Anda di halaman 1dari 29

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Anak merupakan kelompok yang memerlukan perhatian dalam upaya pembinaan kesehatan masyarakat, karena mereka akan berperan sebagai calon orang tua, tenaga kerja, bahkan pemimpin bangsa di masa depan. Namun dampak globalisasi, perkembangan teknologi, pengaruh negatif media massa

mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai sosial budaya dimana masyarakat terbiasa dengan pola hidup konsumtif dan individual. Di sisi lain kemiskinan yang belum teratasi, rendahnya tingkat pendidikan orang tua, banyaknya anak dalam keluarga serta bencana alam yang akhir - akhir ini banyak terjadi di Indonesia merupakan faktor pemicu terjadinya peningkatan tindakan kekerasan seksual terhadap anak (WHO dan UNICEF, 2007). WHO dalam World Health Organization Consultation on Child Abuse Prevention mendefinisikan kekerasan seksual pada anak sebagai pelibatan anak dalam kegiatan seksual, di mana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan. Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain. Aktivitas tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, perkosaan, hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan darah (incest), dan sodomi (WHO dan UNICEF, 2007). Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, pada tahun 2009 kasus kekerasan pada anak sudah mencapai 1998 kasus, sekitar 65 persen diantaranya, merupakan kasus kekerasan seksual. Padahal sebelumnya, pada tahun 2008 kasus kekerasan seksual pada anak sudah meningkat 30 persen

menjadi 1.555 kasus dari 1.194 kasus pada tahun 2007. Dengan kata lain setiap harinya terdapat 4,2 kasus. Data tahun 2008 yang diperoleh LBH APIK Jakarta menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan atau kejahatan seksual terhadap anak sebanyak dua kali lipat sebesar 35 kasus dari tahun sebelumnya yang mencapai 16 kasus. Hal yang memprihatikan adalah untuk kasus jenis perkosaan dan percabulan, tersangkanya masih berusia anak-anak 10 hingga 17 tahun. Data yang dilaporkan lebih sedikit dibandingkan data yang sebenarnya ada. Hal ini disebabkan tidak semua anak yang mengalami kekerasan seksual mau melaporkan kejadian yang dialami ke orangtua maupun pihak yang berwajib (Kristiani R, 2010). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Bali

menyatakan kasus kekerasan seksual dengan korban anak-anak semakin meresahkan. KPAI Bali mencatat pada tahun 2009 ada 214 kasus kekerasan terkait anak di Bali. Selama tahun 2009, sebanyak 73 kasus kekerasan seksual ditangani Poltabes Denpasar, 47 kasus di Buleleng, 29 kasus di Karangasem, dan kabupaten lainnya (Suriyani, 2010). Kasus-kasus kekerasan seksual pada anak yang teridentifikasi di pusat-pusat rujukan dan kepolisian merupakan fenomena gunung es, belum menggambarkan jumlah seluruh kasus yang ada di masyarakat karena tidak semua kasus yang terjadi dilaporkan (WHO dan UNICEF, 2007).. Merespon angka kejadian yang begitu tinggi, hendaknya kekerasan seksual pada anak tidak dipandang sebelah mata. Kompleksitas faktor-faktor penyebab dan beban permasalahan yang demikian berat dalam diri para korban tindak kekerasan seksual, menuntut diambilnya langkah penanganan yang holistik dan komprehensif melalui pendekatan interdisipliner, interinstitusional dan intersektoral dengan dukungan optimal dari berbagai sumber dan potensi dalam masyarakat (Israr YA dkk, 2007). Untuk dapat medeteksi secara dini adanya kekerasan seksual pada anak perlu diketahui temuan-temuan medis sebagai bukti kekerasan seksual pada anak. Oleh karena itu, kami ingin menjelaskan tentang temuan-temuan medis pada korban kekerasan seksual pada anak.

1.2 Rumusan Masalah Bagaimana karakteristik dan temuan medis korban kasus kekerasan seksual pada anak di RSUP Sanglah periode bulan Januari - Juni 2011 ?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui karakteristik dan temuan medis korban kasus kekerasan seksual pada anak di RSUP Sanglah periode bulan Januari - Juni 2011. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui karakteristik demografi (umur, jenis kelamin, dan bentuk kekerasan seksual) korban pada kasus kekerasan seksual pada anak di RSUP Sanglah periode bulan Januari-Juni 2011. 2. Mengetahui temuan medis korban pada kasus kekerasan seksual pada anak di RSUP Sanglah periode bulan Januari-Juni 2011.

1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat akademis dari penelitian ini adalah tersedianya data dan informasi untuk melakukan penelitian selanjutnya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kekerasan seksual pada anak adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual, di mana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan. Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain. Aktivitas tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, perkosaan, hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan darah (incest), dan sodomi (WHO dan UNICEF, 2007). Selama beberapa tahun terakhir kecenderungan terjadinya kekerasan seksual pada anak semakin meningkat jumlahnya. Peningkatan jumlah kasus yang terlaporkan dan dilaporkan meningkat secara akumulatif hingga 100 kasus setiap tahunnya antara tahun 2004 sampai tahun 2007 (Komnas Perlindungan Anak, 2008). Secara umum yang dimaksud dengan kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual (CASAT programe, Child Development Institute; Boyscouts of America; Komnas PA). Di Indonesia UU Perlindungan Anak memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU PA no 23 tahun 2002).

