Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

Prostat merupakan salah satu organ genitalia pria yang merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari jaringan glandular dan stroma fibromukular. Prostat terletak dibawah kandung kemih. Pembesaran kelenjar prostat akan menyebabkan uretra pars prostatika menjadi menyempit dan akan menghambat aliran dari urin dari kandung kemih.1,2 Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah proses patologis yang memberikan kontribusi, tapi bukan satu-satunya penyebab, dari timbulnya gejala pada saluran kemih bagian bawah pada pria usia lanjut.1 Pembesaran kelenjar prostat dianggap sebagai bagian dari proses pertambahan usia. Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai Benign prostate hyperplasia (BPH) dialami oleh sekitar 20% pada pria usia 41-50, menjadi 50% pada pria usia 51-60, dan sampai >90% pada pria diatas usia 80. Meski bukti klinis dari penyakit lebih jarang muncul, gejala obstruksi prostat juga berkaitan dengan usia. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria dilaporkan mengalami gejala obstruksi.2 Sebelumnya beberapa ide menyatakan bahwa gejala klinis BPH hanya karena peningkatan massa yang terkait dengan resistensi pada uretra. Sekarang jelas bahwa sebagian besar LUTS adalah karena disfungsi detrusor yang berkaitan dengan usia dan kondisi lain seperti poliuria, tidur gangguan, dan berbagai kondisi medis sistemik terkait dengan prostat dan kandung kemih.1 Gejala berkemih telah berhubungan dengan obstruksi dari kandung kemih. Namun, diakui juga bahwa gejala berkemih berkorelasi dengan patofisiologi yang mendasari. Gejala yang sama juga dapat ditimbulkan oleh bentuk obstruksi lainnya, seperti striktur uretra atau, oleh penurunan fungsi dari saluran kemih bagian bawah dalam keadaan gangguan kontraktilitas detrusor.1 Hal ini telah menunjukkan bahwa, meskipun umum nya LUTS berhubungan dengan obstruksi kandung kemih (BOO) sebagai akibat dari obstruksi prostat jinak (BPO), yang sering dikaitkan dengan pembesaran prostatic hyperplasia (BPE) akibat kondisi histologis BPH. Sebagai contoh, wanita juga dapat mengalami gejala berkemih.1

Terapi untuk BPH ini dibagi berdasarkan terapi medikamentosa dan terapi operatif. Pemilihan terapi didasarkan pada komplikasi yang diderita pasien, sarana atau ketersediaan alat untuk operasi dan juga bergantung pada pilihan dari pasien.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.

Anatomi Prostat Berat prostat normal adalah 18 gram, ukuran panjang 3 cm, lebar 4 cm dan kedalaman 2 cm dan menempel pada uretra pars prostatika. Prostat mendapatkan suplai darah melalui arteri prostatika yang merupakan percabangan dari arteri iliaka interna yaitu arteri rektalis media dan arteri vesicalis inferior. Drainase vena melalui kompleks vena dorsal yang menerima vena dorsalis dalam penis dan dari percabangan vesika sebelum masuk ke vena iliaka interna. Inervasi dari saraf simpatis dan parasimpatis kelenjar prostat berasal dari plexus pelvivalis melalui nervus kavernosus.

2.

Insidensi dan Epidemiologi BPH adalah tumor jinak yang paling umum terjadi pada pria, dan insidensinya terkait dengan usia. Prevalensi histologi BPH pada kajian autopsi meningkat dari sekitar 20% pada pria usia 41-50, menjadi 50% pada pria usia 51-60, dan sampai >90% pada pria diatas usia 80. Meski bukti klinis dari penyakit lebih jarang muncul, gejala obstruksi prostat juga berkaitan dengan usia. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria dilaporkan mengalami gejala obstruksi. Pada usia 75, 50% pria mengeluhkan peningkatan usaha berkemih dan kaliber sistem urin mereka. Faktor risiko pada perkembangan BPH belum dimengerti seutuhnya, beberapa kajian mengemukakan predisposisi genetik, dan beberapa

menyatakan perbedaan ras. Sekitar 50% pria dibawah usia 60 yang menjalani pembedahan untuk BPH dapat mewariskan penyakit ini. Bentuk yang paling sering adalah autosomal dominan, dan keluarga pria derajat pertama dari pasien seperti ini diperkirakan dapat memiliki peningkatan risiko relatif.

3.

