Anda di halaman 1dari 29

WRAP UP SKENARIO DEMAM SORE HARI

Kelompok B-8

Ketua

Nadya Eka Putri Mia Indah Sari Mutiara Isman Prayogo Budi Prabowo Putri Mutiara Sari Sesvianda Fatma Yuliandari Siti Syarifah Dias Tiara Windasari Rizka Metya Muhammad Zahsyi

1102011190 1102011162 1102011185 1102011209 1102011212 1102011256 1102011261 1102011279 1102010250 1102010187

Sekretaris : Anggota :

Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi 2011/2012

Skenario 1 Demam Tifoid Seorang wanita 30 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam dirasakan lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan fisik kesadaran somnolen, nadi bradikardia, suhu tubuh hiperpireksia(pengukuran jam 20.00 WIB), lidah terlihat typhoid tongue. Pada pemeriksaan widal didapatkan titer anti-salmonella typhi O meningkat. Ibu tersebut bertanya kepada dokter apa diagnosa dan cara pencegahan penyakitnya.

Sasaran Belajar LO I. Memahami dan Menjelaskan tentang Demam LI I.1 Memahami dan Menjelaskan Pengertian Demam LI I.2 Memahami dan Menjelaskan Patogenesis Demam LI I.3 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik Demam LI I.4 Memahami dan Menjelaskan Pola Demam

LO II. Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica LI II.1 Memahami dan Menjelaskan Morfologi Salmonella enterica LI II.2 Memahami dan Menjelaskan Sifat Salmonella enterica LI II.3 Memahami dan Menjelaskan Transmisi Salmonella enterica

LO III. Memahami dan Menjelaskan Demam Tifoid LI III.1 Memahami dan Menjelaskan Epidemologi Demam Tifoid LI III.2 Memahami dan Menjelaskan Patogenesis Demam Tifoid LI III.3 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik Demam Tifoid LI III.4 Memahami dan Menjelaskan Penegakkan Diagnosis Demam Tifoid LI III.5 Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan Demam Tifoid LI III.6 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Demam Tifoid LI III.7 Memahami dan Menjelaskan Prognosis Demam Tifoid

LO IV. Memahami dan Menjelaskan Farmakologi Antibiotik

LO I. Memahami dan Menjelaskan tentang Demam LI I.1 Memahami dan Menjelaskan Pengertian Demam Demam adalah kenaikan suhu tubuh dari normalnya yang ditengahi oleh kenaikan titikambang regulasi panas hipotalamus. Pusat regulasi/pengatur panas hipotalamus mengendalikan suhu tubuh dengan menyeimbangkan sinyal dari reseptor neuronal perifer dingin dan panas. Selain itu demam juga merupakan gejala adanya gangguan metabolisme, infeksi atau kerusakan jaringan yang luas.(Ann M. Arvin, dkk, 1999). Demam merupakan salah satu manifestasi respons radang yang dihasilkan oleh mekanisme pertahanan hospes yang ditengahi sitokin.Produksi panas pada demam meningkatkan pemakaian oksigen, produksi karbondioksida, dan curah jantung. (Nelwan, 2009). Normal suhu tubuh berkisar 36.5-37.2 C. Suhu subnormal di bawah 36C, dengan adanya demam pada umumnya diartikan suhu tubuh di atas 37.2C. Terdapat perbedaan antara pengukuran suhu di aksila dan oral maupun rektal.Dalam keadaan biasa perbedaan ini berkisar sekitar 0.5C. Suhu rektal lebih tinggi daripada suhu oral. Suhu tubuh mengikuti irama sirkadian. Suhu pada dini hari rendah, dan suhu tertinggi terjadi pada pukul 16.0018.00 (Nelwan, 2009). Selama demam, metabolisme meningkat dan konsumsi oksigen bertambah. Metabolisme tubuh meningkat 7% untuk setiap derajat kenaikan suhu. Frekuensi jantung dan pernafasan meningkat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh terhadap nutrient. Metabolisme meningkat menggunakan energi yang memproduksi panas tambahan. Demam yang lama dapat melelahkan klien dan menghabiskan simpanan energi dan beresiko terjadinya dehidrasi (Patricia P, 2005). Terdapat tiga macam demam, yaitu : 1.Demam tingkat rendah, yaitu demam dengan temperatur antara 37,2 C 38,3 C. 2.Demam tingkat sedang, yaitu demam dengan temperatur antara 38,4 C 39,4 C. 3.Demam tingkat tinggi, yaitu demam dengan temperatur lebih tinggi dari 39,5 3 C. (William S et Martha S,2003). LI I.2 Memahami dan Menjelaskan Patogenesis Demam Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar infeksi mikroorganisme (virus, bakteri, parasit).Demam juga bisa disebabkan oleh faktor non infeksi seperti reaksi alergi, kelainan darah, kanker ganas dan penyakit auto imun.Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh akibat dari peradangan atau infeksi. Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh zat toksin yang masuk kedalam tubuh.Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan (inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan yang mengancam keadaan fisiologis tubuh. Proses peradangan diawali dengan masuknya zat toksin (mikroorganisme) kedalam tubuh kita. Mikroorganisme yang masuk kedalam tubuh umumnya memiliki suatu zat toksin tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen. Dengan masuknya mikroorganisme tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya dengan pertahanan tubuh antara lain berupa leukosit, makrofag, dan limfosit untuk memakannya (fagositosit). Dengan adanya proses fagositosit ini, tubuh

akan mengeluarkan senjata, berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat dapat keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2).Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim siklooksigenase (COX). Pengeluaran prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus yang dapat menyebabkan suatu pireksia. Pengaruh pengaturan otonom akan mengakibatkan terjadinya vasokontriksi perifer sehingga pengeluaran panas menurun dan pasien merasa demam. Suhu badan dapat bertambah tinggi lagi karena meningkatnya aktivitas metabolisme yang juga mengakibatkan penambahan produksi panas dan karena kurang adekuat penyalurannya ke permukaan maka rasa demam bertambah pada seorang pasien.(Sherwood, 2004).

