.

3.7 No. 1. Variabel

Definisi operasional Definisi Alat Ukur Cara Ukur Operasional Kuesioner Wawancara Hasil Ukur Skala Ukur Ordinal

Pengaturan Diet pada Lansia penderita Hipertensi Tindakan yang dilakukan oleh lansia untuk mengontrol pola makan sehingga dapat mengotrol tekanan darahnya agar hipertensinya Kuesioner Wawancara tidak memburuk Pengetahuan lansia Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, yang dalam hal ini pengetahuan responden mencakup: Hipertensi

(1) Baik, apabila > mean (0) Buruk, apabila < mean

2.

Ordinal (1) Tinggi, apabila > mean (0) Rendah, apabila < mean

Diet untuk mencegah hipertensi

hipertensi

3. Dukungan Keluarga

Persepsi responden tentang dukungan yang diberikan keluarga dalam Kuesioner Wawancara Ordinal menjalankan (1) Baik apabila > diet mean Persepsi responden tentang dukungan yang diberikan tenaga kesehatan dalam menjalankan diet (0) Buruk apabila < mean

4. Dukungan Tenaga Kesehatan

Kuesioner Wawancara (1) Baik apabila > Ordinal mean (0) Buruk apabila < mean

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 4.1.1

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Keadaan Geografi

Puskesmas Sungai Aur berada di Jalan Raya Simpang Ampek Ujung Gading km 40, Nagari

Sungai Aur Kecamatan Sungai Aua dan saat ini merupakan salah satu puskesmas perawatan. Luas wilayah kerja puskesmas sungai aur 471,72 km yang yerdiri dari 21 jorong dengan batasbatas wilayah sebagai berikut: a. b. c. d. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Madina Provinsi Sumatra Utara. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Lembah Melintang. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Gunung Tuleh.

Puskesmas Sungai Aur terletak antara 00 0 33 lintang utara sampai 00 0 05 lintang utara dan antara 99 0 28 bujur timur sampai 99 0 42 bujur timur. Ketinggian berada diantara 0-1,425 meter diatas permukaan laut dengan luas wilayah hunian budidaya 35.850 Ha. 4.1.2 Keadaan Demografi

Kecamatan Sungai Aur di tempati oleh 31.603 jiwa penduduk yang terdiri dari 15.854 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 15749 jiwa berjenis kelamin perempuan. Jumlah kepala keluarga 7.919 KK.

4.1.3 Sarana Kesehatan Pada tahun 2007 Puskesmas Sungai Aur resmi menjadi puskesmas rawatan yang memiliki 6 unit puskesmas pembantu dan 15 unit poskesdes yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari puskesmas terhadap pelayanan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. 4.2 4.2.1 Analisis Univariat Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan terhadap 52 orang responden di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur, diperoleh gambaran Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi, sebagaimana terlihat pada tabel 4.1 di bawah ini : Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Aur Tahun 2012

Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi Buruk Baik Jumlah

Jumlah f 20 32 52 % 38,5 61,5 100

Berdasarkan tabel 4.1, didapatkan lebih seperempat (38,5%) responden memiliki pengaturan diet buruk. 4.2.2 Pengetahuan

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan terhadap 52 orang responden di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur, diperoleh gambaran pengetahuan responden sebagaimana terlihat pada tabel 4.2 berikut ini :

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pengetahuan di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Aur Tahun 2012

Jumlah Pengetahuan Rendah Tinggi Jumlah f 22 30 52 % 42,3 57,7 100

Berdasarkan tabel 4.2, didapatkan hampir separuh (42,3%) responden memiliki pengetahuan yang rendah. Hasil analisis dari setiap pertanyaan tentang pengetahuan pada kuesioner dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut : Tabel 4.3 Analisis Pengetahuan Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Aur Tahun 2012

Aspek pengetahuan Penderita hipertensi Indikasi hipertensi Faktor yang dapat dikontrol Obesitas sebagai faktor resiko Kurang aktivitas fisik sebagai faktor resiko Merokok sebagai faktor resiko Minum kopi sebagai faktor resiko Konsumsi garam sebagai faktor resiko Asupan garam penderita hipertensi Asupan serat penderita hipertensi Sumber serat