Berdasarkan hukum, "pelecehan seksual anak" merupakan istilah umum yang menggambarkan tindak kriminal dan sipil di mana orang dewasa terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak di bawah umur atau eksploitasi anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual. Asosiasi Psikiater Amerika menyatakan bahwa "anak-anak tidak bisa menyetujui aktivitas seksual dengan orang dewasa", dan mengutuk tindakan seperti itu oleh orang dewasa: "Seorang dewasa yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak adalah melakukan tindak pidana dan tidak bermoral yang tidak pernah bisa dianggap normal atau perilaku yang dapat diterima secara sosial."

2.2 Epidemiologi Beberapa bulan terakhir ini, kasus kekerasan seksual pada anak kembali marak terjadi di Indonesia, seperti kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Batam dan Bali, kekerasan seksual pada remaja yang bermoduskan menjadi pegawai pajak, kasus pencabulan anak jalanan yang dilakukan oleh

koordinatornya dan sebagainya. Kekerasan seksual pada anak ini sangatlah memprihatinkan banyak pihak terutama bagi sekolah-sekolah serta ibu-ibu yang memiliki anak. Kebanyakan korban kekerasan seksual pada anak berusia sekitar 5 hingga 11 tahun. Bagi pelaku jenis kelamin tidak berpengaruh dalam melakukan kekerasan seksual yang penting bagi pelaku hasrat seksual mereka dapat tersalurkan. Modus pelaku dalam mendekati korban sangatlah bervariasi, misalnya mereka tinggal mendekati korban dan mengajak ngobrol saja, ada juga yang membujuk korban, ada juga yang merayu dan ada juga yang memaksa korbannya. Serta modus yang lebih canggih, yakni pelaku menggunakan jejaring sosial dengan berkenalan dengan korban, mengajak bertemu dan memperkosa atau melakukan kekerasan seksual. Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan banyak aduan kekerasan pada anak di tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan yang masuk, sebanyak 67,8 persen terkait dengan kasus kekerasan. Dan dari kasus kekerasan

tersebut yang paling banyak terjadi adalah kasus kekerasan seksual yaitu sebesar 45,7 persen (53 kasus). Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat, jenis kejahatan anak tertinggi sejak tahun 2007 adalah tindak sodomi terhadap anak. Dan para pelakunya biasanya adalah guru sekolah, guru privat termasuk guru ngaji, dan sopir pribadi. Tahun 2007, jumlah kasus sodomi anak, tertinggi di antara jumlah kasus kejahatan anak lainnya. Dari 1.992 kasus kejahatan anak yang masuk ke Komnas Anak tahun itu, sebanyak 1.160 kasus atau 61,8 persen, adalah kasus sodomi anak. Dari tahun 2007 sampai akhir Maret 2008, jumlah kasus sodomi anak sendiri sudah naik sebesar 50 persen. Komisi Nasional Perlindungan Anak telah meluncurkan Gerakan Melawan Kekejaman Terhadap Anak, karena meningkatnya kekerasan tiap tahun pada anak. Pada tahun 2009 lalu ada 1998 kekerasan meningkat pada tahun 2010 menjadi 2335 kekerasan dan sampai pada bulan maret 2011 ini paling tidak dari pantauan Komisi Nasional Perlindungan Anak ada 156 kekerasan seksual khususnya sodomi pada anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Bali

menyatakan kasus kekerasan seksual dengan pelaku dan korban anak-anak semakin meningkat. Pada bulan Februari 2010 ada enam kasus perkosaan dan pelecehan seksual yang melibatkan anak-anak. Sementara pada 2009, KPAI mencatat ada 214 kasus kekerasan terkait anak. Dari 214 kasus itu, sebanyak 25 kasus pemerkosaan anak-anak, dan 58 kasus penganiayaan anak. Sementara anak sebagai pelaku kekerasan sebanyak 29 orang.

2.3 Faktor Penyebab Faktor penyebab pelanggaran seksual anak tidak diketahui secara meyakinkan. Pengalaman pelecehan seksual sebagai seorang anak yang sebelumnya dianggap sebagai faktor risiko yang amat kuat, tetapi hasil penelitian tidak menunjukkan hubungan kausal, karena sebagian besar anak-anak dilecehkan secara seksual tidak tumbuh menjadi seorang pelaku pada saat telah dewasa, juga tidak ada

mayoritas pelaku dewasa yang dilaporkan mengalami pelecehan seksual masa kanak-kanak. Pelaku merupakan pelaksana utama dalam hal terjadinya perkosaan tetapi bukan berarti terjadinya perkosaan tersebut semata-mata disebabkan oleh perilaku menyimpang dari pelaku, tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berada di luar diri si pelaku. Namun secara umum dapat disebutkan bahwa faktorfaktor penyebab timbulnya kejahatan dibagi dalam 2 bagian yaitu: faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat pada diri individu. Faktor ini khusus dilihat dari individu serta dicari hal-hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan perkosaan. Hal ini dapat ditinjau dari: (a) Faktor Kejiwaan, yakni kondisi kejiwaan atau keadaan diri yang tidak normal dari seseorang dapat juga mendorong seseorang melakukan kejahatan. Misalnya, nafsu seks yang abnormal, sehingga melakukan perkosaan terhadap korban anak yang tidak menyadari keadaan diri si penjahat. Jika terdapatnya perbuatan-perbuatan tidak sadar yang muncul dapat menimbulkan perbuatan yang menyimpang maupun cenderung pada perbuatan kejahatan. Sedangkan aspek psikologis sebagai salah satu aspek dari hubungan seksual adalah aspek yang mendasari puas atau tidak puasnya dalam melakukan hubungan seksual dengan segala eksesnya. Jadi bukanlah berarti dalam mengadakan setiap hubungan seksual dapat memberikan kepuasan, oleh karena itu pula kemungkinan ekses-ekses tertentu yang merupakan aspek psikologis tersebut akan muncul akibat ketidakpuasan dalam melakukan hubungan seks. Dan aspek inilah yang dapat merupakan penyimpangan hubungan seksual terhadap pihak lain yang menjadi korbannya. Orang yang mengidap kelainan jiwa, dalam hal melakukan perkosaan cenderung melakukan dengan sadis, sadisme ini terkadang juga termasuk misalnya melakukan di hadapan orang lain atau melakukan bersama-sama dengan orang lain.