LI I.3 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik Demam Gejala yang sering menyertai demam antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Berkeringat Menggigil Sakit kepala Nyeri otot Nafsu makan menurun Lemas Dehidrasi

Demam yang sangat tinggi, lebih dari 39 C dapat menyebabkan: 1. Halusinasi 2. Kejang (Nelwan,2009). Petunjuk segera ke sarana kesehatan apabila: 1. 2. 3. 3. 4. 5. Demam > 2 hari Demam yang disertai muntah hebat, sesak, kejang dan kaku kuduk Demam disertai sakit telinga dan keluar nanah. Demam disertai perdarahan Demam dengan kelainan bawaan Demam dan gizi buruk (Sherwood, 2004).

LI I.4 Memahami dan Menjelaskan Pola Demam Beberapa tipe demam yang mungkin kita jumpai, antara lain: a. Demam Septik Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari.Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat.Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik. Demam Remiten Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal.Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik. Demam Intermiten Pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari.Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana. Demam Kontinyu Pada demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat.Pada tingkat demam terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia. Demam Siklik Pada demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.(Nelwan, 2009).

b.

c.

d.

e.

Alat yang digunakan untuk mengukur suhu tubuh adalah termometer.Ada beberapa macam termometer tergantung penggunaannya. Termometer yang digunakan untuk mengukur suhu melalui liang telinga berbeda dengan termometer yang digunakan untuk mengukur suhu melalui dubur maupun melalui mulut. Skala yang digunakan juga berbeda-beda.Yang lebih sering digunakan adalah termometer dengan skala digital.Termometer yang menggunakan raksa sudah mulai ditinggalkan karena potensi bahaya yang bisa timbul jika termometer pecah dan raksa mengalir keluar.Sangat tidak dianjurkan untuk mengukur suhu tubuh hanya dengan menempelkan telapak tangan atau punggung tangan di dahi atau pipi.(Sherwood, 2004). Ada 4 cara untuk mengukur suhu tubuh, yaitu: melalui oral, aksila, rektal dan membran timpani.

Suhu tubuh normal : Tempat Pengukuran Aksila Sublingual Rektal Telinga Rata-rata Suhu Normal (C) 34,7-37,3 ; 36,4 35,5-37,5 ; 36,6 36,6-37,9 ; 37 35,7-37,5 ; 36,6 Demam (C) 37,4 37,6 38 37,6

Langkah-langkah untuk mengukur suhu tubuh melalui dubur (untuk bayi): 1. 2. 3. 4. 5. Beri jeli atau pelumas pada ujung termometer Baringkan bayi dalam posisi tengkurap Masukkan ujung termometer ke dalam dubur bayi kurang lebih sedalam 3,5 cm Diamkan selama 3 menit, bayi tetap dalam posisi tengkurap Keluarkan termometer dari dubur bayi dan bacalah hasilnya

Langkah-langkah untuk mengukur suhu tubuh melalui mulut: 1. Letakkan ujung termometer di bawah lidah 2. Tutup mulut selama 3 menit 3. Keluarkan termometer dari mulut dan bacalah hasilnya Langkah-langkah untuk mengukur suhu tubuh di bawah ketiak: 1. 2. 3. 4. Letakkan termometer di bawah ketiak dengan posisi lengan ke arah bawah Silangkan lengan di depan dada Tunggu sekitar 5 menit Keluarkan dan baca hasilnya (Price,2005).

LO II. Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica LI II.1 Memahami dan Menjelaskan Morfologi Salmonella enterica Salmonella umumnya bersifat patogen untuk manusia atau hewan bila masuk melalui mulut. Organisme ini ditularkan dari hewan dan produk hewan ke manusia dan menyebabkan enteritis, infeksi sistemik, dan demam enterik. Panjang Salmonella bervariasi. Sebagian besar isolat motil dengan flagel peritrika (Peritrichous flagella) serta tidak membentuk spora, batang gram negatif. Salmonella mudah tumbuh pada medium sederhana tetapi hampir tidak pernah memfermentasikan laktosa atau sukrosa. Organisme ini membentuk asam dan kadangkadang gas dari glukosa dan manosa.Salmonella biasanya menghasilkan H2S. Mereka bertahan dalam air yang membeku untuk waktu yang lama. Salmonella resisten terhadap bahan kimia tertentu yang menghambat bakteri enterik lain. Oleh karena itu, senyawasenyawa tersebut berguna untuk inklusi isolat Salmonella dari feses pada medium. (Jawetz,2007). Organisme Salmonella tumbuh secara aerobic dan anaerobic fakultatif. Serta resisten terhadap banyak agen fisik tetapi dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 130F (54.4C) selama 1 jam atau 140F (60C) selama 15 menit. (Aan M. Arvin, 2000). Klasifikasi salmonella sangat rumit karena organisme tersebut merupakan rangkaian kesatuan dan bukan tertentu. Anggota genus Salmonella awalnya diklasifikasikan berdasarkan

epidemiologi, jangkauan pejamu, reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H, dan Vi. Terdapat lebih dari 2500 serotip Salmonella, termasuk lebih dari 1400 dalam kelompok hibridasi DNA grup I yang dapat menginfeksi manusia. Hampir semua Salmonella yang menyebabkan penyakit pada manusia dapat diidentifikasikan di laboraturium klinis melalui pemeriksaan biokimia dan serologik. Serotip tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Salmonella paratyphi A (serogrup A) Salmonella paratyphi B (serogrup B) Salmonella cholerasuis (serogrup C1) Salmonella typhi (serogrup D)

