Anda di halaman 1dari 44

Laporan Kasus Individu Benign Prostatic Hyperplasia

Oleh: Reni Rifanti

Pembimbing Dr. Rahmad Yasin Spesialis Bedah Urologi

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Lamongan RSML 2013

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR JUDUL................................................................................................. 1 DAFTAR ISI......................................................................................................... 2 BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 5 BAB 3 LAPORAN KASUS.................................................................................. 35 Daftar Pustaka .............................................................................................. 44

BAB 1
2

PENDAHULUAN Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang terletak di sebelah inferior bulibuli dan membungkus uretra posterior. Paling sering mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menghambat aliran urin keluar dari buli-buli. Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) yang menghambat aliran urin dari buli-buli. Pembesaran ukuran prostat ini akibat adanya hyperplasia stroma dan sel epitelial mulai dari zona periurethra.

Gambar 1. Perbedaan aliran urin dari buli-buli pada prostat normal dan prostat yang mengalami pembesaran Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan

zona periurethra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pada laporan kasus ini akan dibahas tentang bagaimana penatalaksaan BPH secara umum serta macam-macam bentuk terapi konserfativ maupun operatiff pada penderita BPH di RS Muhammadiyah Lamongan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi

Benign Prostate Hypertrofia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah 2.2 Anatomi Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm. Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus : 1. lobus medius 2. lobus lateralis (2 lobus) 3. lobus anterior 4. lobus posterior 8,12 Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadangkadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abuabu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.

Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal. Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari : 1. Kapsul anatomi 2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler 3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian, a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya. b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatous zone c. Disekitar uretra disebut periurethral gland

Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis : 1. kapsul anatomis 2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul 3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat. BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar 2.3 Epidemiologi Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar
7

membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala klinik Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.
2.4 Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah: 1. Teori Hormonal Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosterone diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah
8

perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat. Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormone estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen. 2. Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan) Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming growth factor, transforming growth factor b 1, transforming growth factor b 2, dan epidermal growth factor. 3. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkuramgnya Sel yang Mati 4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis) Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan steady state, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar
9

testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan. 5. Teori Dihydro Testosteron (DHT) Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam target cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha eductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi hormone receptor complex. Kemudian hormone receptor complex ini mengalami transformasi reseptor, menjadi nuclear receptor yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat. 6. Teori Reawakening Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme glandular budding kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik. Persamaan
10

epiteleal

budding

dan

glandular

morphogenesis yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya reawakening yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening of embryonic induction potential of prostatic stroma during adult hood. Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya 2.5 Patofisiologi Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.

11

Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesicoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot
12

polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik. 2.6 Gejala Klinis Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah : 1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency) 2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream) 3. Miksi terputus (Intermittency) 4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling) 5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying). Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor yaitu : 1. Volume kelenjar periuretral 2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat 3. Kekuatan kontraksi otot detrusor Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih
13

dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur : a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi. b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average flow rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average flow antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal. Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk

14

menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur. Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah : 1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency) 2. Nokturia 3. Miksi sulit ditahan (Urgency) 4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi : Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin > 150 ml 7 Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga
15

menurunnya tonus spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (over flow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.
2.7 Tanda

1. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter
16

ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan : Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal), Adakah asimetris, Adakah nodul pada prostate, Apakah batas atas dapat diraba, Sulcus medianus prostate, Adakah krepitasi. Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi. Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis. 2. Pemeriksaan laboratorium a. Darah : Ureum dan Kreatinin Elektrolit Blood urea nitrogen
17

b. Urin : -

Prostate Specific Antigen (PSA) Gula darah Kultur urin + sensitifitas test Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik Sedimen