Kemudian disamping itu, zat-zat tertentu seperti alkohol dan penggunaan narkotika dapat juga membuat seseorang yang normal melakukan perbuatan yang tidak normal. Seseorang yang sudah mabuk akibat meminum minuman keras akan berani melakukan tindakan yang brutal. Dalam kondisi jiwanya yang tidak stabil ia akan mudah terangsang oleh hal-hal yang buruk termasuk kejahatan seksual. (b) Faktor Biologis. Di dalam kehidupannya manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi. Dalam memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut, manusia menciptakan aktivitasnya. Kebutuhan pada satu pihak merupakan apa yang disebut motif dan pada ujung lain kebutuhan itu merupakan satu tujuan. Bila tujuan itu tercapai, maka kebutuhan akan terpenuhi, mungkin hanya untuk sementara dan merupakan batas penghentian aktivitasnya. Kebutuhan ini mungkin datangnya dari dalam yang disebut dengan kebutuhan biologis atau kebutuhan organis. Witherington membagi kebutuhan biologis itu atas tiga jenis, yakini kebutuhan akan makanan, kebutuhan seksual dan proteksi. (Bawengan GW, 1977). Kebutuhan akan seksual ini juga sama dengan kebutuhankebutuhan yang lain yang menuntut pemenuhan. Sejak bayi manusia telah memiliki dorongan seks. Dorongan tersebut merupakan dasar dalam diri individu yang secara otomatis terbentuk sebagai akibat zat-zat hormon seks yang terdapat dalam diri manusia. Dorongan seks ini sangat kuat dan dorongan ini menuntut untuk selalu dipenuhi. Apabila kita tidak dapat mengendalikannya, maka akibatnya akan terjadi kehilangan keseimbangan dimana hal ini akan mempengaruhi gerak tingkah laku kita masing-masing dalam aktivitas kehidupan kita sehari-hari. Pada tahap selanjutnya jika kebutuhan seks ini tidak tersalurkan secara normal, maka dapat terjadi penyimpangan-

penyimpangan seperti halnya perkosaan. Kartini Kartono mendeskripsikan latar belakang perkosaan (Kartono K, 1981) : Pada peristiwa perkosaan, sang pemerkosa selalu disorong oleh nafsu-nafsu seks sangat kuat,

dibarengi emosi-emosi yang tidak dewasa dan tidak mapan. Biasanya dimuati oleh unsur kekejaman dan sifat-sifat sadistis. (Kartini, 1981). Dia lebih menekankan faktor kriminogen perkosaan yang bersumber pada kesalahan pelaku, yang gagal mengendalikan nafsu seksualnya. Hasrat seksualnya yang cukup besar tidak diikuti dengan upaya pelampiasan yang dibenarkan secara hukum dan agama. Ada potensi dalam diri pelakunya itu potensi distabilitas psikologis atau ketidakseimbangan kejiwaan, sehingga mencoba mencari kompensasi dan diagnosisnya melalui korban yang diperkosanya. Jadi faktor biologis dapat merupakan salah satu sebab timbulnya kejahatan perkosaan. (c) Faktor Moral. Moral merupakan faktor penting untuk menentukan timbulnya kejahatan. Moral sering disebut sebagai filter terhadap munculnya perilaku yang menyimpang, sebab moral itu adalah ajaran tingkah laku tentang kebaikan-kebaikan dan merupakan hal yang vital dalam menentukan tingkah laku. Dengan bermoralnya seseorang maka dengan sendirinya dia akan terhindar dari segala perbuatan yang tercela. Sedangkan orang yang tidak bermoral cenderung untuk melakukan kejahatan. Pada kenyataannya, moral bukan sesuatu yang tidak bisa berubah, melainkan ada pasang surutnya, baik dalam diri individu maupun masyarakat. Timbulnya kasus-kasus perkosaan, disebabkan moral

pelakunya yang sangat rendah. Dari kasus-kasus tersebut banyak diantaranya terjadi, korbannya bukanlah orang asing lagi baginya bahkan saudara dan anak kandung sendiri. Kasus-kasus tersebut memberi kesan kepada kita bahwa pelakunya adalah orang-orang yang tidak bermoral sehingga dengan teganya melakukan perbuatan tersebut terhadap putri kandungnya sendiri. Di lain kasus melakukan perbuatan yang tidak manusiawi itu secara bersama-sama dan di hadapan teman-temannya tanpa adanya rasa malu.

10

Salah satu hal yang mempengaruhi merosotnya moral seseorang dipengaruhi oleh kurangnya pendidikan agama. Agama merupakan unsur pokok dalam kehidupan manusia yang merupakan kebutuhan spiritual yang sama. Norma-norma yang terdapat di dalamnya mempunyai nilai yang tertinggi dalam hidup manusia. Sebab norma-norma tersebut adalah norma-norma ketuhanan dan segala sesuatu yang digariskan oleh agama adalah baik dan membimbing ke arah yang jalan yang baik dan benar, sehingga bila manusia benar-benar mendalami dan mengerti isi agama, pastilah ia akan menjadi manusia yang baik dan tidak akan berbuat hal-hal yang merugikan atau kejahatan walaupun menghadapi banyak godaan. Tetapi bila agama hanya simbol saja, tidak akan ada artinya dan orang yang kurang atau tidak mengerti akan agama serta isinya maka akan lemah imannya, sehingga mudah melakukan hal-hal yang buruk. Agama juga berfungsi membentuk kepribadian seseorang dalam hidupnya (Hari, 1980).

2. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar diri si pelaku. Faktor eksterna ini berpangkal pokok pada individu. Dicari hal-hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan kesusilaan. Hal ini dapat ditinjau dari: (a) Faktor Sosial Budaya, meningkatnya kasus-kasus kejahatan kesusilaan atau perkosaan terkait erat dengan aspek sosial budaya. Karena aspek sosial budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat itu sendiri sangat mempengaruhi naik turunnya moralitas seseorang. Suatu kenyataan yang terjadi dewasa ini, sebagai akibat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tidak dapat dihindarkan timbulnya dampak negatif terhadap kehidupan manusia. Akibat moderenisasi tersebut, berkembanglah budaya yang semakin terbuka pergaulan yang semakin bebas, cara berpakaian perempuan yang semakin merangsang, dan kadang-kadang dan berbagai perhiasan yang mahal, kebiasaan bepergian jauh sendirian, adalah faktor-

11

faktor dominan yang mempengaruhi tingginya frekuensi kasus perkosaan. Aspek sosial budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dapat mempengaruhi tinggi rendahnya moralitas masyarakat. Bagi orang yang mempunyai moralitas tinggi atau iman yang kuat dapat mengatasi diri sehingga tidak diperbudak oleh hasil peradaban tersebut, melainkan dapat menyaringnya dengan menyerap hal-hal yang positif. Salah satu contoh faktor sosial budaya yang dapat mendukung timbulnya perkosaan adalah remaja yang berpacaran sambil menonton film porno tanpa adanya rasa malu. Kebiasaan yang demikian pada tahap selanjutnya akan mempengaruhi pikiran si pelaku. Sehingga dapat mendorong untuk menirukan adegan yang dilihatnya, maka timbul kejahatan kesusilaan dengan berbagai bentuknya dan salah satu diantaranya adalah kejahatan perkosaan. (b) Faktor Ekonomi. Kondisi perekonomian juga dapat merupakan satu sebab seseorang melakukan kejahatan kesusilaan atau perkosaan. Keadaan ekonomi yang sulit akan membawa orang kepada pendidikan yang rendah dan pada tahap selanjutnya membawa dampak kepada baik atau tidak baiknya pekerjaan yang diperoleh. Secara umum, orang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah cenderung mendapat pekerjaan yang tidak layak. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang dapat kehilangan kepercayaan diri dan menimbulkan jiwa yang apatis, frustasi serta hilangnya respek atas norma-norma yang ada di sekitarnya. Keadaan perekonomian merupakan faktor yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pokok-pokok kehidupan masyarakat. Keadaan ini mempengaruhi pula cara-cara kehidupan seseorang. Dalam kondisi-kondisi pergolakan mudah sekali terjadi karena inalitas yang disebabkan adanya ketegangan pada masyarakatnya, misalnya: penghasilan sosial yang rendah, keadaan perumahan yang buruk, dan sebagainya, kurang atau tidak mendapat perhatian. Akibatnya akan kita jumpai peningkatan kriminalitas umumya.

12

Hal-hal yang berhubungan dengan masalah perekonomian adalah antara lain urbanisasi. Dalam negara yang sedang berkembang ke arah negara modern, terjadi perubahan dalam masyarakat. Salah satu perubahan tersebut adalah urbanisasi. Urbanisasi ini dapat menimbulkan hal-hal yang positif dan negatif. Dampak negatif yang dari urbanisasi adalah adanya pengangguran. Dapat dipastikan bahwa timbulnya niat jahat akan lebih besar karena menganggur. Situasi seperti tersebut di atas pada akhirnya juga merembet dalam hal pemenuhan kebutuhan biologisnya. Sebagian dari mereka yang tidak mampu menyalurkan hasrat seksnya tersebut pada wanita tuna susila, akan menyalurkan dalam bentuk onani, sedangkan yang lain mencari kesempatan untuk dapat melakukan hubungan seksual secara langsung yaitu dengan jalan pintas mengintai korban untuk dijadikan pelampiasan hasrat seksualnya tersebut. Pada akhirnya timbullah apa yang disebut dengan kejahatan seksual dengan berbagai bentuknya, dan salah satu diantaranya adalah kejahatan perkosaan. Tetapi sebaliknya golongan orang yang berada atau kaya tidak tertutup melakukan kejahatan susila, akibat kekayaannya sendiri. Perkosaan yang terjadi di hotel atau di tempat-tempat penginapan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan di dalam melakukan niatnya tersebut tidak jarang si pelaku yang berasal dari golongan yang berada mempergunakan alat perangsang yang semuanya ini diperoleh dengan uang yang tidak sedikit. (c) Faktor Media Massa. Media massa merupakan sarana informasi di dalam kehidupan sosial, misalnya seperti surat kabar, majalah, televisi dan sebagainya itu merupakan juga alat kontrol yang memegang peranan penting di dalam kehidupan bermasyarakat. Surat kabar berisikan publikasi yang memberitakan informasi kepada masyarakat tentang kejadiankejadian atau peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi ada kemungkinan pemberitaan surat kabar menjadi faktor terjadinya

13

kejahatan. Hal ini dapat dipahami, karena sering pemberitaan surat kabar sedemikian rupa sehingga sering penjahat dibeberkan sebagai pahlawan karena berhasil melarikan diri dari pengejaran penegak hukum, sehingga seorang yang telah bermental jahat meniru penjahat tersebut. Demikian juga pemberitaan tentang kejahatan perkosaan yang sering diberitahukan secara terbuka dan didramatisasi digambarkan tentang kepuasan pelaku. Hal seperti ini dapat merangsang para pembaca khususnya para orang yang bermental jahat yang dapat menimbulkan ide baginya untuk melakukan perkosaan. Banyak hal-hal yang memungkinkan anak menjadi korban pelampiasan seks orang-orang dewasa yang seharusnya melindunginya. Alat media massa yang paling besar pengaruhnya terhadap timbulnya kejahatan kesusilaan atau perkosaan adalah pemutaran film-film porno, kaset video porno dan beredarnya bacaan-bacaan porno yang menimbulkan hasrat seks bagi yang melihat dan mendengarnya.

