Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN Laringomalasia atau laring flaksid kongenital merupakan penyebab tersering dari kelainan laring kongenital, berupa

stridor inspiratoris kronik pada anak. Keadaan ini merupakan akibat dari flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis. Biasanya, pasien dengan keadaan ini menunjukkan gejala pada saat baru dilahirkan, dan setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara bertahap berkembang stridor inspiratoris dengan nada tinggi dan kadang kesulitan dalam pemberian makanan.1 Laringomalasia merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, yang mula-mula terjadi segera setelah kelahiran, dan memberat pada bulan keenam, serta membaik pada umur 12-18 bulan. Terkadang kelainan kongenital ini dapat menjadi cukup berat sehingga membutuhan penanganan bedah. Penyebab pasti laringomalasia masih belum diketahui. Penegakan diagnosis didapatkan melalui pemeriksaan menggunakan endoskopi fleksibel selama respirasi spontan.1 Laringomalasia merupakan kelainan kongenital tersering pada laring (59,8%) neonatus, bayi, dan anak yang sering menyebabkan stridor. Anak laki-laki dilaporkan mengalami laringomalasia 2 kali lebih sering daripada anak perempuan. Laringomalasia secara umum merupakan kondisi self-limiting, akan tetapi dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan nafas yang ditimbulkannya. Selain itu, laringomalasia juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal dan kegagalan pertumbuhan pada anak.1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. EMBRIOLOGI Laring, faring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut embrional yang terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama sesudahnya, terbentuk alur faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring. Sulkus atau alur laringotrakeal menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan ke arah kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. bagian yang paling proksimal dari tuba yang membesar ini akan menjadi laring.2,3 Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot dan sebagian besar pita suara (plika vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal. Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan perkembangan arkus brankialis embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari aparatus brankialis. Gangguan perkembangan dapat berakibat berbagai kelainan yang dapat didiagnosis melalui pemeriksaan laring secara langsung. 2,3 2. ANATOMI DAN FISIOLOGI Laring, faring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut embrional yang terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama sesudahnya, terbentuk alur faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring. Sulkus atau alur laringotrakeal menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan ke arah kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. bagian yang paling proksimal dari tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot dan sebagian besar pita suara (plika vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal. Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan perkembangan arakus brankialis embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari aparatus brankialis. Gangguan perkembangan dapat berakibat berbagai kelainan yang dapat didiagnosis melalui pemeriksaan laring secara langsung.2,3 2

Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang menyatukan trakea dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif umum. Laring memiliki kegunaan penting yaitu (1) ventilasi paru, (2) melindungi paru selama deglutisi melalui mekanisme sfingteriknya, (3) pembersihan sekresi melalui batuk yang kuat, dan (4) produksi suara. Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis. Supraglotis terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu) dan ventrikel laringeal. Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Ukuran, lokasi, konfigurasi, dan konsistensi struktur laringeal, unik pada neonatus.2,3 Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana mukosa. Terletak di sebelah ventral faring, berhadapan dengan vertebra cervicalis 3-6. Berada di sebelah kaudal dari os hyoideum dan lingua, berhubungan langsung dengan trakea. Di bagian ventral ditutupi oleh kulit dan fasia, di kiri kanan linea mediana terdapat otot-otot infra hyoideus. Posisi laring dipengaruhi oleh gerakan kepala, deglutisi, dan fonasi. 2,3,4 Kartilago laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu kartilago tireoidea, krikoidea, dan epiglotika, serta 3 buah kartilago yang berpasangan, yaitu kartilago aritenoidea, kartilago kornikulata, dan kuneiform. Selain itu, laring juga didukung oleh jaringan elastik. Di sebelah superior pada kedua sisi laring terdapat membrana kuadrangularis. Membrana ini membagi dinding antara laring dan sinus piriformis dan dinding superiornya disebut plika ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik lainnya adalah konus elastikus (membrana krikovokalis). Jaringan ini lebih kuat dari pada membrana kuadrangularis dan bergabung dengan ligamentum vokalis pada masing-masing sisi.1,2,3,4 Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring, sedangkan otot-otot intrinsik berfungsi membuka rima glotidis sehingga dapat dilalui oleh udara respirasi. Juga menutup rima glotidis dan vestibulum laringis, mencegah bolus makanan masuk ke dalam laring (trakea) pada waktu menelan. Selain itu, juga mengatur ketegangan (tension) plika vokalis ketika berbicara. Kedua fungsi yang pertama diatur oleh medula oblongata secara otomatis, sedangkan yang terakhir oleh korteks serebri secara volunter. 2,3,4

Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum laring, dibatasi oleh aditus laringis dan rima vestibuli. Lalu ventrikulus laringis, yang dibatasi oleh rima vestibuli dan rima glotidis. Di dalamnya berisi kelenjar mukosa yang membasahi plika vokalis. Yang ketiga adalah kavum laringis yang berada di sebelah ckudal dari plika vokalis dan melanjutkan diri menjadi kavum trakealis.2,3,4 Laring pada bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan orang dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh tekanan jalan nafas. Pada bayi laring terletak setinggi C2 hingga C4, sedangkan pada orang dewasa hingga C6. Ukuran laring neonatus kira-kira 7 mm anteroposterior, dan membuka sekitar 4 mm ke arah lateral.1,2,3 Laring berfungsi dalam kegiatan Sfingter, fonasi, respirasi dan aktifitas refleks. Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-satunya otot abduktor adalah m. krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor pada laring adalah untuk mencegah benda-benda asing masuk ke dalam paru-paru melalui aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai katup untuk mencegah udara keluar dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan tekanan intra thorakal yang dibutuhkan untuk batuk dan bersin. Plika vokalis berperan dalam menghasilkan suara, dengan mengeluarkan suara secara tibatiba dari pulmo, dapat menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Volume suara ditentukan oleh jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan kualitas suara ditentukan oleh cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot facial, dan kavitas nasi serta sinus paranasalis.2,3,4 3. LARINGOMALASIA 3.1. Definisi Laringomalasia merupakan suatu kelainan yang terjadi akibat kelemahan struktur supraglotik sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas. Sedangkan trakeomalasia merupakan kelainan yang terjadi akibat kelemahan pada dinding trakea. Laringotrakeomalasia merupakan laringomalasia dan trakeomalasia yang terjadi secara bersamaan dan menimbulkan gejala utama berupa stridor. Maskipun demikian, laringomalasia dan trakeomalasia memiliki perbedaan etiologi dan patofisiologi.1 3.2. Epidemiologi

Laringomalasia diperkenalkan oleh Jackson dan Jackson pada tahun 1942. Laringomalasia adalah anomali kongenital pada laring yang paling sering terjadi. Anak laki-laki dilaporkan mengalami laringomalasia 2 kali lebih sering daripada anak perempuan. Laringomalasia secara umum merupakan kondisi self-limiting, akan tetapi dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan nafas yang ditimbulkannya. Selain itu, laringomalasia juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal dan kegagalan pertumbuhan pada anak. Laringomalasia merupakan kelainan kongenital tersering pada laring (59,8%) neonatus, bayi, dan anak yang sering menyebabkan stridor. 5 Frekuensi tidak diketahui secara pasti, namun laringomalasia marupakan penyebab tersering timbulnya stridor inspiratoris pada bayi. Insidens laringomalasia sebagai penyebab dari stridor inspiratoris berkisar antara 50%-75%. Tidak terdapat predileksi ras ataupun jenis kelamin.5 Hawkins dan Clark (1987) yang melakukan evaluasi dengan laringoskopi fleksibel pada 453 pasien, menemukan 84 orang dengan laringomalasia primer dan 29 orang dengan laringomalasia sekunder. Sedangkan Nussbaum dan Maggi (1990) melaporkan sebanyak 68% dari 297 anak dengan laringomalasia juga mempunyai kelainan pernafasan lainnya. Pada penelitian Holinger pada 219 pasien dengan stridor, kelainan kongenital pada laring dan trakea menempati urutan pertama (60,3%) dan kedua (16%). Penyebab tersering keadaan stridor pada bayi ialah laringomalasia dan trakeomalasia sebagai dua kelainan kongenital yang tersering pada laring (59,8%) dan trakea (45,7%) pada neonatus, bayi dan anak-anak. Beberapa penelitian melaporkan sebanyak 65-75% bayi dengan stridor disebabkan oleh laringomalasia. Pada 10-15% kasus laringomalasia bersifat berat dan dibutuhkan suatu intervensi bedah untuk penatalaksanaannya. Melissa dkk, menemukan dari 22 anak dengan laringomalasia, 2 (9,1%) diantaranya membutuhkan intervensi bedah karena laringomalasia berat. 5 3.3. Etiologi dan Patogenesis Kelainan kongenital laring pada laringomalasia kemungkinan merupakan akibat dari kelainan genetik atau kelainan embriologik. Walaupun dapat terlihat pada saat kelahiran, beberapa kelainan baru nampak secara klinis setelah beberapa bulan atau tahun. Dua teori besar mengenai penyebab kelainan ini adalah bahwa kartilago imatur kekurangan struktur kaku dari kartilago matur, sedangkan yang kedua mengajukan teori inervasi saraf imatur yang menyebabkan hipotoni. Sindrom ini banyak terjadi pada

