Anda di halaman 1dari 10

1.

VIRUS HIV HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome. AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh kita selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. Sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih parah daripada biasanya. Hubungan keduanya yaitu HIV adalah virus yang menyebabkan AIDS. HIV menyerang sistem daya tahan tubuh manusia, menyebabkan tubuh lemah dan tidak berdaya melawan berjangkitnya penyakit. Jika seseorang terkena HIV, orang itu disebut positif-HIV (HIV+) tetapi belum tentu dia menghadapi AIDS. Sistem daya tahan tubuh adalah mekanisme tubuh yang terdiri dari sel darah putih. Sel-sel ini menyerang dan membunuh kuman dan virus yang masuk ke dalam tubuh kita. 2. Karateristik HIV Virus ( bahasa latin yang artinya toxin atau racun) adalah suatu partikel submikroskopik (ukurannya berkisar antara 15-600 nm) yang dapat menginfeksi sel dari suatu organisme biologis. Mengandung inti dari DNA / RNA.

HIV adalah akronim dari Human Immunodeficiency Virus. Virus ini adalah jenis virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia. HIV menempel dan merusak sel sel darah putih tertentu (sel T dan CD-4). Sel T dan sel CD-4 sangat penting dalam sistem kekebalan tubuh. HIV dapat tetap hidup dalam tubuh selama bertahun tahun dan pada akhirnya HIV melemahkan sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh tidak mampu lagi melawan infeksi yang ditimbulkan oleh virus lainnya. Selama ini pengobatan dilakukan hanya untuk memperlambat atau menghentikan proses tersbut namun belum bisa menyembuhkan penderita yang terkena virus HIV tersebut.

Virus HIV memiliki dua jenis. Jenis pertama adalah HIV-1, yang merupakan penyebab utaman AIDS di seluruh dunia. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syindrome. AIDS membuat sistem kekebalan tubuh terlalu lemah untuk melawan infeksi. Jenis kedua adalah HIV-2, yang kebanyakan ditemukan di daerah Afrika Barat. HIV hidup di dalam darah dan cairan tubuh lainnya serta sekresi seperti air manu, cairan vagina dan air susu ibu. Sebuah paritkel HIV memiliki ukuran diameter sekitar 10-9 meter. Seperti kebanyakan baktero, partikel HIV ukurannya terlalu kecil bial dilihat dnegan mikroskop biasa. Tetapi dapat dilihat dengan jelas menggunakan mikroskop elektron Sistem imun merupakan salah satu sistem di dalam tubuh manusia yang cukup kompleks dan menyangkut banyak sistem organ lain seperti sistem transportasi dan sistem saraf. Saat membicarakan gangguan atau penyakit terhadap sistem imun, pikiran kita biasanya tertuju pada sebuah virus yang menyebabkan rusaknya sistem imun dan sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Para peneliti telah banyak melakukan percobaan dengan berbagai metode untuk bisa menemukan terapi yang bisa dilakukan terhadap subjek yang terkena infeksi virus HIV. Pada kesempatan ini akan dilakukan pemodelan sederhana bagaimana sebuah virus HIV bisa menginfeksi sel tubuh manusia terutama di bagian sel T dan bagaimana dinamika dari sebuah virus HIV sehingga bisa bertahan dalam jangka waktu tahunan di dalam sistem imun tubuh manusia. Pemodelan ini dilakukan untuk memahami mekanisme sistem imun dan dinamika gerak dari virus HIV sehingga pada kesempatan mendatang dapat dilakukan penelitian berlanjut mengenai pengobatan atau penanggulangan terhadap objek yang terinfeksi virus HIV. 3. Patogenesis bakteri Manifestasi klinik. Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun. Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang, limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserangMycobacterium

tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang. Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari tabuh, dan limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum. Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal. 1. penularan dan masuknya virus HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata, sekresi vagina atau seviks, urine, ASI dan air liur. Penularan terjadi paling efisien melalui darah dan semen. HIV bisa masuk ke dalam tubuh manusia akibat perilaku atau tindakan (pribadi atau tindakan orang lain ), yang memungkinkan darah atau cairan kelamin atau ASI yang tercemar HIV masuk ke dalam tubuh. misalnya: disuntik dokter dengan jarum tidak steril. Sesudah virus HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel T CD4 dan makrofag). HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi dan terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2-12 minggu, masa ini disebut sebagai masa jendela (window period). Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih negatif. Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius ini yakni demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk. Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Orang tersebut mudah menularkan infeksinya kepada orang lain, dan hanya dapat dikenali dari pemeriksaan laboratorium serum antibodi HIV. Sesudah suatu jangka waktu, yang bervariasi dari orang ke orang, virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan limfosit CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya kekebalan tubuh yang progresif (progressive immunodeficiency syndrome). Progresivitas tergantung pada beberapa faktor seperti: usia kurang dari 5 tahun atau diatas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik. Tiga cara utama penularan adalah kontak dengan darah dan kontak seksual dan kontak bayi dan ibu yang sda dipaparkan lebih awal di bagian patofisiologi,. Setelah virus ditularkan akan tejadi serangkaian proses yang kemudian menyrbabkan infeksi. 2. Perlekatan virus

Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monositdan makrofag. Monosit dan makrofag. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoir untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia. Sepeti sel natural killer, limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik, sel microglia dan berbagai jaringan tubuh. Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+ maka berlangsung serangkaian proses kompleks yang apabila berjalan lancar menyebabkan terbentuknya partikel-partikel virus baru dari sel yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau mungkin mengalami, siklus-siklus replikasi sehingga menghasilkan banyak virusinfeksi pada limfosit CD4+ juga dapat menimbulkan sipatogenitas melalui beragam mekanisme, termasuk apoptesis, anergi, atau pembentukan sinstisum (fusi sel). 3. Replikasi virus Setelah terjadi fusi sel virus, RNA virus masuk kedalam tengah sitoplasma limfosit + CD4 setelah nuk;leokapsid dilepas, maka akan terjadi transkripsi terbalik dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai ganda virus. Integrase HIV membantu in sersi cDNA kedalm inti sel pejamu. Apabila sudah terintegrasi kedal;am kromosom sel pejamu maka dua untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus meghasilkan mRNA yang meninggalkan inti sel dan masuk kedalam sitoplasma. Protein-protein virus dihasilkan dari mRNA yang lengkap dan yang telah mengalami splicing (penggabungan), setelah RNA genom dibebaskan kedalam sitoplasma. Tahap akhir produksi virus membutuhka suatu enzim virus yang disebut HIVprotease, yang memotong dan menata protein virus menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA virus, membentuk parikel virus menular yag menonjol dari sel yang terinfeksi. Sewaktu menonjol dari sel pejamu, partikel-partikel virus tersebut akan terbungkus oleh sebagian dari membrane sel yang terinfeksi. HIV yang baru terbentuk sekarang dapat menyerang sel rentan lainnya di seluruh tubuh. Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat hanya terjadi aktivitas virus yang minimal di dalam darah. HIV ditemukan dalam jumlah besar di dalam limfosit CD4+ dan makrofag di seluruh sistem limfoid pada tahap semua infeksi. Partikelpartrikel virys juga telah dihubungkan sel-sel dendritik folikular, yang mungkin memindahkan infeksi ke sel-sel selama imigrasi melaului folikel-folikel limfoid. Walaupun selama masa latensi klinis tingkat viremia dan replikasi virus di sel-sel monokleus darah perifer rendah, namun pada infeksi ini tidak ada latensi yang sejati. HIV secara terus menerus terakumlasi dan bereplikasi di organ-orgna limfoid. Sebagian data menunujaka bahwa terjadi replikasi dalam jumlah sangat besar dabn pertukaran sel yang sangat cepat dengan waktu paruh virus didalam plasma sekitar 2 hari. Aktivitas ini menunjukan bahwa terjadi pertempuran terus menerus antara virus dajn sistem imun pasien. 4. infeksi HIV Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi

sistim imun imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa. Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel. Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama. Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi. Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV. Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV). Struktur dan siklus HIV

Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya, atau viral, terdiri dari, lemak lapis ganda yang mengandung banyak tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein gp 120 dan gp41. Gp 120 adalah selubung permukaan eksternal duri dan Gp1 adalah bagian transmembran. Terdapat protein matriks yang disebut p17 yang mengelilingi segmen bagian dalam membrane virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suati protein kapsid yang disebut p24. didalamnya terdapat dua untai rantai RNA identik dan mplekul performed reverse transcip , integrase, dan protease yang yang sydah terbentuk. HIV adalah suatu retrovirus sehingga materi genetiknya RNA bukan DNA. Reverse transciptase adalah enzim yang mentranskripkan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk kesel sasaran. Enzim lain yang menyertai RNA adalah integrase dan protease. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4 yang mempunyai reseptor CD4 beberapa sel lain yang juga mempunyai resptor CD4 adalah : sel monosit, makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel dinding rahim, dan sel langerhans. Penelitian terakhir juga menunjukan HIV dapat menginveksi sel astrogloa otak dan sel endotel saluran cerna walaupun sel tsb tudak mempunyai reseptor CD4. Protein selubung HIV gp 120 akan bersentuhan dan terikat pada reseptor CD4 sel pejamu (antara lain sel selubunglimfosit t4); lalu selubung HIV akan mengalami fusi denagn membrane sel 6pejamu dengan mendorong inti HIV masuk kedalam sitoplasma pejamu. Dalam proses ini terlibat protein selubung HIV yang lain, yaitu gp 41. dalam sitoplasma sel pejamu, RNA virus akan dikonversi menjadi DNA oleh enzim RTase dan dna ini yang disebut DNA provirus . DNA provirus ini akan masuk kedala inti sel pejamu dan dengan inti sel pejamu. Integrasi materi genetic virus ini biasanya akan terfjadi dalam 2-10 jam setelah infeksi. Selanjutnya virus replikasi virus dimulai dengan adanya produksi RNA provirus yang sama sehingga akan terbentu virion baru, suati virus HIV baru yang siap untuk menginfeksi sel target yang lain, setekah keluar dari sel pejamu melalui suatu proses budding. 4. Diagnosa LAB HIV TES DIAGNOSIS Tes laboratorium untuk menetapkan diagnosis infeksi HIV dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu tes yang mencari adanya virus tersebut dalam tubuh penderita : 1. Mencari virus dalam darah penderita - kultur/biakan virus - deteksi antigen ; p24 - PCR (polymerase chain reaction)

2. Mencari adanya antibodi terhadap berbagai komponen virion HIV dalam serum penderita (tes serologik) - Tes Enzyme Linked Immunosorbent Assay (EIA/ELISA) - Tes sederhana / cepat (tes imunokromatografi) - Tes konfirmasi sepert Western Blot (WB), Indirect immunofluorescence assay (IFA) 3. Tes Tambahan Tes tambahan meliputi : - Urinalisis, tes feces lengkap, fungsi hati (SGOT/SGPT - LDH, alkali fosfatase, bilirubin - Fungsi ginjal (ureum/creatinin) Namun jenis tes yang tersaring dipakai sehari-hari adalah deteksi antibody (anti-HIV). 6 Diagnosis infeksi HIV biasanya ditentukan dengan ditemukannya antibodi terhadap HIV dalam darah penderita. Laboratorium di Indonesia melakukan tes terhadap HIV untuk menegakkan diagnosis, penapisan darah transfusi, epidemiologi dan penelitian, setelah menandatangani inform consent dari V.C.T (Voluntary Conseling and Test). Tes serologik untuk mendeteksi anti-HIV dapat dikelompokkan menjadi tes saring dan tes konfirmasi. Yang termasuk tes saring yaitu; tes EIA/Elisa, dan tes rapid/sederhana , tes konfirmasi yaitu; western blot, IFA. Setelah tes saring dapat diidentifikasi spesimen yang kemungkinan mengandung anti-HIV, sedangkan setelah tes konfirmasi dapat diketahui bahwa spesimen yang reaktif pada tes penyaring mengandung antibodi spesifk terhadap HIV. UNAIDS dan WHO menyarankan pemakaian 3 strategi tes yang baru saja diperbarui untuk meningkatkan ketepatan dan mengurangi biaya tes dan telah diterima oleh Departemen Kesehatan. Keamanan transfusi/transplantasi : strategi I Surveilans : <10% prevalensi : Strategi I >10% prevalensi : Strategi II Diagnosis :

Terdapat gejala klinik infeksi HIV : <30% prevalensi : Strategi I >30% prevalensi : strategi II

Tanpa gejala klinik infeksi HIV : <10% prevalensi : strategi II >10% prevalensi : strategi III

Strategi I. 1. Serum atau plasma pasien diperiksa dengan menggunakan simple/rapid (S/R) tes atau dengan Enzyme Immuno Assay/EIA (disebut tes A1) 2. Untuk tujuan transfusi darah atau transplantasi organ, gunakan reagen yang dapat mendeteksi HIV-1 dan HIV-2 serta mem[punyai sensitivitas yang tinggi (> 99%) 3. Bila tes (A1) menunjukkan hasil reaktif, laporkan dengan reaktif, sedangkan bila hasilnya non-reaktif maka laporkan NEGATIF

