Anda di halaman 1dari 26

AKALASIA ESOFAGUS 1.

Definisi Akalasia merupakan suatu keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya peristaltis korpus esofagus bagian bawah dan sfingter esofagus bagian bawah (LES) yang hipertonik sehingga tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna pada waktu menelan makanan. Akalasia juga diartikan sebagai kelainan motorik dari otot polos esofagus, dimana terjadi gangguan peristaltik otot esofagus yang menyeluruh disertai gangguan otot lingkar esofagus bagian bawah, gagal untuk relaksasi secara sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan pengosongan esofagus[1,2] Secara histopatologik kelainan ini ditandai oleh degenerasi ganglia pleksus mienterikus. Akibat keadaan ini akan terjadi stasis makanan dan selanjutnya akan timbul pelebaran esophagus. Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi tergantung dari berat dan lamanya kelainan yang terjadi. Secara klinis akalasia dibagi dalam akalasia primer dan akalasia sekunder yang dihubungkan dengan etiologinya.
[1,3]

2.

Anatomi dan Fisiologi Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25

cm dan garis tengah 2 cm. Esofagus yang berada di leher panjangnya 5 cm, berjalan diantara trakea dan kolumna vertebralis, serta selanjutnya memasuki rongga toraks setinggi manubrium sterni. Di dalam rongga dada, esophagus berada di mediastinum posterior mulai di belakang lengkung aorta dan bronkus cabang utama kiri, kemudian agak membelok ke kanan berada di samping kanan depan aorta torakalis bawah dan masuk ke dalam rongga perut melalui hiatus esophagus dari diafragma dan berakhir di kardia lambung. Panjang esophagus yang berada di rongga perut sekitar 2-4 cm. Otot esofagus bagian sepertiga atas adalah otot rangka yang berhubungan erat dengan otot-otot faring sedangkan dua pertiga bawah adalah otot polos yang terdiri dari otot sirkuler dan otot longitudinal seperti yang terdapat pada organ saluran cerna 1

yang lain. Berbeda dengan bagian saluran cerna yang lain, bagian luar esofagus tidak memiliki lapisan serosa ataupun selaput peritonium melainkan terdiri atas jaringan ikat jarang yang menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur yang berdekatan. Esofagus mengalami penyempitan di tiga tempat yaitu penyempitan pertama setinggi cartilago cricoideus yang bersifat spingter terletak pada batas antara faring dan esofagus, yaitu tempat peralihan otot serat lintang menjadi otot polos. Penyempitan kedua terletak di rongga dada bagian tengah akibat tertekan lengkung aorta dan cabang bronkus utama kiri, penyempitan ini tidak bersifat spingter. S penyempitan yang terakhir terletak pada hiatus esofagus diafragma, yaitu tempat berakhirnya esophagus di kardia lambung. Otot polos pada bagian ini murni bersifat spingter.[2,4] Gambar 1. Hubungan anatomi topografi esofagus.[2] (1) esofagus, (2) trakea, (3) bronkus kanan, (4) bronkus kiri, (5) arkus aorta, (6) diafragma, (7) hiatus esofagus, (8) segmen abdominal esofagus, (9) kardia gaster, (10) fundus gaster Distribusi darah esofagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai oleh cabang-cabang a. thyroidea inferior dan a. subclavia. Bagian tengah disuplai oleh cabang-cabang segmental aorta dan a.bronkiales, sedangkan bagian subdiafragmatika disuplai oleh a.gastrika sinistra dan a. frenica inferior.

Gambar 2. Esophagus[4] Aliran darah vena juga melalui pola segmental. Vena-vena esofagus bagian leher mengalirkan darah ke v.azygos dan v. Hemiazygos untuk kemudian masuk ke vena kava superior sedangkan vena-vena esofagus bagian subdiafragmatika masuk ke dalam v.gastrica sinistra yang merupakan cabang vena porta sehingga terjadi hubungan langsung antara sirkulasi vena porta dan sirkulasi vena esophagus bagian bawah melalui vena koronaria. Pembuluh limfe esofagus membentuk pleksus dalam mukosa, submukoas, lapisan otot, dan tunika adventisia. Di bagian sepertiga cranial, pembuluh ini berjalan secara longitudinal bersama dengan pembuluh limfe dari faring ke kelnjar di leher, sedangkan di bagian dua per tiga kaudal pembuluh ini bermuara ke kelnjar seliakus, seperti halnya pembuluh limfe dari lambung. Persarafan utama esofagus dilakukan oleh serabut-serabut simpatis dan parasimpatis dari sistim saraf otonom. Serabut saraf simpatis dibawa oleh n. vagus. Selain serabut saraf ekstrinsik, terdapat jala-jala serabut saraf intramural intrinsik di antara lapisan otot sirkuler dan longitudinal (pleksus mienterikus Auerbach) dan pleksus Meissner yang terletak pada submukosa esofagus.[2,5]