Etiologi Histopatologi BPH ditandai dengan peningkatan jumlah sel epitel dan stroma di daerah periurethral prostat dan dengan demikian tepat disebut sebagai hiperplasia dan bukan hipertrofi, istilah sering ditemukan dalam

literatur lama. Pada pengamatan kelenjar epitel baru, pembentukan biasanya terlihat hanya pada perkembangan janin dan memberikan potensi induktif dari peningkatan konsep kebangkitan embrional dari sel stroma.1 Penyebab pasti secara molekuler dari proses hiperplastik ini tidak pasti. Peningkatan jumlah sel kemungkinan karena proliferasi epitelial dan stroma atau gangguan kematian sel menyebabkan akumulasi sel.1 Etiologi BPH tidak benar-benar dipahami, tetapi tampaknya

multifaktorial dan dikendalikan oleh endokrin. Prostat terbentuk dari elemen epitel dan stroma, yang masing-masing, secara sendiri ataupun bersamaan, dapat meningkatkan hiperplasi nodul dan gejala yang berhubungan dengan BPH.2 Androgen, estrogen, interaksi stroma-epitel, pertumbuhan faktor, dan neurotransmitter mungkin memainkan peran, baik secara tunggal atau kombinasi, dalam penyebab proses hiperplastik.1

Diagram yang menunjukkan hubungan antara hiperplasia histologis dari (BPH), saluran kemih prostat lebih rendah gejala (LUTS), pembesaran prostat jinak (BPE), dan obstruksi kandung kemih (BOO). (Dari Roehrborn CG. Patologi benign prostatic hyperplasia. int J Impot Res 2008; 20 [Suppl. 3]: S11-8).

HIPERPLASIA Dalam organ tertentu, jumlah sel, dan volume organ, tergantung pada keseimbangan antara proliferasi sel dan kematian sel. Organ dapat

memperbesar tidak hanya dengan peningkatan proliferasi sel tetapi juga oleh penurunan kematian sel. Meskipun androgen dan faktor pertumbuhan merangsang proliferasi sel secara ekperimental, hubungan proliferasi sel pada BPH manusia dipertanyakan karena tidak ada bukti yang jelas proses proliferasi aktif. Meskipun ada kemungkinan bahwa fase awal BPH berhubungan dengan proliferasi sel yang cepat, pada penyakit ini dipertahankan dengan cara menyamakan atau mengurangi tingkat replikasi sel. Peningkatan ekspresi gen antiapoptosis (misalnya, Bcl2) mendukung hipotesis ini. Androgen tidak hanya diperlukan untuk proliferasi dan differensiasi sel normal di prostat tetapi juga secara aktif menghambat kematian sel (Isaacs, 1984). Hormon berpengaruh atas sel induk, tidak hanya pada usia lanjut tetapi juga selama perkembangan embrio dan neonatal.

PERANAN ANDROGEN Meskipun androgen tidak menyebabkan BPH, perkembangan BPH membutuhkan kehadiran androgen selama pertumbuhan prostat, pubertas, dan penuaan. Pasien dikebiri sebelum pubertas atau yang dipengaruhi oleh berbagai penyakit genetic yang mengganggu kerja atau produksi androgen tidak mengalami BPH. Hal ini juga diketahui bahwa tingkat dari

dihidrotestosteron (DHT) serta reseptor androgen (AR) tetap tinggi pada proses penuaan meskipun fakta bahwa tingkat testosteron perifer menurun.

4.

Patologi Pembesaran nodul BPH di zona transisi, terjadi penekanan zona luar prostat, sehingga terbentuk formasi yang disebut kapsul bedah. Batas ini memisahkan zona transisi dan perifer dan bertindak sebagai celah untuk enukleasi prostat selama dilakukannya prostatektomi terbuka sederhana untuk BPH. McNeal telah mempopulerkan konsep zona anatomis prostat. Telah ditentukan zona yang jelas. Zona perifer menempati 70 % volume dari prostat dewasa muda, zona sentral menempati 25 %, dan zona transisi menempati sebeanyak 5%. Zona anatomis tersebut memiliki sistem pembuangan yang baik, tetapi berbeda perjalanannya pada proses neoplasma. Enam puluh sampai tujuh puluh persen karsinoma prostat (CaP) berasal dari zona perifer,

10-20% dari zona transisi, dan 5-10% dari zona sentral. Benigna prostat hiperplasia (BPH) secara seragam berasal dari zona transisi.

5.

Patofisiologi Gejala BPH dapat dikaitkan dengan komponen obstruksi prostat maupun respon sekunder dari resistensi kandung kemih. Obstruksi komponen dapat dibagi menjadi obstruksi dinamis dan mekanis. Dengan membesarnya prostat, obstruksi mekanis dapat terjadi karena intrusi dari lumen uretra atau leher kandung kemih, sehingga terjadi resistensi kandung kemih yang lebih besar. Merujuk kepada klasifikasi zona dari prostat sendiri, para urolog seringkali menyebut dengan 3 lobus prostat, yang