Penentuan serotipe didasarkan atas reaktivitas antigen O dan antigen H bifasik.Berdasarkan penelitian hibridisasi DNA, klasifikasi taksonomik resmi meliputi genus Salmonella dengan subspecies dan genus Arizona dengan subspesies.(Jawetz,2008). Contoh rumus antigenik Salmonella Golongan O D A C1 B D (Soebandrio, 2008) Seriotip S typhi S paratyphi A S choleraesuis S typhimurium S enteritidis Formula antigenic 9,12 (vi):d:1,2,12:a6,7: c:1,5 1,4,5,12:i:1,2 1,9,12:g,m:-

LI II.2 Memahami dan Menjelaskan Sifat Salmonella enterica Salmonella enterica mempunyai 2000 serovar atau strain dan hanya sekitar 200 yang berhasil terdeteksi. Dari sekian banyak strain Salmonella enterica serovar Typhirium (S.Typhimurium) dan Salmonella enterica serovar entritidis adalah strain yang paling banyak ditemukan. Salmonella enterica mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin.Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik. (Soedarmo,dkk, 2010). Kuman ini mempunyai tiga antigen : 1. Antigen O Somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman bersifat lipopolisakarida. Tahan terhadap pemanasan 100 C selama 2-5 jam. 2. Antigen H Antigen yang terletak di flagella. Berstruktur kimia dan protein. Mempunyai antigen H phase 1 tunggal. Tidak aktif pada pemanasan suhu 60 C. 3. Antigen Vi Terletak di lapisan luar Salmonella typhi (kapsul) yang berfungsi melindungi kuman dari fagositosis. Struktur kimia glikolipid rusak bila dipanaskan 1 jam suhu 60 dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya carrier. LI II.3 Memahami dan Menjelaskan Transmisi Salmonella enterica Organisme ini hampir selalu masuk melalui rute oral, biasanya bersama makanan atau minuman yang terkontaminasi. Dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinis atau

subklinis pada manusia adalah 105-108 bakteri. Beberapa faktor pejamu yang menimbulkan resistansi terhadap infeksi salmonella adalah keasaman lambung, flora mikroba normal usus, dan kekebalan usus setempat. Salmonella menyebabkan tiga macam penyakit utama pada manusia, tetapi sering juga ditemukan bentuk campuran. (Ann M.Arvin, 1999). Sumber infeksi adalah makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh salmonella. Berikut adalah sumber-sumber infeksi yang penting adalah : 1. Air, kontaminasi dengan feses sering menimbulkan epidemik yang luas 2. Susu dan produk susu lainnya (es krim, keju, puding), kontaminasi dengan feses dan pasteurisasi yang tidak adekuat atau penanganan yang salah. Beberapa wabah dapat ditelusuri sampai sumber kumannya 3. Kerang, dari air yang terkontaminasi 4. Telur beku atau dikeringkan, dari unggas yang terinfeksi atau kontaminasi saat pemrosesan 5. Daging dan produk daging, dari hewan yang terinfeksi (hewan ternak) atau kontaminasi olehfeses melalui hewan pengerat atau manusia 6. Obat rekreasi, mariyuana dan obat lainnya 7. Pewarnaan hewan, pewarnaan (misal, carmine) digunakan untuk obat, makanan, dan kosmetik 8. Hewan peliharaan, kura-kura, anjing, kucing, dll.(Jawetz,2007). Penyakit klinis yang disebabkan oleh salmonella Periode inkubasi Awitan Demam Demam enteric 7-20 hari Perlahan Bertahap,kemudian plateau,tinggi Septikemia Bervariasi Mendadak Meningkat cepat,kemudian temperatur menukik spt sepsis Bertahap,kemudian Meningkat plateau,tinggi cepat,kemudian temperatur menukik spt sepsis Beberapa minggu Bervariasi Awalnya sering Sering tidak ada konstipasi,selanjutnya diare berdarah Positif pada minggu 1 Positif pada saat hingga minggu 5 demam tinggi penyakit Positif pada minggu Jarang positif 2, negatif pada awal penyakit Enterokolitis 8-48 jam Mendadak Biasanya demam ringan

Demam

Biasanya ringan

demam

Lama penyakit Gejala gastrointestinal Biakan darah

2-5 hari Mual muntah diare saat awitan Negatif

Biakan feses

Positif segera setelah awitan

(Jawetz, 2008)

LO III. Memahami dan Menjelaskan Demam Tifoid LI III.1 Memahami dan Menjelaskan Epidemologi Demam Tifoid Survailens Departemen Kesehatan RI , frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2. Pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai RS di Indonesia dari tahun 1981 sampai 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan. Di daerah Jawa Barat 157 kasus per 100.000 penduduk. Sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens diperkotaan berhubungan dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. CFR/Case Fatality Rate demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil survei kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi. ( IPD Jilid III, 2009). LI III.2 Memahami dan Menjelaskan Patogenesis Demam Tifoid Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi.Penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam.Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari dan ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke sel fagosit manonuklear dari hati, limpa,kelenjar limfe dan Payers patch.(Sumarmo et al , 2010). Demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia.Penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.Di Indonesia, demam tifoid bersifat endemik. Penderita dewasa muda sering mengalami komplikasi berat berupa perdarahan dan perforasi usus yang tidak jarang berakhir dengan kematian.(Aan M. Arvin, 2000). Patogenesis demam tifoid Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke saluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik (IPD Jilid III,2009).

LI III.3 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik Demam Tifoid Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan tidak memerlukan perawatan khusus sampai gejala klinis berat dan memerlukan perawatan khusus.Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.( Sumarmo et al, 2010). Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39 C hingga 40 C, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan meradang. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam. Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita.Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare yang meningkat danberwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan sering berbunyi,gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi. Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasildiobati. Bila keadaan membaik, gejalagejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan danperforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknyajika keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinyatanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus,inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderitakemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai olehperitonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinyaperforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas, dan kolaps darinadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasimiokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderitademam tifoid pada minggu ketiga. Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awalminggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis venafemoralis.Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian jugahanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi danberlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dariserangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksiprimer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akanmengakibatkan timbulnya relaps.(Sumarmo et al,2010).