golongan sosio ekonomi rendah, sehingga kekurangan gizi mungkin merupakan salah satu faktor etiologinya.3,6 Penyebab laringomalasia masih belum diketahui, namun banyak teori yang menjelaskan patofisiologi laringomalasia. Terdapat hipotesis yang dibuat berdasarkan model embriologi. Epiglotis dibentuk oleh lengkung brakial ketiga dan keempat. Pada laringomalasia terjadi pertumbuhan lengkung ketiga yang lebih cepat dibandingkan yang keempat sehingga epiglotis melengkung ke dalam. Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia, yaitu teori anatomi dan teori neurogenik. 3,6 Menurut teori anatomi, terdapat hipotesis bahwa terjadi abnormalitas kelenturan tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya struktur supraglotis. Teori anatomi pertama kali disampaikan oleh Sutherland dan Lack, 1897, setelah mempelajari 18 kasus obstruksi laring kongenital. Mereka menyimpulkan bahwa kelainan ini merupakan kelainan kongenital disertai dengan imaturitas jaringan pada bayi yang baru lahir. Pada kepustakaan disebutkan bahwa kelainan congenital ini bersifat otosomal dominan. Teori ini didukung oleh penemuan Presscott yang mempelajari 40 pasien dengan laringomalasia. Semuanya mempunyai plika ariepiglotika yang pendek. Dan sebanyak 68% mempunyai bentuk epiglotis infantile yang semuanya bermanifestasi berat yang membutuhkan intervensi bedah. Dari penelitian Wilson pada 10 bayi dengan laringomalasia didapatkan bentuk laring infantile pada 2 bayi, 3 bayi dengan epiglottis melipat seperti omega dan 5 sisanya memiliki epiglottis yang normal. 3,6 Pada teori neuromuskular, dipercaya penyebab primer kelainan ini adalah terlambatnya perkembangan kontrol neuromuskular dibanding dengan teori anatomi. Thompson dan Turner melaporkan terjadinya prolap struktur supraglotis setelah dilakukan pemotongan saraf laring pada percobaan binatang. Penelitian ini didukung dengan beberapa laporan tentang pasien yang menderita laringomalasia setelah mengalami luka neurologi. Peron, dkk melaporkan 7 pasien mengalami flasiditas plika ariepliglotika setelah mengalami kerusakan otak berat. Keadaan ini digolongkan sebagai laringomalasia didapat. Dua dari 7 pasien ini mengalami perbaikan keadaan neurologi yang diikuti dengan kembali normalnya fungsi laring. Dilaporkan pula terjadinya laringomalasia pada pasien yang mengalami paresis serebral (cerebral palsy), overdosis obat, meningitis, stroke, retardasi mental dan trisomi 21. Penyebab neurogenik selanjutnya dihubungkan pula dengan abnormalitas neurogenik lainnya. Belmont dan Grundfast menemukan 80% dari 30 anak dengan laringomalasia mempunyai penyakit refluks gastroesofagus (PRGE), 13% terjadi hipotonia dan 10% mengalami apnea tidur 6

sentral.

