Anda di halaman 1dari 31

Perbatasan Wilayah Indonesia dengan Negara Tetangga.

Negara Indonesia memiliki prinsip semangat good neighboorhood policy yang artinya semangat kebijakan negara bertetangga yang baik dalam menyelesaikan masalah perbatasan wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa negara Indonesia mengedepankan jalan damai misalnya dengan melakukan perundingan/negoisasi untuk mencapai kesepakatan bersama. Meskipun perjanjian tersebut sudah disepakati bersama, tetapi real-nya sering terjadi sengketa akibat pengakuan sepihak mengenai suatu kepentingan serta tidak displinnya suatu negara dalam menjalankan perjanjian.

Perjanjian Republik Indonesia-Malaysia mengenai perbatasan di Selat Malaka dan sengketa yang terjadi Kesepakatan antara Indonesia dengan Malaysia mengenai Selat Malaka terdapat pada Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di Selat Malaka. Isi perjanjian tersebut sesuai ketentuan pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 4 Prp. tahun 1960 yang menyatakan bahwa Jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat. Maka sesuai kesepakatan bahwa, garis batas laut wilayah tersebut sesuai dengan garis batas landas kontinen antara kedua negara di Selat Malaka yang mulai berlaku pada bulan November 1969. Meskipun perjanjian bilateral mengenai perbatasan di Selat Malaka sudah disepakati, namun masih terjadi sengketa antara kedua negara. Menurut Patroli Kementrian Kelautan Perikanan (KKP), mereka berhasil menangkap dua kapal Malaysia yang sedang menangkap ikan di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Selat Malaka. Hal ini tentu merupakan pelanggaran karena memasuki wilayah Indonesia serta mengambil sumber daya Indonesia secara ilegal. Namun ketika petugas Patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu menangkap dua kapal Malaysia lalu di tengah perjalanan muncul tiga helikopter Patroli Malaysia yang mengahalangi penangkapan tersebut, padahal dua kapal tersebut memang melakukan kesalahan. Pada akhirnya helikopter Malaysia itupun berhenti menghalangi karena pertugas Patroli Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) Indonesia tidak memerdulikan tiga helokopter tersebut. Kasus ini menunjukan tidak displinnya Malaysia

dalam menaati perjanjian yang sudah disepakati dan diperparah lagi dengan pembelaan Patroli Malaysia padahal kapal tersebut jelas-jelas melanggar aturan. Indonesia dan Malaysia memang sudah menetapkan garis batas landas kontinen tahun 1969 sehingga sudah adanya kejelasan dalam pembagian dasar laut dan kekayaan alam misalnya kekayaan minyak, gas dll. Namun belum adanya kejelasan mengenai pembagian tubuh air dan kekayaannya seperti ikan. Ketidakjelasan tersebut mengakibatkan Indonesia dan Malaysia memiliki pengakuan masing-masing. Indonesia mengakui garis tengah antara Indonesia dan semenanjung Malaysia sebagai garis batas ZEE. Malaysia mengakui secara sepihak bahwa batas landas kontinen itu merupakan sekaligus garis batas ZEE, tentu Indonesia tidak setuju dengan pengakuan itu karena belum diadakan kesepakatan mengenai batas ZEE antar kedua negara. Contoh sengketa yang terjadi mengenai pengakuan atas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) , sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak adanya kesepakatan sehingga pengakuan sepihak yang yang diakui negara Indonesia belum tentu diakui negara Malaysia dan sebaliknya karena standar untuk menentukan pengakuan tersebut berbeda. Pengakuan masing-masing negara yang belum disepakati ini juga mengakibatkan adanya kawasan wilayah yang diakui oleh kedua negara sehingga jika salah satu negara memasuki kawasan ini akan di anggap sebagai pelanggaran padahal belum adanya ketegasan yang memastikan hal itu pelanggaran atau tidak. Maka sebaiknya dilakukan perundingan atau negoisasi secara damai supaya tidak terjadi sengketa lebih lanjut.

Perjanjian Republik Indonesia-Malaysia mengenai perbatasan di Ambalat beserta sengketa yang terjadi Ambalat merupakan blok laut seluas 15.235 km2 milik negara Indonesia, hal ini dapat dibuktikan pada Perjanjian yang di beri nama Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia-Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang ditandatangani di Kuala Lumpur. Isi perjanjian tersebut yaitu penetapan 25 titik yang terdiri dari 10 titik koordinat di Selat Malaka dan 15 titik koordinat di perairan Laut China Selatan dan melakukan pengesahan pada 7 November 1969. Sengketa Ambalat ini diakibatkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut Ambalat karena keistimewaan Ambalat yang memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat peta baru pada

tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan penandatanganan kembali Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Malaysia kembali membuat sengketa dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun 1979 yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah Malaysia. Usaha-usaha Malaysia ini harus kita antisipasi dengan memperkuat keamanan wilayah supaya tidak di rebut oleh negara Malaysia. Malaysia sering melanggar perjanjian yang telah disepakati, bahkan pihak Indonesia mengakui adanya 35 kali pelanggaran perbatasan yang dilakukan Malaysia.

Indonesia-Malaysia Garis batas laut wilayah antara Indonesia dengan Malaysia adalah garis yang menghubungkan titik-titik koordinat yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama di Kuala Lumpur, pada 17 Maret 1977. Berdasarkan UU No 4 Prp tahun 1960, Indonesia telah menentukan titik dasar batas wilayah lautnya sejauh 12 mil. Sebagai implementasi dari UU tersebut, beberapa bagian perairan Indonesia yang jaraknya kurang dari 12 mil laut, menjadi laut wilayah Indonesia. Termasuk wilayah perairan yang ada di Selat Malaka. Pada Agustus 1969, Malaysia juga mengumumkan bahwa lebar laut wilayahnya menjadi 12 mil laut, diukur dari garis dasar yang ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1958 (mengenai Laut Wilayah danContigous Zone). Sehingga timbul persoalan, yaitu letak garis batas laut wilayah masing-masing negara di Selat Malaka (di bagian yang sempit) atau kurang dari 24 mil laut. Adapun batas Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia ditentukan berdasarkan garis lurus yang ditarik dari titik bersama ke titik koordinat yang disepakati bersama pada 27 Oktober 1969. Atas pertimbangan tersebut, dilaksanakan perundingan (Februari-Maret 1970) yang menghasilkan perjanjian tentang penetapan garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik koordinat tersebut ditetapkan berdasarkan Garis Pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Selama ini penarikan batas Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di Perairan Selat Malaka berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1958. MoU RI dengan Malaysia yang ditandatangani pada 27 Oktober 1969 yang menetapkan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai acuan titik dasar dalam penarikan Garis Pangkal jelas jelas merugikan pihak Indonesia, karena median line yang diambil dalam menentukan batas landas kontinen kedua negara tersebut cenderung mengarah ke perairan Indonesia. Tidak hanya itu, Indonesia juga belum ada kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang ZEE-nya. Penentuan ZEE ini sangat penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan masing-masing negara. Akibat belum adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, sering terjadi penangkapan nelayan oleh kedua belah pihak.