LI III.4 Memahami dan Menjelaskan Penegakkan Diagnosis Demam Tifoid Sebelum mengetahui penyakit yang diderita oleh pasien dan memberikan antibiotik atau anti mikroba, anamnesis harus dilakukan untuk menentukan keluhan utama dari pasien. Setelah keluhan utama didapat, dengan anamnesa akan didapat pula keluhan-keluhan tambahan untuk memperkuat diagnosis. Setelah itu pemeriksaan fisik harus dilakukan sebagai langkah kedua setelah anamnesis. Setelah melakukan pemeriksaan fisik , baru dilakukan pemeriksaan laboratorium sebagai penguat diagnosis. Ada beberapa cara pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk pasien demam tifoid : 1. Pemeriksaan rutin Biasanya didapatkan kadart SGOT dan SGPT ayang meningkat. Tetapi peningkatan ini tidak membutuhkan terapi khusus. Pada demam tifoid, laju endap darah meningkat. Selain itu dapat pula ditemukan leukositosis, anemia ringan, trombositopenia. 2. Uji Widal Dilakukan untuk menentukan aglutinin dalam serum. Aglutinin merupakan reaksi aglutinasi antara antigen kuma Salmonella typhi dan antibodi aglutinin(Davey & Wilson,1969). Antigen yang digunakan pada uji ini adalah suspensi Salmonella yang sudah mati dan diolah di laboratorium.ad 3 aglutinin dalam serum yaitu aglutinin O (dari tubuh kuman), aglutinin H (flagella kuman), aglutinin Vi(simpai kuman). Dalam mendiagnosis demam tifoid hanya aglutinin O dan H saja yang digunakan, semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan terinfeksi(Widodo.D,2009). Widal dinyatakan positif bila : a) Titer O Widal I 1/320 atau b) Titer O Widal II naik 4 kali lipat atau lebih dibanding titer O Widal I atau Titer O Widal I (-) tetapi titer O II (+) berapapun angkanya. Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 , bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu. Uji Tubex/TUBEX Uji ini merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat dan mudah dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi 09 pada serum dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti 09 yang terkonjugasi pada partikel latex yang bewarna dengan lipopolisakarida S.typhi. hasil positif uji TUBEX ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D. Uji TUBEX hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak mampu dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau. Uji Typhidot Uji ini dapat mendeteksi antibode IgM dan IgG yang terdapata pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil psitif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD yang terdapat pada strip interselulosa. Uji IgM Dipstick Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S.typhi pada spesimen serum atau whole blood. Kultur Darah Jika hasil biakan darah dari kultur darah ini positif, maka dipastikan terkena demam tifoid. Ada kemungkinan sebagai berikut : a) Telah mengkonsumsi antibiotik. Perubahan kuman di media terhambat.

3.

4.

5.

6.

b) Volum darah yang sedikit dapat menghasilkan hasil yang negatif. Darah yang diambil seharusnya secara bedside langsung dimasukan ke dalam media cair empedu untuk pertumbuhan kuman. c) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi (aglutinin) yang menekan bakteremia hingga biakan darah negatif. d) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat(Widodo D, 2009). LI III.5 Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan Demam Tifoid Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu : Istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif), dan pemberian antimikroba. 1. Istirahat yang berupa tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,mandi, buang air kecil, buang air besar akan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. (Djoko, 2009) 2. Diet dan terapi penunjang merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhanpenyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Pemberian bubur saring bertujuan untukk menghindari komplikasi pendarahan saluran cerna atau perforasi usus. (Djoko, 2009) 3. Farmakologis Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut: Obat Kloramfenikol Trimetofrim Sulfametakzol Ampicillin/ Amoxycillin Second-line Antibiotics ( Fluoroquinolon) Norfloxacin Ciprofloxacin Ofloxacin Pefloxacin Fleroxacin Cephalosporin Ceftriaxon Dosis 500 mg 4x /hari 160/800 mg 2x/hari, 4-20 mg/kg bagi 2 dosis 1000-2000 mg 4x/hari ; 50-100 mg/kg , bagi 4 dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari 2 x 500 mg/hari selama 6 hari 2 x 400 mg/hari selama 7 hari 400 mg/hari selama 7 hari 400 mg/hari selama 7 hari 1-2 gr/hari ; 50-75 mg/kg : dibagi 1-2 dosis selama 7-10 hari 1-2 gr/hari, 40-80 Rute Oral, IV Oral, IV

First-line Antibiotics

Oral, IV, IM

Oral Oral , IV Oral Oral, IV Oral IM, IV

Cefotaxim

IM, IV

Cefoperazon

Antibiotik lainnya

Aztreonam Azithromycin

mg/hari: dibagi 2-3 dosis selama 14 hari 1-2 gr 2x/hari 50-100 Oral mg/kg dibagi 2 dosis selama 14 hari 1 gr/ 2-4x/hari ; 50- IM 70 mg/kg 1 gr 1x/hari ; 5-10 Oral mg/kg

(RM. Santillan, 2000) Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dikwatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonates. Tiamfenikol juga tidak dianjurkan pada trimester pertama.Pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat digunakan.Demikian juga obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid.Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.( Djoko, 2009) Pada penelitian yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2002-2008 didapatkan hasil bahwa beberapa antibiotika yang biasa digunakan para klinisi di Indonesia masih memiliki efek terapi di atas 90% terhadap S.typhi dan S.paratyphi. Persentase pengaruh antibiotik terhadap S.typhi Antibiotik Ceftriaxon Kloramfenikol Tetrasiklin Trimetoprim- Sulfametoksazol Ciprofloksasin Levofloksasin % 92.6 94.1 100 100 100 100

LI III.6 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Demam Tifoid Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu: 1. Komplikasi intestinal Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal, yaitu: a.Perdarahan usus Dilaporkan dapat terjadi pada 1-10% kasus demam tifoid anak.Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.Bila perdarahan banyak terjadi melena. b.Perforasi usus Dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum.Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.

c.Peritonitis Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, defance muskulare, dan nyeri pada penekanan.(Djoko, 2009) 2.Komplikasi di luar usus (ekstraintestinal) Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain.Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia. a.Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer,miokarditis,tromboflebitis. b.Komplikasi darah : anemia hemolitik,trombositopenia,KID,15rthritis15. c.Komplikasi paru : pneumonia,empiema,pleuritis d.Komplikasi hepatobilier : hepatitis,kolesistitis e.Komplikasi ginjal : glumerolunofritis, pielonefritis, perinefritis f.Komplikasi tulang : osteomielitis,periostitis,spondilitis,15rthritis g.Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik(Djoko,2009).

