Anda di halaman 1dari 10

Sekilas Jepang

Jepang adalah Negara yang terbentang membentuk busur pada arah Barat Laut
Samudra Pasifik di tepi Timur Benua Eurasia. Terdiri dari pulau – pulau besar dan
kecil dengan luas sekitar 378.000 km2 membentang dari Selatan ke Utara sepanjang
2.500 km dan terletak pada sekitar 20° - 46° LU. Pulau – pulau utamanya adalah
Hokkaido, Honshu, Shikoku, Kyushu, dan Okinawa.Honshu terbagi dalam 5 daerah,
yaitu Tohoku, Kanto, Chubu, Kinki dan Chugoku. Sekitar tiga perempat dari daratan
Japang terdiri dari daerah pegunungan dan perbukitan, sedangkan tanah datar yang
tersedia untuk lahan dan pengembangan kota sangat terbatas. Di daerah yang terbatas
inilah tinggal lebih kurang 130 juta penduduk.

Iklim umumnya lembut dengan perubahan 4 musim yang jelas karena Jepang terletak
hampir di pusat daerah beriklim sedang. Musim semi dan musim gugur sangat
nyaman namun pada musim panas ( Juli – Agustus) angina bertiup dari Samudera
Pasifik sehingga menjadikan Jepang panas, sebaliknya pada musim dingin (Desember
– Februari) angin bertiup dari daratan menjadikan Jepang sangat dingin. Kecuali
kepulauan Hokkaido, pada bulan Juni berlangsung Tsuyu ( musim hujan) dan hampir
setiap hari turun hujan. Disamping itu, karena kepulauan Jepang memiliki struktur
daratan yang rumit dan memanjang dari Selatan ke Utara, adanya perbedaan iklim
yang mencolok antar daerah merupakan kekhasan tersendiri. Di Hokkaido dan
Honshu sekitar Laut Jepang, pada musim dingin curah saljunya tinggi. Dengan
memanfaatkan perubahan musim seperti ini berbagai macam olah raga pantai dan
olah raga musim dingin bisa dinikmati dengan menyenangkan.

Perihal makanan tidak hanya masakan Jepang yang terdiri dari nasi, sebagai makanan
pokok, serta sayuran, ikan, dan daging saja sebagai lauk pauknya, masakan Cina dan
Eropa pun cukup popular. Dewasa ini bermacam – macam jenis masakan dari
berbagai penjuru dunia bisa dinikmati. Jepang juga dikarunia air yang bermutu dan
fasilitas higiennya sangat baik sehingga air keran di semua daerah aman di konsumsi.

Kebudayaan Jepang dewasa ini sangat beragam. Para remaja putri yang mempelajari
kebudayaan tradisional Jepang seperti upacara minum teh (chadou) dan merangkai
bunga (kadou) sekalipun senang pergi menonton pertandingan olah raga. Begitu pula
di kota – kota, bukanlah pemandangan yang mengherankan manakala terlihat kuil –
kuil kuno tegak berdampingan dengan gedung – gedung pencakar langit. Inilah
kebudayaan Jepang dewasa ini sebagai gabungan yang mengagumkan antara
Kebudayaan lama dan kuno, antara Timur dan Barat.

Seiring dengan kemajuan media informasi, informasi dengan mudah mengalir masuk
dan hal – hal baru pun dengan cepat tersebar luas di Jepang. Namun kebudayaan
tradisional seperti festival tradisional dan gaya hidup yang sudah berurat berakar di
setiap daerah masih tetap melekat sebagai ciri khas daerah ybs, sepeti halnya dialek
daerah. Demikian pula dengan industrinya. Jepang yang dulu dikenal sebagai Negara
agraris, hanya dengan melalui proses industrialisasi cepat selama 1 abad, kini telah

1
menjelma sebagai salah satu Negara industri maju di dunia. Berbagai penelitian dalam
berbagai bidang, mulai dari rekayasaa elektronik sampai manajemen internasional
dsb, bisa dilakukan di berbagai Universitas.

