Anda di halaman 1dari 22

Pendidikan Indonesia Terendah di Dunia

BeritaKaget.com // Ilham Mahesa Sinaga // 30 Nov 2012 // Belum Ada Komentar Sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia. Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Tempat pertama dan kedua ditempati Finlandia dan Korea Selatan, keenam. Peringkat itu memadukan hasil tes internasional dan data, seperti tingkat kelulusan antara tahun 2006 dan 2010. Sir Michael Barber, penasihat pendidikan utama Pearson, mengatakan, peringkat disusun berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status tinggi pada guru dan memiliki budaya pendidikan. Perbandingan internasional dalam dunia pendidikan telah menjadi semakin penting dan tabel liga terbaru ini berdasarkan pada serangkaian hasil tes global yang dikombinasikan dengan ukuran sistem pendidikan, seperti jumlah orang yang dapat mengenyam pendidikan tingkat universitas. Gambaran perpaduan itu meletakkan Inggris dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan tes Pisa dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang juga merupakan salah satu tes dalam proses penyusunan peringkat. Pertimbangan-pertimbangan dalam peringkat ini diproduksi untuk Pearson oleh Economist Intelligence Unit. Kompetisi global sementara Inggris menempati posisi

Dua kekuatan utama pendidikan adalah Finlandia dan Korea Selatan, lalu diikuti oleh tiga negara di Asia, yaitu Hongkong, Jepang, dan Singapura. Inggris yang dianggap sebagai sistem tunggal juga dinilai sebagai di atas rata-rata, lebih baik daripada Belanda, Selandia Baru, Kanada, dan Irlandia. Keempat negara itu juga berada di atas kelompok peringkat menengah termasuk Amerika Serikat, Jerman, dan Perancis. Perbandingan ini diambil berdasarkan tes yang dilakukan setiap tiga atau empat tahun di berbagai bidang, termasuk matematika, sains, dan kesusasteraan serta memberikan sebuah gambaran yang semakin menurun dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, tujuan utamanya adalah memberikan pandangan multidimensi dari pencapaian di dunia pendidikan dan menciptakan sebuah bank data yang akan diperbaharui dalam sebuah proyek Pearson bernama Learning Curve. Melihat dari sistem pendidikan yang berhasil, studi itu menyimpulkan bahwa mengeluarkan biaya adalah hal penting, tetapi tidak sepenting memiliki budaya yang mendukung pendidikan. Studi itu mengatakan, biaya

adalah ukuran yang mudah, tetapi dampak yang lebih kompleks adalah perilaku masyarakat terhadap pendidikan, hal itu dapat membuat perbedaan besar. Kesuksesan negara-negara Asia dalam peringkat ini merefleksikan nilai tinggi pendidikan dan pengharapan orangtua. Hal ini dapat menjadi faktor utama ketika keluarga bermigrasi ke negara lain, kata Pearson. Ada banyak perbedaan di antara kedua negara teratas, yaitu Finlandia dan Korea Selatan, menurut laporan itu, tetapi faktor yang sama adalah keyakinan terhadap kepercayaan sosial atas pentingnya pendidikan dan tujuan moral. Kualitas guru

Laporan itu juga menekankan pentingnya guru berkualitas tinggi dan perlunya mencari cara untuk merekrut staf terbaik. Hal ini meliputi status dan rasa hormat serta besaran gaji. Peringkat itu menunjukkan bahwa tidak ada rantai penghubung jelas antara gaji tinggi dan performa yang lebih baik. Dan ada pula konsekuensi ekonomi langsung atas sistem pendidikan performa tinggi atau rendah, kata studi itu, terutama di ekonomi berbasis keterampilan dan global. Namun, tidak ada keterangan yang jelas mengenai pengaruh manajemen sekolah dengan peringkat pendidikan. Peringkat untuk tingkat sekolah menunjukkan bahwa Finlandia dan Korea Selatan memiliki pilihan tingkat sekolah terendah. Namun, Singapura yang merupakan negara dengan performa tinggi memiliki tingkat tertinggi.

Perlukah Pendidikan Berkarakter?