disebut 1 medial, dan 2 lateral. Ukuran prostat pada pemeriksaan rektal digital (DRE) berhubungan buruk dengan gejala yang muncul karena lobus median belum siap dipalpasi. Komponen dinamis dari obstruksi prostat menjelaskan bermacam gejala alami yang dirasakan oleh pasien. Stroma prostat, tersusun atas otot polos dan kolagen, kaya akan sokongan syaraf adrenergik. Tingkat stimulasi otonom memberikan tonus kepada uretra prostat. Penggunaan terapi alphablocker menurunkan tonus tersebut sehingga menyebabkan penurunan resistensi outlet. Keluhan nyeri berkemih (lihat bawah) pada BPH terjadi karena respon sekunder kandung kemih terhadap peningkatan resistensi outlet. Obstruksi kandung kemih menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi otot detrusor dan juga deposisi kolagen. Meskipun yang terakhir disebut lebih bertanggung jawab atas penurunan tahanan kandung kemih, instabilitas detrusor juga merupakan salah satu faktor. Pada inspeksi besar, penebalan simpul otot detrusor terlihat seperti trabekulasi pada pemeriksaan sistoskopi. Jika dibiarkan tidak diperiksa, herniasi mukosa antara simpul otot detrusor akan menyebabkan bentuk divertikel (disebut divertikel palsu yang tersusun hanya dari mukosa dan serosa).

6.

Temuan Klinis A. Gejala

Gejala BPH dapat dibagi menjadi keluhan obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi mencakup hesitansi, penurunan kemampuan dan kaliber pancuran, sensasi pengosongan kendung kemih yang tidak lampias, keinginan berkemih lebih dari satu kali (berkemih untuk kedua kalinya dalam 2 jam setelah berkemih yang pertama kali), tahanan berkemih, dan menetes diakhir. Gejala iritasi mencakup urgensi, frekuensi, dan nokturia. Kuisioner isian sendiri yang dikembangkan oleh American Urological Association (AUA) adalah valid dan dapat diandalkan dalam identifikasi kebutuhan penanganan pasien dan dalam meninjau respon terapi. Kuisioner skor gejala oleh AUA (Tabel 1) mungkin adalah satu-satunya alat yang paling berguna untuk mengevaluasi pasien dengan BPH dan disarankan untuk semua pasien sebelum memulai terapi. Pengerjaan berfokus pada 7 pertanyaan untuk menentukan kuantitas keparahan keluhan obstruksi atau iritasi yang mereka alami pada skala 0-5. Sehingga, skor dapat memiliki rentang 0- 35. Skor gejala 0- 7 dikatakan ringan, 8- 9 dikatakan sedang, dan 20- 35 dikatakan berat. Distribusi skor relatif pada pasien BPH dan subjek kontrol, diperkirakan, 20% dan 83% pada mereka dengan skor ringan, 57% dan 15% pada mereka dengan skor sedang, dan 23% dan 2% pada mereka dengan skor berat (McConnell et al, 1994). Riwayat lengkap yang menitikberatkan pada traktus urinarius tidak termasuk penyebab lain yang mungkin tidak disebabkan oleh prostat, seperti infeksi traktus urinarius, kendung kemih neurogenik, striktur uretra, dan kanker prostat.

B.

Tanda Pemeriksaan fisik, DRE, dan pemeriksaan neurologis terpusat

dilakukan

terhadap

semua

pasien.

Ukuran

dan

konsistensi

prostat

diperhatikan, meskipun ukuran prostat, sebagaimana menurut DRE, tidak berhubungan dengan dengan keparahan gejala ataupun derajat obstruksi. BPH biasanya menyebabkan pembesaran prostat elastis, teraba, dan lunak. Jika terdapat indurasi, dokter harus mewaspadai adanya kanker dan perlu evaluasi lebih lanjut (misalnya prostat spesific antigen [PSA], transrectal ultrasound [TRUS], dan biopsi).

C.

Temuan Laboratorium Urinalisis perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi

atau hematuria dan penghitungan kreatinin serum guna meninjau fungsi ginjal. Insufisiensi renal dapat ditemukan pada 10% pasien dengan pencitraan prostat dan saluran atas. Pasien dengan insufisiensi renal berada pada peningkatan risiko berkembangnya komplikasi postoperasi pembedahan intervensi untuk BPH. Serum PSA dipertimbangkan sebagai pilihan, tetapi kebanyakan dokter akan memasukkannya pada pemeriksaan awal. PSA, jika dibandingkan dengan DRE sendiri, pasti meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi CaP, tetapi kerena masih banyaknya tumpang tindih diantara level yang terlihat pada BPH dan CaP, sampai saat ini penggunaannya masih dianggap kontroversional.

D.

Pencitraan Pencitraan saluran atas (pielogram intravena atau ultrasound ginjal)

hanya direkomendasikan jika ada keterlibatan penyakit traktus urinarius atau komplikasi dari BPH (misalnya hematuria, infeksi saluran kemih, insufisiensi renal, riwayat penyakit batu).

E.

Sistoskopi Sistoskopi tidak disarankan untuk menentukan kebutuhan penanganan,

tetapi dapat mendampingi dalam pemilihan pendekatan bedah pada pasien yang memilih terapi invasif.

F.

Uji Tambahan Sistomerogram dan tampilan urodinamik dibutuhkan untuk pasien-

pasien dengan dugaan penyakit neurologis atau mereka yang telah gagal dalam operasi prostat. Pengukuran aliran, residu urin setelah berkemih, dan tekanan aliran dinilai sebagai pilihan.