Sistem pendidikan Jepang

Sistem pendidikan di Jepang hampir sama dengan Indonesia. Pertama, Sho^ gakko^
(SD), ada 6 kelas dari kelas satu sampai enam. Anak umur 6 tahun harus masuk SD
kalas satu. Di Jepang pelajaran/semester baru mulai pada bulan April. Hal ini sama
dari SD sampai universitas. Bulan April itu musim menjadi hangat, berbunga Sakura.
Setiap tahun, anak umur 6 masuk SD disambut bunga sakura. Biasanya di sekolah ada
pohon Sakura. Mereka tamat pada umurnya 12.

Kedua, Chu^ gakko^ (SMP). ada 3 kelas dari kelas satu sampai tiga. Muridnya umur
12 sampai 15.

Ketiga, Ko^to^ gakko^(SMA). ada 3 kelas dari kelas satu sampai tiga. Muridnya
umur 15 sampai 18. SMA itu ada macam-macam. SMA kesenian, SMA teknologi,
SMA pertanian, SMA perikanan, SMA perdagangan, dll.
kemudian, ada Daigaku (unversitas) atau Tanki Daigaku (junior college). Daigaku ada
4 kelas (terdiri dari 8 semester) dan Tanki Daigaku 2 kelas (terdiri dari 4 semester)
.Mungkin Tanki Daigaku ini sama dengan diploma 2 di Indonesia. Tanki Daigaku juga
2 tahun.

Untuk lulus ujian masuk universitas yang berkualitas agak susah. Kalau gagal ujian
masuk, satu atau dua tahun belajar lagi untuk lulus. (ujian masuk 1 tahun 1 kali saja.)
Di Jepang juga ada semacam UMPTN. Untuk masuk universitas negeri, harus ikut
ujian ini. Memang untuk S2 dan S3 tidak ada semacam UMPTN. Biaya sekolah
universitas swasta dua kali atau tiga kali lebih mahal daripada negeri. Universitas

2
swasta, fakultas natural science biaya sekolahnya lebih mahal daripada fakultas lain.
Yang paling mahal fakultas kedoktoran. Universitas negeri tidak ada bedanya
biayanya tergantung fakultas.

Karakter Orang Jepang


Mengenal budaya merupakan salah satu kunci penting untuk membina saling
pengertian. Berikut ini mengenai beberapa karakter orang Jepang yang dikatakan
sebagai ciri khas orang atau masyarakat Jepang.

1. Mottainai

“Mite! Mite! Watashi no tabemono ga nokoshitenai yo! (Lihat! Lihat! Makanan saya
tidak bersisa!)” seru seorang anak Jepang sambil menunjukkan mangkuk nasinya
yang sudah kosong tanpa sebutir nasi pun tersisa. Teman-temannya ikut berebut
menunjukkan mangkuk nasinya yang juga kosong.

Anak-anak yang ada dalam berita itu adalah anak-anak TK yang baru saja dibacakan
sebuah buku cerita berjudul “Mottainai Obaachan”. Buku itu bercerita tentang
seorang nenek yang tidak tidak pernah menyia-nyiakan sesuatu. Nenek itu tidak
pernah berteriak, berbicara pun hanya sedikit, tapi dia selalu bertindak manakala
melihat sesuatu yang sia-sia. Contohnya, di buku itu diceritakan manakala cucu sang
nenek meninggalkan beberapa butir nasi dalam mangkuknya, sang nenek lalu segera
mengambil mangkuk itu dan menghabiskan nasi di dalamnya; atau ketika sang cucu
menggosok gigi sambil membiarkan kran air menyala, sang nenek akan langsung
menghampiri dan mematikan kran air itu.

Memangnya apa sih pentingnya? Itu kan cuma buku cerita, buat anak-anak pula!
Hoho... tunggu dulu! Anda akan kaget kalau buku ini adalah salah satu media
kampanye kebudayaan Jepang, dan telah dibacakan pada sebagian besar taman kanak-
kanak dan SD di seluruh Jepang!