Benar f % 29 55,8 4 7,7 30 57,7 30 57,7 19 5 3 32 32 2 1 36,5 9,6 5,8 61,5 61,5 3,8 1,9

Salah f % 23 44,2 48 92,3 22 42,3 22 42,3 33 47 49 20 20 50 51 63,5 90,4 94,2 38,5 38,5 96,2 98,1

n 52 52 52 52 52 52 52 52 52 52 52

Total % 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

PHBS terhadap perokok PHBS terhadap kopi Pengertian diet hipertensi Faktor yang tidak dapat dikontrol Penanggulangan hipertensi

12 13 2 0 8

23,1 25 3,8 0 15,4

40 39 50 52 44

76,9 75 96,2 100 84,6

52 52 52 52 52

100 100 100 100 100

Berdasarkan tabel 4.3, didapatkan bahwa hampir seluruh responden (96,2%) tidak tahu fungsi serat, hampir seluruh responden (98,1%) tidak tahu dari mana serat diperoleh, hampir seluruh responden (96,2%) tidak tahu pengetian diet hipertensi, dan seluruh responden (100%) tidak tahu faktor yang dapat dikontrol terkait penyakit hipertensi. 4.2.3 Dukungan Keluarga

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan terhadap 52 orang responden di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur, diperoleh gambaran dukungan keluarga responden seperti terlihat pada tabel 4.4 di bawah ini : Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Dukungan Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Aur Tahun 2012

Jumlah Dukungan Keluarga Buruk Baik Jumlah f 32 20 52 % 61,5 38,5 100

Berdasarkan tabel 4.4 di atas, didapatkan lebih dari separuh (61,5%) responden memiliki dukungan keluarga buruk. Hasil analisis dari setiap pertanyaan tentang dukungan keluarga pada kuesioner dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut :

Tabel 4.5 Analisis Dukungan Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Aur Tahun 2012

Aspek dukungan keluarga Tinggal se rumah Mengkomunikasikan penyakit Memberikan informasi Memberikan nasehat Ikut andil dalam pengaturan konsumsi Menginformasikan penyakit yang diderita Membantu penyediaan makanan

Baik f % 52 100 20 38,5 6 11,5 4 7,7 13 12 9 25 23,1 17,3

Buruk f % 0 0 32 61,5 46 88,5 48 92,3 39 40 43 75 76,9 82,7

Total n 52 52 52 52 52 52 52 % 100 100 100 100 100 100 100

Berdasarkan tabel 4.5, didapatkan bahwa, hampir seluruh responden (88,5%) tidak mendapatkan informasi dari keluarganya tentang suatu penyakit, hampir seluruh responden (92,3%) tidak diberikan nasehat atau saran oleh keluarganya tentang penanggulangan penyakit hipertensi, dan hampir seluruh keluarga responden (82,7%) tidak membantu menyediakan makanan bagi responden. 4.2.4 Dukungan Petugas Kesehatan

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan terhadap 52 orang responden di wilayah kerja Puskesmas Sungai Aur, diperoleh gambaran dukungan petugas kesehatan terhadap responden seperti terlihat pada tabel 4.6 berikut ini: Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Dukungan Petugas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Aur Tahun 2012

Dukungan Petugas Kesehatan Buruk Baik Jumlah

Jumlah f 31 21 52 % 59,6 40,4 100

Berdasarkan tabel 4.6, didapatkan separuh (59,6%) responden memiliki dukungan petugas kesehatan buruk. Hasil analisis dari setiap pertanyaan tentang dukungan petugas kesehatan pada kuesioner dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut :

Tabel 4.7 Analisis Dukungan Petugas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Aur Tahun 2012

Aspek dukungan petugas kesehatan Informasi penyakit hipertensi Mendapat penyuluhan sebelumnya Frekuensi penyuluhan Penyuluhan individual Penyuluhan kelompok Penjelasan petugas kesehatan Efek penyuluhan Media penyuluhan Informasi kepada keluarga