LI III.7 Memahami dan Menjelaskan Prognosis Demam Tifoid Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1%.Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau pendararahan hebat, meningitis,endokarditis,dan pneumonia,mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. (Djoko, 2009) Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%. Prognosis demam tifoid umumnya baik asal penderita cepat berobat.Mortalitas pada penderita yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti: 1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris continual. 2. Kesadaran menurun sekali. 3. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopnemonia dan lain-lain. 4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi protein) LO IV. Memahami dan Menjelaskan Farmakologi Antibiotik 1. Kloramfenikol 1.1. Asal dan Kimia Kloramfenikol merupakan kristal putih yang sukar larut dalam air dan rasanya pahit

Rumus umum molekul OH C H C H OH N H O C H

Kloramfenikol : R = Tiamfenikol : R = 1.2. Farmakodinamik Efek anti mikroba Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom sub unit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kumankuman tertentu. Spektrum anti bakteri : - D.pneumoniae, - S. Pyogenes, - S.viridans, - Neisseria, - Haemophillus, - Bacillus spp, - Listeria, - Bartonella, - Brucella, - P. Multocida, - C.diphteria, - Chlamidya, - Mycoplasma, - Rickettsia, - Treponema, (dan kebanyakan kuman anaerob) Resistensi Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai oleh faktor-R (dikendalikan oleh plasmid). Resistensi terhadap P.aeruginosa. Proteus dan Klebsiella terjadi karena perubahan permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat ke dalam sel bakteri. Beberapa strain D. Pneumoniae, H. Influenzae, dan N. Meningitidis bersifat resisten; S. Aureus umumnya sensitif, sedang enterobactericeae banyak yang telah resisten. Obat ini juga efektif terhadap kebanyakan strain E.Coli, K. Pneumoniae, dan P. Mirabilis, kebanyakan strain Serratia, Providencia dan Proteus rettgerii resisten, kebanyakan strain P. Aeruginosa dan S. Typhi 1.3. Farmakokinetik 1. Pemberian oral kloramfenikol diserap dengan cepat ( dalam darah 2 jam ) bentuk ester kloramfenikol palmitat atau stearat ( untuk anak-tidak pahit ) mengalami hidrolisis

dalam usus dan membebaskan kloramfenikol 2. Parenteral (IV) kloramfenikol suksinat dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.

Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin. Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata. ( kloramfenikol ) konjugasi ( pasien gangguan faal haI-waktu paruh memanjang ) Dosis dikurangi bila terdapat gangguan fungsi hepar. sebagian di reduksi jadi arilamin ( tidak aktif ) 24 jam, 8090% kloramfenikol ( secara oral ) diekskresikan ginjal. kloramfenikol 5-10% aktif diekskresi melalui filtrat glomerulus sedangkan metaboltnya dengan sekresi tubulus. Sisanya terdapat dalam bentuk glukoronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif. ( gagal ginjal ) masa paruh kloramfenikol aktif tidak banyak tidak perlu pengurangan dosis.

Interaksi

Kloramfenikol menghambat botransformasi tolbutamid fenitoin, dikumarol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Dan toksisitas tinggi bila diberikan bersama kloramfenikol. Interaksi obat dengan fenobarbital dan rifampisin memperpendek waktu paruh kloramfenikol ( kadar obat menjadi subterapeutik )

1.4. Farmakoterapi Demam Tifoid

1. Pengobatan demam tifoid Kloramfenikol diberikan dosis 4 kali 500 mg sehari sampai 2 minggu bebas demam Bila relaps diatasi dengan memberikan terapi ulang. Untuk anak-anak diberikan dosis 50-100mg/kg BB/sehari dibagi dalam beberapa dosis selama 10 hari. 2. Pengobatan tifoid tiamfenikol dengan dosis 50 mg/kg BBsehari pada minggu pertama lalu diteruskan 1-2 minggu lagi dengan dosis separuhnya.

Dosis

a. Kloramfenikol Terbagi dalam bentuk sediaan : Kapsul 250 mg dan 500 mg Dengan cara pakai untuk dewasa 50 mg/kg BBsehari per oral 3-4 dosis atau 1-2 kapsul 4 kali sehari Infeksi berat dosis dapat ditingkatkan 2 x pada awal terapi sampai didapatkan perbaikan klinis. Salep mata 1 % Obat tetes mata 0,5 % Salep kulit 2 % Obat tetes telinga 1-5 %

b. Kloramfenikol palmitat atau stearat Biasanya berupa botol berisi 60 ml suspensi (tiap 5 l mengandung Kloramfenikol palmitat atau stearat setara dengan 125 mg kloramfenikol). Dosis : - Bayi prematur : 25mg/kgBB sehari per oral ( 2 dosis ) - Bayi aterm (<2mgg) : 25mg/kgBB per oral ( 4 dosis ) - Bayi aterm (2mgg) : 50mg/kgBB per oral (3-4 dosis ) c. Kloramfenikol natrium suksinat Vial berisi bubuk kloramfenikol natrium suksinat setara dengan 1 g kloramfenikol yang harus dilarutkan dulu dengan 10 ml aquades steril atau dektrose 5 % (mengandung 100 mg/ml). Dosis : Dewasa dan Anak, 50 mg/kgBB sehari (IV dengan 4 dosis ) d. Tiamfenikol Terbagi dalam bentuk sediaan : Kapsul 250 dan 500 mg Dosis : Dewasa 1-2 g sehari ( 4 dosis )