Meskipun terdengar sederhana, mottainai atau tidak menyia-nyiakan sesuatu (dalam


bahasa kerennya lagi tidak mubadzir), adalah sebuah kata yang memiliki kekuatan
dahsyat dalam kebudayaan Jepang. Seorang peneliti Jepang bernama Koichi Tanaka
mendapat hadiah Nobel di bidang kimia karena dia terlalu sayang membuang
campuran yang salah prosedur. Tugasnya kala itu adalah mencari matriks yang dapat
mengionisasi makromolekul tanpa merusak makromolekul tersebut dengan secara
efisien menyerap energi laser. Di salah satu percobaan trial and error-nya, secara tidak
sengaja, alih-alih menggunakan Cobalt Ultra Fine Metal Powder (UFMP) sebagai
matriks, ia menggunakan campuran gliserin-UFMP. Menyadari kesalahan tersebut,

3
ketika hendak membuang campuran yang ia buat, terlintas perkataan “mottainai”.
Sangat sulit dan mahal untuk mendapatkan UFMP. Karena itu, ia berusaha untuk
memisahkan gliserin dari UFMP melalui proses evaporasi menggunakan vacuum
chamber. Untuk mempercepat proses pengeringan, Tanaka menggunakan laser. Dan
untuk memeriksa apakah gliserin masih tersisa atau tidak, ia menyalakan
spektrometer dan memeriksa hasilnya. Dan.. jreng-jreng... ternyata hasil monitoring
melalui spektrometer menunjukkan grafik puncak yang selama ini ia cari. Dari
ketidaksengajaan dan rasa “mottainai” itulah ia berhasil mendapatkan hadiah Nobel.

Orang Jepang pernah berkata, “Kami (bangsa Jepang) sangat miskin ketika Perang
Dunia II berakhir. Bukan karena kami kalah dalam peperangan tersebut, tapi karena
perang benar-benar menghabiskan semua kepunyaan kami.

Seharusnya kita dapat mencontoh Jepang dalam menerapkan “mottainai”nya. Tidak


usah bermuluk-muluk mencanangkan gerakan ini dan itu yang hanya membuang uang
dengan anggaran penyelenggaraannya, cukup dari hal kecil, dari diri sendiri, dan
mulai hari ini.

2. Kesadaran kelompok dan kerja keras

Pada umumnya orang sering menyebutkan bahwa orang Jepang suka bekerja keras,
suka berkelompok, dan sebagainya. Begitu asyik dengan pekerjaannya sehingga orang
Jepang suka lupa waktu. Di perusahaan-perusahaan kurang terdengar suara keberatan
untuk kerja lembur. Hal tersebut didorong oleh rasa tanggung jawab dan semangat
kelompok. Orang Jepang pada umumnya cenderung kuat rasa keterikatannya terhadap
kelompok di mana dia berada, terutama perusahaan tempat kerjanya. Bilamana
perusahaannya menghadapi masalah atau tugas yang mendesak dan harus segera
dituntaskan, maka para karyawan merasa terpanggil untuk ikut memikul beban kerja
bersama-sama, dengan mengesampingkan kepentingan dan kesenangan pribadinya.

Tentu saja ada peraturan ketenaga-kerjaan yang memberikan batasan terhadap jam
kerja, lembur, dll. dan masing-masing perusahaan menentukan aturannya sendiri
dalam batasan yang sudah ditetapkan itu. Dewasa ini mulai ada perubahan, bahkan
timbul kesadaran, terutama di kalangan karyawan muda, untuk lebih menikmati hidup
dengan lebih banyak menyisihkan waktu bagi keluarga dan rekreasi/ hiburan.

Kesadaran kelompok di kalangan orang Jepang konon berakar pada budaya tanam
padi di sawah di masa lampau yang harus dikerjakan beramai-ramai, berdasarkan
sistem kerjasama berkelompok dan kuatnya ikatan kekeluargaan. Ada keteraturan
kerja dalam mengolah sawah, melakukan panen, mengatur pengairan, hingga
mengatur komunitas pertanian tempat mereka bermukim. Jiwa berkelompok ini
kemudian diperkokoh oleh ajaran Konfusius, yang masuk dari Cina, yang berpegang
pada konsep kelompok kekeluargaan.