Tabel Kuisioner skor gejala American Urological Association

7.

Diagnosis Banding Kondisi obstruksi saluran urin bawah lainnya, seperti striktur uretra, kontkraktur leher kandung kemih, batu saluran kemih, atau CaP harus dipikirkan saat mengevaluasi pria dengan dugaan BPH. Riwayat instrumentasi uretra sebelumnya, uretritis, maupun trauma harus dipikirkan kearah adanya kemungkinan striktrur uretra atau kontraksi otot kandung kemih. Hematuria dan nyeri umumnya dihubungkan dengan batu kandung kemih. CaP dapat dideteksi dari abnormalitas DRE atau peningkatan level PSA. Infeksi saluran kemih, yang mana dapat menyerupai gejala iritasi BPH, dapat dikenali melalui urinalisa dan kultur; meskipun begitu, infeksi saluran kemih juga dapat merupakan komplikasi dari BPH. Meskipun keluhan iritasi saat berkemih juga dikaitkan dengan karsinoma kandung kemih, terutama carcinoma in situ, urinalisa umumnya menunjukkan bukti adanya hematuria. Pasien dengan kelainan kandung kemih neurogenik dapat memiliki banyak tanda dan gejala dari BPH, tetapi dapat juga diikuti riwayat penyakit neurologis, stroke, diabetes mellitus, maupun cedera tulang punggung. Sebagai tambahan, pemeriksaan dapat menunjukkan penurunan sensasi ekstremitas bawah atau perineal atau pengalihan tonus sfingter rektalis atau refleks bulbokavernosa. Pengalihan simultan pada fungsi usus (konstipasi) dapat dijadikan penanda adanya kemungkinan yang asalnya neurologik.

8.

Pengobatan Setelah pasien dievaluasi, mereka harus diberitahu mengenai pilihan terapi BPH yang bervariasi. Dapat disarankan kepada pasien agar berkonsultasi dengan dokternya untuk dapat membuat keputusan yang telah dipikirkan berdasarkan keuntungan relatif dan efek samping dari pilihan penanganan tersebut. Rekomendasi penanganan spesifik dapat disarankan untuk pasienpasien tertentu. Bagi mereka yang dengan gejala ringan (skor gejala 0-7), hanya disarankan perhatian yang seksama. Pada akhir spektrum terapi yang lain, indikasi pembedahan absolut mencakup retensi refraktori urin (gagal dalam setidaknya satu percobaan pelepasan kateter), infeksi saluran kemih berulang akibat BPH, gross hematuria berulang karena BPH, batu kandung

kemih karena BPH, insufisiensi renal karena BPH, atau diverkel kandung kemih luas. Watchful Waiting Sangat sedikit sekali riwayat alami BPH yang dilaporkan. Risiko progresi atau komplikasi tidak dapat dipastikan. Meski begitu, pada pria dengan BPH simtomatik, jelas bahwa progresi tidak dapat dihindari dan beberapa pria mengalami perkembangan spontan atau resolusi dari gejala yang mereka alami. Kajian retrospektif terhadap riwayat alami BPH seringkali menjadi bias terkait pilihan pasien serta tipe dan lamanya tindak lanjut. Sangat sedikit uji prospektif yang mengalamatkan riwayat alami BPH yang perah dilaporkan. Akhir-akhir ini, kajian acak luas yag membandingkan finasterida dengan placebo pada pria dengan gejala BPH sedang sampai berat dan pembesaran prostat pada DRE (McConnell et al, 1998). Pasien dengan plasebo memiliki 7% risiko mengalami retensio urin dalam 4 tahun kedepan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perhatian yang seksama merupakan tatalaksana yang memadai untuk pria dengan skor gejala ringan (07). Pria dengan gejala sedang atau berat dapat juga melaksanakan metode ini jika menginginkannya. Belum ada interval optimal untuk tindak lanjut maupun titik akhir spesifik untuk intervensi yang telah ditetapkan.

A.

B.

Terapi Medis

1. Alpha-bloker Prostat manusia dan dasar kandung kemih mengandung

adrenoreseptor alpha- 1, dan prostat menunjukkan respon kontraktil dalam merespon agonis. Bagian kontraktil dari prostat dan leher kandung kemih tampak dimediasi sejak awal oleh reseptor subtipe alpha- 1a. Blokade alpha telah menunjukkan hasil baik pada derajat objektif maupun subjektif dalam perkembangannya pada tanda dan gejala BPH di beberapa pasien. Alpha blocker dapat diklasifikasikan menurut pemilihan reseptornya dan juga waktu paruhnya (Tabel 22-2).