Hal ini disebabkan karena Malaysia menganggap batas Landas Kontinennya di Selat Malaka, sekaligus merupakan batas laut dengan Indonesia. Hal ini tidak benar, karena batas laut kedua negara harus ditentukan berdasarkan perjanjian bilateral. Berdasarkan kajian Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, batas laut Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka seharusnya berada di median line antara garis pangkal kedua negara yang letaknya jauh di sebelah utara atau timur laut batas Landas Kontinen. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang jarak antara kedua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut. Jika ditinjau dari segi geografis, daerah yang memungkinkan rawan sengketa perbatasan dalam pengelolaan sumber-sumber perikanan adalah di bagian selatan Laut Andaman atau di bagian utara Selat Malaka.

###

Beberapa dasar pertimbangan dan alasan kepentingan nasional Indonesia untuk menyelesaikan perbatasan maritim dengan negara tetangga adalah karena: Penyelesaian masalah perbatasan merupakan amanat dan kewajiban institusional yang harus dilaksanakan oleh Pemri; Penyelesaian masalah perbatasan akan menciptakan kepastian hukum tentang wilayah dan pada gilirannya akan memberikan ketegasan dan kepastian batas wilayah NKRI; Penyelesaian masalah perbatasan akan menjaimin pelaksanaan pengawasan, pengamanan dan penegakan hukum dan kedaulatan negara serta perlindungan wilayah NKRI oleh aparat pertahanan negara dan aparat penegak hukum nasional; Namun, penyelesaian batas wilayah Indonesia dengan negara tetangga membutuhkan waktu yang tidak sedikit karena pengaruh berbagai faktor, antara lain: kepentingan nasional masing-masing negara; dinamika politik dalam negeri masing-masing negara; aspek-aspek teknis dalam menetapkan klaim batas wilayah maritim; perundingan yang memakan waktu panjang karena menyangkut hal prinsip kepastian batas wilayah negara; dinamika tim perunding yang melibatkan berbagai instansi terkait; dan proses ratifikasi internal masing-masing negara.

Ambalat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ambalat adalah blok laut luas mencakup 15.235 kilometer persegi yang terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar dan berada di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia. Penamaan blok laut ini didasarkan atas kepentingan eksplorasi kekayaan laut dan bawah laut, khususnya dalam bidang pertambangan minyak. Blok laut ini tidak semuanya kaya akan minyak mentah.

[sunting]Awal

persengketaan

Persoalan klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo lihat: Sengketa Sipadan dan Ligitan). Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia, [1] kedua negara masing2 melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. [2] Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. [3] Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansiterhadap wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.

[sunting]Aksi-aksi

sepihak

Tgl 21 Februari 2005 di Takat Unarang {nama resmi Karang Unarang) Sebanyak 17 pekerja Indonesia ditangkap oleh awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka,

Angkatan laut Malaysia mengejar nelayan Indonesia keluar Ambalat. Malaysia dan Indonesia memberikan hak menambang ke Shell, Unocal dan ENI.
[3]

Berkaitan dengan itu pula surat kabar Kompas mengeluarkan berita bahwa Menteri Pertahanan Malaysia telah memohon maaf berkaitan perkara tersebut [4]. Berita tersebut segera disanggah oleh

Menteri Pertahanan Malaysia yang menyatakan bahwa kawasan tersebut adalah dalam kawasan yang dituntut oleh Malaysia, dengan itu Malaysia tidak mempunyai sebab untuk memohon maaf karena berada dalam perairan sendiri. Sejajar dengan itu, Malaysia menimbang untuk mengambil tindakan undang-undang terhadap surat kabar KOMPAS yang dianggap menyiarkan informasi yang tidak benar dengan sengaja.

Pemimpin Redaksi Kompas, Suryopratomo kemudian membuat permohonan maaf dalam sebuah berita yang dilaporkan di halaman depan harian tersebut pada 4 Mei 2005, di bawah judul Kompas dan Deputi Perdana Menteri Malaysia Sepakat Berdamai .[5]

Pada koordinat:

4603.59N 1183743.52E terjadi ketegangan yang melibatkan kapal perang

pihak Malaysia KD Sri Johor, KD Buang dan Kota Baharu berikut dua kapal patroli sedangkan kapal perang dari pihak Indonesia melibatkan KRI Wiratno, KRI Tongkol, KRI Tedong Naga KRI K.S. Tubun, KRI Nuku dan KRI Singa [6] yang kemudian terjadi Insiden Penyerempetan Kapal RI dan Malaysia 2005, yaitu peristiwa pada tgl. 8 April 2005 Kapal Republik Indonesia Tedong Naga (Indonesia) yang menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali, akan tetapi tidak pernah terjadi tembak-menembak karena adanya Surat Keputusan Panglima TNI Nomor: Skep/158/IV/2005 tanggal 21 April 2005 bahwa pada masa damai, unsur TNI AL di wilayah perbatasan RI-Malaysia harus bersikap kedepankan perdamaian dan TNI AL hanya diperbolehkan melepaskan tembakan bilamana setelah diawali adanya tembakan dari pihak Malaysia terlebih dahulu.

Shamsudin Bardan, Ketua Eksekutif Persekutuan Majikan-majikan Malaysia (MEF) menganjurkan agar warga Malaysia mengurangi pemakaian tenaga kerja berasal dari Indonesia

Pihak Indonesia mengklaim adanya 35 kali pelanggaran perbatasan oleh Malaysia.[7] Tgl 24 Februari 2007 pukul 10.00 WITA, yakni kapal perang Malaysia KD Budiman dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh satu mil laut, pada sore harinya, pukul 15.00 WITA, kapal perang KD Sri Perlis melintas dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh dua mil laut yang setelah itu dibayang-bayangi KRI Welang, kedua kapal berhasil diusir keluar wilayah Republik Indonesia.

Tgl 25 Februari 2007 pukul 09.00 WITA KD Sri Perli memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard yang akhirnya diusir keluar oleh KRI Untung Suropati, kembali sekitar pukul 11.00, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia jenisBeech Craft B 200 T Superking melintas memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard, kemudian empat kapal perang yakni KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Keris, KRI Untung Suropati dan KRI Welang disiagakan. [8]

Sengketa Sipadan dan Ligitan


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter) dengan koordinat: 4652.86N1183743.52E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter) dengan koordinat:

49N 11853E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional

[sunting]Kronologi

sengketa

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. karena kita taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.

Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.

[sunting]Keputusan

Mahkamah Internasional

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1] [2] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasimercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar. [3].

Perjanjian internasional yang telah d ratifikasi v Abstrak Perjanjian Internasional di bidang kelautan yang sejak dulu telah dirundingkan, kini berkembang dengan pesat. Puncak dari berbagai perundingan mengenai masalah kelautan adalah diadakannya Konperensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut (United Nations Conference on the Law of the Sea)pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika. Dalam konperensi ini telah ditandatangani suatu perjanjian internasional yang mencakup hampir seluruh permasalahan di bidang kelautan. Perjanjian internasional ini dikenal dengan nama Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS).Pemerintah Indonesia sudah sejak lama turut aktif dalam berbagai perundingan mengenai terbentuknya berbagai perjanjian internasional di bidang kelautan khususnya lingkungan laut(environmental of the sea). Dengan menandatangani hasil berbagai konperensi hukum laut, maka diperlukan suatu langkah untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut. Salah satu cara adalah meratifikasi perjanjian internasional tersebut agar berlaku menjadi hukum nasional. Studi ini memberikan gambaran mengenai hukum perjanjian lingkungan laut (environmental law of the sea treaties). Selain itu studi ini juga menggambarkan bahwa cukup banyak perjanjian internasional (baik yang bersifat publik maupun perdata) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dan alasan Pemerintah Indonesia untuk meratifikasinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah berbagai perjanjian internasional di bidang kelautan diratifikasi, masih diperlukan beberapa langkah serta tindak lanjut untuk menerapkannya. Implementasi perjanjian internasional ini antara lain dikeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan yang bersifat umum maupun teknis. Dalam penelitian ini telah menemukan ada langkah tindak lanjutnya dengan dikeluarkan beberapa peraturan pelaksana baik dalam bentuk undang-undang hingga keputusan menteri. v Latar Belakang Permasalahan Hingga saat ini, cukup banyak perjanjian internasional bidang lingkungan laut yang telah berhasil disepakati. (UNEP,1993;Ball&Stuart,1991;Pramudianto,1995). Perkembangan perjanjian internasional yang lahir di abad 20 ini, nampaknya berkaitan erat dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi tinggi dan bahan berbahaya yang menimbulkan dampak yang luas bagi masalah sumberdaya di laut. Karena itu perjanjian internasional di bidang kelautan kini lebih bersifat multilateral dan menerapkannya secara global dengan penekanan pada persoalan kepemilikan bersama yang antara lain mengarah pada prinsipCommon Heritage of Mankinds. (Abdurrasyid, 1991; Agoes,1988;Danusaputro,1982)

Hukum internasional mengenal beberapa cara bagi suatu negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional yang salah satu diantaranya adalah ratifikasi (Kusumaatmadja,1976;Parthiana,1990;Likadja,1988;Situni,1989). Dalam hal ini suatu instrumen perjanjian internasional yang telah ditandatangani dan disepakati oleh negara-negara yang terlibat dalam suatu perundingan umumnya masih membutuhkan adanya penegasan kembali. Penegasan kembali ini dapat dilakukan melalui lembaga ratifikasi. (Suryono,1984;Suwardi,1991;Kusumohamidjojo,1986) Setelah dilakukan tindakan ratifikasi, naskah perjanjian internasional tersebut dapat dikirim kembali ke tempat penyimpanan (depository) naskah perjanjian sebagai bukti keterikatan suatu negara terhadap perjanjian internasional tersebut. Namun hal yang perlu dicatat bahwa tidak seluruh perjanjian internasional membutuhkan ratifikasi untuk dapat diberlakukan. Karena itu ada beberapa ahli menyatakan bahwa ratifikasi hanya sekedar memberikan pernyataan formal keterikatan terhadap suatu perjanjian internasional. (Anwar,1991;Suraputra,1991;Kantaatmadja;1991;Agoes,1988;Suryono,1984) Konsep yang berlaku umum di dalam hukum internasional ini juga diterapkan oleh Pemerintah Indonesia. Sesudah menandatangani perjanjian-perjanjian internasional tersebut, Pemerintah Indonesia kemudian melakukan tindakan ratifikasi baik melalui Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Produk hukum nasional hasil ratifikasi yang dikeluarkan oleh Presiden berbentuk Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan hasil ratifikasi melalui persetujuan DPR dikeluarkan dalam bentuk undang-undang (UU). Hingga sekarang ketentuan hukum mengenai ratifikasi masih berpedoman pada Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945 dan Surat Presiden Kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2826/HK/60 tanggal 22 Oktober 1960 perihal Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain. Dalam prakteknya, ratifikasi yang telah dilakukan oleh Indonesia terhadap perjanjian internasional yang berkaitan dengan bidang kelautan khususnya lingkungan laut kebanyakan berbentuk Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan dalam bentuk Undang-undang (UU) masih sangat sedikit. Hal ini berhubungan dengan klasifikasi perjanjian internasional itu sendiri yang pada umumnya menganggap perjanjian internasional bidang lingkungan laut kurang memiliki dampak politik yang penting. Walaupun demikian ada beberapa perjanjian internasional yang berkaitan dengan bidang lingkungan laut yang memiliki dampak politik sangat penting dan mempengaruhi masa depan Indonesia telah berhasil disetujui oleh DPR melalui bentuk undang-undang. Sebagai contoh adalah Undang-undang No. 17 tahun 1985 yang mengesahkan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982. v Identifikasi Masalah

Permasalahan yang timbul mengenai tata cara ratifikasi terhadap berbagai perjanjian internasional dilihat dari pandangan yuridis selama ini karena ketentuan hukum nasional belum memadai. Dasar hukum mengenai tata cara meratifikasi yang selama ini ada tidak memberikan prosedur yang jelas dan baku. Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945 tidak menyebutkan dengan tegas adanya kata ratifikasi dan tidak memberikan kejelasan prosedural mengenai tata cara meratifikasi suatu perjanjian internasional. Surat Presiden No 2826/Hk/60 bahkan berada di luar tata urutan perundang-undangan berdasarkan Ketetapan MPR No. XX/1966 mengenai Sumber Tertib Hukum. Kemudian timbul masalah lagi, yaitu bagaimana menentukan atau mengkriteriakan jenis perjanjian internasional yang penting dan perjanjian internasional yang kurang penting. Permasalahan ini akan menimbulkan akibat pada perjanjian internasional di bidang lingkungan laut yang dalam meratifikasi ternyata menghasilkan dua produk hukum nasional yaitu berbentuk Keputusan Presiden (Keppres) dan berbentuk Undang-undang (UU). Hal ini menimbulkan suatu akibat bahwa ternyata perjanjian di bidang lingkungan laut ada yang dikategorikan sangat penting dan ada yang kurang penting. Berbagai perjanjian internasional di bidang lingkungan laut telah berhasil dibentuk. Namun hal ini membutuhkan keterikatan yang pasti yaitu dapat berupa ratifikasi, penerimaan atau persetujuan. Bagi Pemerintah Indonesia ratifikasi menjadi hal yang penting karena akan mempengaruhi sistem hukum nasional Indonesia dan dapat memberikan wawasan baru bagi ketentuan hukum nasional. Maksud dan Tujuan Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana produk hukum internasional di bidang kelautan khususnya dalam perjanjian internasional bidang hukum lingkungan laut telah diimplementasikan ke dalam hukum nasional. Sedangkan tujuan penelitian adalah : 1. Mengetahui informasi berbagai perjanjian internasional bidang kelautan yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia. 2. Mengetahui sejauhmana tindak lanjut pelaksanaan atas ratifikasi perjanjian internasional ini 3. Mengetahui secara mendasar mengenai masalah ratifikasi.

v Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dalam hal : 1. Memberikan informasi dasar khususnya yang menyangkut peraturan internasional di bidang lingkungan laut yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia

2. Menambah studi-studi di bidang kelautan khususnya yang menyangkut peraturan. 3. Meningkatkan desiminasi dan informasi hukum laut Indonesia

4. Memberikan bahan masukan untuk pengambil keputusan dalam menindaklanjuti berbagai peraturan yang telah diratifikasi v Lingkup Studi Penelitian Penelitian ini dibatasi pada permasalahan hukum lingkungan laut, khususnya ratifikasi atas perjanjian internasional. 1. Metodologi Metode yang digunakan dalam studi ini adalah penelitian deskriptif dengan cara menginventarisasi berbagai ketentuan atau peraturan hukum internasional yang telah diratifikasi. Selain itu dilakukan juga studi pustaka untuk mencari berbagai informasi mengenai perjanjian internasional yang diratifikasi.

2.

Penentuan Sampel Dari seluruh peraturan yang menyangkut perjanjian internasional yang telah ditandatangani atau diratifikasi, sampel yang diambil hanya pada perjanjian internasional yang khususnya menyangkut atau berkaitan dengan persoalan lingkungan laut yang telah diratifikasi. Setelah itu dilakukan penelusuran peraturan hukum nasional yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia dalam menerapkan ketentuan ratifikasi ini. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah setiap peraturan nasional yang berkaitan dengan pokok bahasan yang ada dalam perjanjian internasional selalu disebutkan hasil ratifikasinya.

3.

Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu bahwa :Ratifikasi atas beberapa perjanjian internasional di bidang lingkungan laut oleh Pemerintah Indonesia akan ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan.

v HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Perjanjian Internasional yang Telah Diratifikasi dan Alasan-alasannya Pemerintah Indonesia telah aktif dalam berbagai perundingan di bidang kelautan sejak tahun 1958 khususnya dalam Konperensi Hukum Laut I. Dalam perundingan itu delegasi Indonesia telah menandatangani hasil konperensi tersebut yaitu Konvensi mengenai Landas Kontinen (Convention on the

Continental Shelf), Konvensi mengenai Perikanan dan Sumberdaya Hayati di Laut Lepas(Convention of Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas), serta Konvensi mengenai Laut Lepas (Convention on the High Sea). Sedangkan Konvensi mengenai Laut Teritorial tidak ditandatangani. Tiga tahun kemudian konvensi-konvensi ini telah diratifikasi melalui Undangundang No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 mengenai Hukum Laut. Sehingga dari 4 konvensi hanya satu konvensi yang tidak ditandatangani dan diratifikasi yaitu Konvensi mengenai Laut Teritorial. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan prinsip yang berlaku dalam Deklarasi Juanda yang menyatakan wilayah lautan Indonesia dengan daratan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Berbeda dengan Kringen Ordonantie 1933 yang menyatakan masing-masing pulau memiliki laut teritorial dengan jarak 3 mil. Sedangkan Konvensi mengenai Laut Teritorial 1958 membatasi jarak 12 mil dari pantai namun bukan merupakan satu kesatuan dalam hal wilayah yang dimiliki secara khusus seperti Deklarasi Juanda. Konvensi mengenai Perikanan Serta Pelestarian Sumberdaya Hayati Laut Bebas terdiri dari 22 pasal, Konvensi mengenai Landas Kontinen terdiri dari 15 pasal dan Konvensi Laut Lepas terdiri dari 37 pasal. Ada beberapa pertimbangan untuk meratifikasi ketiga Konvensi ini yang tercantum dalam Undang-undang No. 19/1961. Seperti kehadiran Pemerintah Indonesia dalam berbagai perundingan di Konperensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 yang hal ini dinyatakan dengan tegas dalam bagian a pertimbangan UU ini :bahwa konperensi internasional di Jenewa tahun 1958 mengenai hukum laut (Conference on the Law of the Sea) dimana Republik Indonesia ikut serta hadir Dalam penjelasan Undang-undang ini juga dinyatakan :Konvensikonvensi tersebut telah ditandatangani oleh Ketua Delegasi Republik Indonesia ke Konperensi Jenewa tersebut. Pertimbangan lain untuk meratifikasi ketiga konvensi ini adalah :Bahwa terhadap konvensi-konvensi sebagaimana dimaksud dalam sub 1 sudah sewajarnya Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi peserta. Sedangkan diratifikasinya ketiga konvensi ini melalui undang-undang dinyatakan secara tegas dalam pertimbangan :bahwa persetujuan mengenai ketiga konvensi Jenewa mengenai Hukum Laut itu perlu diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan :..Indonesia mempunyai kepentingan terhadap segala sesuatu yang mempunyai segi hukum laut. Menurut ketatanegaraan kita, persetujuan atas ketiga konvensi termaksud berdasarkan pasal 11 Undang-undang Dasar, memerlukan persetujuan dengan undang-undang. Berkaitan dengan upaya kegiatan pelayaran di laut khususnya penetapan jalur pelayaran di laut, pada tahun 1966 telah ditandatangani Konvensi Internasional mengenai Jalur Pelayaran(International Convention on Load Lines 1966). Oleh Pemerintah Indonesia konvensi ini telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 47/1976 tertanggal 2 November 1976. Konvensi ini merupakan hasil Conference on Load Lines. Hal ini dinyatakan dalam pertimbangan