Baik f % 35 67,3 18 8 18 0 16 7 0 0 34,6 15,4 34,6 0 30,8 13,5 0 0

Buruk f % 17 33,7 34 44 34 52 36 45 52 52 65,4 84,6 65,4 100 69,2 86,5 100 100

Total n 52 52 52 52 52 52 52 52 52 % 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Berdasrkan tabel 4.7, hampir seluruh responden (84,6%) menyebutkan bahwa kurangnya frekuensi penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan, seluruh responden (100%) tidak pernah mendapatkan penyuluhan secara berkelompok dari petugas kesehatan, hampir seluruh responden 86,5%) tidak merasakan apa-apa setelah mendapat penyuluhan dari petugas kesehatan, seluruh responden (100%) menyebutkan bahwa petugas kesehatan tidak menggunakan media waktu memberikan penyuluhan, dan seluruh responden (100%) menyebutkan bahwa petugas kesehatan tidak memberikan informasi kepada keluarga responden tentang diet hipertensi.

4.3

Analisis Bivariat 4.3.1 Hubungan Pengetahuan dengan Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi

Hasil analisis hubungan antara pengetahuan dengan Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Aur, dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut: Tabel 4.8 Hubungan antara Pengetahuan dengan Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Aur

Tahun 2012

Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi Rendah Pengetahuan Rendah Tinggi Jumlah f 17 3 20 % 77,3 10,0 38,5 f 5 27 32 Tinggi % 22,7 90,0 61,5 Jumlah f % 22 100 30 52 100 100 P value

0,000

Berdasarkan tabel 4.8 diatas terlihat bahwa kelompok responden dengan tingkat pengetahuan rendah cendrung melakukan pengaturan diet yang buruk (77,3%) sementara kelompok responden dengan tingkat pengetahuan tinggi cendrung pengaturan dietnya baik (90,0%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,000 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi pengaturan diet antara responden yang memiliki pengetahuan rendah dengan yang memiliki pengetahuan tinggi atau ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan pengaturan diet. 4.3.2 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi

Hasil analisis hubungan antara dukungan keluarga dengan Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Aur dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut : Tabel 4.9 Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Aur Tahun 2012

Dukungan Keluarga Buruk Baik Jumlah

Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi Buruk Baik f % f % 17 53,1 15 46,9 3 20 15,0 38,5 17 32 85,0 61,5

Jumlah f 32 20 52 % 100 100 100 P value 0,014

Berdasarkan tabel 4.9 diatas terlihat bahwa kelompok responden yang memiliki dukungan keluarga buruk cendrung melakukan pengaturan diet yang buruk (53,1%) sementara kelompok responden yang memiliki dukungan keluarga baik cendrung pengaturan dietnya baik (85,0%). Hasil uji statistik diperoleh nilai P=0,014 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi pengaturan

diet pada lansia penderita hipertensi antara responden yang memiliki dukungan keluarga baik dengan yang memiliki dukungan keluarga buruk atau ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan pengaturan diet. 1.3.3 Hubungan Dukungan Petugas Kesehatan dengan Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi

Hasil analisis hubungan antara dukungan petugas kesehatan dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Aur dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut:

Tabel 4.10 Hubungan antara Dukungan Petugas Kesehatan dengan Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Aur Tahun 2012

Dukungan Petugas Kesehatan Buruk Baik Jumlah

Pengaturan Diet pada Lansia penderita Hipertensi Buruk Baik f 18 2 20 % 58,1 9,5 38,5 f 13 19 32 % 41,9 90,5 61,5

Jumlah f 31 21 52 % 100 100 100 P value 0,001

Berdasarkan tabel 4.10 diatas terlihat bahwa kelompok responden yang memiliki dukungan petugas kesehatan buruk cendrung melakukuan pengaturan diet yang buruk (58,1%) sedangkan kelompok responden yangmemiliki dukungan petugas kesehatan baik cendrung pengaturan dietnya baik (90,5%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,001 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi antara responden yang memiliki dukungan petugas kesehatan buruk dengan yang memiliki dukungan petugas kesehatan baik atau ada hubungan yang signifikan antara dukungan petugas kesehatan dengan pengaturan diet.