Fungsi utama esophagus adalah menyalurkan makanan dan minuman dari mulut ke lambung. Fungsi dasar esofagus adalah membawa material yang ditelan dari faring ke lambung. Yang kedua, refluks gastrik ke esofagus dicegah oleh sfingter bawah esofagus dan masuknya udara ke esofagus pada saat inspirasi dicegah oleh sfingter atas esofagus, sfingter atas normalnya selalu tertutup akibat kontraksi tonik otot krikofaringeus. Ketika makanan mencapai esofagus, makanan akan didorong ke lambung oleh gerakan peristaltik. Kekuatan kontraksi peristaltik tergantung kepada besarnya bolus makanan yang masuk ke esofagus. Gerakan peristaltik esofagus terdiri dari gerakan peristaltik primer dan gerakan peristaltik sekunder. Gerak peristaltik primer adalah gerak peristaltik yang merupakan lanjutan dari gerakan peristaltik pada faring yang menyebar ke esofagus. Gerakan ini berlangsung dengan kecepatan 3-4 cm/ detik, dan membutuhkan waktu 8-9 detik untuk mendorong makanan ke lambung. Gerakan peristaltik sekunder terjadi oleh adanya makanan dalam esofagus. Sesudah gerakan peristaltik primer dan masih ada makanan pada esofagus yang merangsang reseptor regang pada esofagus, maka akan terjadi gelombang peristaltik sekunder. Gelombang peristaltik sekunder berakhir setelah semua makanan meninggalkan esofagus. Esofagus dipisahkan dari rongga mulut oleh sfingter esofagus proksimal atau sfingter atas esofagus (upper esopaheal spinchter/ UES), dan dipisahkan dengan lambung oleh sfingter esofagus distal atau sfingter bawah esofagus (lower esophageal spinchter/ LES). Sfingter esofagus proksimal terdiri dari otot rangka dan diatur oleh n. vagus. Tonus dari otot ini dipertahankan oleh impuls yang berasal dari neuron post ganglion n. vagus yang menghasilkan asetilkolin. Sfingter esofagus distal yang terletal 2-5 cm di atas hubungan antara esofagus dan lambung merupakan otot polos. Secara anatomis, strukturnya tidak berbeda dengan esofagus tetapi secara fisiologis berbeda oleh karena dalam keadaan normal sfingter selalu konstriksi.[4,5]

Proses menelan dapat di bagi menjadi 3 tahap yaitu : 1. Fase oral, yang mencetuskan proses menelan Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur dengan liur akan membentuk bolus makanan, melalui dorsum lidah ke orofaring akibat kontraksi otot intrinsik lidah. Kontraksi m. levator veli palatini mengakibatkan rongga pada tekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole dan bagian atas dinding posterior faring (Passavant's ridge) terangkat, penutupan nasofaring akibat kontraksi m. levator veli palatine, kontraksi m. Palatoglosus, ismus fausium tertutup, kontraksi m. palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut. 2. Fase faringeal Fase ini terjadi secara refleks pada akhir fase oral, membantu jalannya makanan dari faring kedalam esophagus. Faring dan taring bergerak ke atas oleh kontraksi m.stilofaring, m. salfingofaring, m.tirohioid dan m. palatofaring. Aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi m. ariepiglotika dan m. aritenoid obliges, menuju penghentian aliran udara ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan (bolus tidak akan masuk ke sal.nafas, meluncur ke arah esofagus. 3. Fase esofageal Fase involunter lain yang mempermudah jalannya makanan dari esofagus ke lambung. Rangsangan makanan pada akhir fase faringeal, relaksasi m. krikofaring, introitus esofagus terbuka dan bolus makanan masuk kedalam esophagus, sfingter berkontraksi > tonus introitus esofagus saat istirahat, refluks dapat dihindari. Akhir fase esofageal sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali. Proses muntah terjadi karena tekanan di dalam rongga perut dan lambung meningkat serta terjadi relaksasi sementara sfingter esofagokardia sehingga secara