Keputusan Presiden sebagai berikut :bahwa pada tanggal 3 Maret sampai dengan tanggal 5 April 1966, atas prakarsa Intergovernmental Maritime Consultative Organization, di London telah diselenggarakanInternational Conference on Load Lines yang menghasilkan International Convention on Load Lines, 1966. Indonesia sebagai salah satu anggota Intergovernmental Maritime Consultative Organization (Sekarang : IMO) tidak keberatan untuk menandatangani dan meratifikasi konvensi ini. Ratifikasi atas konvensi ini juga memperhatikan Konvensi Mengenai Keselamatan di Laut (Convention for the Safety Life at the Sea/SOLAS) 1960 yang telah diratifikasi. Hal ini dinyatakan dalam Keputusan Presiden sebagai berikut : Memperhatikan : 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 203 Tahun 1966. Pada tahun 1974, Konvensi Mengenai Keselamatan di Laut atau dikenal dengan SOLAS Convention 1960 diperbaharui dan diganti. Delegasi Indonesia dalam proses perundingan konvensi ini hadir dan turut menandatangani SOLAS Convention 1974. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Keputusan Presiden No. 65 Tahun 1980 tentang Pengesahan International Convention for the Safety of Life at Sea,1974 : bahwa sebagai pengganti International Convention for the Safety of Life at Sea, 1960, konperensi internasional tentang keselamatan jiwa di laut 1974 telah menghasilkan International Convention for the Safety of Life at Sea 1974, yang telah ditandatangani oleh delegasi pemerintah Republik Indonesia di London pada tanggal 1 November 1974. Seperti telah dinyatakan dalam pasal 25 Konvensi Laut Lepas 1958 yang menyatakan semua negara diminta untuk bekerjasama dalam mengambil tindakan terhadap pencemaran di laut, maka pada tanggal 29 November tahun 1969 di kota Brusel negara-negara IMO telah menandatangani suatu konvensi internasional. Konvensi ini bernama Konvensi Internasional Mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage). Delegasi Pemerintah Indonesia turut menandatangani konvensi ini seperti tercantum dalam ratifikasi atas konvensi ini yaitu melalui Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978 yang menyatakan : Membaca : a. bahwa sebagai hasil sidang International Legal Conference on Marine Polution Damage, di Brusel pada tanggal 29 November 1969, delegasi Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage.

Konvensi ini terdiri dari 21 pasal dan bertujuan untuk menjamin ganti rugi yang sesuai untuk seseorang yang menderita akibat pencemaran minyak di laut. Selain itu negara-negara harus bertanggungjawab terhadap pencemaran di laut yang dinyatakan dalam Keppres sebagai berikut : bahwa konvensi tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang pertanggungjawaban antar negara peserta konvensi atas pengotoran laut oleh minyak. Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan dan memiliki laut yang luas, maka kebutuhan akan suatu ketentuan hukum internasional mengenai pencemaran di laut menjadi sangat penting. Apalagi letak yang strategis yaitu di antara 2 benua dan 2 samudera serta banyak dilalui kapal-kapal dari negaranegara lain. Kebutuhan untuk meratifikasi konvensi ini menjadi semakin penting ketika kasus pencemaran minyak oleh kapal tanker Showa Maru yang mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu negara korban pencemaran. Sehingga hal ini menjadi pertimbangan penting untuk melindungi perairan Indonesia seperti dinyatakan dalam Keppres sebagai berikut : bahwa untuk mencegah pengotoran laut yang disebabkan oleh minyak di sepanjang perairan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengesahkan konvensi tersebut pada huruf a di atas.

Dua tahun kemudian pada tanggal 18 Desember 1971 negara-negara IMCO kembali mengadakan pertemuan di Brussels yang hasilnya menandatangani International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage. Konvensi ini juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978 tentang PengesahanInternational Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage. Dalam Keputusan Presiden ini dinyatakan : bahwa konvensi tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang ganti rugi yang diwajibkan kepada pemilik kapal yang menimbulkan pengotoran atau pencemaran di sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh minyak yang berasal dari kapal. Meningkatnya kegiatan perekonomian khususnya di bidang pengangkutan minyak melalui kapal-kapal tanker telah menimbulkan berbagai permasalahan baru. Seperti terjadinya pencemaran minyak akibat meningkatnya lalu lintas kapal-kapal tanker yang melewati perairan Indonesia. Hal ini juga telah menjadi bahan pertimbangan atas diratifikasinya konvensi tersebut yang dinyatakan :

bahwa karena lalulintas kapal-kapal tangki di sepanjang perairan Indonesia semakin meningkat yang mungkin dapat menimbulkan pengotoran minyak yang berasal dari kapal-kapal tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengesahkan konvensi tersebut pada huruf a di atas; Namun demikian pada tanggal 10 Maret 1998 ratifikasi konvensi ini dicabut oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978. Hal ini berkaitan dengan situasi perekonomian Pemerintah Indonesia yang sedang mengalami krisis. Hal ini tercantum dalam salah satu bagian pertimbangan yang menyatakan : bahwa keanggotaan Pemerintah Indonesia pada Convention tersebut pada huruf a telah dibebani kontribusi yang memberatkan Anggaran Negara. Dengan demikian alasan pokok atas pengunduran diri terhadap International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971 adalah alasan ekonomi. Kapal-kapal tanker maupun kapal-kapal lainnya dalam pengoperasiannya sering membuang balast yang menyebabkan terjadinya pencemaran di perairan. Karena itu untuk mengatur masalah pencemaran yang diakibatkan oleh pengoperasian kapal laut maka pada tahun 1973 di kota London telah ditandatangani Konvensi Internasional Mengenai Pencegahan Pencemaran yang Berasal dari Kapal(International Convention for the Prevention of Pollution from Ships). Lima tahun kemudian yaitu pada tanggal 17 Februari 1978 disetujui sebuah protokol dari konvensi ini yaitu Protocol of 1978 Relating to the International Convention for the Prevention of Pollution from Ships. Konvensi dan protokol ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978, merupakan hasil Konperensi mengenai Pencemaran di Laut dari kapalkapal (International Conference on Marine Pollution from Ships) dan Konperensi Internasional mengenai Keamanan Kapal Tanker dan Pencegahan Pencemaran (International Conference on Tanker Safety and Pollution Prevention). Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dan protokolnya melalui Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986 tertanggal 9 September 1986 tentang Pengesahan International Convention for the Prevention Pollution from Ships, 1973, beserta, Protocol of 1978 Relating to the International Convention for The Prevention of Pollution from Ships, 1973. Bagi Pemerintah Indonesia ratifikasi ini menjadi sangat penting karena merupakan upaya mencegah pencemaran di perairan Indonesia dan melindungi lingkungan laut di wilayah teritorial maupun di Zone Ekonomi Eksklusif. Hal ini dinyatakan dalam pertimbangan Keputusan Presiden di bawah ini : bahwa untuk menjaga kelestarian lingkungan laut dari bahaya pencemaran yang berasal dari pengoperasian kapal-kapal. Pemerintah Republik Indonesia

memandang perlu untuk ikut serta menjadi pihak di dalam konvensi beserta protokol tersebut.