Kemanjuran phenoxybenzamine dan prazosin telah dibandingkan terhadap perbaikan gejalanya, tetapi efek samping dari phenoxybezamine terlihat lebih besar, terkait dengan kurangnya spesifitas reseptor alpha sehingga tidak digunakan pada pasien BPH. Dosis titrasi diperlukan dengan prazosin, dengan tipikal terapi dimulai dari 1 mg sebeum tidur selama 3 malam, kemudian dilanjutkan menjadi 1 mg dua kali sehari, lalu titrasi dilanjutkan 2 mg dua kali sehari jika diperlukan. Pada dosis yang lebih tinggi, diamati sedikit peningkatan perbaikan gejala dan perburukan efek samping. Efek samping umumnya mencakup hipotensi ortostatik, pusing, kelelahan, ejakulasi retrograde, rhinitis, dan nyeri kepala. Alpha blocker kerja panjang memungkinkan pemberian dosis satu kali sehari, namun tetap diperlukan dosis titrasi. Terazosin dimulai 1 mg sekali sehari selama 3 hari dan ditingkatkan menjadi 2 mg perhari selama 11 hari dan sampai 5mg/ hari. Dosis dapat dtingkatkan sampai 10 mg/ hari jika diperlukan. Terapi dengan doxazosin dimulai dari 1mg perhari selama 7 hari dan dinaikkan menjadi 2 mg perhari selama 7 hari, lalu sampai 4 mg perhari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 8 mg/ hari jika diperlukan. Efek samping yang timbul serupa dengan mereka yang diberikan prasozin. Terapi alpha blocker andalan terbaru yang terkait dengan identifikasi subtipe reseptor alpha 1. Reseptor blokade selektif alpha-1a yang terlokalisir di prostat dan leher kandung kemih menyebabkan efek samping yang lebih sedikit (hipotensi ortostatik, pusing, kelelahan, rhinitis, dan nyeri kepala), sehingga tidak perlu dosis titrasi. Tamsulosin dimulai pada 0.4 mg perhari dan dapat dinaikkan sampai 0.8 mg perhari jika diperlukan. Alfuzosin adalah uroselektif alpha-1-adrenergic agonis fungsional. Sama halnya dengan tamsulosin, tidak diperlukan dosis titrasi untuk preparat lepas lambat (10 mg), dan agen ini memiliki efek kardiovaskular yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan terapo alphablocker non-spesifik. Beberapa percobaan acak, buta-ganda, yang dikontrol plasebo yang masing-masing membandingkan alpha-blockers dengan plasebo, telah menunjukkan keamanan dan khasiat semua agen tersebut.

Tabel. Klasifikasi Terapi Medis dan Dosis yang Direkomendasikan untuk BPH
Klasifikasi Alpha blockers Nonselektif Phenoxybenzamine Alpha-1, kerja pendek Prazosin Alpha-2, kerja panjang Terazosin Doxasozin Alpha-1a seletif Tamsulosin Alfuzosin 5-alpha reductase inhibitor Finasteride Dutasteride Implan subkutan Triotorelin pamoat 5 mg perhari 0,5 mg perhari Pertahun 3.75 mg setiap bulan 0,4 atau 0,8 mg perhari 10 mg perhari 5 atau 10 mg perhari 4 atau 8 mg perhari 2 mg, dua kali sehari 10 mg, dua kali sehari Dosis oral

2. 5-Alpha-reductase inhibitor Finastreride adalah 5- alpha reductase inhibitor yang menutup konversi dari testosteron menjadi dihidrotestosteron. Obat ini

mempengaruhi komponen epitel prostat, sehingga terjadi reduksi ukuran dan perbaikan gejala. Diperlukan enam bulan terapi untuk melihat melihat efek maksimum terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan gejala. Beberapa percobaan acak, buta-ganda, yang dikontrol plasebo yang masing-masing membandingkan finasteride dengan plasebo. Khasiat, keamanan, dan ketahanan telah ditetapkan dengan baik. Meski begitu, perbaikan gejala hanya tampak pada pria dengan pembesaran prostat (>40cm3). Efek samping mencakup penurunan libido, penurunan volume ejakulasi, dan impotensi. Serum PSA diturunkan dengan sekitar 50% pasien yang ditangani dengan finasteride, tetapi nilai individu dapat beragam.

Dutasteride

dibedakan

dari

finasteride

karena

dutasteride

menghambat kedua isoenzim dari 5-alpha reductase. Sama dengan finasteride, dutasteride menurunkan serum antigen spesifik prostat dan volume prostat total. Secara acak, percobaan terkontrol plasebo telah menunjukkan khasiat dutasteride pada pemulihan gejala, skor gejala,

rentang aliran puncak urin, dan menurunkan risiko retensi urin akut dan kebutuhan dilakukan pembedahan. Efek samping utama adalah disfungsi ereksi, peurunan libido, ginekomastia, dan gangguan ejakulasi.