refleks makanan dan cairan dari dalam lambung dan esophagus naik ke faring dan dikeluarkan melalui mulut.[4,5] 3. Epidemiologi Insidens terjadinya akalasia adalah 1 dari 100.000 jiwa pertahun dengan perbandingan jenis kelamin antara pria dan wanita 1 : 1. Akalasia lebih sering ditemukan orang dewasa berusia 20 - 60 tahun dan sedikit pada anak-anak dengan persentase sekitar 5% dari total akalasia. Penyakit ini relatif jarang di jumpai. Dari data subdivisi Gastroenterologi Departemen Penyakit Dalam FKUI didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1988). Sebagian besar kasus terjadi pada umur pertengahan dengan perbandingan jenis kelamin yang hampir sama. Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun, sebagian besar pada usia 25-60 tahun dan sedikit pada anak-anak. Dari suatu penelitian internasional didapatkan bahwa angka kematian kasus ini dari 28 populasi yang berasal dari 26 negara didapatkan angka kematian tertinggi tercatat di Selandia Baru dengan angka kematian standar 259 sedangkan yang terendah didapatkan dengan angka kematian standar 0. Angka kematian ini diperoleh dari seluruh kasus akalasia baik primer maupun sekunder.[1,5] 4. Etiopatogenesis Akalasia atau megaesofagus adalah keadaan sfingter esofagus inferior yang gagal berelaksasi selama menelan. Sebagai akibatnya, makanan yang ditelan ke dalam esofagus gagal untuk melewati esofagus menuju lambung. Bila ditinjau dari etiologi, akalasia ini dibagi menjadi 2 bagian, yakni: 1. Akalasia Primer (Idiophatic Achalasia) Penyebab yang jelas kelainan ini tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang berakibat lesi pada nucleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia misenterikus pada esofagus. Pada akalasia primer, terjadi inkomplit relaksasi pada lower esophageal sphincter (LES).

2. Akalasia Sekunder (Pseudoachalasia) Kelainan ini didapatkan oleh infeksi (spt. Penyakit Chagas), tumor intraluminer seperti tumor cardia atau pendorongan ekstra luminer seperti pseudokista pankreas. Pada akalasia sekunder ditemukan aperistaltik di sekitar gastroesophageal junction.[3,6] Selain itu, penyebab terjadinya akalasia esophagus juga dikarenakan beberapa hal dibawah ini. 1. Teori Genetik Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik. Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita akalasia. 2. Teori Infeksi Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis, clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio dan measles), Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropflc sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua,banyak perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien akalasia. 3. Teori Autoimun Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber. Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus mienterikus. 7

4.

Teori Degeneratif Studi epidemiologi dari AS menemukan bahwa akalasia berhubungan dengan

proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis, seperti penyakit Parkinson dan depresi Susunan otot pada sepertiga bagian atas dinding esofagus dibentuk oleh otot lurik dan sebagian lagi otot polos. Pada proses menelan, spingter esofagus bagian atas secara reflex akan membuka dan gelombang reflex peristaltik mendorong bolus makanan ke esophagus. Di tempat ini, dilatasi akibat bolus akan memicu gelombang peristaltik selanjutnya hingga mencapai lambung. Spingter esofagus bagian bawah dibuka oleh reflex vasovagal pada permulaan proses menelan. Reflex relaksasi resptif ini diperantarai oleh neuron nonadrenergik nonkolinergik inhibitor (NCNA) di pleksus mesenterikus.[3,5,7] Pada akalasia terjadi hipermotilitas yang dapat disebabkan oleh lapisan otot yang menebal, peningkatan sensitivitas otot terhadap transmitter eksitatorik (asetilkolin), atau hormon, atau penurunan sensitivitas terhadap transmitter inhibitorik. Hiperosmolar juga dapat disebabkan oleh peningkatan aktivitas neuron kolinergik atau penurunan aktivitas neuron NCNA inhibitorik. Kelainan ini disebabkan oleh penurunan jumlah neuron NCNA intramural serta pengurangan reaktivitas neuron ini terhadap asetilkolin yang dilepaskan di praganglion.[8,9] Ada beberapa hal yang telah dikemukakan berkaitan dengan patomekanisme terjadinya akalasia esophagus. 1. Neuropatologi Beberapa macam kelainan patologi dari akalasia telah banyak dikemukakan. Beberapa dari perubahan ini mungkin primer (misal: hilangnya sel-sel ganglion dan inflamasi mienterikus), dimana yang lainnya (misal : perubahan degeneratif dari n. vagus dan nukleus motoris dorsalis dari n. vagus, ataupun kelaianan otot dan mukosa) biasanya merupakan penyebab sekunder dari stasis dan obstruksi esofagus yang lama.

2.