Berkaitan dengan perkembangan hukum laut internasional, Pemerintah Indonesia kembali turut serta dalam berbagai perundingan mengenai dibentuknya suatu konvensi hukum laut internasional. Hingga pada akhirnya tanggal 10 Desember 1982 telah ditandatangani Konvensi PBB mengenai Hukum Laut(United Nations Convention on the Law of the Sea) atau yang disebut UNCLOS 1982. Konvensi ini pada tanggal 16 November 1994 telah memenuhi syarat ratifikasi (minimal 60 negara meratifikasi) sehingga dapat diberlakukan. Dari mulai ditandatangani konvensi ini hingga mencapai tahap diberlakukannya konvensi ini telah memakan jangka waktu yang cukup lama yaitu hampir 12 tahun. Hal ini disebabkan banyak konsep baru diatur di dalam konvensi ini seperti konsep negara kepulauan, perlindungan lingkungan laut, pembentukan Mahkamah Dasar Laut, Pembentukan Otorita Dasar Laut dll. Konvensi ini terdiri dari Pembukaan, 17 Bab, 320 Pasal, dan 9 Lampiran. Isi konvensi tersebut terdiri dari bab-bab yang mengatur masalah laut territorial dan zona tambahan, kemudian selat yang digunakan untuk pelayaran Internasional, serta mengenai negara kepulauan. Ada bab-bab lain yang mengatur Zona Ekonomi Eksklusif, landas Kontinen, laut lepas, dan masalah Rezim Pulau. Selain itu, konvensi mengatur mengenai laut teritorial atau setengah tertutup, hak negara tak berpantai untuk masuk ke dalam dan ke luar laut, serta masalah kebebasan melakukan transit. Adapula bab-bab yang mengatur masalah kawasan, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut, Riset Ilmiah Kelautan, Pengembangan dan Alih Teknologi Kelautan, serta mengenai Penyelesaian Sengketa. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tertanggal 31 Desember 1985. Berkaitan dengan peningkatan kerjasama internasional khususnya kerjasama selatan-selatan di bidang kelautan, maka pada tanggal 7 September 1990 di kota Arusha,Tanzania telah dibentuk suatu Organisasi Hubungan Kerjasama Lautan Hindia melalui suatu persetujuan yang dinamakan Agreement on the Organization for Indian Ocean Marine Affair Cooperation (IOMAC). Melalui Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1993 tertanggal 16 September 1993 persetujuan pembentukan organisasi ini telah diratifikasi. Ratifikasi atas persetujuan ini tercantum dalam pertimbangannya yang menyatakan : bahwa di Arusha, Tanzania pada tanggal 7 September 1990 Delegasi Republik Indonesia telah menandatangani Agreement on the Organization for Indian

Ocean Marine Affairs Cooperation(IOMAC) yang mengatur kerjasama masalah kelautan di Samudera Hindia.

POSISI GEOGRAFIS INDONESIA DAN POTENSI PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEPULAU SPRATLY
PENJELASAN SINGKAT TERKAIT PULAU SPRATLY
Kepulauan Spratly merupakan kepulauan yang berada di Laut Cina Selatan. Kepulauan ini berbatasan langsung dengan Negara Cina, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Letak Geografis kepulauan Spratly yang digambarkan oleh Dieter Heinzig adalah 4o LU 11o31 LU dan 109o BT -117o BT.[1] Kondisininya di dalam Kepulauan Spratly kebanyakan hanya merupakan gugusan karang. Wilayah ini merupakan batas langsung negara Cina dan Negara-negara ASEAN. Kepulauan Spratly terletak di sebelah Selatan Cina dan Taiwan, sebelah tenggara Vietnam, sebelah Barat Filipina, sebelah utara Indonesia, sebelah utara Malaysia dan Brunei Darussalam.[2] Kepulauan Spratly memiliki luas diperkirakan 244.700 km2 yang terdiri dari sekitar 350 Pulau.[3] Pulau-pulau yang terdapat di area tersebut tidak berpenghuni dan relatif tidak ada aktivitas ekonomi di daratannya. Kepulauan Spratly mempunyai cadangan minyak dan gas bumi yang cukup berlimpah. Penemuan minyak dan gas bumi pertama di kepulauan ini adalah pada tahun 1968. Menurut data The Geology and Mineral Resources Ministry of the People's Republic of China (RRC) memperkirakan bahwa kandungan minyak yang terdapat di kepulauan Spratly adalah sekitar 17,7

miliar ton (1,60 10 10 kg).[4] Fakta tersebut menempatkan Kepulauan Spratly sebagai tempat tidur cadangan minyak terbesar keempat di dunia.

*GAMBR LETAK KEPULAUAN SPRATLY[5]

POTENSI PULAU SPRATLY YANG MENYEBABKAN SENGKETA


Letak strategis lintas laut kapal dan kekayaan sumber daya alam lainnya seperti ikan menjadi faktor yang juga sangat mempengaruhi sengketa dan konfilk diantara negara-negara bersengketa. Kapal-kapal penangkap ikan yang menangkap ikan disana menjadi salah satu penyebab konflik akibat

perbedaan pemahaman dan prinsip antara beberapa negara yang mengklaim wilayah tersebut. Setidaknya ada 6 negara yang mengklaim wilayah kepulauan Spratly yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam. Kelima negara diatas (enam negara tersebut kecuali Brunei Darussalam) mempunyai klaim dan penamaan terhadap pulau-pulau di kepulauan Spratly, sementara Brunei Darussalam hanya mengklaim wilayah laut di Kepulauan Spratly sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif negara tersebut.[6] Karena besarnya ptensi pulau ini menyebabkan konflik atas klaim dari negara negara yang telah di sebutkan di atas. Proses klaim setidaknya telah dilancarkan sejak tahun 1947. Ialah Pemerintah Republik Rakyat Cina yang pertama kali mengklaim Laut Cina Selatan dengan membuat peta resmi yang tidak hanya mengklaim pulau-pulau, tetapi juga memberi tanda sebelas garis putusputus di seputar wilayah Laut Cina Selatan.[7] Dari sini lah sengketa perebutan terhadap pulau ini di mulai.