Mereka menganggap

bahwa disfungsi atau

imaturitas

dari

control

neuromuscular yang menjadi akar penyebab semua kelainan tersebut. Pada kepustakaan lain disebutkan PRGE ditemukan pada 35-68% bayi dengan laringomalasia dan dianggap berperan menyebabkan edema di supraglotik sehingga terjadi peningkatan hambatan saluran nafas yang cukup mampu menimbulkan obstruksi nafas. Namun dapat pula terjadi sebaliknya dimana laringomalasia menyebabkan PRGE akibat perubahan gradien tekanan intraabdominal/ intratorakal. 3,6 Meskipun laringomalasia merupakan penyebab utama stridor dan obstruksi napas pada bayi, namun laringomalasia dapat pula bermanifestasi akibat yang lain, seperti pada atlet yang biasa melakukan inspirasi paksa yang terlampau kuat sehingga menarik plika ariepliglotika ke endolaring dan terjadi obstruksi nafas. Keadaan ini disebut dengan laringomalasia akibat latihan fisik (exercise induced laringomalacia/ EIL), yang dapat terjadi baik pada anak-anak atau dewasa dan sering terjadi kesalahan diagnosis dan dianggap asma, keadaan tidak sehat atau abnormalitas fungsi. EIL merupakan sindrom dimana terjadi sesak nafas yang berat, stridor dan mengi minimal selama latihan fisik yang berlebihan yang tidak berespons dengan pengobatan -agonis dan kromolin sodium, namun gejala dapat berkurang bila latihan fisik dikurangi. 3,6 3.4. Patofisiologi Laringomalasia dapat terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun pada keduanya. Jika mengenai epiglotis, biasanya terjadi elongasi dan bagian dindingnya terlipat. Epiglotis yang bersilangan membentuk omega, dan lesi ini dikenal sebagai epiglotis omega (omega-shaped epiglottis). Jika mengenai kartilago aritenoid, tampak terjadi pembesaran. Pada kedua kasus, kartilago tampak terkulai dan pada pemeriksaan endoskopi tampak terjadi prolaps di atas laring selama inspirasi. Obstruksi inspiratoris ini menyebabkan stridor inspiratoris, yang terdengar sebagai suara dengan nada yang tinggi.5 Matriks tulang rawan terdiri atas dua fase, yaitu fase cair dan fase padat dari jaringan fibrosa dan proteoglikan yang dibentuk dari rangkaian mukopolisakarida. Penelitian terhadap perkembangan tulang rawan laring menunjukkan perubahan yang konsisten pada isi proteoglikan dengan pematangan. Tulang rawan neonatus terdiri dari kondroitin-4-sulfat dengan sedikit kondroitin-6-sulfat dan hampir tanpa keratin sulfat. Tulang rawan orang dewasa sebagian besar terdiri dari keratin sulfat dan kondroitin-6sulfat. Dengan bertambahnya pematangan, matriks tulang rawan bertambah, akan 7

menjadi kurang air, lebih fibrosis dan kaku. Bentuk omega dari epiglotis yang berlebihan, plika ariepiglotik yang besar, dan perlunakan jaringan yang hebat mungkin ada dalam berbagai tahap pada masing-masing kasus.3 Supraglotis yang terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis dan kartilago aritenoid ditemukan mengalami prolaps ke dalam jalan napas selama inspirasi. Laringomalasia umumnya dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis supraglotis yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat terjadi. Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang ketiga prolapsnya mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas selama periode inspirasi.6 Laringomalasia merupakan penyebab tersering dari stridor inspiratoris kronik pada bayi. Bayi dengan laringomalasia memiliki insidens untuk terkena refluks gastroesophageal, diperkirakan sebagai akibat dari tekanan intratorakal yang lebih negatif yang dibutuhkan untuk mengatasi obstruksi inspiratoris. Dengan demikian, anak-anak dengan masalah refluks seperti ini dapat memiliki perubahan patologis yang sama dengan laringomalasia, terutama pada pembesaran dan pembengkakan dari kartilago aritenoid.5 3.5. Manifestasi Klinis Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan pada70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan kemudian. Pada beberapa bayi tidak menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau dipresipitasi oleh infeksi saluran nafas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada tinggi. Stridor akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan kemudian bersifat intermiten dan hanya timbul bila usaha bernafas bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi, atau posisi supinasi. Setelah itu keadaan makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu serangan. Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum, interkosta, dan epigastrium akibat usaha pernafasan, dan anak dapat ditemukan dalam keadaan pektus ekskavatum. Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi napas yang berat. Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh. 5,6 8