Kelainan pada Innervasi Ekstrinsik Saraf eferen dari n. vagus, dengan badan-badan selnya di nukleus motoris dorsalis, menstimulasi relaksasi dari LES dan gerakan peristaltik yang merupakan respon dari proses menelan. Dengan mikroskop cahaya, serabut saraf vagus terlihat normal pada pasien akalasia. Namun demikian, dengan menggunakan mikroskop elektron ditemukan adanya degenerasi Wallerian dari n. vagus dengan disintegrasi dari perubahan aksoplasma pada sel-sel Schwann dan degenarasi dari selubung myelin, yang merupakan perubahan-perubahan yang serupa dengan percobaan transeksi saraf.

3.

Kelainan pada Innervasi Intrinsik Neuron nitrergik pada pleksus mienterikus menstimulasi inhibisi disepanjang badan esofagus dan LES yang timbul pada proses menelan. Inhibisi ini penting untuk menghasilkan peningkatah kontraksi yang stabil sepanjang esofagus, dimana menghasilkan gerakan peristaltik dan relaksasi dari LES. Pada akalasia, sistem saraf inhibitor intrinsik dari esofagus menjadi rusak yang disertai inflamasi dan hilangnya sel-sel ganglion di sepanjang pleksus mienterikus Auerbach.

4.

Kelainan Otot Polos Esofagus Pada muskularis propria, khususnya pada otot polos sirkuler biasanya menebal pada pasien akalasia. Goldblum mengemukakan secara mendetail beberapa kelainan otot pada pasien akalasia setelah proses esofagektomi. Hipertrofi otot muncul pada semua kasus, dan 79% dari specimen memberikan bukti adanya degenerasi otot yang biasanya melibatkan fibrosis tapi tennasuk juga nekrosis likuefaktif, perubahan vakuolar, dan kalsifikasi distrofik. Disebutkan juga bahwa perubahan degeneratif disebabkan oleh otot yang memperbesar suplai darahnya oleh karena obstruksi yang lama dan dilatasi esofagus. Kemungkinan lain menyebutkan bahwa hipertrofi otot merupakan reaksi dari hilangnya persarafan.

5.

Kelainan pada Mukosa Esofagus Kelainan mukosa, di perkirakan akibat sekunder dari statis luminal kronik yang telah digambarkan pada akalasia. Pada semua kasus, mukosa skuamosa dari penderita akalasia menandakan hiperplasia dengan papillamatosis dan hiperplasia sel basal. Rangkaian p53 pada mukosa skuamosa dan sel CD3+ selalu melebihi sel CD20+, situasi ini signifikan dengan inflamasi kronik, yang kemungkinan berhubungan dengan tingginya resiko karsinoma sel skuamosa pada pasien akalasia.

6.

Kelainan Otot Skelet Fungsi otot skelet pada proksimal esofagus dan spingter esofagus atas terganggu pada pasien akalasia. Meskipun peristaltik pada otot skelet normal tetapi amplitude kontraksi peristaltik mengecil. Massey dkk. juga melaporkan bahwa refleks sendawa juga terganggu. Ini menyebabkan esofagus berdilatasi secara masif dan obstruksi jalan napas akut.

7.

Kelainan Neurofisiologik Pada esofagus yang sehat, neuron kolinergik eksftatori melepaskan asetilkolin menyebabkan kontraksi otot dan meningkatkan tonus LES, dimana inhibisi neuron NO/VIP memediasi inhibisi sehingga mengbambat respon menelan sepanjang esofagus, yang menghasilkan gerakan peristaltik dan relaksasi LES. Kunci kelainan dari akalasia adalah kerusakan dari neuron inhibitor postganglionik dari otot sikuler LES.[5,9,10] 5. Diagnosis Diagnosis akalasia dapat ditegakkan melalui gambaran klinis dan pemeriksaan

yang cermat. Pemeriksaan fisik tidak banyak membantu dalam menentukan diagnosis akalasia karena tidak menunjukkan gejala objektif yang nyata. 1. Manifestasi Klinik Gejala utama akalasia berupa disfagia yang sering diperburuk oleh stress emosional ataupun makan yang terburu-buru. Penderita mula-mula mengeluh terasa 10

ditikam oleh bolus makanan, rasa penuh terasa di bagian bawah sternum. Sifatnya pada permulaan hilang timbul yang dapat terjadi bertahun-tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Serangan ini datang berulang kali dan makin sering. Pasien akan makan secara perlahan-lahan dan selalu minum yang banyak. Gejala ini didapatkan pada 90% kasus. Gejala yang sering ditemukan pada kasus akalasia, antala lain:
Disfagi : Rasa penuh/mengganjal (hilang timbul/ makin lama makin berat)