BAB V PEMBAHASAN

5.1

Analisis Univariat

Berdasarkan hasil analisis univariat distribusi frekuensi dari masing-masing variabel independen (Pengaturan Diet pada Lansia penderita Hipertensi) dan variabel independen (Pengetahuan, Dukungan Keluarga, Dukungan Petugas Kesehatan), maka dapat dijelaskan sebagai berikut : 5.1.1 Pengetahuan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari 52 responden, menunjukan bahwa responden yang memiliki pengetahuan tinggi sebanyak (57,7%), lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan rendah sebanyak (42,3%). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Tiara (2005) di RS DR. M. Djamil Padang, dimana responden yang memiliki tingkat pengetahuan rendah (56,3%), lebih banyak dibandingkan responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi (43,6%). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dorongan fisik dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun dengan dorongan sikap perilaku setiap orang sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan stimulasi terhadap tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003: 128).

5.1.2

Dukungan Keluarga

Hasil menelitian menunjukkan bahwa responden yang mempunyai dukungan keluarga buruk sebanyak (61,5%), lebih banyak dibandingkan dengan responden yang mempunyai dukungan keluarga baik sebanyak (38,5%). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Oktora (2007) di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, dimana responden yang mempunyai dukungan keluarga rendah (40,4%), lebih sedikit dibandingkan dengan responden yang mempunyai dukungan keluarga (59,6%). Hubungan kasih sayang dalam keluarga merupakan suatu rumah tangga yang bahagia. Dalam kehidupan yang diwarnai oleh rasa kasih sayang maka semua pihak dituntut agar memiliki tanggung jawab, pengorbanan, saling tolong menolong, kejujuran, saling mempercayai, saling membina pengertian dan damai dalam rumah tangga (Soetjiningsih, 1995: 47). 5.1.3 Dukungan Petugas Kesehatan

Hasil menelitian menunjukkan bahwa responden yang mempunyai dukungan petugas kesehatan buruk sebanyak (59,6%), lebih banyak dibandingkan dengan responden yang mempunyai dukungan petugas kesehatan baik sebanyak (40,4%). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Tiara (2005) di RS DR. M. Djamil Padang, dimana responden yang mempunyai dukungan petugas kesehatan buruk (48,4%), lebih sedikit dibandingkan dengan responden yang mempunyai dukungan petugas kesehatan baik (51,6%). Peranan petugas kesehatan dalam penyuluhan tentang hipertensi perlu dilakukan, karena masalah hipertensi banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan penyakit hipertensi. Kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan hipertensi. Penyuluhan hipertensi dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media.

5.2 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi

Setelah dilakukan analisis bivariat, maka diketahui hubungan antar variabel independen dengan variabel dependen. Hubungan antar variabel tersebut yaitu : 5.2.1 Hubungan Pengetahuan dengan Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang pengaturan diet baik lebih banyak pada responden dengan pengetahuan tinggi (90,0%), dibandingkan responden dengan pengetahuan rendah (22,7%). Hasil ini penelitian ini secara statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Hasil penelitian yang dilakukan sama dengan penelitian yang dilakukan Tiara (2005) di RS DR. M. Djamil Padang, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan pengaturan diet hipertensi dengan nilai p = 0,001 (p<0,05), begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan Oktora (2007) di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, bahwa faktor pengetahuan mempunyai pengaruh terhadap pola pengaturan diet hipertensi dengan nilai p = 0,031 (p<0,05).