3. Pemeriksaan pencitraan a. Foto polos abdomen (BNO) Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat. b. Pielografi Intravena (IVP) pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish). mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli buli. foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin c. Sistogram retrograd Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi. d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS) - deteksi pembesaran prostat - mengukur volume residu urin
18

e. MRI atau CT jarang dilakukan Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam macam potongan. 4. Pemeriksaan lain a. Uroflowmetri Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh : - daya kontraksi otot detrusor tekanan intravesica - resistensi uretra Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan. b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies) Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan AbramsGriffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur. c. Pemeriksaan Volume Residu Urin Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume
19

urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG 2.8 Diagnosis Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui : 1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif 2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai prostat yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas semakin sulit untuk diraba. 3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi. 4. Pemeriksaan pencitraan : Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Dengan trans rectal ultra sonography (TRUS), dapat terlihat prostat yang membesar. 5. Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang. 6. Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume residu urin yang meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi). 2.9. Diagnosis Banding 1. Kelemahan detrusor kandung kemih a. kelainan medula spinalis b. neuropatia diabetes mellitus c. pasca bedah radikal di pelvis d. farmakologik
20

2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh : a. kelainan neurologik b. neuropati perifer c. diabetes mellitus d. alkoholisme e.farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik) 3. Obstruksi fungsional : a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor dengan relaksasi sfingter b. ketidakstabilan detrusor 4. Kekakuan leher kandung kemih : a. fibrosis 5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh : a. hiperplasia prostat jinak atau ganas b. kelainan yang menyumbatkan uretra c. uretralitiasis d. uretritis akut atau kronik e. striktur uretra 6. Prostatitis akut atau kronis 2.10 Kriteria Pembesaran Prostat Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah : 1. Rektal grading
21

Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum : - derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum - derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum - derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum - derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum 2. Berdasarkan jumlah residual urine - derajat 1 : < 50 ml - derajat 2 : 50-100 ml - derajat 3 : >100 ml - derajat 4 : retensi urin total 3. Intra vesikal grading - derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet - derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter - derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter - derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter 4. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi : - derajat 1 : kissing 1 cm - derajat 2 : kissing 2 cm - derajat 3 : kissing 3 cm - derajat 4 : kissing >3 cm 2.11 Komplikasi Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
22

1. Inkontinensia Paradoks 2. Batu Kandung Kemih 3. Hematuria 4. Sistitis 5. Pielonefritis 6. Retensi Urin Akut Atau Kronik 7. Refluks Vesiko-Ureter 8. Hidroureter 9. Hidronefrosis 10. Gagal Ginjal

2.12. Penatalaksanaan Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml, sedangkan derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan
23

jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi. Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan secara konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada indikasiuntuk melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh karena biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Pada hiperplasia prostat derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P atau operasi terbuka. Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90%
24

kasus). Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk : 1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat 2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat 3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 2,7 Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia prostat benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu : 1. Observasi (Watchful waiting) 2. Medikamentosa a. Penghambat adrenergik a b. Fitoterapi c. Hormonal 3. Operatif a. Prostatektomi terbuka - Retropubic infravesika (Terence millin) - Suprapubic transvesica/TVP (Freyer) - Transperineal b. Endourologi - Trans urethral resection (TUR) - Trans urethral incision of prostate (TUIP)
25

- Pembedahan dengan laser (Laser Prostatectomy) Trans urethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP) Trans urethral evaporation of prostate (TUEP) Teknik koagulasi 4. Invasif minimal - Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT) - Trans urethral ballon dilatation (TUBD) - Trans urethral needle ablation (TUNA) - Stent urethra dengan prostacath Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif. Mengenai penatalaksanaan konservatif non operatif akan dibahas pada bab tersendiri, pada bab ini hanya akan dibahas tentang penatalaksanaan secara operatif saja yang terbagi dalam prostatektomi terbuka dan prostatektomi endourologi. 1. Prostatektomi terbuka a. Retropubic infravesica (Terence Millin) Keuntungan : - Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal - Mortaliti rate rendah - Langsung melihat fossa prostat - Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli - Perdarahan lebih mudah dirawat
26

- Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila membuka vesika Kerugian : - Dapat memotong pleksus santorini - Mudah berdarah - Dapat terjadi osteitis pubis - Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal - Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam vesika Komplikasi : - Perdarahan - Infeksi - Osteitis pubis - Trombosis b. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer) Keuntungan : - Baik untuk kelenjar besar - Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat - Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit : 1. Batu buli 2. Batu ureter distal 3. Divertikel 4. Uretrokel
27