WRITTEN BY ADIAN HUSAINI

PEMERINTAH, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD-Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Mendiknas mengungkapkan hal ini saat berbicara pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010). Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia

yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji. Bahkan, bisa dikatakan, dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter. Dr. Ratna Megawangi, dalam bukunya, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), mencontohkan, bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Dalam bukunya, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (2010), Doni Koesoema Albertus menulis, bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan. Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan pemahamannya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan moral atau pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan karakter. Tetapi, Doni yang meraih sarjana teologi di Universitas Gregoriana Roma Italia, agama tidak dapat dipakai sebagai pedoman pengatur dalam kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang plural. "Di zaman modern yang sangat multikultural ini, nilai-nilai agama tetap penting dipertahankan, namun tidak dapat dipakai sebagai dasar kokoh bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Jika nilai agama ini tetap dipaksakan dalam konteks masyarakat yang plural, yang terjadi adalah penindasan oleh kultur yang kuat pada mereka yang lemah," tulisnya. Oleh karena itu, simpul Doni K. Albertus, meskipun pendidikan agama penting dalam membantu mengembangkan karakter individu, ia bukanlah fondasi yang efektif bagi suatu tata sosial yang stabil dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks ini, nilai-nilai moral akan bersifat lebih operasional dibandingkan dengan nilai-nilai agama. Namun demikian, nilai-nilai moral, meskipun bisa menjadi dasar pembentuk perilaku, tidak lepas dari proses hermeneutis yang bersifat dinamis dan dialogis. Sebagai Muslim, kita tentu tidak sependapat dengan pandangan Doni K. Albertus semacam itu. Sebab, bagi Muslim, nilai-nilai Islam diyakini sebagai pembentuk karakter dan sekaligus bisa menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi Muhamamd saw, berdasarkan kepada nilainilai Islam, baik bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural. Tentu kita memahami pengalaman sejarah keagamaan yang berbeda antara Katolik dengan Islam. Namun, dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa bertemu. Islam dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-masing. Terlepas dari perdebatan konsep-konsep pendidikan karakter, bangsa Indonesia memang memerlukan model pendidikan semacam ini. Sejumlah negara sudah mencobanya. Indonesia bukan tidak pernah

mencoba menerapkan pendidikan semacam ini. Tetapi, pengalaman menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman. Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam program itu! Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan omongan, orang Indonesia dikenal jagonya! Harap maklum, konon, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide UAN, mungkin bagus! Tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan pejabat dan orangtua. Guru tidak berdaya. Kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu! Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini nantinya juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu. ***** Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya. Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah guru dan pengorbanan. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak guru -guru yang suka berkorban. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar guru pengajar dalam kelas formal. Guru adalah para pemi mpin, orangtua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. Guru adalah digugu (didengar) dan ditiru (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya. Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi memajukan dunia pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia dirikan Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar, mencari guru dan dana. Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya. Disamping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa Belanda. Kumpulan naskah pengajarannya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat dibuang ke Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah Shalat). Kisah Natsir dan sederet guru bangsa lain sangat penting untuk diajarkan di sekolah-sekolah dengan tepat dan benar. Natsir adalah contoh guru yang berkarakter dan bekerja keras untuk kemajuan bangsanya. Ia adalah orang yang sangat haus ilmu. Cita-citanya bukan untuk meraih ilmu kemudian untuk mengeruk keuntungan materi dengan ilmunya. Tapi, dia sangat haus ilmu, lalu mengamalkannya demi kemajuan masyarakatnya.

***** Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudulJangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis:

Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargaiSekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya... Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa, khususnya para pejabat dan para pendidik. Jika ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia, wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi teladan bagi bangsanya. Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan pesan kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih -lebihan dalam mencintai dunia. Lebih jauh, kata Natsir:

Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang baru, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang baru ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius. ***** Seorang dosen fakultas kedokteran pernah menyampaikan keprihatinan kepada saya. Berdasarkan survei, separoh lebih mahasiswa kedokteran di kampusnya mengaku, masuk fakultas kedokteran untuk mengejar materi. Menjadi dokter adalah baik. Menjadi ekonom, ahli teknik, dan berbagai profesi lain, memang baik. Tetapi, jika tujuannya adalah untuk mengeruk kekayaan, maka dia akan melihat biaya kuliah yang dia keluarkan sebagai investasi yang harus kembali jika dia lulus kuliah. Ia kuliah bukan karena mencintai ilmu dan pekerjaannya, tetapi karena berburu uang! Kini, sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah guru-guru sejati yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan. Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang sangat serius. Bukan urusan