Botol berisi pelarut 60 ml dan bubuk Tiamfenikol 1.5 g yang setelah dilarutkan mengandung 125 mg/5 ml Dosis : Anak, 25-50 mg/kgBB sehari ( 4 dosis )

1.5. Efek samping Reaksi Hematologik

Terdapat dalam 2 bentuk : 1. Reaksi toksik depresi sumsum tulang belakang. Berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila pengobatan dihentikan. - Kelainan darah anemia, retikulositopenia, peningkatan serum iron, dan iron binding capacity serta vakuolisasi seri eritrosit muda. ( terlihat bila kadar kloramfenikol dalam serum melampaui 25 g/ml )

2. Anemia aplastik dengan pansitopenia tidak tergantung dari dosis atau lama pengobatan. Insiden 1: 24000 50000. efek diduga idiosinkrasi dan mungkin disebabkan oleh kelainan genetik.

Kloramfenikol dapat menimbulkan hemolisis pada pasien defisiens enzim G6PD bentuk mediteranean. Timbulnya nyeri tenggorok dan infeksi baru selama pemberian kloramfenikol menunjukkan adanya kemungkinan leukopeni.

Reaksi Saluran Cerna Sindromm Gray

Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare, dan enterokolitis Pada neonatus, terutama pada bayi prematur dosis tinggi (200mg/kg BB) sindrom Gray Bayi muntah, tidak mau menyusu, pernapasan cepat dan tidak teratur, perut kembung, sianosis, dan diare tinja berwarna hijau Tubuh bayi lemas dan berwarna keabu-abuan; terjadi pula hipotermi kematian ( 40% ) Efek toksik disebabkan : (1) sistem konjugasi oleh enzim glukoronil transferase belum sempurna (2) kloramfenikol yang tidak terkonjugasi belum dapat diekskresi dengan baik oleh ginjal.

Mengurangi efek samping dosis kloramfenikol untuk bayi (<1bln ) tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB sehari. Setelah ini dosis 50 mgKg/BB tidak menimbulkan efek samping. Reaksi Neurologik 1.6. Kontraindikasi Tidak dianjurkan penggunaan untuk wanita hamil dan menyusui Pada pemakaian jangka panjang perlu dilakukan pemeriksaan hematologi secara berkala. Perlu dilakukan pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya superinfeksi oleh bakteri dan jamur. Hati-hati bila dipergunakan pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan hati Bayi yang lahir prematur dan bayi baru lahir (2 minggu pertama). Tidak untuk pencegahan infeksi, pengobatan influenza, Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit kepala.

batuk dan pilek. Penderita yang hipersensitif terhadap kloramfenikol

(Rianto, 2008) 2.Aminopenisilin ( Ampisilin dan Amoksisilin)

2.1.Asal dan Kimia Rumus umum molekul

Aminopenisilin merupakan derivat dari penisilin

CH

Ampisilin : R = -H Amoksisilin : R = -OH 2.2.Farmakodinamik Efek anti mikroba Amoksisilin dan aminopenisilin efek bakterisid pada bakteri gram positif/gram negatif. Meningococci dan L. monocytogenes sensitif terhadap obat ini. Kebanyakan isolat Pneumococcal resistensi amoksisilin. H. influenzae dan grup Streptococcus derajat resistensi. Enterococci sensitifitas amoksisilin hampir dua kali Kebanyakan galur N. gonorrhoeae, Escherichia coli, P. mirabilis, Salmonella dan Shigella rentan amoksisilin pertama kali tahun 1960an Galur Salmonella resisten (dimediasi plasmid) Perbedaan amoksisilin dari ampisilin, ialah bahan ini kurang efektif terhadap Shigellosis (Ganiswara, 2004), kebanyakan galur Shigella saat ini resisten (Gilman et al., 2000). Umumnya Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, Acinobacter dan Proteus indol resisten ampisilin dan aminopenisilin lainnya (Ganiswara, 1994) 1). Pembentukan enzim -laktamase : Kuman S.aureus, H. Influenza, berbagai batang Gramnegatif Gram-positif mensekresi -laktamase ekstraseluler (jumlahnya banyak) Gram-negatif sedikit mensekresi -laktamase tempatnya strategis (rongga periplasmik) -laktamase dihasilkan oleh kuman melalui kendali genetik (plasmid) 2). Enzim autolisin kuman tidak bekerja sifat toleran terhadap obat 3). Kuman tidak mempunyai dinding sel ( mikoplasma ) 4). Perubahan PBP/obat tidak mencapai PBP Jumlah ampisilin diabsorpsi oral dipengaruhi besarnya dosis serta ada tidaknya makanan di dalam saluran cerna. ( dosis kecil persentase diabsorpsi relatif lebih besar ) (Ganiswara, 2004).