Strategi II. 1. Serum atau plasma pasien diperiksa dengan menggunakan simple/rapid (S/R) atau dengan Enzyme Immuno Assay/EIA (disebut tes A1) 2. Bila hasil tes A1 menunjukkan non-reaktif, laporkan NEGATIF, sedangkan bila hasil tes menunjukkan reaktif harus dilakukan tes ulang dengan menggunakan reagen dengan preparasi antigen yang berbeda dari tes pertama (disebut tes A2) 3. Bila hasil tes A2 menunjukkan reaktif, laporkan hasil tersebut dengan reaktif. Sedangkan bila hasil tes A2 menunjukkan non-reaktif, ulangi tes dengan menggunakan reagen yang digunakan pada tes A1 dan tes A2 4. Bila pada tes ulang menunjukkan hasil tes A1 dan A2 reaktif, laporkan sebagai reaktif, bila salah satu hasil tes (tes A1 atau A2) menunjukkan non-reaktif, laporkan sebagai INDETERMINATE. Dan bila ke dua tes A1 dan A2 menunjukkan non-reaktif, laporkan sebagai NEGATIF

5. Reagen untuk tes A1 memiliki sensitivitas yang tertinggi, sedangkan untuk tes A2 harus memiliki spesifisitas yang lebih tinggi daripada tes A1

Strategi III. 1. Serum atau plasma pasien di tes dengan menggunakan simple/rapid (S/R) tes atau dengan Enzyme Immuno Assay (disebut tes A1) 2. Bila hasil tes A1 menunjukkan non-reaktif, laporkan NEGATIF. Sedangkan bila hasil tes menunjukkan reaktif, harus dilakukan tes ulang dengan menggunakan reagen dengan preparasi antigen yang berbeda dari tes pertama (disebut tes A2) 3. Bila hasil tes A2 menunjukkan non-reaktif, ulangi tes dengan menggunakan reagen yang digunakan pada tes A1 dan tes A2. Pada tes ulang, bila hasil tes A1 dan A2 menunjukkan non-reaktif, laporkan sebagai NEGATIF 4. Bila hasil tes A1 dan A2 menunjukkan reaktif atau salah satu tes (tes A1 atau A2) menunjukkan non-reaktif, lakukan tes ulang menggunakan reagen dengan preparasi antigen yang berbeda dari tes pertama maupun kedua (disebut tes A3) 5. Bila hasil tes A1, A2 dan A3 menunjukkan reaktif, laporkan sebagai REAKTIF 6. Bila hasil tes A1 dan A2 reaktif serta A3 non reaktif, atau tes A1 dan A3 reaktif serta A2 non-reaktif, laporkan sebagai INDETERMINATE 7. Bila hasil tes A2 dan A3 non-reaktif serta pasien dari daerah dengan prevalensi > 10% (beresiko tinggi), laporkan sebagai INDETERMINATE. Sedangkan bila pasien berasal dari daerah dengan prevalensi <10% (beresiko rendah), dapat dianggap sebagai NEGATIF. 8. Reagen untuk tes A2 harus memilki spesifisitas yang lebih tinggi daripada tes A1 dan untuk tes A3 harus memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dari tes A2 Bila hasil tes dilaporkan indeterminate, maka tes perlu diulangi 6 bulan dan 12 bulan kemudian.

Regensia yang dipilih untuk dipakai pada tes didasarkan pada sensitivitas dan spesifisitas tiap jenis reagen. Reagen yang dipakai pada tes pertama adalah reagensia yang memiliki sensitivitas tertinggi, sebaiknya > 99%, sedangkan reagensia pada tes selanjutnya (kedua dan ketiga) memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dari yang pertama, untuk tujuan surveilans harus memiliki spesifisitas minimal sebesar 95% dan untuk tujuan diagnosis memiki spesifisitas minimal sebesar 98%.

Pada bayi yang baru lahir dengan ibu terinfeksi HIV, dilakukan tes anti-HIV setelah berumur 18 bulan, atau kalau sarana tersedia dapat dilakukan tes antigen. Pada seseorang yang terpapar darah penderita HIV ( jarum suntik ), bila hasuil tes HIV negative pada 4 bulan setelah terpapar, dilanjutkan dengan tes tiap 3 bulan selama 1 tahun bila hasil tetap negative, penderita bebas dari infeksi bakteri. 5 Terapi HIV Salah satu sifat HIV yang membuatnya sangat sulit diberantas (bahkan ada yang mengatakannya mustahil) adalah kemampuannya untuk masuk ke dalam untai DNA manusia dan menyembunyikan kode DNA-nya di sana. Fase ini disebut fase laten. Baru setelah keadaan menguntungkan, kode DNA virus yang menyatu dengan kode DNA manusia akan aktif membuat virus baru. Fase ini disebut fase replikasi. Obat-obat HIV yang ada saat ini hanya bertujuan membunuh virus yang aktif bereplikasi. Oleh karena itu, obat tersebut tidak pernah tuntas membunuh semua virus yang bercokol di dalam tubuh.

Anda mungkin juga menyukai