Pengetahuan merupakan faktor yang sangat berpengaruh untuk terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007), mengungkapkan bahwa sebelum seseorang menghadapi perilaku baru, di dalam diri seseorang terjadi proses meliputi kesadaran, tertarik, menimbang, mencoba dan adopsi. Pengetahuan menurut peneliti tidak hanya diperoleh dari pendidikan formal, tetapi juga bisa diperoleh dari pelatihan, penyuluhan, media cetak, media elektronik dan semakin banyak memperoleh pengetahuan tentang hipertensi maka semakin besar keinginan orang untuk mau mencegah atau pun mengobati penyakit hipertensi. 5.2.2 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang pengaturan diet baik lebih banyak pada responden yang mempunyai dukungan keluarga baik (85,0%), dibandingkan dengan responden yang memiliki dukungan keluarga buruk (46,9%). Hasil penelitian ini secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi dengan nilai p = 0,014 (p<0,05). Hasil penelitian yang dilakukan sama dengan hasil penelitian Oktora (2007) di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, menunjukkan bahwa dukungan keluarga berhubungan dengan pola pengaturan diet hipertensi dengan nilai p = 0,003 (p<0,05). Hasil penelitian Anggraini (2009) di klinik As Sakinah Tamansari Tegalsari Banyuwangi, menunjukkan bahwa dukungan keluarga ada hubungan yang bermakna dengan pengaturan diet hipertensi (p = 0,005). Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998: 119). Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Ryan dan Austin dalam Friedman, 1998: 132). Dukungan keluarga menurut peneliti memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan lansia dalam mengatur pola makan atau diet untuk mencegah perkembangan penyakit hipertensi dan penyakit lainnya. 5.2.3 Hubungan Dukungan Petugas Kesehatan dengan Pengaturan Diet pada Lansia Penderita Hipertensi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang pengaturan diet baik lebih banyak pada responden yang mempunyai dukungan petugas kesehatan baik (90,5%), dibandingkan dengan responden yang memiliki dukungan petugas kesehatan buruk (41,9%). Hasil penelitian ini secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan petugas kesehatan dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi dengan nilai p = 0,001 (p<0,05). Hasil penelitian yang dilakukan sama dengan hasil penelitian Tiara (2005) di RS DR. M. Djamil Padang, menunjukkan bahwa dukungan petugas kesehatan berhubungan dengan pengaturan diet

hipertensi dengan nilai p = 0,001 (p<0,05). Hasil penelitian Anggraini (2009) di klinik As Sakinah Tamansari Tegalsari Banyuwangi, menunjukkan bahwa dukungan petugas kesehatan berhubungan dengan pangaturan diet lansia hipertensi (p=0,021). Interaksi petugas kesehatan dengan pasiennya terjadi di beberapa titik pelayanan yaitu poliklinik, laboratorium, tempat pengambilan obat dan pada waktu kunjungan rumah. Keberhasilan penanganan hipertensi sangat bergantung antara lain pada kemampuan petugas melakukan komunikasi interpersonal dengan pasien dan keluarganya (Ilyas, 2001: 38-42). Dukungan petugas kesehatan menurut peneliti, sangat diperlukan guna membantu keberhasilan pengobatan pasien lansia yang menderita hipertensi. Petugas kesehatan juga bisa menjadi contoh dalam menjalankan pengaturan diet untuk mencegah perkembangan hipertensi.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 6.1.1 6.1.2 6.1.3 6.1.4 . Hampir separuh (38,5%) responden dengan pengaturan diet buruk. Hampir separuh (42,3%) responden memiliki pengetahuan rendah. Lebih dari separuh (61,5%) responden memiliki dukungan keluarga buruk. Lebih dari separuh (59,6%) responden memiliki dukungan petugas kesehatan buruk

6.1.5 Ada hubungan bermakna antara pengetahuan lansia dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja puskesmas Sungai Aur Tahun 2012. 6.1.6 Ada hubungan bermakna antara dukungan keluarga lansia dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja puskesmas Sungai Aur Tahun 2012. 6.1.7 Ada hubungan bermakna antara dukungan petugas kesehatan dengan pengaturan diet pada lansia penderita hipertensi di wilayah kerja puskesmas Sungai Aur Tahun 2012.

6.2

Saran

Berdasarkan hasil yang telah didapatkan peneliti, maka adapun saran yang ingin penulis sampaikan: 6.2.1 Meningkatkan sikap proaktif petugas kesehatan dalam memberikan informasi tentang penyakit hipertensi maupun penyakit lainnya serta cara pencegahan dan penanggulannya kepada setiap lansia melalui kegiatan penyuluhan. 6.2.2 Kepada petugas kesehatan diharapkan melakukan penyuluhan secara berkelompok tehadap lansia tentang penanggulangan penyakit hipertensi maupun penyakit lain. 6.2.3 Kepada petugas kesehatan diharapkan memberikan informasi kepada keluarga lansia tentang penanggulangan dan pencegahan penyakit hipertensi maupun penyakit lainnya. 6.2.4 Kepada peneliti selanjutnya diharapkan menggunakan desain penelitian lain dan variabel independen lain.

Anda mungkin juga menyukai