Dengan latar belakang sejarah demikian, rasa keterikatan (kelompok) karyawan


terhadap perusahaan dan rekan kerja makin menjadi kuat dengan adanya apa yang

4
dinamakan "life-time employment", yakni kebiasaan orang Jepang setia bekerja
seumur hidup pada sebuah perusahaan saja. Akan tetapi, akhir-akhir ini makin banyak
kaum muda yang enggan terikat pada satu perusahaan; mereka lebih senang
berpindah-pindah menurut kehendak hatinya.

Kesetiaan kelompok tidak terbatas di perusahaan atau kantor saja. Bisa saja dalam
kelompok klub olahraga, klub kesenian, kelompok ketetanggaan, kelompok kelas di
sekolah, kelompok seangkatan di universitas, dll. Orang yang masuk dalam sebuah
kelompok, atau memang tergabung dalam sebuah kelompok seperti kelompok
ketetanggaan, merasa adalah kewajibannya untuk bertindak seirama dengan kemauan
kelompok dan tidak bertindak menonjolkan diri atau lain sendiri karena hal itu akan
mengundang rasa kurang senang kelompoknya. Prestasi seorang individu dalam
kelompok bukan lagi prestasi pribadi yang bersangkutan tapi menjadi prestasi
kelompoknya. Masyarakat Jepang kurang dapat menerima sifat individualisme,
apalagi yang mencolok seperti dalam masyarakat Barat. Masyarakat Jepang selalu
menjaga keharmonisan dengan kelompok, lingkungan, dan alam.

3. Bushido

Bushido adalah etika moral bagi kaum samurai. Berasal dari zaman Kamakura (1185-
1333), terus berkembang mencapai zaman Edo (1603-1867), bushido menekankan
kesetiaan, keadilan, rasa malu, tata-krama, kemurnian, kesederhanaan, semangat
berperang, kehormatan, dll. Aspek spiritual sangat dominan dalam falsafah bushido.
Meski memang menekankan "kemenangan terhadap pihak lawan", hal itu tidaklah
berarti menang dengan kekuatan fisik. Dalam semangat bushido, seorang samurai
diharapkan menjalani pelatihan spiritual guna menaklukkan dirinya sendiri, karena
dengan menaklukkan diri sendirilah orang baru dapat menaklukkan orang lain.
Kekuatan timbul dari kemenangan dalam disiplin diri. Justru kekuatan yang diperoleh
dengan cara inilah yang dapat menaklukkan sekaligus mengundang rasa hormat
pihak-pihak lain, sebagai kemantapan spiritual. Perilaku yang halus dianggap
merupakan aspek penting dalam mengungkapkan kekuatan spiritual.

Ada banyak persamaan antara semangat ksatria Eropa masa lalu dengan semangat
bushido, karena sama-sama mementingkan keberanian, rasa malu, kehormatan, dll.
Perbedaannya terletak pada kesetiaan. Hubungan antara seorang satria Eropa dengan
bawahan adalah berdasarkan perjanjian sedangkan dalam bushido adalah semata-mata
berkat kesetiaan.

Orang-orang di luar Jepang kerap mengasosiasikan semangat bushido dengan praktek


seppuku yang tidak pernah dilakukan lagi di zaman modern ini. Seppuku adalah ritual
bunuh diri dengan merobek perut sendiri dengan sebilah pedang sebagai bukti rasa
tanggung jawab. Mengapa perut ?
Di masa-masa feodal dulu di Jepang, para pendekar perang menganggap perut sebagai
tempat bermukimnya jiwa. Jadi pada waktu mereka harus membuktikan rasa
tanggung jawab sebagai pendekar atas perbuatannya, mereka lebih memilih
melakukan seppuku. Di jaman Edo, seppuku bahkan merupakan bentuk hukuman

5
mati bagi anggota kelas samurai. Yang bersangkutan melakukan sendiri seppuku,
untuk itu disediakan seseorang guna membantu menuntaskan kematian tersebut agar
penderitaan tidak berlarut-larut. Dewasa ini seppuku sama sekali tidak dipraktekkan
lagi. Kasus terakhir tercatat pada tahun 1970 ketika seorang sastrawan besar Mishima
Yukio melakukan bunuh diri dengan cara ini, dan hal itu sangat mengejutkan seluruh
negeri Jepang. Di luar Jepang, praktek seppuku lebih dikenal dengan hara-kiri
(merobek perut).