Resistensi

2.3.Farmakokinetik Absorpsi

Amoksisilincepat terserap saluran gastrointestinal daripada ampisilin ampisilin terhambat ( makanana di lambung ), amoksilin tidak. Spektrum antimikrobial dari amoksisilin pada dasarnya identik dengan ampisilin (Gilman et al., 2000). 3. Ampisilin& amoksisisilin di ikat protein plasma 20% masuk ke empedu ( sirkulasi enterohepatik ) ekskresi ( tinja ) penetrasi CSS efektif keadaan meningitis 1. Penisilin umumnya diekskresi proses tubuli ginjal di hambat probenesid 2. Masa eliminasi pensilin diperpanjang probenesid 2-3 kali lebih lama. Dosis amoksisilin (Tiap kaptab mengandung amoksisilin trihidrat setara dengan amoksisilina anhidrat) a. Anak dengan berat badan kurang dari 20 kg : 20 - 40 mg/kg berat badan sehari, terbagi dalam 3 dosis. b. Dewasa atau anak dengan berat badan lebih dari 20 kg : 250 500 mg sehari, sebelum makan. c. Gonore yang tidak terkomplikasi : amoksisilin 3 gram dengan probenesid 1 gram sebagai dosis tunggal Dosis ampisilin (mengandung Ampisilin Trihidrat setara dengan Ampisilin Anhidrat) Terapi oralDewasa dan anak-anak ( BB>20 kg ) : Infeksi saluran pernafasan : 250 - 500 mg setiap 6 jam. Infeksi saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin : 500 mg setiap 6 jam Anak-anak ( BB< 20 kg ): 50 - 100 mg/kg BB sehari diberikan dalam dosis terbagi setiap 6 jam. Terapi parenteralDewasa dan anak-anak ( BB>20KG ) : Infeksi saluran pernafasan, kulit dan jaringan kulit : 250 500 mg setiap 6 jam. Infeksi saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin : 500 mg setiap 6 jam. Septikemia dan bakterial meningitis : 150 - 200 mg/kg BB sehari dalam dosis terbagi setiap 3 - 4 jam (i.v) 3 hari (i.m) Anak-anak ( BB<20kg ) : Infeksi saluran pernafasan, kulit dan jaringan kulit : 25 50 mg/kg BB sehari (setiap 6 jam). Infeksi saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin : 50 - 100 mg/kg BB sehari (setiap 6 jam). Septikemia dan bakterial meningitis : 100 - 200 mg/kg

Distribusi

Interaksi

2.4.Farmakoterapi Dosis

BB sehari dalam dosis terbagi setiap 3 - 4 jam (i.v) 3 hari (i.m). Bayi (1mgg/kurang) : 25 mg/kg BB secara i.m./i.v. setiap 8 - 12 jam. Bayi (> 1mgg) : 25 mg/kg BB secara i.m./i.v. setiap 6 - 8 jam.

2.5. Efek samping Reaksi Alergi

Reaksi Saluran Cerna Perubahan Biologik Reaksi Hematologi 2.6. Kontraindikasi

Pada penderita yang diobati Ampisilina (semua jenis penisilin) reaksi hipersensitif, seperti urtikaria, eritema multiformruam kulit, pruritus, angioedema, Syok anafilaksis merupakan reaksi paling serius yang terjadi pada pemberian secara parenteral. gangguan saluran cerna seperti diare, mual, muntah, glositis dan stomatitis. oral dapat disertai diare ringan yang bersifat sementara disebabkan gangguan keseimbangan flora usus. Anemia, anemia hemolitik, trombisitopenia, trombositopenia purpura, eosinophilia, leukopenia, agranulositosi. Pasien yang hipersensitif terhadap amoksisilin, penisilin

(Rianto, 2008)

3. Sefalosporin 3.1.Asal dan Kimia Sefalosporin berasal dari fungus Cephalosporium acremonium Sefalosporin antibiotika -laktamase menghambat sintesis dinding sel mikroba ( reaksi transpeptidase tahap ketigapembentukan dinding sel) Sefalosporin aktif kuman gram positif/garam negatif, tetapi spektrum masing-masing derivat bervariasi. S C NH O O N COOH 3.2.Farmakodinamik Efek anti mikroba 3.3.Farmakokinetik Absorpsi

Rumus umum molekul

Lampiran-Tabel 3

Sefalosprorin diekskresi melaui ginjal sekresi tubuli ( kecuali sefoperazon-diekskresi empedu ) Adsorpsi melalui saluran cerna (per oral) sefalektin, sefradin, sefaklor, sefadroksil, lorakarbef, sefprozil Sefalotin dan sefapirin secara (i.v) iritasi lokal dan nyeri pada pemberian IM Beberapa sefalosporin generasi ketiga mencapai kadar tinggi di cairan serebrospinal (CSS) bermanfaat meningitis purulenta Kadar sefalosporin empedu tinggi sefoperazon Interaksi Probenesid mengurangi ekskresi sefalosporin ( kecuali moksalaktam) Sefalotin, sefapirin, dan sefotaksim deasetilasi ekskresi melalui ginjal 3.4.Farmakoterapi (Dosis Lampiran-Tabel 3) 3.5. Efek samping (Lampiran 1-Tabel 3) Reaksi coombs penggunaan sefalosporin dosis tinggi Depresi sumsum tulang granulositopenia (jarang terjadi) Sefamandol, moksalaktam dan seperazon minum alkohol disulfiram Reaksi Saluran Cerna Diare pemberian sefoperazon ekskresi empedu mengganggu flora normal usus Reaksi Hematologi Hipoprotrombinemia (disfungsi trombosit) pemberian moksalaktam 3.6. Kontraindikasi Penderita yang hipersensitif terhadap antibiotik golongan sefalosporin, penisilin atau antibiotik golongan betalaktam lainnya Lampiran-Tabel. 3 Berikut pembagian generasi Sefalosporin :

No Nama .

Cara Dosis Gener Pemberia asi n Dewasa : 0.5-1 g/h (2x)

Efek samping

Aktivitas Antimikroba

1. Cefadroxil 1

Oral

Anak : 30mg/kg/h dosis)

(2

Dewasa : 0.250.5 g/4x 2. Cefalexin 1 Oral Anak : 25-100 mg/kg/h (3-4 dosis) Dewasa : 0.5-2 g/8 jam IDEM Cephalotin

3. Cefazolin 1

4.

Cephaloti 1 n

Aktif terhadap kuman gram positif dengan IV dan IM keunggulan dari Anak :25-100 Penisilin aktivitas mg/kg/h (3-4 nya terhadap dosis) bakteri penghasil - Kenaikan kadar Penisilinase SGOT dan BUN - Timbul IV dan IM superinfeksi P. aeruginosa Kapsul 250 dan 500 mg.