5. Adanya sistsostomi 6. Retropubik sulit karena kelainan os pubis - Kerusakan spingter eksterna minimal Kerugian : - Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica sembuh - Sulit pada orang gemuk - Sulit untuk kontrol perdarahan - Merusak mukosa kulit - Mortality rate 1 -5 % Komplikasi : - Striktura post operasi (uretra anterior 2 5 %, bladder neck stenosis 4%) - Inkontinensia (<1%) - Perdarahan - Epididimo orchitis - Recurent (10 20%) - Carcinoma - Ejakulasi retrograde - Impotensi - Fimosis - Deep venous trombosis c. Transperineal Keuntungan :
28

- Dapat langssung pada fossa prostat - Pembuluh darah tampak lebih jelas - Mudah untuk pinggul sempit - Langsung biopsi untuk karsinoma Kerugian : - Impotensi - Inkontinensia - Bisa terkena rektum - Perdarahan hebat - Merusak diagframa urogenital 2 Prostatektomi Endourologi a. Trans urethral resection (TUR) Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hamper seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien nonobstruksi. Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR. Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif TUR meningkat dari 72% menjadi 88% dengan mengikutsertakan evaluasi urodinamik pada penilaian pra-bedah dari 152 pasien. Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi
29

kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR P. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TUR P ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain adalah cairan glisin , membatasi jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat. Keuntungan : - Luka incisi tidak ada - Lama perawatan lebih pendek - Morbiditas dan mortalitas rendah - Prostat fibrous mudah diangkat - Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol Kerugian :
30

- Tehnik sulit - Resiko merusak uretra - Intoksikasi cairan - Trauma spingter eksterna dan trigonum - Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar - Alat mahal - Ketrampilan khusus b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP) Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR P tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat. Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR. c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy) Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat prostat yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan. Penggunaan laser untuk operasi prostat pertama kali diusulkan oleh Sander (1984). Untuk mengobati ca prostat yang
31

masih lokal dengan memakai Nd YAG (Neodymium, Yttrium Aluminium Garnet) Solid state Nd YAG ini pertamakali diperkenalkan tahun 1964 tapi baru tahun 1975 baru dicoba dibidang urologi untuk mengablasi tumor buli superficial (Hoffstetter). Pc Phee menulis mengenai penggunaan YAG laser untuk photo irradiasi segmental pada mukosa buli. YAG laser ini mempunyai panjang gelombang yang cocok untuk pengobatan prostat oleh karena mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Mula-mula laser untuk prostat ini hanya dipakai untuk pengobatan tambahan setelah TUR P pada ca prostat, yang biasanya diberikan 3 minggu setelah TUR P (Shanberg 1985, Mc Nicholas 1990). Kemudian Shenberg mengajukan pemakaian Nd YAG ini untuk melaser prostat pada penderita yang tidak dapat mentoleransi perdarahan apabila dilakukan TUR. Roth dan Aretz (1991) menjadi pelopor penggunaan laser Transuretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP), yang dibimbing dengan pemakaian USG untuk dapat menembak prostat yang disempurnakan dengan menggunakan alat pembelok (deflektor) sinar laser dengan sudut 90 derajat sehingga sinar laser dapat diarahkan ke arah kelenjar prostat yang membesar. Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga gelombang ini tidak banyak diserap oleh air seperti laser CO2 dan mempunyai sifat divergensi tetapi masih mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila laser Nd YAG ini mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi energi termal yang dapat menguapkan jaringan dengan Nd YAG tanpa kontak dengan jaringan mempunyai efek laser maksimal pada kedalaman 3mm dibawa mukosa dan efek termal dapat mencapai 100C sehingga pada kekuatan 40 60 watts akan menyebabkan koagulasi pada kedalaman 3mm sehingga akan terjadi letusan kecil yang disebut pop corn effect. Nd YAG ini aman untuk pengobatan prostat oleh karena pembuluh darah yang agakbesar
32