Kementerian Pendidikan semata. Presiden, menteri, anggota DPR, dan para pejabat lainnya harus memberi teladan. Jangan minta rakyat hidup sederhana, hemat BBM, tapi rakyat dan anak didik dengan jelas melihat, para pejabat sama sekali tidak hidup sederhana dan mobil-mobil mereka yang dibiayai oleh rakyat adalah mobil impor dan sama sekali tidak hemat. Pada skala mikro, pendidikan karakter ini harus dimulai dari sekolah, pesantren, rumah tangga, juga Kantor Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Dari atas sampai ke bawah, dan sebaliknya. Sebab, guru, murid, dan juga rakyat sudah terlalu sering melihat berbagai paradoks. Banyak pejabat dan tokoh agama bicara tentang taqwa; berkhutbah bahwa yang paling mulia diantara kamu adalah yang taqwa. Tapi, faktanya, saat menikahkan anaknya, yang diberi hak istimewa dan dipandang mulia adalah pejabat dan yang berharta. Rakyat kecil dan orang biasa dibiarkan berdiri berjam-jam mengantri untuk bersalaman. Kalau para tokoh agama, dosen, guru, pejabat, lebih mencintai dunia dan jabatan, ketimbang ilmu, serta tidak sejalan antara kata dan perbuatan, maka percayalah, Pendidikan Karakter yang diprogramkan Kementerian Pendidikan hanya akan berujung slogan! [Depok, Juni 2010/hidayatullah.com]

YouTube Slider

Filsafat Ilmu Islami : Manusia Bisa Tahu Yang Benar Pendidikan Karakter Dr. Abas Mansur Tamam Mengupas Liberal dari al-Azhar Kata Allah di Malaysia dan Indonesia Karakter Versi Ki Hadjar Dewantara Pendidikan Karakter Barat Enam Prinsip Pendidikan Karakter Islami Nikmati Islamia Republika Besok 17 Januari 2013 Undangan Diskusi Insists, 29 Desember 2012 Multikulturalisme dan Alienasi Islam dengan Budaya Nusantara

KURIKULUM 2013: INSTRUMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN


Posted on Maret 29, 2013 by alenmarlis under Uncategorized

Oleh: Bambang Indriyanto Peneliti Pada Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang, Kemdikbud Secara konvensional terdapat kecenderungan bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan selalu dikaitkan dengan ketersediaan sarana dan prasana pendidikan yang memadai, serta kompetensi guru. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya betul. Ada komponen lain yang jarang disentuh yaitu kurikulum. Argumentasi yang dikemukakan pada tulisan ini adalah kurikulum merupakan instrumen strategis bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Kenapa demikian?. Kurikulum sebagai instrumen peningkatan mutu pendidikan terdiri dari tiga entitas yaitu tujuan, metode, dan isi. Peningkatan kompetensi guru dan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan hanya akan memberikan makna bagi peserta didik jika diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam

kurikulum. Pada konteks Sistem Pendidikan Nasional rumusan tersebut dirumuskan pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Pada Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab Ketentuan Umum SKL didefinisikan sebagai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Untuk menjamin agar SKL tersebut dapat dicapai maka kegiatan belajar mengajar tersebut dilengkapi dengan tujuh standar lainnya yaitu standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, standar penilaian pendidikan. Keberadaan standar-standar ini telah dijamin oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 2. Kurikulum 2013 sebagai bagian dari intervensi peningkatan mutu pendidikan, tentu tidak bisa bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Oleh karena itu, SKL menjadi rujukan ketika Kurikulum 2013 diterapkan, termasuk tujuh standar nasional pendidikan lainnya. Demikian juga dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tetap menjadi bagian Kurikulum 2013. Satuan pendidikan tetap mempunyai kewenangan untuk mengembangkan kurikulum sendiri yang sesuai dengan kondisi satuan pendidikan tersebut. Di samping itu, Kurikulum 2013 tetap merupakan kurikulum berbasis kompetensi.