2.4 Bentuk Kekerasan Seksual pada Anak Pelecehan seksual terhadap anak mencakup berbagai pelanggaran seksual, termasuk: a) Pelecehan seksual Istilah ini didefinisikan sebagai suatu tindak pidana di mana seseorang yang telah dewasa menyentuh anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual, misalnya perkosaan (termasuk sodomi), dan penetrasi seksual dengan objek. Termasuk sebagian besar negara bagian Amerika Serikat dalam definisi mereka tentang kekerasan seksual, ada kontak penetratif tubuh di bawah umur, bagaimanapun sedikit, jika kontak dilakukan untuk tujuan kepuasan seksual. b) Eksploitasi seksual Istilah ini didefinisikan sebagai suatu tindak pidana di mana orang dewasa melakukan kekerasan terhadap anak di bawah umur untuk promosi, kepuasan

14

seksual, atau keuntungan, misalnya melacurkan anak, dan menciptakan atau melakukan perdagangan pornografi anak. c) Perawatan seksual Menentukan perilaku sosial dari pelaku seks anak yang potensial yang berusaha untuk membuat mereka menerima rayuan yang lebih sedikit, misalnya di ruang bincang-bincang daring.

2.5 Pembuktian Kekerasan Seksual Pemeriksaan secara medis pada korban kejahatan seksual, baik pada anak-anak maupun dewasa pada dasarnya sama dengan pada pasien lain, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang : 1. Ambil data-data polisi, korban, dokter dan perawat terkait. 2. Anamnesis : - Umur. - Status perkawinan. - Haid : siklus, terakhir. - Penyakit kelamin dan kandungan. - Penyakit lain seperti ayan dan lain-lain. - Pernah bersetubuh, waktu persetubuhan terakhir, menggunakan kondom atau tidak. - Waktu kejadian. - Tempat kejadian. - Apakah korban melawan ? - Apakah korban pingsan ? - Apakah terjadi penetrasi - Apakah terjadi ejakulasi ? 3. Periksa pakaian : - Robekan lama / baru / memanjang / melintang ? - Kancing putus. - Bercak darah, sperma, lumpur dan lain-lain.

15

- Pakaian dalam rapih atau tidak ? - Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence 4. Pemeriksaan badan : Umum : - Rambut / wajah rapi atau kusut. - Emosi tenang atau gelisah. - Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah. - Tanda kekerasan : Mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha - Trace evidence yang menempel pada tubuh. - Perkembangan seks sekunder. - Tinggi dan berat badan. - Pemeriksaan rutin lainnya. - Genitalia : Pada pemeriksaan fisik anak, temuan tidak spesifik yaitu temuan yang mungkin sebagai akibat dari seksual abuse, tergantung pada waktu antara saat pemeriksaan dan saat abuse, tetapi mungkin juga akibat sebab lain atau merupakan varian yang normal. a. Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus(dapat akibat zat iritan, infeksi atau iritan) b. Adesi labia ( mungkin akibat iritasi atau rabaan) c. Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau karena traksi labia mayor pada pemeriksaan) d. Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput, bengkak karena infeksi ataun trauma) e. Kulit genital semu (mungkin jumbai kulit atau kulit bukan genital mungkin condyloma acuminata yang didapat bukan dari seksual) f. Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal) g. Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna) h. Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)

16

i. Kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi anak, juga ditemuka pada konstipasi) j. Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra, atau mungkin akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental Dugaan kekerasan seksual (suggestive of sexual abuse) apabila temuan pada anak yang telah memiliki riwayat abuse, mungkin ada abuse, tetapi tidak cukup data yang menunujukkan bahwa abuse adalah satu-satunya penyebab. Riwayat sangat krusial dalam menentukan makna keseluruhannya: - Pelebaran anus (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat dasar (sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila konsisten pada beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau penetrasi sebelumnya) - Lecet akut, laserasi atau memar labia, jaringan sekitar selaput dara atau perineum (mungkin akibat trauma aksidental, keadaan dermatologis seperti lichen sclerosus atau hemangioma) - Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam - Jaringan parut atau laserasi baru daerah posterior fourchette tanpa mengenai selaput dara( dapat akibat trauma aksidental) - Jaringan parut perianal (jarang, mungkin akibat keadaan medis lain seperti chrons disease atau akibat tindakan medis sebelumnya) Pemeriksaan ekstra genitalia : - Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat pada tubuh - Deskripsikan luka - Pemeriksaan rongga mulut pada kasus oral sex - Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma - Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari material dari tubuh pelaku - Pemeriksaan anal 5. Deskripsi mengenai adanya robekan, iregularitas, keadaan fissura. Apabila terjadi hubungan seksual secara anal, maka dapat terjadi perlukaan pada anus.

17

6. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan seperti : - Pemeriksaan darah - Pemeriksaan cairan mani (semen) - Pemeriksaan kehamilan - Pemeriksaan VDRL - Pemerikaan serologis Hepatitis - Pemeriksaan Gonorrhea - Pemeriksaan HIV - Pemeriksaan rambut, air liur, dan pemeriksaan pria tersangka.