Makan perlahan, minum banyak, Makanan hangat sampai dingin, Makanan padat sampai cair, Makanan dingin lebih sulit lewat, cairan > sulit dari padat. Penderita mula-mula mengeluh terasa ditikam oleh bolus makanan, resa penuh terasa di bagian bawah sternum. Sifatnya pada permulaan hilang timbul yang dapat terjadi bertahun-tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Serangan ini datang berulang kali dan makin sering. Pasien akan makan secara perlahanlahan dan selalu minum yang banyak. Gejala ini didapatkan pada 90% kasus.
Regurgitasi : Regurgitasi setelah terjadi mega-esofagus sampai Aspirasi

pneumoni. Saat baring (pada malam hari pasien terbangun). Regurgitasi ini berhubungan dengan posisi pasien dan sering terjadi pada malam hari oleh karena adanya akumulasi makanan pada esofagus yang melebar. Hal ini berhubungan dengan posisi berbaring pasien. Sebagai tanda bahwa regurgitasi berasal dari esofagus adalah pasien tidak merasa asam atau pahit. Kompresi : sudah dilatasi hebat, rasa rasa tidak enak di substernum, sesak napas. Nyeri dada, Sifat nyeri dengan lokasisubsternal dan dapat menjalar ke belakang bahu, rahang, dan tangan yang biasanya dirasakan bila minum air dingin. Muntah yang makin lama makin berat Berat badan menurun.

11

Hal ini disebabkan pasien takut makan akibat timbulnya odinofagi. Bila keadaan ini berlangsung lama akan dapat terjadi kenaikan berat badan kembali karena pelebaran esofagus akibat retensi makanan. Keadaan ini akan meningkatkan tekanan hidrostatik yang akan melebihi tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Gejala ini berlangsung dalam 1-5 tahun sebelum diagnosis ditegakkan dan ditemukan pada 50% kasus. Sekitar 25 50 % kasus dengan disfagia juga disertai dengan nyeri dada yang biasanya tidak begitu dirasakan oleh pasien.[1,3,5] 2. Pemeriksaan Histopatologi Sekarang secara umum diterima bahwa pada akalasia primer terjadi penurunan persarafan inhibitorik intrinsik sfingter esofagus bawah dan segmen otot polos badan esofagus. Akalasia sekunder dapat terjadi akibat prosses patologik yang mengganggu fungsi esophagus. Contoh klasik adalah penyakit chagas, yang disebabkan oleh Trypanosoma cruzi, yang menyebabkan destruksi pleksus mienterikus esofagus, duodenum, kolon, dan ureter. Namun, pada sebagian besar kasus akalasia terjadi sebagian besar kasus akalasia terjadi sebagai gangguan primer yang etiologinya tidak diketahui.[5,9]

Gambar 3. Gambaran histopatologik mukosa esofagus pada akalasia. Ketiadaan ganglia pada pleksus Auerbach di gastro-esophageal junction. a) tampak sedikit infiltrasi limfosit. b) inflamasi ringan pleksus mienterikus Auerbach. Infiltrasi sedang limfosit, sel ganglion dapat teridentifikasi. c) inflamasi sedang : tampak infiltrasi limfosit. Hilangnya sel ganglion. d) Radang berat mienterikus dengan gambaran limfosit banyak.[9]

12

Pada akalasia primer terjadi dilatasi progresif esofagus diatas sfingter esofagus bawah. Dinding esofagus mungkin memiliki ketebalan normal, lebih daripada normal karena hipertrofi otot, atau sangat menipis akibat dilatasi. Ganglion mienterikus biasanya tidak ditemukan di korpus esofagus, tetapi mungkin berkurang atau normal jumlahnya di regio sfingter esofagus bawah. Peradangan di lokasi mienterikus esofagus merupakan tanda patognomonik penyakit. Walaupun akalasia bukan suatu penyakit mukosa, statis makanan dapat menyebabkan peradangan mukosa dan ulserasi yang terletak proksimal dari sfingter esophagus bawah.[5,9] 3. Pemeriksaan Radiologi a. Foto Thorax Pada pemeriksaan dengan foto polos dada akan menunjukkan gambaran kontur ganda di atas mediastinum bagian kanan, seperti mediastinum melebar dan adanya gambaran batas cairan udara.[6,7]
Kontur Ganda Air Fluid Level Dilatasi pada mediastinum

Gambar 4. Foto thorax PA/L akalasia[11]


Dilatasi esofagus

Tidak ada bayangan udara pada gaster

Gambar 5. Dilatasi esofagus [9]