Namun demikian, sebagaimana dinyatakan pada UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38, kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah. Satuan pendidikan tetap harus merujuk pada kerangka dasar dan struktur kurikulum jika harus mengembangkan kurikulum sendiri. Ketentuan untuk merujuk pada kerangka dasar dan struktur kurikulum merupakan bagian dari quality assurance. Dalam berbagai forum uji publik yang telah diselenggarakan dari tanggal 29 November sampai dengan 23 Desember 2012, beberapa perseta menanyakan tentang keberadaan Buku Babon. Mereka yang belum mengetahui tentang maksud Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyediakan Buku Babon beranggapan bahwa akan keseragaman dalam kurikulum, dan bertentangan dengan ketentuan pada PP nomor 19 tahun 2005. Keberadaan Buku Babon, tidak dimaksudkan sebagai bentuk sentralisasi kurikulum dan penyeragaman, tetapi dimaksudkan untuk standarisasi dalam pelaksanaan kurikulum. Hal ini didasarkan pada adanya kecenderungan tidak setaranya kurikulum yang digunakan oleh satuan pendidikan. Kecenderungan ini terjadi karena adanya perbedaan kompetensi guru, sehingga ada satuan pendidikan yang mengadopsi kurikulum dari satuan pendidikan atau contoh dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, tanpa melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi satuan pendididkan tempat guru tersebut mengajar.

Buku Babon didisain untuk memfasilitasi guru melakukan tugas mengajarnya dan peserta didik mengikuti kegiatan belajar mengajar. Buku Babon direncanakan untuk memuat isi mata pelajaran, metode mengajar, dan metode evaluasi. Dengan ketiga komponen tersebut, guru diharapkan dapat melakukan diagnosis terhadap kesulitan belajar peserta didik dan peserta didik diharapkan akan mengetahui pada topik bahasan yang mana dia mengalami kesulitan untuk memahaminya. Keberadaan Buku Babon merupakan standar minimum yang harus dicapai oleh setiap siswa. Jika ada satuan pendidikan yang mampu untuk mencapai lebih tinggi dari standar yang ditetapkan pada Buku Babon Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak melarangnya, bahkan mendorong setiap satuan pendidikan dapat mencapai target yang lebih tinggi. Kurikulum 2013 merupakan intervensi peningkatan mutu yang strategis, namun sasarannya besar baik dari segi siswa yang akan menjadi subyek dari kurikulum 2013, maupun guru yang menjadi aktor utama dalam implementasinya, sehingga pelaksanaan secara serentak dengan sasaran semua satuan pendidikan secara nasional menjadi hal yang sulit untuk dilaksanakan. Wakil Presiden dalam sambutannya dalam pembukaan Rembuknas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2013, menyatakan bahwa Implementasi Kurikulum 2013 perlu dilaksanakan segera secara bertahap dan jangan molor karena yang rugi generasi muda. Begitu molor pasti ada korban, sebagian generasi muda tidak bisa menerima manfaat kurikulum baru..

Dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 akan dilaksanakan secara terbatas dan berjenjang. Untuk SD akan dilaksanakan pada kelas I dan IV, sedangkan pada SMP dilaksanakan VII, dan di SMA dilaksanakan di kelas IX. Jika pada tahun ajaran 2013/14 Kurikulum 2013 dilaksanakan pada kelas-kelas tersebut, maka pada tahun ajaran 2014/15 secara berjenjang dilaksanakan pada kelas-kela berikutnya. Misalnya di SD dapat dilaksanakan pada kelas II dan V, sedangkan di SMP dapat dilaksanakan pada kelas VII dan di SMA/SMK dilaksanakan pada kelas X. Keberhasilan pelaksanaan Kurikulum 2013 tidak hanya pada ketepatan dan comperehensiveness perumusan SKL dan kerangka dasar, serta struktur kurikulum, tetapi dari kepemimpinan kepala sekolah pada tingkat satuan pendidikan dan kepemimpinan guru pada tingkat kelas. Kepemimpinan kepala sekolah mempunyai peran penting dalam memfasilitasi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Sedangkan kepemimpinan guru di tingkat kelas jelas menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan bekerhasilan dalam pelaksanaan Kurikulum 2013. Guru merupakan aktor terdepan dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 yang berhadapan dengan peserta didik. Peran penting guru antara lain meliputi: (1) kemampuan menjabarkan topik-topik bahasan pada mata pelajaran menjadi informasi yang menarik dan mudah dipahami oleh peserta didik, (2) kemampuan untuk mengidentifikasi tingkat dan area kesulitan peserta didik dan kemampuan untuk membantunya keluar dari kesulitan tersebut, dan (3) kemampuan melakukan evaluasi kemajuan