4. Arti senyum orang Jepang

Tidak hanya dalam keadaan senang atau gembira orang Jepang tersenyum, dalam
keadaan yang memilukan hati pun orang Jepang bisa tersenyum. Sedemikian penting
arti senyum orang Jepang sampai-sampai ada buku yang berjudul "The Japanese
Smile" yang ditulis oleh Lafcadio Hearn, seorang sastrawan asal Inggris yang tinggal
di Jepang dan menjadi warganegara Jepang sejak 1890 sampai 1904.

Seperti juga sikap membungkuk atau bersimpuh memberi hormat, tersenyum juga
merupakan sikap untuk menyenangkan dan sekaligus menghormati orang yang diajak
bicara atau dihadapi. Sikap demikian adalah wajib bila orang Jepang menghadapi
orang tua, atasan, teman, dll., terutama orang yang harus dihormati. Namun orang
yang bukan orang Jepang dan belum mengenal budaya Jepang pasti akan terkejut
menyaksikan senyum Jepang di tengah duka atau keadaan berat. Hal tersebut pasti
mengundang tanda-tanya bahkan salah persepsi.

Sebenarnya sikap tersenyum, terutama di kalangan wanita, merupakan salah satu


sikap kendali diri yang sudah berakar dalam kebudayaan Jepang. Perlu diketahui
bahwa orang Jepang terbiasa untuk tidak mengungkapkan perasaannya atau emosinya
secara ekspresif /jelas. Kalau gembira tidak perlu berteriak atau tertawa lepas
meluapkan kegembiraan, dan dalam kesedihan tidak perlu menangis meraung-raung.
Pokoknya harus bisa mengendalikan perasaan atau emosi, menekan emosi yang
menggebu-gebu, terutama bagi wanita. Emosi baru boleh lepas bebas waktu
berlangsung festival, misalnya ketika kelompok-kelompok ramai-ramai menggotong
omikoshi (kuil kecil), mereka berteriak-teriak dengan gembira.

Namun, berbagai ciri yang disebutkan di atas tidak mutlak selalu demikian karena
sudah banyak terjadi perubahan di kalangan generasi muda Jepang yang bersikap
lebih individualis dan ekspresif seperti budaya Barat.

Dengan mengetahui berbagai perilaku tersebut, orang dapat lebih mengerti sikap-
sikap yang sering terlihat dalam kelompok masyarakat Jepang, film-film Jepang atau
yang terkait dengan Jepang.

5. Nemawashi

Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam pergaulan atau interaksi sosial, orang
Jepang selalu cenderung menjaga harmoni dan menghindari timbulnya konflik.
Seperti pernah disebutkan dalam tulisan terdahulu, orang Jepang biasanya tidak akan

6
menolak secara jelas tegas suatu proposal atau permintaan, yang tidak dapat
dipenuhinya. Penolakan dilakukannya secara tidak langsung, lebih halus, mungkin
dengan kata-kata seperti "wah, sepertinya ini sulit juga ya..!", "saya coba pikirkan lagi
tapi saya rasa...". Untuk menjaga agar tidak terjadi konflik dalam membicarakan
sesuatu dalam forum resmi yang dihadiri banyak orang, pada umumnya orang Jepang
melakukan apa yang disebut "nemawashi", yaitu semacam lobbying sebelumnya,
membicarakan berbagai kemungkinan keputusan dengan berbagai pihak yang
berkepentingan seraya mengemukakan pandangan dan pendapat sendiri juga. Dengan
demikian, pada pembicaraan resmi, sudah diperoleh kesepakatan dan konflik pun
dapat terhindarkan. Proses "nemawashi" memang makan waktu dan energi tapi
membawa hasil yang lebih baik daripada penerapan konfrontasi atau tekanan.

"Nemawashi" kerap dilakukan di bidang politik dan bisnis, dalam perkumpulan, dll.
di mana berbagai kepentingan diperkirakan dapat berbenturan.