FAKTA HUKUM TERKAIT KEPULAUAN SPRATLY


Kepulauan Spratly merupakan kepulauan yang berada di Laut Cina Selatan dengan letak geografis 4o LU 11o31 LU dan 109o BT -117o BT. Kepulauan Spratly memiliki luas diperkirakan 244.700 km2 yang terdiri dari sekitar 350 Pulau dimperkirakan bahwa kandungan minyak yang terdapat di kepulauan Spratly adalah sekitar 17,7 miliar ton (1,60 10 10 kg) yang merupakan cadangan minyak terbesar keempat di dunia kawasan kepulauan ini merupakan kawasan lintas laut yang sangat strategis sehingga mampu mendukung perekonomian negara. Karena letak yang strategis dan memiliki sumberdaya yang hebat, maka kepemilikan pulau ini memicu sengketa antara Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Mengenai penamaan kepulauan Spratly, Filipina menyebutnya Kalayaan (tanah kebebasan), Vietnam menamainya Dao Truong Sa, sedangkan Cina menyebutnya Nansha Qundao. Perbedaan nama dimaksudkan agar kepulauan tersebut terisyaratkan sebagai milik negara yang memberikan nama.[8]

Kapal-kapal penangkap ikan yang menangkap ikan disana menjadi salah satu penyebab konflik akibat perbedaan pemahaman dan prinsip antara beberapa negara yang mengklaim wilayah tersebut.[9]

Proses klaim setidaknya telah dilancarkan sejak tahun 1947. Ialah Pemerintah Republik Rakyat Cina yang pertama kali mengklaim Laut Cina Selatan dengan membuat peta resmi yang tidak hanya mengklaim pulau-pulau, tetapi juga memberi tanda sebelas garis putus-putus di seputar wilayah Laut Cina Selatan. Meskipun cina belum melakukan pendudukan.

Klaim CINA
Negara yang sejak dulu melakukan pendudukan antara lain Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Taiwan.[10] Klaim yang dilakukan Cina adalah atas dasar sejarah. Memang secara geografis jarak antara RRC dengan kepulauan Spratly sangat jauh dan tidak terjangkau dengan menggunakan konsep landas kontinen dan ZEE. Tetapi Cina melakukan klaim terhadap gugusan pulau di kepulauan Spratly atas dasar sejarah.[11] Selain itu, argumen itu didukung dengan fakta-fakta sejarah diantaranya penemuan bukti-bukti arkeologis Cina dinasti Han (206-220 SM)[12] sekitar tahun 1988 Cina melakukan Ekspansi ke kepulauan Spratly. Ekspansi dilakukan dengan mengadakan instalasi militer secara besar-besaran pada kepulauan Spratly. Pada tahun ini pula tercatat konflik Cina-Vietnam dimana pada saat itu terjadi pendudukan di kepulauan Spratly dan Paracel dengan mengusir paksa Vietnam. Hal ini semakin diperkuat dengan upaya de jure yaitu dengan menerbitkan UU tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone yang memasukkan Kepulauan Spratly sebagai wilayahnya.[13]

Berbagai upaya yang dicoba oleh cina diantaranya adalah perjanjian bilateral, dan perjanjian multilateral

Klaim TAIWAN
Klaim dibuktikan dengan pendudukan pada tahun 1956 di kepulauan Spratly. Sebelumnya pada tahun 1947 Taiwan telah menerbitkan peta wilayah yang memasukkan Kepulauan Spratly di dalam wilayahnya. Salah satu klaimnya adalah pulau terbesar di kepulauan tersebut yaitu pulau Itu ABA alias Taiping Island.[14]

Klaim VIETNAM
Vietnam menyatakan pendudukan terhadap pulau Spratly dan Paracel sudah dimulai pada abad 17. Selain itu ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa wilayah tersebut masuk ke dalam wilayah distrik Binh Son Vietnam. Vietnam Selatan menegaskan haknya atas kepulauan Spratly dalam konferensi San Francisco. Kemudian Vietnam mulai menyatakan pemilikannya atas Kepulauan Spratly pada tahun 1975 dengan menempatkan tentaranya di 13 pulau di Kepulauan tersebut.[15]

Klaim FILIPINA
Filipina mulai menduduki kepulauan Spratly diawali pada tahun 1970. Prinsip utama yang digunakan dalam klaim Filipina adalah Res Nullius. Filipina berpendapat klaim mereka Res nullius karena tidak ada kedaulatan efektif atas pulau-pulau sampai tahun 1930 ketika Perancis dan kemudian Jepang mengambil alih pulau. Ketika Jepang meninggalkan kedaulatan mereka atas pulau-pulau sesuai dengan Perjanjian San Francisco , ada pelepasan hak atas pulau-pulau tanpa penerima khusus.[16]

Klaim MALAYSIA
Pada tahun 1977 Malaysia melakukan klaim terhadap kepulauan Spratly atas dasar peta Batas Landas Kontinen. Memang secara jelas bahwa Sebagian wilayah kepulauan Spratly masuk ke dalam

wilayah landas kontinen Malaysia. Selain itu Malaysia pun melakukan upaya-upaya lain seperti pendudukan, klain serta penamaan terhadap gugusan pulau di kepulauan spratly. Pada 4 September 1983 Malaysia mengirim sekitar 20 Pasukan Komando ke Terumbu Layanglayang, dan pada tahun yang sama Malaysia melakukan survey dan kembali menyatakan bahwa kepulauan tersebut berada di perairan Malaysia. Hingga saat ini penguatan basis militer di pulaupulau tersebut semakin gencar dilakukan mengingat kencangnya upaya klaim dari negara lain terutama Cina.

Klaim BRUNEI DARUSSALAM


Brunei melakukan klaim atas dasar konsep ZEE dimana sebagian wilayah dari kepulauan Spratly masuk dalam ZEE Brunei Darussalam. Klaim yang dilakukan Brunei bukan terhadap gugusan pulau tetapi hanya pada wilayah laut kepulauan Spratly. Brunei merupakan satu-satunya negara yang menahan diri untuk klaim dan pendudukan militer di wilayah gugusan kepulauan spratly.[17]

CONTOH KASUS YANG HAMPIR SERUPA

Sehubungan dengan sengketa terhadap perebutan wilayah ini, kasus hampir serupa adalah sengketa kepulauan sipadan dan ligitan antara Indonesia VS. Malaysia. Yang mana, kronologis[18] kasusnya Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang

terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.

POSISI IDEAL INDONESIA DALAM PENYELESIAIAN SENGKETA

Indonesia harus berperan sebagai mediator, dalam hal menyelesaikan sengketa yang telah berlarut-larut ini. Sebelum ini, Upaya penyelesaian sengketa sudah lama dilakukan, namun sengketa masih saja berlanjut hingga sekarang. Akibatnya banyak terjadi konflik antara negara bersengketa.