belajar siswa. Berdasarkan hasil evaluasi guru dapat menentukan strategi untuk menentukan metode pembelajaran yang lebih tepat dan kecepatan dalam memberikan informasi berupa pengetahuan kepada peserta didik. Kurikulum 2013 memang merupakan instrumen peningkatan mutu pendidikan. Peran guru dan kepala sekolah menjadi pendukung utama agar Kurikulum 2013 dapat secara signifikan meningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah.

KURIKULUM 2013 MENYEIMBANGKAN KOMPETENSI SIKAP, KETRAMPILAN DAN PENGETAHUAN.


Posted on Februari 22, 2013 by alenmarlis under Uncategorized

Malang, Jawa Timur Mendikbud menceritakan bahwa banyak pihak yang mempertanyakan kenapa repot-repot mengubah kurikulum. Bahkan ada yang mengeritik dengan ungkapan ganti menteri ganti kurikulum. Saya katakan, kalau demi peserta didik, tidak perlu merasa repot. Kalau untuk kemajuan peserta didik, tidak apa-apa dikritik ganti menteri ganti kurikulum. Yang penting generasi masa depan kita bertambah baik. Itu niat kita, tutur Nuh. Dalam pemaparannya ketika menyampaikan materi kurikulum 2013 di Universitas Islam Malang (Unisma), Sabtu, 16 Februari 2013, Mendikbud

menunjukkan bahwa banyak materi pelajaran dari TIMMS dan PISA yang seharusnya sudah diajarkan tapi nyatanya belum diajarkan dalam kurikulum kita sekarang. Akibatnya, prestasi akademik peserta didik kita selalu tertinggal dari negara-negara lain. Sebaliknya, tambah Nuh, banyak materi yang belum waktunya diajarkan namun sudah diajarkan, sehingga membebani para peserta didik. Misalnya murid-murid kelas satu SD yang baru masuk sekolah dalam minggu pertama sudah harus bisa menuliskan nama-nama teman sekelasnya beserta alamat rumahnya. Disamping itu, kata Mendikbud, pengembangan Kurikulum 2013 juga didasarkan atas banyak rasionalitas dalam rangka mengembangkan peserta didik yang kreatif, inovatif, produktif, dan afektif. Penekanannya tidak lagi pada ranah kognitif atau hafalan belaka, sebagaimana telah banyak dikritik. Dengan Kurikulum 2013 justeru kita ingin meningkatkan dan menyeimbangkan antara kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (cognitive) di kalangan peserta didik.
5. Nilai kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. a. Nasionalis Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan

kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya. b. Menghargai keberagaman Sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.

Menumbuhkan Rasa Nasionalisme dan Patriotisme Di Kalangan Anak

Dirgahayu Republik Indonesia Ke 66 17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2011 Sekali Merdeka Tetap Merdeka!!
Berhubung bulan ini adalah bulan Agustus, yang merupakan bulan dimana negara kita sedang merayakan HUT Republik Indonesia. Ane berinisiatif menulis dan mencari beberapa artikel mengenai hal Patriotisme pada anak.

Kenapa harus anak?