Kata "nemawashi" sendiri sebenarnya berarti "menggali dulu di seputar pohon yang
akan dicabut, baru kemudian melakukan pencabutan akar", dalam arti mempersiapkan
segala sesuatunya sehingga tugas pokok menjadi lebih mudah dan lancar.

6. Rasa malu

Ada ungkapan lama Jepang berbunyi "Kunshi wa hitori o tsutsushimu", yang artinya
"orang hebat selalu menjaga perilakunya, meskipun sedang sendiri." Dari ungkapan
itu tersirat bahwa menjaga perilaku diri sendiri itu dianggap sangat penting, sekalipun
tidak ada orang lain yang melihat. Orang Jepang berusaha menjaga citranya sebagai
manusia yang ideal yang tersimpan dalam pikirannya. Apabila gagal menjaga citra
tersebut, yang bersangkutan merasa malu akan dirinya, dan juga malu terhadap orang-
orang lain. Dengan demikian, rasa malu yang dalam bahasa Jepang disebut haji -
bukanlah karena takut akan kritikan orang, takut dibenci orang dan sebagainya, tapi
lebih disebabkan penyesalan karena telah menodai citra diri sendiri. Kesimpulannya,
rasa malu itu timbul lebih banyak dari faktor internal /diri sendiri.

7. Masyarakat yang vertikal dan patriakal

Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang bersifat vertikal, artinya berdasarkan


hubungan atas-bawah, sekaligus bersifat patriakal. Sistem ini tidaklah terkait dengan
kelas-kelas dalam masyarakat, melainkan lebih pada penekanan terhadap kesenioran.
Hubungan kesenioran bisa diartikan sebagai hubungan antara atasan-bawahan, antara
siswa kelas yang lebih atas dan siswa kelas yang bawah di sekolah, atau bisa juga
hubungan antara orangtua-anak.

Sistem vertikal dan patriakal ini pada dasarnya masih tetap berakar dalam masyarakat
Jepang karena Jepang belum sampai satu setengah abad terlepas dari sistem feudal
masa lampaunya.

Dapat dikatakan bahwa dalam kenyataan kehidupan Jepang, kesadaran tentang


kesenioran ini sangat berperan dalam masyarakat Jepang, terutama dalam menjaga

7
berlangsungnya tatanan sosial secara baik. Untuk itu, ada aturan-aturan moral yang
menjaga kelancaran dan kelanggengan hubungan demikian. Mereka yang secara
sosial lebih tinggi kedudukannya merasa terpanggil atau bahkan berkewajiban untuk
melindungi atau mengurus orang-orang yang berkedudukan di bawahnya, baik untuk
urusan sosial maupun pribadi. Di lain pihak, orang-orang yang kedudukannya lebih
rendah merasa patut membalas kebaikan tersebut dengan menyatakan hormat,
kesetiaan. Perasaan demikian disebut on (rasa utang budi). Orang-orang yang tidak
mempedulikan on kurang disukai dalam masyarakat karena dianggap kurang
bermoral.

Kemudian ada pula istilah giri yang dapat dapat diterjemahkan kira-kira sebagai
kewajiban moral dari orang-orang yang merasa menanggung on terhadap orang-orang
tertentu. Contoh nyata dari ungkapan rasa on yang diwujudkan dalam pemberian yang
bersifat giri (kewajiban secara moral) adalah antara lain pemberian hadiah akhir tahun
atau tengah tahun dari orangtua murid kepada guru.

8. Sempai-kohai: senior-junior

Salah satu tatanan dalam masyarakat yang vertikal adalah hubungan sempai-kohai.
Seorang senior biasanya dipanggil sempai oleh para junior dan senior memanggil para
junior dengan namanya saja. Akan tetapi, kaitan sempai-kohai ini hanya terbatas di
kalangan siswa atau mahasiswa serta sesama karyawan perusahaan (dalam arti siapa
yang lebih dulu masuk perusahaan ybs.), tapi tidak bisa diterapkan dalam hubungan
antara atasan-bawahan, kakak-adik, orangtua-anak ataupun suami-istri. Seorang
sempai pada umumnya bersikap sebagai pengayom bagi para junior sehingga boleh
dikatakan adanya jalinan hubungan mirip kakak-adik.