dan pembuluh darah pada kapsul prostat akan menjadi penahan panas (heat sink) sehingga tidak akan terjadi penjalaran panas keluar dari prostat. Tahun 1989 Johnson menemukan alat pembelok Nd YAG sehingga sinar laser tersebut dapat dibelokkan 90 dengan menggunakan pembelok dari emas yang ditempelkan diujung serat laser, sehingga sinar laser dapat diarahkan ke jaringan prostat dari dalam uretra. Dengan alat pembelok ini 92% dari energy laser masih dapat mencapai jaringan preostat. Costello (1992) mempelopori penggunaan laser ini utnuk ablasi pembesaran prostat jinak menggunakan laser yang dibelokkan 90 melalui sistoskopi. Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera akan menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang kan menyebabkan laser nekrosis lebih dalam setelah 424 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat menyerupai rongga yang terjadi sehabis TUR. Keuntungan bedah laser ialah : 1. Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi 2. Teknik lebih sederhana 3. Waktu operasi lebih cepat 4. Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat 5. Tidak memerlukan terapi antikoagulan 6. Resiko impotensi tidak ada
33

7. Resiko ejakulasi retrograd minimal Kerugian : Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional)

34

BAB 3 LAPORAN KASUS a. Identitas Pasien Nama Umur Jenis kelamin Alamat Status perkawinan Datang ke Poli Urologi Bangsa Suku Agama Pekerjaan : Tn. R : 63 tahun : Laki Laki : Pilang RT2 RW2 Tejosari Laren Lamongan : Kawin : 28 Januari 2013 : Indonesia : Jawa : Islam : Petani

b. Anamnesis Keluhan Utama : Buang air kecil tidak lancar

Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengeluh sulit buang air kecil sejak sekitar 1 minggu SMRS. Setiap kali kencing pasien memerlukan waktu lama untuk mulai kencing, harus mengedan untuk kencing, kencing menetes dan setelah kencing masih terasa ada sisa. Pasien juga mengeluh nyeri saat kencing. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk di bawah perut sampai selangkangan. Nyeri menghilang setelah selesai kencing. Riwayat kencing berwarna merah (-), kencing nanah (-), kencing batu (-), nyeri pinggang (-).

35

Riwayat penyakit dahulu

: Hari jumat smrs, pasien menjelaskan bahwa sempat ke

PKM setempat, karena nyeri di bagian perut bawah, dan tidak bisa BAK, kemudian di PKM tersebut, pasien dipasang selang kateter dan langsung pulang. Ketika di pasang kateter, pasien dapat mengeluarkan air kencingnya, volumenya banyak, namun pasien tidak bisa menjelaskan secara mendetail seberapa banyak air kecingnya. Warna air kencing kuning biasa, tidak ada batu, tidak ada darah. Pasien dipasang selang kateter selama 1 minggu, kemudian pasien dibawa ke poli urologi RSML, dan di sana pasien dijelaskan untuk kontrol kembali. Setelah control, kateter pasien di lepas, dan pasien melakukan pemeriksaan USG dan dinyatakan bahwa terdapat pembesaran pada bagian prostat, sehingga dokter spesialis urologi yang bersangkutan menyarankan agar pasien MRS untuk ditindak lanjuti. Riwayat penyakit keluarga : Tidak terdapat keluarga pasien yang mengalami hal serupa Riwayat Alergi makanan tertentu. Riwayat Sosial : Pasien sering mengkonsumsi kopi, sering mengkonsumsi : Pasien menyangkal adanya alergi terhadap obat atau

jamu-jamuan tradisional bila badan terasa pegal, dan pasien kadang- kadang juga menjelaskan sering menahan untuk BAK bila sedang bekerja.
c. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik umum a. Status Generalis


36

Keadaan umum Kesadaran Tanda vital

: Cukup : Composmentis : Tekanan darah Nadi RR T : 123/64 mmHg : 76 x/menit : 29 x/menit : 36,20C

Kepala Mata

: Bentuk normal dan simetris : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada edema palpebrae.

Telinga Hidung

: Bentuk normal dan simetris, tidak ada deformitas. : Bentuk normal dan simetris, pernapasan cuping hidung tidak ada, tidak ada deformitas, epistaksis tidak ada.