Upaya yang dapat dilakukan dan sudah dilakukan antara lain perjanjian bilateral, perjanjian multilateral dan perjanjian pengelolaan minyak dan gas bumi secara bersama. Artinya penyelesaian dengan cara diplomatis bukan jawaban disini. Karena sudah terbukti berbagai perjanjian bilateral dan multirateral sudah di lakukan tapi tetap saja konflik bisa terjadi. Sebenarnya DK (Dewan Keamanan) PBB bisa saja ikut andil dalam sengketa ini, mengingat konflik yang terjadi antar negara berpotensi mengganggu perdamaian dunia internasional[19]. Akan tetapi perlu di ingat, bahwa Cina adalah salah satu permanen member dari DK. Maka ia akan senantiasa memveto jika resolusi yang keluar tidak menguntungkan Cina. Sudah barang pasti hal ini sulit di lakukan. Karena tarik ulur kepentingan sangat berat disini. Menurut penulis, hal yang paling mungkin di lakukan oleh penulis sebagai mediator adalah mengajak negara-negara bersengketa duduk bersama, merunut masalah dari awal sampai dengan banyaknya konflik-konflik terjadi, dan merekomendasikan sengketa ini di selesaikan oleh ICJ. Jadi Goal Setting dari pada mediasi tersebut bukanlah memutuskan kepemilikan dari kepulauan spratly tersebut, melainkan para negara secara lapang dada menyerahkan perkara ini ke ICJ. Cuma lewat ICJ yang paling rasional menurut penulis untuk menghalau konflik yang kerap terjadi. Karena putusan ICJ final and bainding maka apapun keputusanya punya kekuatan eksekutorial yang kuat dan konflik cenderung terhindari.

SEKIAN

Dieter Heinzig dalam Konflik Laut CIna Selatan, http://johnpau.wordpress.com/2010/11/09/91 diakses tanggal 5 juni 2012 pukul 22.34
[1]

Blog hidayat purnama putra uraian konflik kepulauan spradly di akses melalui http://hidayatpratama.blogspot.com/2012/03/uraian-singkattentang-kepulauan.html tanggal 5 juni 2012 pukul 22.35
[2]

Mukhammad Endry Saputra, DIplomasi Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik di Kepulauan Spratly. http://esaputraangkasa.blogspot.com/2011/07/diplomasisebagai-upaya-penyelesaian.html diakses tanggal 5 juni 2012 pukul 22.39
[3]

Wikipedia, Spratly islands dispute, http://en.wikipedia.org/wiki/Spratly_Islands_dispute 5 juni 2012 pukul 23.12


[4] [5] [6] [7]

Di akses di www.google.com Ibid. Blog Hidayat Purnama putra

Yulia Permatasari, Skripsi: Aspek Politik dan Keamanan dalam Konflik di Laut Cina Selatan. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/120 4/SKRIPSI%20BAB%20I%20-%20V.docx?sequence=2, 5 juni 2012 pukul 23.40 R.M. Jerry Indrawan, Konflik Kepulauan Spratly, diunduh dari http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauanseparatly.html, 5 juni 2012 pukul 00.02 WIB
[8] [9]

Ibid. Blog hidayat purnama putra Ibid. Ibid.

[10] [11] [12]

Wenaldy Andarisma, Konflik Laut CIna Selatan, http://irjournal.webs.com/apps/blog/show/4113964 5 juni 2012 pukul 01.02 WIB
[13] [14] [15] [16]

Loc.cit Mukhammad Endry Saputra Ibid. Blog hidayat purnama putra Ibid. WIKIPEDIA.COM

[17] [18]

Loc.cit Mukhammad Endry Saputra

Sengketa sipadan dan ligitan http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitandi aks es pada tanggal 6 juni pukul 15.00 WIB Dilihat lagi di pasal 39 UN CHARTER. Terkait wewenang Dewan Keamanan PBB
[19]

Sumber: http://elmosamanta.blogspot.com/2012/10/posisi-ideal-indonesiadalam.html#ixzz2JtGPUBbp

Contoh Perjanjian multilateral 1.Perjanjian multilateral se-Asean di bidang penanggulangan bencana pada tahun 2011
Pertemuan multilateral para Kasad/Panglima Angkatan Darat (AD) se Asean tahun 2011 ini diselenggarakan di Hotel Sultan Jakarta (26/10/2011). Pertemuan yang ke 12 ini dihadiri oleh 10 negara anggota yaitu Indonesia, Singapore, Malaysia, Thailand, Myanmar, Burma, Kambodja, Vietnam, Singapore, dan Malaysia. Penandatanganan kerjasama bantuan bagi negara anggota yang mengalami musibah disepakati untuk memberikan dengan tulus tanpa disertai kepentingan negara pemberi bantuan ditandatangani oleh seluruh Kepala Staf Angkatan Darat/Panglima se-Asean Kepala Staf Angkatan Darat TNI Jend Pramono Wibowo Edhie dalam prescon mengatakan, Dalam rangka kerjasama multilateral atau komunikasi angkatan darat se Asean dibidang penanggulangan bencana alam adalah kegiatan rutin yang telah diadakan selama ini sebanyak 12 kali, kataPramono. Pramono melanjutkan, Dari beberapa pembicaraan dan diskusi pada acara ini dapat disimpulkan bahwa semua bencana yang kita alami selama ini adalah sama yaitu korban manusia dan materiil, telah diambil kesepakatan dalam peningkatan kerjasama dan penetapan SOP (Standard Procedure Operational ) agar lebih muda peneterapannya di lapangan, terangnya. Karena itu langkah cepat harus diambil misalnya untuk korban banjir, tsunami, gempa bumi yang selalu menimbukan kerugian yang besar. Dan saat ini, Angkatan Darat se-Asean memiliki aset perlengkapan dimana setiap personil dapat menggunakannya untuk operasi militer dalam penanggulangan bencana di Asean. Dalam penandatanganan ini disepakati segera membuat sebuah organisasi untuk mewadahinya yang mengatur apa yang harus dilakukan, bagaimana cara komunikasinya, sehingga apabila terjadi bencana di salah satu anggota dapat dilakukan bantuan tanpa prosedur yang rumit. Reaksi cepat pun harus dilakukann tanpa berpatok pada peraturan bersifat formal tapi informal pun telah disepakati bersama. Saya memuji semangat persatuan anggota dan kesepakatan selanjutnya bantuan kemanusiaan penanggulangn bencana tidak boleh diikuti oleh kepentingan masing-masing negara artinya harus memberikan bantuan dengan tulus, ujar Pramono. Pertemuan multilateral ini juga akan dibarengi dengan kegiatan lomba menembak angkatan darat seAsean yang akan diadakan Kamis, (27/10/11) di Cilodong Jawa

2.Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut


Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (Bahasa Inggris:United Nations

Convention on the Law of the Sea) disingkat (UNCLOS), juga disebut Konvensi Hukum Laut atau
Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke 60 untuk menandatangani perjanjian [1] Untuk saat ini telah 158 negara dan Masyarakat Eropa telah bergabung dalam Konvensi. Sedangkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi dan aksesi dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan dukungan untuk pertemuan negara pihak Konvensi, PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan Konvensi. Ada, bagaimanapun, peran yang dimainkan oleh organisasi-organisasi seperti Organisasi Maritim Internasional, Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional, dan Otorita Dasar laut Internasional (yang terakhir yang didirikan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Anda mungkin juga menyukai