3. Terapi kombinasi Kombinasi alpha-blocker dan 5-alpha-reductase melalui percobaan acak, buta-ganda, yang dikontrol plasebo adalah empat sisi Veteran Administration Cooperative Trial membandingkan plasebo, finasteride sendiri, terazosin sendiri, serta kombinasi dari finasteride dan terazosin (Lepor et al, 1996). Ada lebih dari 1200 pasien yang ikut ambil bagian, dan didapatkan penurunan skor gejala yang signifikan serta peningkatan rentang pancaran urin hanya terlihat pada sisi yang melibatkan terazosin. Meski begitu, perlu diperhatikan bahwa pembesaran bukanlah satusatunya masukan kriteria; pada kenyataannya, prostat pada kajian ini masih jauh lebih kecil dibandingkan pada uji sebelumnya yang menggunakan finasteride (32 melawan 52 cm3). McConnell dan rekan menjalankan percobaan buta ganda jangka panjang melibatkan 2047 pasien untuk membandingkan efek dari plasebo, doxasozin, finasteride, dan terapi kombinasi dalam pengukuran progresi klinis BPH (McConnell et al, 2003). Risiko dari kesemua progresi klinisdinyatakan sebagai peningkatan diatas garis dasar setidaknya 4 poin dalam skor gejala AUA, retensi urin akut, inkontinensia urin, insufisiensi renal, atau infeksi saluran kemih berulang menurun secara signifikan dengan penggunaan doxasozin (39% penurunan risiko) dan finasteride (34% penurunan risiko), dibandingkan dengan plasebo. Penurunan risiko tersebut terkait dengan terapi kombinasi (66% penurunan risiko) lebih besar secara signifikan dibanding penggunaan doxasozin atau fiasteride sendirian. Pasien yang lebih diuntungkan dengan kombinasi terapi adalah mereka yang progresi

risiko dasarnya sangat tinggi, biasanya pasien dengan nilai PSA lebih tinggi dan kelenjar yang lebih besar.

4. Fitoterapi Fitoterapi merujuk kepada penggunaan tanaman maupun ekstraknya dalam tujuan pengobatan, penggunaan fitoterapi dalam BPH sudah populer di Eropa selama bertahun-tahun, dan kini digunakan di Amerika Serikat dan semakin berkembang seiring dengan meningkatnya antusiasme pasien. Beberapa ekstrak tanaman telah populer, seperti saw palmetto berry, (Serenoa repents) kulit pohon Pygeum africanum, akar Echinacea

purpuea dan Hypoxis rooperi, ekstrak pollen, serta daun trembling poplar. S. repens adalah agen yang paling dikaji dengan baik, umumnya 320 mg/ hari. Meskipun efek yang diinginkan dari skor gejala rentang aliran telah diperhatikan pada beberapa kajian, penemuannya belum ditunjukkan secara konsisten (Wilt et al, 2002). Kajian prospektif terbaru yang telah diterbitkan melalui uji klinis acak menunjukkan tidak ada manfaat plasebo dalam perbaikan gejala ataupun pancaran urin. Mekanisme aksi dari fitoterapi tersebut tidak diketahui, dan khasiat serta keamanan agen-agen tersebut belum dicoba secara benar-benar baik di berbagai pusat penelitian acak buta ganda yang dikontrol plasebo.

C.

Terapi Bedah Konvensional 1. Reseksi prostat transuretra Sembilan puluh lima persen prostatektomi sederhana dapat dikerjakan dengan endoskopi. Kebanyakan prosedur tersebut

melibatkan anestesi spinal dan membutuhkan rawat inap sekitar 1- 2 hari di rumah sakit. Skor gejala dan perbaikan pancuran dengan

reseksi prostat transuretra (TURP) lebih unggul dibandingkan terapi invasif minimal lainnya. Meski begitu, pasien yang menjalani TURP memerlukan waktu rawat inap yang lebih panjang. Kontroversi yang lebih besar lagi terjadi antara kemungkinan tingginya angka morbiditas

dan mortalitas terkait

TURP jika dibandingkan dengan operasi

terbuka, tetapi rentang lebih tinggi yang diselidiki pada satu uji mungkin terkait dengan lebih dari satu komorbid pada pasien TURP dibandingkan dengan pasien yang menjalani bedah terbuka. Beberapa uji lainnya tidak dapat memastikan perbedaan mortalaitas jika hasilnya dikendalikan oleh usia dan penyakit komorbid lain. Risiko TURP mencakup ejakulasi retrograde (75%), impotensi (5- 10%), dan inkontinensia (<1%). Komplikasinya mencakup perdarahan, striktur uretra, atau kontraktur leher kandung kemih, perforasi kapsul prostat dengan ekstravasasi, dan jika parah, sindroma TUR terjadi karena hipervolemik, keadaan hipovolemik karena penyerapan cairan irigasi hipotonik. Manifestasi klinik sindroma TUR mencakup mual, muntah, bingung, hipertensi, bradikardia, dan gangguan visual. Risiko TUR meningkat dengan reseksi >90menit. Penanganan mencakup diuresis, dan pada beberapa kasus yang berat, diberikan administrasi cairan hipertonik.