Tiga gejala yang terjadi pada berbagai tingkat dan kombinasi pada anak dengan kelainan laring kongenital adalah obstruksi jalan napas, tangis abnormal yang dapat berupa tangis tanpa suara (muffle) atau disertai stridor inspiratoris serta kesulitan menelan yang merupakan akibat dari anomali laring yang dapat menekan esofagus.5 Bayi dengan laringomalasia biasanya tidak memiliki kelainan pernapasan pada saat baru dilahirkan. Stridor inspiratoris biasanya baru tampak beberapa hari atau minggu dan awalnya ringan, tapi semakin lama menjadi lebih jelas dan mencapai puncaknya pada usia 6 9 bulan. Perbaikan spontan kemudian terjadi dan gejala-gejala biasanya hilang sepenuhnya pada usia 18 bulan atau dua tahun, walaupun dilaporkan adanya kasus yang persisten di atas lima tahun. Stridor tidak terus-menerus ada; namun lebih bersifat intermiten dan memiliki intensitas yang bervariasi.5,6 Umumnya, gejala menjadi lebih berat pada saat tidur dan beberapa variasi posisi dapat terjadi; stridor lebih keras pada saat pasien dalam posisi supinasi dan berkurang pada saat dalam posisi pronasi. Baik proses menelan maupun aktivitas fisik dapat memperkeras stridor.6 Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negative yang tinggi di esophagus intratorak pada saat inspirasi. Pneumonitis aspirasi dilaporkan terjadi pada 7% anak dengan laringomalasia. Mekanisme kelainan ini belum jelas, namun mungkin berhubungan dengan tekanan negatif dan masalah makan. 5,6 Obstructive sleep apnea (23%) dan central sleep apnea (10%) juga ditemukan. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi nafas atas yang lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi pulmonal, yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit paru obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder dari laringomalasia. 5,6 Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasi ini bertujuan untuk mempermudah pemilihan teknik operasi supraglotoplasti. Klasifikasinya adalah sebagai berikut: tipe 1, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih; tipe 2, yaitu memendeknya plika ariepiglotika; tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior. Bentuk omega epiglotis tidak selalu menjadi ciri khas karena ini hanya ditemukan pada 30-50% pasien, dan kebanyakan tidak ditemukan adanya stridor. 5,6 9

3.6. Diagnosis Laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang berupa laringoskopi fleksibel dan radiologi. Dari anamnesis ditemukan riwayat stridor inspiratoris mulai 2 bulan awal kehidupan, suara biasa muncul pada minggu 4-6 awal, stridor berupa tipe inspiratoris dan tidak terdapat sekret nasal, stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis, ketika terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus, selama dan setelah makan. Tangisan bayi biasanya normal. Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi kadang tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks pada bayi. Bayi gembira dan tidak menderita. Pada pemeriksaan fisis ditemukan bayi dapat berinteraksi secara wajar, dapat terlihat takipneu ringan, tanda-tanda vital normal. Biasanya terdengar aliran udara nasal, Suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang. Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan bayi selama pemeriksaan. Stridor murni berupa inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus sternalis.5 Pemeriksaan penunjang utama untuk diagnosis laringomalasia adalah dengan menggunakan laringoskopi fleksibel. Hawkins dan Clark menyatakan bahwa laringoskopi fleksibel efektif untuk diagnosis bahkan pada neonatus. Pemeriksaan dilakukan pada anak dalam keadaan sadar dengan posisi tegak melalui kedua hidung tanpa adanya premedikasi. Melalui pemeriksaan ini dinilai pasase hidung, nasofaring, dan supraglotis. Pada laringomalasia, pita suara dapat bergerak dengan baik, namun pada keadaan berat, sulit memvisualisasikan pita suara akibat kolapnya supraglotis.5 Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien menangis dan penilaian keadaan subglotis kurang akurat. Masih menjadi perdebatan apakah setiap bayi dengan dugaan laringomalasia harus melalui pemeriksaan laringoskopi dan bronkoskopi meskipun pemeriksaan tersebut masih merupakan standar baku untuk menilai obstruksi nafas, mengingat pemeriksaan ini memiliki beberapa kelemahan bagi neonatus, seperti resiko anestesi dan instrumentasi, alat endoskopi yang khusus, ahli anestesi yang handal, mahal dan waktu yang lebih lama, sehingga mungkin ada keterlambatan diagnosis.5 Olney, dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan laringoskopi dan bronkoskopi. Kriterianya adalah:5 10