2.6 Dasar Hukum Di Indonesia pelecehan seksual pada anak-anak delik hukumnya diatur dalam KUHP pada bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan dan UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, pada KUHP bab XIV terdapat pada pasal 285, 287, 288, 290, 292, 293, 294, dan 295. Hukum pidana mengancam siapa saja (laki-laki) yang dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan memaksa seorang anak (perempuan) berhubungan seksual dengannya (pasal 285 KUHP) atau berbuat cabul dengannya (pasal 289 KUHP), pasal 81 dan 82 UU No.23/2002 tentang perlindungan anak bahkan mengancam pelakunya dengan hukuman yang lebih berat. Seseorang juga diancam pidana apabila melakukan hubungan seksual tanpa paksaan dengan seorang anak perempuan yang usianya belum cukup 12 tahun dan mengancam dengan delik aduan bila usianya antara 12-15 tahun (pasal 287 KUHP). Delik biasanya juga diberlakukan apabila si anak perempuan yang berusia 12-15 tahun tersebut menderita luka berat atau mati sebagai akibatnya atau ternyata anak tersebut adalah anak, anak tiri, anak angkat, atau anak yang berada di bawah pengawasan si pelaku (pasal 287, 291, dan 294 KUHP). Pasal lain dalam KUHP juga mengancam pidana bagi orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain (pasal 290 KUHP) atau dengan penyesatan atau menyalahgunakan bawahannya (pasal 293 KUHP) atau

18

memudahkan dilakukannya perbuatan cabul (pasal 295 KUHP). Pidana juga diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin, yang usianya belum dewasa (pasal 292). Dalam sistem peradilan yang dianut negara kita, seorang hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada seseorang terdakwa, kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan merasa yakin bahwa tindak pidana itu memang telah terjadi (pasal 183 KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (pasal 184 KUHAP) .

2.7 Dampak bagi Korban Efek dari kekerasan seksual terhadap korban, terutama dalam hal ini adalah korban perkosaan pada wanita dapat meliputi : A. Gangguan fungsi fisiologis tubuh 1) Pelvic Pain (nyeri pelvis) 2) Gelisah 3) Insomnia (susah tidur) 4) Sakit kepala 5) Anorexia (gangguan nafsu makan) 6) Nausea (mual) 7) Nyeri pinggang 8) Mimpi buruk B. Gangguan fungsi seksual 1) Nyeri vagina 2) Takut terhadap hubungan seksual, yang dapat mengakibatkan kurangnya lubrikasi, vaginismus, ataupun dispareunia. 3) Sulit orgasme 4) Takut, marah dan risih terhadap sentuhan atau rabaan 5) Non-coital pain (nyeri pada alat kelamin vagina yang disebabkan

19

oleh aktivitas yang bukan hubungan seksual, seperti mencium meraba yang dilakukan pada bagian tubuh lainnya non-genital) 6) Dapat tertular PMS (Penyakit Menular Seksual), misalnya Neisseria gonorrhoeae, Candida Albicans, Chlamydia Trachomatis. 7) Dapat terjadi KTD (Kehamilan yang Tidak Diinginkan)

Akibat dari perkosaan dapat menimbulkan Acute Stress Disorder. Gejala-gejalanya antara lain : mati rasa, seperti linglung, merasa dunia ini tidak nyata, mengingat kejadian perkosaan melalui ingatan dan mimpi buruk, cenderung menghindari tempat, benda, pikiran, maupun perasaan yang dapat mengingatkan kejadian perkosaan, cemas berlebihan sehingga susah tidur dan sulit konsentrasi, dan sikap menghindari kehidupan sosial. Efek psikis yang diakibatkan oleh tindak kejahatan perkosaan secara garis besar dapat digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu : 1. Berdasarkan Jangka Waktu: a. Efek jangka pendek (Short-term effects) Perubahan perilaku yaitu suka menyendiri, gemar melukai diri sendiri, lebih suka diam, seperti orang kebingungan, menyalahkan diri sendiri, dan menyesali diri sendiri. Perubahan sifat yaitu mudah marah, mudah merasa takut, cepat tersinggung, tidak percaya diri, dan putus asa. Gangguan dalam hubungan sosial, yaitu cenderung menutup diri dari pergaulan dan hanya berkawan dengan sesama jenis. b. Efek jangka panjang (Long-term effects) Pikiran membosankan (intrusive thought), sikap menghindar, mati rasa, susah konsentrasi, cepat terpicu emosinya, depresi, penghormatan yang rendah (low esteem), berpikir mengenai bunuh diri (suicidal ideation). Efek psikologis jangka panjang biasanya baru akan terlihat dan dapat didiagnosis bila keluhan menetap selama sebulan. Respon perilaku yang dapat terjadi, seperti pindah rumah, ganti pekerjaan, dan tidak berani keluar sendiri. Efek psikologis jangka panjang juga dapat berupa gangguan sosial, seperti :

20

kriminalitas, kekerasan kejahatan dan kelainan seksual berupa sikap enggan berhubungan seksual bahkan sampai terlibat bisnis prostitusi. Dampaknya juga masih dapat dirasakan walaupun perempuan korban perkosaan tersebut telah berkeluarga, maka dapat menimbulkan efek seperti sikap overprotektif terhadap anaknya. Kombinasi reaksi perubahan perilaku, fungsi fisiologis (somatic) dan reaksi psikologis setelah terjadi penyerangan seksual disebut The Rape Trauma Syndrome (Burgess & Holstrom 1974). The Rape Trauma Syndrome terdiri dari fase akut dan fase reorganisasi.