2. Insisi prostat transuretra Pria dengan gejala sedang sampai berat dan prostat kecil umumnya memiliki hiperplasia komisura posterior (naiknya leher kandung kemih). Pasien-pasien seperti ini akan diuntungkan dengan dilakukannya tindakan insisi prostat. Prosedur ini lebih sering dan lebih aman daripada TURP. Hasilnya pada pasien terpilih dapat dibandingkan, meskipun ada sedikit laporan mengenai ejakulasi

retrograde akibat insisi transuretra (25%). Teknik ini melibatkan dua insisi menggunakan pisau Collins pada posisi pukul 5 dan pukul 7. Insisi dimulai dari distal orificium uretra dan dilanjutkan hingga keluar verumontanum.

3. Prostatektomi terbuka sederhana

Ukuran prostat terlalu besar untuk dikeluarkan dengan endoskopi, maka diperlukan enukleasi terbuka. Yang disebut terlalu besar masih subjektif dan bervariasi tergantung pada pengalaman dokter bedah dalam TURP. Kelenjar > 100 gram umumnya akan dinilai memenuhi untuk dilakukannya enukleasi terbuka. Prostatektomi terbuka juga dapat dilakukan jika terdapat divertikel kandung kemih maupun batu kandung kemih atau jika posisi dorsal litotomi tidak memungkinkan. Prostatektomi terbuka dapat menggunakan pendekatan suprapubik maupun retropubik, prostatektomi terbuka yang sederhana dilakukan transvesika dan pilihan operasi dengan patologi kandung kemih yang menyertainya. Setelah kandung kemih trbuka, dilakukan insisi semisirkuler di mukosa kandung kemih, distal dari trigonum. Diseksi awal harus tajam, lalu diseksi tumpul dilakukan menggunakan jari untuk mengeluarkan adenoma. Diseksi apikal harus tajam untuk menghindari cidera mekanisme sfingter distal. Setelah adenoma dikeluarkan, dilakukan penjahitan jelujur untuk menutup, setelah sebelumnya dipasangkan kateter uretra dan suprapubik. Pada prostatektomi terbuka sederhana, kandung kemih tidak dimasuki. Tetapi, dibuat insisi transversa di kapsula prostat yang akan dibedah kemudian adenoma dikeluarkan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hanya dibutuhkan sebuah kateter uretra pada akhir prosedur.

D.

Terapi invasif minimal 1. Terapi laser Terdapat banyak teknik berbeda untuk bedah laser prostat yang telah dijelaskan. Dua sumber energi laser utama yang dipakai Nd:YAG dan holmium:YAG. Beberapa teknik nekrosis koagulasi telah dijelaskan.

Transurethral laser- induced prostatectomy (TULIP) telah dilakukan

dibawah pengawasan TRUS. Alat TULIP diletakkan didalam uretra dan TRUS digunakan untuk mengarahkan alat saat ditarik perlahan dari leher kandung kemih ke arah apex. Dalamnya tindakan dipantau dengan gelombang ultra sonik. Beberapa urolog memillih menggunakan teknik laser yang diatur secara visual. Dibawah kendali sistoskopi, serat fiber dimasukkan ke prostat melalui beberapa daerah yang telah

direncanakan, tergantung ukuran dan konfigurasi prostat itu sendiri. Pendekatan empat kuadran telah dijelaskan untuk lobus lateral, dengan tambahan terapi yang ditujukan kepada lobus media yang membesar. Teknik koagulatif tidak menyebabkan kerusakan uretra prostat dengan segera, tetapi jaringannya perlahan rusak dalam beberapa minggu hingga tiga bulan setelah dilakukan prosedur. Teknik ablasi visual merupakan prosedur yang lebih memakan waktu karena seratnya harus diletakkan langsung bersentuhan dengan jaringan prostat sehingga menguap. Kerusakan segera yang terjadi di uretra prostat serupa dengan yang tampak pada prosedur TURP. Terapi laser interstitial diletakkan langsung di prostat, biasanya dibawah pengawasan kendali sistoskopi. Laser ditembak di beberapa titik sehingga terjadi nekrosis koagulasi di submukosa. Teknik ini akan mengurangi beberapa gejala iritasi berkemih karena mukosa uretra aman dan jaringan prostat diserap kembali oleh tubuh, tidak terkelupas. Keunggulan bedah laser antara lain (1) kehilangan darah dalam jumlah minimal, (2) jarang timbul sindroma TUR, (3) mampu menangani pasien dengan terapi koagulasi, (4) dapat ditangani dengan prosedur rawat jalan. Kekurangannya antara lain (1) minim jaringan untuk pemeriksaan patologi, (2) waktu pemakaian kateter postoperasi yang lebih panjang, (3) lebih banyak keluhan iritasi dalam berkemih, (4) biaya serat laser dan generator yang tinggi. Dibutuhkan uji acak jangka panjang di beberapa pusat penelitian yang ditindak-lanjuti dalam waktu lama untuk

membandingkan bedah laser dengan TURP dan bentuk bedah invasif minimal lainnya.