Soalnya saya berpikiran skrg ini rasa patriotisme maupun nasionalisme pada anak2 indonesia skrg ini sdh memudar dan tentunya orang tua selaku ujung tombak utk membimbing anak2nya skrg sdh kurang peduli lg. Dalam menumbuhkan patriotisme pada anak2, intinya kita harus selalu menginformasikan hal2 mengenai nasionalisme kpd mrka, serta menjelaskan arti pentingnya hari2 bsr nasional serta event2 nasional lainnya. Bisa dgn hal2 simpel sprt menonton berita bersama, bantulah mereka utk mengerti tidak hanya tentang fakta mengenai pemerintahan kita, namun ttg arti demokrasi sebenarnya. dan Anda sebaiknya memberikan pandangan Anda sendiri mengenai event2 atau hari kebesaran nasional yang terjadi, diskusikan

kepadanya bhw org lain pun dapat memiliki pandangan2 yang berbeda. Berikut ini Beberapa Penyebab Memudarnya Nasionalisme dan Patriotisme dikalangan Anak

" Faktor Internal "


. Pemerintahan pada zaman reformasi yang jauh dari harapan para anak, sehingga membuat mereka kecewa pada kinerja pemerintah saat ini. Terkuaknya kasus2 korupsi, penggelapan uang Negara, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat Negara membuat para pemuda enggan utk memerhatikan lagi pemerintahan.

. Sikap keluarga dan lingkungan sekitar yang tidak mencerminkan rasa nasionalisme dan patriotisme, sehingga para anak meniru sikap tersebut. Para anak merupakan peniru yang baik terhadap lingkungan sekitarnya. . Demokratisasi yang melewati batas etika dan sopan santun dan maraknya unjuk rasa, telah menimbulkan frustasi di kalangan anak dan hilangnya optimisme, sehingga yang ada hanya sifat malas, egois dan emosional.

. Tertinggalnya Indonesia dgn Negara-negara lain dalam segala aspek kehidupan, membuat para pemuda tidak bangga lagi menjadi bangsa Indonesia. . Timbulnya etnosentrisme yang menganggap sukunya lebih baik dari sukusuku lainnya, membuat anak lebih mengagungkan daerah atau sukunya daripada persatuan bangsa.

" Faktor Eksternal "

. Cepatnya arus globalisasi yang berimbas pada moral pemuda. mereka lebih memilih kebudayaan negara lain, dibandingkan dgn kebudayaanya sendiri, sbg contohnya para pemuda lbh memilih memakai pakaian minim yang mencerminkan budaya barat dibandingkan memakai batik atau baju yang sopan yang mencerminkan budaya bangsa Indonesia. Para pemuda kini dikuasai oleh narkoba dan minum2 keras, sehingga sgt merusak martabat bangsa Indonesia . Paham liberalisme yang dianut oleh Negara2 barat yang memberikan dampak pada kehidupan bangsa. Anak cenderung meniru paham libelarisme, seperti sikap individualisme yang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan keadaan sekitar dan sikap acuh tak acuh pada pemerintahan.

Upaya Menanamkan Rasa Cinta Tanah Air di Sekolah


1. Melaksanakan Upacara Bendera

Rasa Cinta Tanah Air dapat ditanamkan kpdanak sejak usia dini agar rasa terhadap cinta tanah air tertananam d hatinya dan dapat mnjd manusia yang dapat menghargai bangsa dan negaranya misalnya dgn upacara sederhana setiap hari Senin yang di lakukuan di sekolah dgn menghormat bendera Merah Putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya dgn penuh bangga, dan mengucapkan Pancasila dgn semangat. Kegiatan seperi ini bisa diarahkan pada 5 aspek perkembangan sikap perilaku maupun kemampuan dasar. Pada aspek sikap perilaku, melalui cerita bs menghargai dan mencintai Bendera Merah Putih, mengenal cara mencintai Bendera Merah Putih dgn merawat dan menyimpan dgn baik, menghormati bendera ketika dikibarkan 2. Melatih Siswa Utk Aktif Dalam Berorganisasi Kegiatan anak di luar belajar formal jg melatih inisiatif. Anak yang melibatkan dirinya dlm organisasi, akan berusaha menjadi pribadi yang berguna. Inilah sebabnya, anak menjadi pribadi yang berinisiatif tinggi krn ia merasa diperlukan oleh organisasinya. Anak yang berorganisasi juga cenderung lebih obyektif dalam menilai sesuatu. Ia terbiasa dgn perbedaan dan lebih mudah menerimanya. Anak juga lebih mudah menerima konflik yang biasa terjadi dalam organisasi.