21

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan deskriptif kuantitatif retrospektif untuk mengetahui temuan medis korban pada kasus kekerasan seksual pada anak di RSUP Sanglah periode bulan Januari-Juni 2011.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di bagian/SMF Ilmu Kedokteran Forensik RS Sanglah/FK Unud pada bulan Januari Juni 2011.

3.3 Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah korban kasus kekerasan seksual pada anak yang tercatat di RSUP periode Januari - Juni 2011.

3.4 Variabel Penelitian 1. Jenis kelamin 2. Umur 3. Bentuk kekerasan seksual pada anak 4. Temuan medis kekerasan seksual pada anak

3.5 Definisi Operasional Variabel 1. Jenis kelamin adalah data yang tercantum pada visum et repertum yang dapat dibagi menjadi dua yaitu laki-laki dan perempuan. 2. Umur adalah data yang yang tercantum pada visum et repertum yang menunjukkan lama hidup korban. Interval umur yang digunakan adalah lima tahun, sesuai dengan penggolongan Balai Pusat Statistik (BPS). 3. Bentuk kekerasan seksual pada anak adalah mencakup berbagai pelanggaran seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi,

22

pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, perkosaan, hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan darah (incest), dan sodomi. 4. Temuan medis kekerasan seksual pada anak adalah hasil pemeriksaan fisik pada korban kekerasan seksual pada anak.

3.5 Cara Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yaitu dengan menggunakan data Rekam Medis kasus kekerasan seksual pada anak di Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Forensik RS Sanglah/FK Unud pada bulan Januari Juni 2011.

3.6 Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data dimasukkan ke dalam tabel, dari data tersebut ditentukan persentase masing-masing karakteristik dan temuan medis kekerasan seksual pada anak yang ingin diketahui. Dari data-data tersebut dapat kita ketahui karakteristik dan temuan medis apa yang sering ditemukan pada kasus kekerasan seksual pada anak di RSUP sanglah pada bulan Januari Juni 2011.

23

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Kekerasan Seksual pada Anak Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.1 Karakteristik Kekerasan Seksual pada Anak Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Korban Laki-laki Perempuan Total Jumlah 1 24 25 Persentase (%) 4% 96 % 100 %

Pada tabel diatas menunjukkan karakteristik kekerasan seksual pada anak berdasarkan jenis kelamin korban dimana persentase korban perempuan jauh lebih banyak yaitu sebesar 96% dibanding laki-laki sebesar 4%.

4.2 Karakteristik Kekerasan Seksual pada Anak Berdasarkan Umur 4.2 Tabel Karakteristik Kekerasan Seksual pada Anak Berdasarkan Umur Umur Korban 5-10 11-16 Total Jumlah 5 20 25 Persentase (%) 20 % 80 % 100 %

Pada tabel diatas menunjukkan karakteristik korban kekerasan seksual pada anak berdasarkan umur korban dimana korban yang berumur 11-16 tahun cenderung lebih banyak dari pada umur yang lainnya yaitu sebesar 80%.

24

4.3 Karakteristik Kekerasan Seksual Berdasarkan Bentuk Kekerasan Seksual 4.3 Tabel Karakteristik Kekerasan Seksual Berdasarkan Bentuk Kekerasan Seksual Bentuk Kekerasan Seksual Hubungan Seksual Perkosaan Pelecehan seksual Total Jumlah 11 10 4 25 Persentase (%) 44 % 40 % 16 % 100 %

Pada tabel diatas menunjukkan karakteristik korban kekerasan seksual berdasarkan bentuk kekerasan seksual dimana korban yang melakukan hubungan seksual sedikit lebih tinggi dari yang mengalami perkosaan, yaitu sebesar 44% dan 40%.

4.4 Temuan Medis Kekerasan Seksual pada Anak

GRAFIK TEMUAN MEDIS KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK


Payudara Labia Minora Labia Mayora Hymen 0% 20% 40% 60% 80% Persen

Gambar 4.1 Grafik Temuan Medis Kekerasan Seksual pada Anak

25

Pada grafik diatas menunjukkan temuan medis berupa cedera pada hymen paling banyak terjadi sebanyak 70%, diikuti dengan sedera pada payudara sebanyak 15%, labia minora sebanyak 11%, dan labia mayora sebanyak 4%.

26

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Pembahasan Penelitian Berdasarkan jenis kelamin korban kekerasan seksual pada anak, didapatkan data yang menunjukkan bahwa jumlah korban perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga pada penelitian ini kita dapat melihat kecenderungan korban kasus kekerasan seksual lebih banyak dialami oleh anak perempuan. Menurut data WHO 2006 ditemukan adanya seorang anak perempuan dilecehkan, diperkosa dan dipukuli setiap hari di seluruh dunia. Paling tidak setengah dari penduduk dunia berjenis kelamin perempuan telah mengalami kekerasan secara fisik dan seksual. Penelitian tentang kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilakukan organisasi ini di 10 negara (Bangladesh, Brazil, Eth iophia, Jepang, Namibia, Peru, Samoa, Serbia dan Montenegro, Thailand dan Tanzania) menunjukan bahwa kekerasan seksual yang dialami anak perempuan lebih sering dilakukan oleh orang -orang terdekat. Sebanyak 24.000 anak perempuan diwawancarai dan didengarkan keluhan mereka, 20% diantara mereka mengatakan bahwa kekerasan seksual yang mereka alami tidak pernah di ceritakan kepada siapapun karena malu, tabu dan takut (Kinasih SE, 2008). Hasil penelitian tentang kekerasan seksual pada anak-anak yang dilakukan di India menunjukkan bahwa dari total 2.211 responden, 42% anakanak mengalami paling sedikit satu bentuk kekerasan seksual. Di antara responden tersebut, 48% anak laki-laki dan 39% anak perempuan mengalami kekerasan seksual. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang diperoleh di RSUP Sanglah karena di India anak laki-laki cenderung lebih banyak mengalami kekerasan seksual (Ministry of Women and Child Development Government of India, 2007). Selain itu, di Indonesia hal tersebut juga dikaitkan dengan struktur
budaya masyarakat yang didominasi oleh patriarkhi, dimana tindakan pelecehan seksual

27

berhubungan dengan pandangan di masyarakat bahwa perempuan adalah obyek seksualitas, bahkan sebagai obyek kekuasaan laki laki (Kinasih SE, 2008)..