13

Pada gambar 4, panah merah pelebaran mediastinum akibat adanya dilatasi esophagus. Selain itu, dapat dilihat tidak adanya gambaran udara pada gaster di bawah diafragma.[6,8] b. USG

Gambar 6. USG transabdominal (a)Gambaran hiperechoic dan hipoechoic yang tampak mengindikasikan adanya retensi cairan dan makanan

(a)

(b)Tampak dilatasi esophagus seperti gambaran bird beak appearance[9,11]

(b) c. Foto Kontras Pemeriksaan radiologi dengan kontras menggambarkan adanya penyempitan dan stenosis pada cardia esofagus dengan dilatasi bagian proksimalnya. Pada pemeriksaan dengan barium kontras terlihat gambaran penyempitan dan stenosis pada kardia esofagus dengan dilatasi esofagus bagian proksimal. Pada akalasia berat akan terlihat dilatasi esofagus, sering berkelok-kelok dan memanjang dengan ujung distal yang meruncing disertai

14

permukaan yang halus memberikan gambaran paruh burung ( Birds Beak Appearrance ). Bagian esofagus yang berdilatasi dan pada stadium lanjut menunjukkan tanda elongasi.[6,8,9]

Dilatasi esofagus

Stenosis pada area cardiac esofagus

Gambar 7. Gambaran esofagus dengan kontras

Gambar 8. Gambaran Birds Beak Appearrance d. CT-Scan

15

Dilatasi esofagus

Gambar 9. CT scan potongan axial Pada foto CT menunjukkan kontras, sisa makanan, dan udara disertai tanda dilatasi esophagus (panah).[9,11]

Dilatasi esofagus Sisa makanan yang tampak dengan kontras

Gambar 10. CT-Scan Thorax Potongan Coronal menunjukkan dilatasi esofagus.


Dilatasi esofagus Stenosis pada area cardiac esofagus

Gambar 11. Primary achalasia potongan oblique coronal. 4. Pemeriksaan Manometri Pemeriksaan Manometri merupakan Gold Standart diagnosis akalasia. Pada akalasia didapatkan tekanan istirahat sfingter kardia yang tinggi, relaksasi yang tidak

16

sepenuhnya pada saat menelan dan tidak adanya peristaltik di esofagus distal, simultaneous, amplitudo rendah, single-peaked, kontraksi peristaltik yang luas dan tekanan positif gastroesofageal yang tajam.[5,8] Kriteria Manometrik :[5,13] a. Keadaan normal : Tekanan SEB 10-26 mmHg dengan relaksasi normal Amplitudo peristaltik esofagus distal 50-110 mmHg Tidak dijumpai kontraksi spontan, repetitif, atau simultan Gelombang tunggal 5 waktu gelombang peristaltik esofagus distal rata-rata 30 detik b. Pada akalasia : Tekanan SEB meningkat >26 mmHg atau >30 mmHg Relaksasi SEB tidak sempurna Aperistaltik korpus esofagus Tekanan intraesofagus meningkat (>lambung) 5. Monitoring PH Memeriksa PH esofagus bagian bawah, diperlukan untuk menyingkirkan gastroesophageal reflux disease (GERD). Jika ditemukan ada GERD, maka kontraindikasi penatalaksanaan dilatasi pneumatik.[9,10] 6. Endoskopi Endoskopi dilakukan untuk menyingkirkan keganasan sehingga harus dilakukan pada pasien akalasia Rat Tail Appearance. Pada striktur, alat kemungkinan tidak bisa melewati daerah striktur.[9,10] 6. Diagnosis Banding Diagnosis banding akalasia esofagus seperti carcinoma gastroesophageal yang meluas dari gester ke esofagus. Penyakit chagas juga dapat memberikan gambaran akalasia, akan tetapi biasanya disertai megakolon, megaureter dan penyakit miokardial. Scleroderma juga dapat memberikan gambaran seperti akalasia akan tetapi gangguannya hanya pada kontraksi saja tanpa gangguan LES.[8,9]

17

Gambar 12. Ca. gastroesophageal

Gambar 13. Chagas Disease 16

Gambar 14. Scleroderma Esophagus 7. Penatalaksanaan Penatalaksanaa akalasia antara lain dengan terapi konservatif (oral, dilatasi pneumatik, injeksi toksin botulinum) dan terapi bedah (miotomi Heller). a. Terapi Konservatif:[5,12]