3. Melalui Acara Memperingati Hari Besar Nasional Kegiatan lain adalah memperingati hari besar nasional dgn kegiatan lomba atau pentas budaya, mengenalkan aneka kebudayaan bangsa secara sederhana dgn menunjukkan miniatur candi dan menceritakannya, gambar rumah dan pakaian adat, mengenakan pakaian adat pada hari Kartini, serta mengunjungi museum terdekat, mengenal para pahlawan melalui bercerita atau bermain peran. Bisa jg diintegrasikan dlm tema lain melalui pembiasaan sikap dan perilaku, misalnya mnjga kebersihan dan kelestarian lingkungan, menyayangi sesama penganut agama, menyanyangi sesama dan makhluk Tuhan yang lain, tenggang rasa dan menghormati orang lain. Menciptakan kedamaian bangsa adalah juga perwujudan rasa cinta tanah air. 4. Melalui Lagu-Lagu Nasional Yg tidak kalah menariknya adalah menanamkan rasa cinta tanah air melalui lagu. Dgn menyanyi apalagi jika diiringi dgn musik, anak akn merasa senang, gembira, serta lebih mdh hafal dan memahami pesan yang akn disampaikan guru. Jika lagu wajib nasional dianggap msh terlalu sulit utk anak, maka guru bisa menciptakan lagu sendiri yang sesuai utk anak usia dini. Guru diberikan kebebasan utk mengembangkan kreativitasnya di sekolah termasuk dlm menciptakan lagu. Lagu utk anak usia dini biasanya dgn kalimat yang sederhana, mdh diucapkan, mdh dipahami dan dihafalkan. Lagu sebaiknya yang bernada riang gembira, krn hal ini akn merangsang perkembangan otak anak, anak terbiasa utk selalu riang dlm bekerja, cepat dlm menghadapi dan memutuskan masalah, tidak cepat putus asa. 5. Memberikan Pendidikan Moral Membentuk moral anak bisa dilakukan lewat story telling (dongeng). Kegiatan membaca dongeng dan berdiskusi antara guru dan anak, ini dapat dilakukan di sekolah maupun di rumah. Anak tentu saja mnjdi anugerah terindah bagi setiap orangtua. Namun, ketika sang buah hati beranjak remaja atau dewasa, bs jadi anak yang telah dibesarkan dan dididik sebaik mungkin, mnjadi ank yang tidak mengerti nilai2 moral dlm kehidupan.

6. Memberikan pelajaran tentang pendidikan pancasila dan kewarganegaraan pancasila adalah jati diri bangsa indonesia, sebagai falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh pancasila terhadap bangsa dan negara indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan bangsa indonesia.

Beberapa Hal yang Dapat Dilakukan Untuk Menumbuhkan Patriotisme dan Nasionalisme Pada Anak di Keluarga :
. Mendidik anak untuk mencintai budaya, dan alam indonesia dengan mengajarkan dan mengenalkan permainan tradisional Sebenarnya permainan tradisional sangat baik untuk melatih fisik dan mental anak. Secara tidak langsung anak2 akan dirangsang kreatifitas, ketangkasan, jiwa kepemimpinan, kecerdasan, dan keluasan wawasannya melalui permainan tradisional. Berbeda dengan permainan berteknologi tinggi, permainan tradisional memberikan banyak pembelajaran bagi anak-anak yang pada akhirnya mampu membentuk pribadi yang tidak egois. Pasalnya, permainan tradisional mengajarkan anak-anak untuk selalu patuh pada aturan (hukum), tidak egois, dan mengajarkan anak untuk selalu menjalin hubungan baik dengan sesama teman. Tak ada satupun permainan tradisional yang bisa dilakukan sendirian di rumah. Karena untuk bermain, anak2 butuh seorang atau beberapa orang yang bisa dijadikan partner maupun lawannya. . Memberikan arahan pada anak bahwa indonesia adalah negara yang kuat, besar dan kaya Sejak dini perlu di tanamkan pada anak bahwa setiap warga negara dan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga dan membangun negara Indonesia tercinta yang penuh akan kekayaan tanpa melihat status, golongan ataupun jabatan.