Mulut Leher

: Mukosa bibir merah, sianosis (-) : Pulsasi vena jugularis tidak tampak, JVP tidak meningkat, tidak ada pembesaran KGB, deviasi trakea dan pembesaran tidak ada. tiroid

Thoraks

: Paru

I P

: Simetris : Fremitus raba simetris

37

P A Jantung I P P A Abdomen : I A P P Ekstremitas : Atas Bawah b.Status Neurologis GCS Pupil Sensorik Motorik : E4 V5 M6

: Sonor : SN vesikuler, wheezing (-), ronkhi (-) : Iktus tidak tampak : Thrill (-) : Batas jantung normal : S1 dan S2 tunggal, murmur (-) : Simetris : Bising usus normal : Hepar/Lien/Massa tidak teraba : Timpani : Hangat, Edem (-/-), Parese (-/-) : Hangat, Edem (-/-), Parese (-/-)

: Isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+) : (+) :5

38

c. Status lokalis : Urogenital 1. Regio Costovertebralis Inspeksi : Warna kulit sama dengan sekitarnya, tanda radang tidak ada, hematom tidak ada, alignment tulang belakang normal, gibbus tidak ada, tidak tampak massa tumor. Palpasi : Tidak teraba massa tumor, ballotemen ginjal tidak teraba, nyeri tekan (-) Perkusi : Nyeri ketok (-) 2. Regio Suprapubic Inspeksi : Kesan normal, warna kulit sama dengan sekitar, tidak tampak massa , hematom tidak ada, edema tidak ada Palpasi : Nyeri tekan (-) , buli-buli teraba, massa tumor tidak teraba. 3. Regio Genitalia Eksterna Inspeksi : Tampak penis tersirkumsisi, OUE pada gland penis, tanda radang (-), skrotum tampak normal, hematom (-), edema (-) Palpasi : Pada penis tidak teraba massa tumor, tidak nyeri tekan. Pada skrotum teraba dua buah testis, kesan normal, massa tumor tidak ada, nyeri tekan tidak ada

d. Pemeriksaan fisik tambahan 39

Digital Rectal Examination:


1. Sekitar anus: tidak tampak skin tag/ hemorrhoid 2. Fisura anus: tidak tampak 3. Mukosa rectum : licin 4. Tonus sfingter ani: normal 5. Prostat teraba besar grade.II sebesar 20-30 gr 6. Konsistensi kenyal 7. Sulkus medianus menghilang,Pole atas teraba Nodul (-) 8. BCR normal 9. Handscoen : darah (-), tinja (+) sedikit

40

Initial Diagnosis Diagnosis Banding

: Suspect BPH : 1. Ca Prostat


2. Prostatitis 41

Planning Diagnosis
- Thorax - USG prostat - UL

: - DL

- PSA (Prostate spesific Agent)

Hasil DL Diffcount Hct Hb LED Lekosit Trombosit Bill Direct Bill Total SGOT SGPT Albumin Globulin Kal serum Nat Serum Clorida serum

: 4/0/58/30/8 40,8 13,8 22/47 8600 209000 0,27 0,64 24 14 2,8 3,9 3,7 137 106

42

Foto Thorax dan USG prostat

Assesment Penatalaksanaan

: BPH : - MRS - IVFD RL 20 tpm - Inj Ceftriaxon 2x1 - Inj Gentamicyn 2x80 - Inj Metamizole 1 amp k/p - Rencana TURP

Prognosis

: Dubia ad bonam

DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta :

EGC, 1997.Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan


43

Hipertrofi Prostat, Majalah Kedokteran Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998. 2. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama,Jakarta : Binarupa Aksara, 1995. 3. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC,1994. 4. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC, 1997.Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek EfekSampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002. 5. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan, Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo, 1993. 6. Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK UNDIP. 7. Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), Semarang : Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP. 8. Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi RSUD Dr. Soetomo-FK Universitas Airlangga, 2002. 9. Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000. 10. Anonim. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina, 1997. 11. Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Baileys Emergency Surgery 11th edition, Gadjah Mada iversity Press, 1992.

44

Anda mungkin juga menyukai