18

1. Terapi oral (kapsul atau pil) Untuk mengendorkan sfingter esofagus dan diberikan sebelum makan. Bersifat sementara dan tidak memperbaiki gejela secara bermakna. Efek samping, sakit kepala, hipotensi dan edema kaki. Indikasi pemberian terapi oral yaitu masih dalam tahap awal, tidak ada rencana operasi, dan injeksi toksin botulinum. Obat-obat yang dapat diberikan yaitu Ca channel blocker (verapamil,nifedipine), agen antikolinergik (cimetropum bromide), nitrat (isosorbid dinitrat) dan opioid (loperamide). 2. Injeksi Toksin botulinum Disuntikkan ke LES saat endoskopi, bekerja menghambat pelepasan asetilkolin di sfingter bawah esofagus sehingga relaksasi otot sfingter dan makanan mudah masuk ke lambung. Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas proksimal dari LES dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari LES. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini mempunyai penilaian terbatas dimana 60% pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi; persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat

19

miotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya digunakan pada pasien lansia yang kurang bisa menjalani dilatasi atau pembedahan.[5,7,12]

Gambar 15. Injeksi botulinum toksin 3. Dilatasi pneumatik (balloning) Memasukkan balon ke esofagus untuk meregangkan sfingter esofagus dengan anestesi lokal. Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang bertujuan untuk merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi 50% 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri. Insidens dari gastroesophageal reflux yang abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic dilatation biasanya di terapi dengan miotomi Heller. [5,12,15]

20

Gambar 16. Dilatasi pneumatik (balloning) b. Terapi bedah Terapi yang optimal yang dilakukan pertama kali oleh Earnest Heler (1913). Prosedur ini dapat membedakan dengan tepat otot sirkuler dan longitudinal pada esofagus bawah, dan memperbaiki obstruksi fungsi esofagus bawah. Dilakukan secara transtorakal atau minimal invasif laparoskopi. Kontraindikasi dilakukannya operasi ini yaitu pasien dengan penyakit kardiopulmoner berat atau pun keadaan lain yang beresiko untuk tindakan pembiusan. Cara tradisional dalam miotomi Heller yaitu melakukan torakotomi kiri pada ruang interkostal VII. Esofagus distal dan proksimal dimobilisasi. Otot sirkuler dan longitudinal diinsisi dari inferior v. Pulmonalis menyilang dengan persambungan gastroesofagus melengkapi miotomi dengan jarak yang bervariasi ke dalam lambung. Otot dipisahkan dari lapisan mukosa sehingga memungkinkan lapisan mukosa yang kuat menonjol. Miotomi yang panjang memungkinkan gangguan pada sfingter esofagus bawah memulihkan disfagia namun meningkatkan resiko refluks. Untuk mengoptimalkan hasilnya, banyak ahli bedah menambahkan funduplikasi parsial pada miotomi yang panjang. Dada ditutup setelah itu di pasang chest tube dan pasien dirawat 4 hingga 7 hari.[13,14]

Esofagomiotomi (Miotomi Heller) :

21

Gambar 17. Esofagomiotomi Heller Laparoskopi miotomi Heller saat ini merupakan prosedur yang optimal, hasilnya sangat baik dan hanya sedikit morbiditas yang ditimbulkan. Prosedur ini harus dilakukan oleh ahli bedah dengan kemampuan laparoskopik yang baik dan berpengalaman. Prosedur ini dilakukan dengan pembiusan total, dan memerlukan 5 trokar laparoskopi. Peritonium di atas esofagus distal dipisahkan dan esophagus anterior akan terlihat setelah memasuki pneumoperitoneum. N. Vagus anterior diidentifikasi dan diamankan. Dengan pembesaran laparoskopis, otot longitudinal dan sirkular dipisahkan secara hati-hati untuk membuat lapisan mukosa nampak. Setelah itu miotomi diperluas ke proksimal 6 cm dari sambungan gastroesofagus dan ke distal sepanjang 1 cm ke dalam lambung bagian proksimal. Pemisahan otot dari mukosa memungkinkan mukosa mengalami penonjolan. Endokopi fleksibel intraoperatif kemudian dilakukan untuk memastikan tidak adanya obstruksi distal lebih lanjut. Miotomi dapat dengan mudah diperluas jika dibutuhkan hingga LES diablasi. Udara kemudian dimasukkan ke esofagus untuk menyelidiki ada atau tidaknya perforasi. Setelah proses miotomi selesai dilanjutkan dengan prosedur antirefluks yaitu fundoplikasi parsial. Setelah trokar di lepaskan , 0,5-1 cm insisi tersebut dijahit dengan benang yang dapat diabsorpsi. Pemasangan NGT tidak diperlukan, dan malamnya pasien dapat memulai makan makanan cair. Nyeri postoperatif, pemulihan