5. Cephradin 1

Oral IV Oral : 125 dan dan IM 250 mg/5 ml. Obat suntik : 0,25 ; 0.5 ; 1 ; 2 g Oral Pada pemberian dosis 1 g (i.m), IV dan IM kadar plasma 36 g/ml IV dan IM IV dan IM Oral Kurang aktif terhadap bakteri gram postif dibandingkan dengan generasi pertama, tetapi lebih aktif terhadap kuman gram negatif; misalnya H.influenza, Pr. Mirabilis, E.coli,

6. Cefaclor

Cefamand 7. 2 ol 8. Cefmetazo 2 l 2

9. Cefotiam

10. Cefprozil 2

Dewasa : 0.751.5 g/8 jam 11. Cefuroxim 2 IV dan IM Anak : 50-100 mg/kg/h (3-4 dosis)

dan Klebsiella

12. Cefditoren 3 13. Cefixim 3

Oral Oral Dewasa : 1-2 g/612 jam

14. Cefotaxim 3

IV dan IM

Anak : 50-100 mg/kg/h (4-6 dosis) Golongan ini umumnya kurang efektif dibandingkan dengan generasi pertama terhadap kuman gram positif, tetapi jauh lebih efektif terhadap Enterobacteriaceae , termasuk strain penghasil Penisilinase.

Cefoperaz 15. on 3

Dewasa : 1.5-4 Sindrom g/6-8 jam/h disulfiram peminum Anak : 100-150 alkohol mg/kgBB sehari (muntah, mual, IV dan IM (2-3 dosis) diare, tek. darah menngkat) hipoprotrombine mia Oral Dewasa : 1-2 g/812 jam

16.

Cefpodoxi 3 m Ceftazidi m Ceftizoxi m

17.

IV dan IM Anak : 75-150 mg/kg/h (3 dosis)

18.

IV dan IM Dewasa : g/24 jam 1-4

19. Ceftriaxon 3

IV dan IM Anak : 50-100 mg/kg/h (2 dosis) Dewasa : 0.5-2 g/12 jam Anak : 75-120 Oral IV mg/kg/h (2-3 dan IM dosis) Spektrum lebih luas dan stabil saat dihidrolisis ole laktamase. Berguna mengatasi infeksi kumanresiste n generasi

20. Cefepim

ketiga (Rianto, 2008) 4. Golongan Kuinolon dan Flourokuinolon 4.1 Asal dan Kimia Asam nalidiksat gol.kuinolon lamakuman Gram-negative. Fluorokuinolon gol.kuinolon dengan atom fluor pada cincin kuinolon. Pada Gramnegatif dan Gram positif relative lemah. 4.2 Farmakodinamik Terjadi replikasi dan transkpripsi double helix DNA kuman2 utas DNA Fluorokoinolon menghambat DNA girasebersifat bakterisidalkuman mati Efek Antimikroba Kuinolonkuman Gram-negatif Spektrum Antibakteri: E.coli Providencia N. Gonorrhoeaae N. meningitides Fluorokuinolon tertentu aktif beberapa mikrobakterium. Kuman-kuman anaerob umumnya resisten. Resistensi Tidak dijumpai resistensi plasmid pada kuinolon. Tetapi terdapat 3 mekanisme : 1. Mutasi gen grysubnit A dari DNA girase tidak dapat diduduki molekul obat. 2. Perubahan sel kuman mempersulit penetrasi obat ke dalam sel. 3. Peningkatan mekanisme pemompaan obat keluar sel. 4.3 Farmakokinetik Florokuinolon lebih diserap saluran cerna. Didistribusikan diberbagai organ tubuh. Dimetabolismehati. Diekskresikan ginjal. Indikasi Infeksi Saluran Kemih. Infeksi disaluran cerna. Infeksi saluran nafas. Penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Infeksi tulang dan sendi. Efek samping 1. Saluran cerna penggunaan kuinolon yang bermanifestasi dalam bentuk: mual, muntah, rasa tidak enak diperut. 2. SSP : Sakit kepala, pusing, kejang, halusinasi. 3. Hepatotoksisitas Jarang terjadi. 4. Kardiotoksisitas pemanjangan

4.4 Kontraindikasi

interval QTc terjadi Aritmia Ventrikel. 5. Disglikemia menimbulkan hiperglikemia atau hipoglikemia khususnya pasien usia lanjut. Tidak boleh pada pasien DM. 6. Fototoksisitas. Pada golongan klinakfoksasin dan sparkfoksasin. 7. Dll. Diantaranya : tendinitis, sindroma hemolisis, gagal ginjal, serta trombositopeni. 1. Epilepsy. 2. Pada wanita hamil, anak-anak dibawah usia 18 tahun dapat menimbulkan kerusakan sendi. 3. Pada kelainan ginjal dan hati. 4. Pada penderita stroke.

Golongan Fluorokuinolon yang digunakan pada demam tifoid Golongan Norfloksasin Siprofolsasin Ofloksasin Perfloksasin Fleroksasin ( Rianto, 2008) Dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari 2 x 500 mg/hari selama 6 hari 2 x 400 mg/hari selama 7 hari 400 mg/hari selama 7 hari 400 mg/hari selama 7 hari

Daftar Pustaka
Nelwan, R.H.H. 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Price, Sylvia Anderson. 2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi6,ab. Huriawati Hartanto, Jakarta, EGC. Samuelson, John. 2008. Patologi Umum Penyakit Infeksi dalam Brooks, G.F., Butel, Janet S., Morse, S.A. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Santillan RM,Gracia GR,Bevente IH, Garcia EM. 2000. Efficacy of cefixime in the treatment oftyphoid fever.ProcWest Pharmacol Soc; 43: 65-66. Sherwood, Lauralee. 2004.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2. Jakarta: EGC. Sumarmo, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropisedisi 2. Jakarta: EGC. Widodo, Djoko. 2009. Demam Tifoid dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Anda mungkin juga menyukai