Berdasarkan umur korban kekerasan seksual pada anak didapatkan korban yang memiliki umur antara 11-16 tahun cenderung lebih banyak (80%) dibandingkan dengan umur 5-10 tahun (20%). Hasil penelitian tentang kekerasan seksual pada anak-anak yang dilakukan di India menunjukkan bahwa dari total responden anak, 53,22% melaporkan pernah mengalami satu atau lebih kekerasan seksual yang termasuk bentuk berat dan bentuk lain. Di antara 53,22% responden anak tersebut, 52,94% anak laki-laki dan 47,06% anak perempuan. Dari data distribusi usia anak yang mengalami kekerasan seksual didapatkan bahwa kekerasan seksual pada anak telah dimulai dari usia lima tahun, kemudian meningkat pada usia 10 tahun, mencapai puncaknya pada usia 12 sampai 15 tahun, dan di atas 15 tahun mulai menurun seksual (Ministry of Women and Child Development Government of India, 2007). Data tersebut hampir sama dengan data yang diperoleh di RSUP Sanglah. Hal tersebut menunjukkan bahwa anak-anak usia belasan tahun merupakan kelompok usia yang paling rentan mengalami kekerasan seksual pada anak. Berdasarkan bentuk kekerasan seksual pada anak, didapatkan bahwa korban cenderung lebih banyak melakukan hubungan seksual (44%) daripada yang mengalami perkosaan (40%). Yang paling sedikit adalah korban pelecehan seksual sebanyak 16%. Menurut data kasus baru kekerasan seksual pada anak PKT RSCM tahun 2004-2006, didapatkan bahwa kasus perkosaan terhadap anak perempuan di bawah 18 tahun ada 62 kasus tahun 2006 dan kekerasan seksual bentuk lain terhadap anak perempuan di bawah 18 tahun ada 66 kasus tahun 2006 (WHO dan UNICEF, 2007). Hasil penelitian tentang kekerasan seksual pada anak-anak yang dilakukan di India, didapatkan bahwa dari 12.447 responden anak 5,69% melaporkan adanya perkosaan (penetrasi pada anus, vagina, atau oral seks), 54,4% anak laki-laki dan 45,6% anak perempuan. Dari total responden anak, 14,5% melaporkan insiden ketika ada orang yang memegang bagian pribadi tubuh mereka, 12,6% anak melaporkan seseorang telah memaksa mereka untuk

28

menunjukkan atau mempertontonkan bagian pribadi tubuh mereka, dan 4,46% melaporkan bahwa mereka difoto dalam kondisi telanjang (Ministry of Women and Child Development Government of India, 2007). Data tersebut berbeda dengan data RSUP Sanglah, dimana di India kejadian perkosaan lebih sedikit dibandingkan dengan bentuk kekerasan seksual yang lainnya. Berdasarkan temuan medis yang diperoleh dari korban kekerasan seksual pada anak, didapatkan bahwa cedera pada hymen paling banyak terjadi yaitu sebanyak 70%, diikuti dengan sedera pada payudara sebanyak 15%, labia minora sebanyak 11%, dan labia mayora sebanyak 4%. Cedera pada hymen tersebut ada yang berupa robekan lama dan robekan baru. Robekan lama pada hymen didapatkan pada anak yang sebelumnya pernah melakukan hubungan seksual atau sudah pernah mengalami perkosaan. Hal ini sesuai dengan bentuk kekerasan seksual pada anak yang didominasi oleh hubungan seksual dan perkosaan.

5.2 Kelemahan Penelitian Beberapa kelemahan pada penelitian ini antara lain: 1. Keterbatasan waktu dalam melakukan penelitian 2. Jumlah subyek yang sangat sedikit yaitu hanya berjumlah 25 korban kekerasan seksual pada anak. Akan lebih baik jika menggunakan jumlah subjek yang lebih banyak lagi. 3. Penelitian ini bersifat retrospekitf dan menggunakan data sekunder dimana kelengkapan data sekunder disini tidak secara lengkap memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti sehingga banyaknya data missing.

29

BAB 6 PENUTUP

6.1 Simpulan Total korban kekerasan seksual pada anak yang masuk di IRD RSUP Sanglah dari bulan Januari hingga Juni tahun 2011 adalah 25 anak, yang terdiri dari perempuan (96%) dan laki-laki (4%). Umur korban kekerasan seksual pada anak cenderung lebih banyak terjadi pada kelompok umur 11-16 tahun, yaitu sebesar 80%. Bentuk kekerasan seksual pada anak cenderung lebih banyak hubungan seksual (44%) dan perkosaan (40%). Temuan medis kasus kekerasan seksual pada anak berupa cedera pada hymen paling banyak terjadi yaitu sebanyak 70%, diikuti dengan cedera pada payudara sebanyak 15%, labia minora sebanyak 11%, dan labia mayora sebanyak 4%.

5.2 Saran Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kasus kekerasan seksual pada anak yang masuk ke RSUP Sanglah.

Anda mungkin juga menyukai