22

dan kembalinya pasien bekerja sama seperti setelah prosedur kolesistektomi laparoskopi.[16,17]

Gambar 18. Laparoskopi miotomi Heller

Gambar 19. Algoritma Diagnosis dan Penatalaksanaan Akalasia Esofagus

23

8.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada akalasia esofagus yaitu:[5,9] a. Pada akalasia esofagus yang tidak ditangani dapat terjadi inhalasi material dari esofagus pada malam hari (nokturnal) dan pneumonia aspirasi. b. Pada akalasia esofagus yang diterapi dapat menyebabkan perforasi dan refluks gastroesofagus. c. Pada akalasia esofagus yang kronis dapat menyebabkan karsinoma esofagus (2 -7 % pasien). 9. Prognosis Perbaikan gejala obstruksi dapat diperoleh pada prosedur dilatasi dan operasi sekurang-kurangnya 85-90% pasien. Prosedur Heller dapat mengatasi obstruksi namun juga dapat berakibat pada timbulnya refluks gaastroesofagus. Akan lebih baik jika dilakukan esofagoskopi secara berkala pada semua pasien karena terapi yang berhasil pun tidak mengurangi resiko kanker esofagus pada pasien akalasia.[5,9]

24

DAFTAR PUSTAKA 1. Sjamsuhidajat dan De Jong. 2011. Akalasia Esofagus dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2. Sjamsuhidajat dan De Jong. 2011. Anatomi dan Fisiologi Esofagus dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 3. Fielding, Jhon W.L dan Michael T Hallissey. 2005. Motility Disorders: Achalasia of Oesophagus dalam Upper Gastrointestinal Surgery. Birmingham : Departement of Surgery The Queen Elizabeth Hospital, Birmingham, UK. 4. Fielding, Jhon W.L dan Michael T Hallissey. 2005. Anatomy and Physiology of Oesophagus dalam Upper Gastrointestinal Surgery. Birmingham : Departement of Surgery The Queen Elizabeth Hospital, Birmingham, UK. 5. Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia. 2010. Anatomi Esofagus dan Akalasia Esofagus dalam Digestive System. 6. Perase, Joan. 2010. Achalasia Oesophagus. Merck Research Laboratories, Whitehouse station, N.J. 7. Chuah, Seng-Kee, Pin-I Hsu,et al. 2012. 2011 Update on Esophageal Achalasia. Taiwan: World Journal of Gastroenterology. 8. Farrokhi, Farnoosh dan Michael F Vaezi. 2007. Idiophatic (Primary) Achalasia. USA: Division of Gastroenterology and Hepatology, Center for Swallowing and Esophageal Tennnessee. 9. Hirano, Ikuo. 2006. Pathophysiology of Achalasia and Diffuse Esophageal Spasm. GI Motility. 10. Earlam, Richard. 2003. Pathophysiology and Clinical Presentation of Achalasia in Clinics in Gastroenterology. Disorder, Vanderbilt University Medical Center, Nashville,

25

11. Sawyer, Michael AJ. 2011. Achalasia Imaging. USA: Departement of Surgery, Southwestern Medical Centre, Consulting Staff. Diambil dari: Medscape Reference Drugs, Disease, and Procedurs. 12. Castell, Donald dan Jason R. Roberts. 2010. Management of Achalasia in the 21st Century: A Suggested Approach. Charleston: Division of Gastroenterology and Hepatology, Medical University of South Carolina, Charleston. 13. Bonavina, Luigi dan Alberto Peracchia. 2007. Operation for Achalasia dalam Atlas of Upper Gastrointestinal and Hepato-pancreato-biliary Surgery. USA: Department of Surgery, Gastric and Mixed Tumor Service, Memorial SloanKettering Cancer Center. 14. Satava, Richard M,Gasvari, Achile et al. 2007. Oesophageal Surgey and Heller Miotomy dalam Emerging Technologies in Surgery. USA: Departement of Surgery, University of Washington Medical Center, USA. 15. Riley, S.A and Atwood. Guidelines on The Use of Oesophageal Dilatation In Clinical Practice. 2004. Sheffield Teaching Hospitals, Northern General Hospital, Shieffeld S5 7AU, UK. 16. Vierra, Mark MD. 2010. Achalasia and Laparoscopic Heller Myotomy. Canada: Monterey County Surgical Associates. 17. Vanderpool, David, Mattehew V. Westmoreland. 1999. Achalasia: Willis or Heller?. USA; Departement of Surgery, Baylor University Medical Centre, Dallas, Texas, USA.

26

Anda mungkin juga menyukai