1. Bayi dengan gangguan pernapasan berat, gagal tumbuh, mengalami fase apnea, atau pneumonia berulang. 2. Bayi dengan gejala yang tidak sesuai dengan gambaran laringomalasia pada laringoskopi fleksibel. 3. Bayi dengan lesi lain di laring. 4. Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti. Nusbaum dan Maggi melaporkan 68% dari 297 anak dengan laringomalasia mempunyai kelainan pernafasan lainnya yang ditemukan dengan bronkoskopi.5 3.7. Diagnosis Banding Setiap kelainan yang menyebabkan obstruksi pada laring merupakan diagnosis banding dari laringomalasia baik akibat kelainan kongenital, infeksi, trauma, benda asing, tumor, paralisis pita suara, stenosis laring dan trakea. 6 Laringomalasia didiagnosis banding dengan penyebab stridor inspiratoris lain pada anak-anak. Antara lain yaitu, hemangioma supraglotik, massa atau adanya jaringan intraluminal sepertilaryngeal web dan kista laring, kelainan akibat trauma seperti edema dan stenosis supraglotik, maupun kelainan pada pita suara.6 3.8. Penatalaksanaan Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah waktu. Lesi sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah dua tahun. Stridor mulanya meningkat pada 6 bulan pertama, seiring bertambahnya aliran udara pernafasan bersama dengan bertambahnya umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat menetap hingga dewasa. Dalam hal ini, stridor baru muncul setelah beraktifitas berat atau terkena infeksi. Jika bayi mengeluarkan stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, hal ini dapat diatasi dengan menghindari tempat tidur, bantal atau selimut yang terlalu lembut, sehingga akan memperbaiki posisi bayi sehingga dapat mengurangi bunyi. Jika terjadi hipoksemia berat pada bayi (ditandai dengan saturasi oksigen <90%) maka sebaiknya diberikan tambahan oksigen. Tidak ada obat-obatan yang dibutuhkan untuk kelainan ini.5 Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara konservatif. Jarang terjadi dimana seorang anak memiliki kelainan yang signifikan sehingga memerlukan operasi. Trakeotomi merupakan prosedur pilihan untuk laringomalasia berat. Supraglotoplasti dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan.7 11

Kira-kira hampir 90% kasus laringomalasia bersifat ringan dan tidak memerlukan intervensi bedah. Pada keadaan ini, hal yang dapat dilakukan adalah memberi keterangan dan keyakinan untuk menenangkan orang tua pasien tentang prognosis dan tindak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang dan pertumbuhan yang normal dapat dicapai.5 Pada laringomalasia yang berat, akan tampak gejala obstruksi nafas yang disertai retraksi strenal dan interkosta, baik saat tidur atau terbangun, sulit makan, refluks berat, dan gagal tumbuh. Anak-anak yang mengalami hal ini beresiko mengalami serangan apnea. Keadaan hipoksia akibat obstruksi nafas dapat menyebabkan hipertensi pulmonal dan terjadi cor pulmonal. Menurut Jackson dan Jackson, 1942, pada keadaan berat ini maka intervensi bedah tidak dapat dihindari dan penatalaksanaan baku adalah membuat jalan pintas berupa trakeostomi sampai masalah teratasi. Namun pada anak-anak, resiko morbiditas dan mortalitas trakeostomi beresiko tinggi.7

Gambar 3. Supraglottoplasti. Berdasarkan klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti yang dapat dilakukan. Teknik yang dipilih tergantung pada kelainan laringomalasianya. Pada tipe 1, dimana terjadi prolaps mukosa aritenoid pada kartilago aritenoid yang tumpang tindih, dilakukan eksisi jaringan mukosa yang berlebihan pada bagian posterolateral dengan menggunakan pisau bedah atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2 dikoreksi dengan cara memotong plika ariepiglotika yang pendek yang menyebabkan mendekatnya struktur anterior dan posterior supraglotis. Laringomalasia tipe 3 ditangani 12

dengan cara eksisi melewati ligament glosoepiglotika untuk menarik epiglottis ke depan dan menjahitkan sebagian dari epiglottis ke dasar lidah.7 3.9. Prognosis Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya bersifat jinak, dan dapat sembuh sendiri, dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien, gejala menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa kasus, walaupun tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini, biasanya stridor akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa.5

13

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Bailey BJ, Calhoun KH. Head and Neck Surgery Otolaringology. Dalam Raven Publishers. Volume satu, Edisi kedua. Philadelphia, USA: 2011, h. 387-389 Ballenger, J. Penyakit-penyakit Laring, Dalam Snow J dan Ballenger J. Ballenger: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher Jilid I. Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1991, h. 417-479 3. 4. Adams, L george. Laring. Dalam: Adams L, Boies L, Higler P. Boies buku ajar penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC, 1997, h. 369-380 Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. Kelainan Laring. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001, h. 231237 5. 6. Paston F. Stridor and Laryngomalacia. Dalam Pediatric Surgical Associates. Texas: 2011, h. 1-20 Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment in Otolaringology Head and Neck Surgery. Dalam Lange Medical Book, Mc Graw-Hill Company. New York, USA: 2004, h. 712-835 7. Lee KJ. Essential Otolaringology Head and Neck Surgery. Dalam Mc Graw-Hill Medical Publishing Division. Edisi kedelapan. New York, USA: 2003, h. 9151021

14

Anda mungkin juga menyukai