Hal tersebut seharusnya tidak hanya diucapkan melalui kata-kata atau sebuah wacana tanpa mempraktekannya dalam kehidupan sehar-hari. Siapapun dapat melakukan tanggung jawabnya sesuai peran apapun yang diambilnya. . Mengajarkan anak untuk mencintai lingkungan dan menjaga lingkungan Mengajarkan anak bagaimana menjaga lingkungan akan sangat baik sebagai bekal dan wawasan kedinian bagi anak-anak, mereka akan menyadari peran mereka dalam menjaga lingkungan merupakan fondasi yang kuat untuk memberikan pemahaman yang ideal. Karena kesadaran yang terbangun sejak dini akan sangat membekas bagi mereka. . Mengajarkan dan mencontohkan pada anak untuk mandiri dan bangga dengan produk dalam negeri Di era globalisasi ini banyak anak yang sudah mulai lupa dengan identitas bangsanya sendiri. Anak-anak cenderung lebih suka hal-hal yang kebaratbaratan, orang tuapun lebih suka mengajak anakya makan di restoran fast food daripada makan di restoran Indonesia. Hal ini juga membuat anak cenderung terbiasa dengan makanan barat daripada makanan Indonsia. Sebagai orang tua harus mendidik dan memperkenalkan identitas bangsa indonesia pada anak sehingga anak akan lebih mencintai dan mengenal bangsanya sendiri. . Mengajarkan anak untuk mencintai sesama dan memiliki rasa empati terhadap sesamanya Cinta sesama ditanamkan pada anak haruslah dengan mengajarkan perilakuperilaku menolong. Namun untuk mengajarkannya, tak perlu kita sampai menyediakan waktu khusus tapi cukup dari keseharian. Misal, ibu tengah sibuk menenangkan adik bayi yang rewel sementara si kakak minta dibacakan cerita. Nah, si ayah yang menyaksikan hal itu harusnya tanggap, "Ayah saja, ya, yang bacain. Kan, Ibu lagi repot ngurus adik." . Mengenalkan semangat kepahlawanan pada anak Banyak cara untuk mengenalkan semangat kepahlawanan pada anak, diantaranya adalah dengan berdongeng, mendongeng dapat membangun emosi, imaginasi, mengembangankan logika dan adaya khayal, dan juga

pengembangan tata bahasa. Orang tua dapat menceritakan bagaimana sulitnya para pejuang untuk memperjuangkan bangsa ini. Penyampaian pesan-pesan melalui berdongeng akan lebih cepat ditangkap oleh anak Menumbukan rasa patriotisme pada anak memang sangat diperlukan, Kenapa ? Karena merekalah bibit-bibit baru penerus bangsa Indonesia yang kian lama mengalami krisis patriotisme. Mengajarkan anak-anak tentang patriotisme sangatlah baik, karena hal ini dapat mengajarkannya untuk menjadi warga negara yang baik dan tentunya bertanggung jawab. Hal ini sangatlah simpel dan sederhana daripada mengajarkannya cara mendeklamasikan proklamasi atau mengajarkan cara untuk memilih wakil negara. Yang terpenting adalah mengajarkannya untuk berpikir, berani untuk bertanya, berdiskusi, dan bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukannya. Marilah kita tingkatkan patriotisme pada anak sehingga lebih mencintai negara ini dalam setiap hal dan tindakan yang kita kerjakan. Dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan RI Mari kita saling berbagi pengalaman dan tips tentang bagaimana mendidik anak supaya selalu mencintai negaranya. Sumber Share on linkedinShare on facebookShare on twitterShare on emailMore Sharing Services? Posted by JayBodyInside at 23.06 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook Reactions: 0 comments:
Poskan Komentar
"Silahkan berkomentar kawan,,, karena komentar anda sangat berarti pada blog ini, semoga bermanfaat, terima kasih ~,~"

Anda mungkin juga menyukai