2. Elektrovaporisasi prostat transuretra Elektrovaporisasi transuretra menggunakan standar

resektoskop, tetapi menggantikan ujung konvensional dengan roll bola beralur. Kepadatan yang tinggi membuat uap panas jaringan sehingga timbul lubang di uretra prostat. Karena alat ini butuh sapuan lambat sepanjang uretra prostat, dan kedalaman uap kurang lebih sepertiga ujung biasa, prosedur ini umumnya memakan waktu lebih panjang dari TURP. Dibutuhkan perbandingan data jangka panjang.

3. Hipertermia Gelombang mikro suhu tinggi biasanya dialirkan melalui kateter uretra. Beberapa alat mendinginkan mukosa uretra untuk mengurangi risiko cidera. Bagaimanapun juga, jika suhu tidak lebih dari 45 derajat Celcius, tidak perlu dilakukan pendinginan. Dibutuhkan perbaikan skor gejala dan pancaran urin, tetapi sama seperti pada bedah laser, perlu ada studi acak skala besar dengan tindak lanjut jangka panjang untuk mengetahui daya tahan dan biaya efektif.

4. Ablasi Jarum Prostat Transuretra Ablasi jarum prostat transuretra menggunakan kateter uretra yang telah dirancang secara khusus agar dapat melewati uretra. Jarum interstisial dengan frekuensi radio disebarkan dari ujung kateter, menembus mukosa uretra prostat. Kegunaan frekuensi radio dalam memanaskan jaringan menyebabkan nekrosis koagulasi. Teknik ini bukanlah penanganan yang memadai untuk leher kandung kemih dan pembesaran lobus media. Tampak ada perbaikan berkemih secara

subjektif maupun objektif, tetapi seperti yang telah disebutkan diatas, masih kurang sekali uji acak jangka panjang sebagai pembanding.

5. Gelombang ultra fokus intensitas tinggi Gelombang ultra fokus intensitas tinggi adalah nama lain untuk ablasi jaringan. Sebuah probe gelombang ultra dwifungsi yang telah dirancang khusus akan ditempatkan di rektum. Probe ini

memungkinkan pencitraan transrektal prostat sekaligus mengirimkan energi bakaran pendek gelombang ultra fokus intensitas tinggi yang memanaskan jaringan prostat sehingga terjadi nekrosis koagulasi. Pembesaran lobus media dan leher kandung kemih tidak memadai jika ditangani dengan teknik ini. Meskipun uji coba klinik yang sedang berjalan menunjukkan perbaikan skor gejala dan pancaran, respon daya tahannya masih belum diketahui.

6. Intraurethral stents Intraurethral stents adalah alat yang diletakkan di fossa prostatica dengan endoskopi dan dirancang untuk menjaga uretra prostat agar tetap ditempatnya. Alat tersebut biasanya ditutupi oleh urothelium dalam 4-6 bulan setelah peletakan. Alat-alat tersebut umumnya digunakan oleh pasien dengan angka harapan hidup terbatas yang dinilai tidak layak menjalani pembedahan ataupun pembiusan. Dengan kemajuan teknik invasif minimal lain yang juga membutuhkan teknik bius minimal (bius sadar atau blok prostat), pengaplikasiannya menjadi semakin terbatas.

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan BPH adalah tumor jinak yang paling umum terjadi pada pria, dan insidensinya terkait dengan usia. Faktor risiko pada perkembangan BPH belum dimengerti seutuhnya, beberapa kajian mengemukakan predisposisi genetik, dan beberapa menyatakan perbedaan ras. Etiologi BPH tidak benar-benar dipahami, tetapi tampaknya multifaktorial dan dikendalikan oleh endokrin. Gejala yang timbul pada penderita BPH merpakan gejala obstruksi dan gejala iritasi. Diagnosis BHP didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan DRE, Laboratorium dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan urinalisis, PSA, sistoskopi, dll. Terapi untuk BPH terbagi menjadi 4, yaitu: watchful waiting, medikamentosa, fitoterapi, dan terapi invasif maupun pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA
Tanagho, Emil A. Anatomy of the Genitourinary Tract. In: Smiths General Urology. Seventeenth Edition. New York: McGraw Hill. Page: 11-12. Joseph C, Presti, Jr, Christopher J. Kane, Katsuto Shinohara, Peter R. Carroll. Neoplasms of the Prostate Gland. In: Smiths General Urology. Seventeenth Edition. New York: McGraw Hill. Page: 348-355. Anderson J, Jeffrey C. Anatomy In : Campbell-Walsh Urology. Tenth Edition. Philadelphia: Elseviere Saunders. Page 78-82. Roehrborn G Claus. Benign Prostatic Hyperplasia In : Campbell-Walsh Urology. Tenth Edition. Philadelphia: Elseviere Saunders. Page 2556-2689.

Anda mungkin juga menyukai