Manajemen Gaya Jepang


Di kala ekonomi Jepang tumbuh mulai tahun-tahun 1950-an dan pertumbuhan
memuncak pada tahun-tahun 1970-an, banyak orang di luar Jepang yang terkagum-
kagum akan sistem manajemen gaya Jepang yang membawa kemakmuran bagi
rakyatnya. Ekonomi berkembang baik sehingga tingkat kesejahteraan hidup
meningkat, rakyat pun menikmati hasil pembangunan negaranya. Perusahaan-
perusahaan berkembang marak, baik yang berskala besar maupun yang kecil.
Sebenarnya, apa yang menjadi pilar atau tonggak pokok dari manajemen perusahaan
Jepang? Ada tiga pilar, yaitu sistem kerja seumur hidup di sebuah perusahaan saja,
kesenioran, dan serikat pekerja berdasarkan perusahaan.

Dalam praktek umumnya hingga sekarang ? walaupun perubahan demi perubahan


tengah berlangsung ? sekali seorang calon karyawan melamar dan diterima bekerja di
sebuah perusahaan, dia akan bekerja seumur hidup di perusahaan tersebut hingga usia
pensiun. Di waktu dia harus keluar karena telah mencapai usia pensiun (biasanya
sekitar 60-65 tahun), kedudukannya biasanya sudah cukup tinggi walau waktu baru
masuk kerja yang bersangkutan diterima untuk posisi bawah. Itulah keuntungan dari
apa yang dinamakan sistem kesenioran. Serikat pekerja yang dibentuk dalam

8
kerangka satu perusahaan tersebut, bekerjasama baik dengan pimpinan perusahaan
bagi kepentingan kesejahteraan karyawan.

Ketiga pilar pokok tersebutlah yang telah menunjang perusahaan-perusahaan Jepang,


kecil maupun besar, berkembang baik sehingga membawa ekonomi Jepang
berkembang marak. Namun kemudian timbul resesi panjang setelah timbulnya
berbagai perubahan, misalnya urbanisasi besar-besaran, makin menipisnya populasi di
daerah pertanian, kerusakan dan pencemaran lingkungan, krisis minyak, dan
kemudian meletusnya apa yang populer disebut-sebut sebagai bubble economy
(ekonomi yang menggelembung melebihi nilainya yang sebenarnya), lalu terjadilah
sejumlah perubahan yang mulai mencabut akar sistem manajemen perusahaan Jepang.
Setelah melalui parohan kedua tahun-tahun 1980-an yang sesungguhnya merupakan
masa keemasan dari bubble economy (a.l. harga tanah melonjak secara luar biasa, dll),
maka apa yang disebut koudo-seichoki (masa pertumbuhan tinggi ekonomi) di masa
sebelumnya, sekarang sudah mulai merosot, malah yang terjadi adalah kelesuan atau
resesi ekonomi.

Seiiring dengan itu, sistem manajemen Jepang yang dulu dipandang dengan
terkagum-kagum, kini juga mulai memudar karena orang-orang muda Jepang kurang
suka terlalu terikat di satu perusahaan saja, mereka tidak mudah merasa puas dan
mencari kebebasan untuk memperoleh kesempatan yang lebih baik sehingga
berpindah-pindah kerja. Muncullah istilah freeters (karyawan bebas). Perusahaan pun
berusaha meningkatkan efisiensi dengan melakukan restrukturisasi, sementara
pemerintah memberlakukan deregulasi guna menjaga daya saing yang tinggi di pasar
internasional. Maka sedikit demi sedikit manajemen ala Jepang dengan sistem kerja
seumur hidup, kesenioran, dan serikat pekerja seperusahaan, sudah mulai ditinggalkan
orang. Karyawan berpindah-pindah kerja, mencari apa yang cocok dengan selera
kebebasannya, perusahaan pun terkadang memanfaatkan bantuan dari perusahaan lain
secara sementara (outsourcing). Maka secara perlahan namun makin banyak
manajemen gaya Jepang pun menjadi pudar dan mulai dijauhi.

Demikianlah salah satu ciri khas dan perubahan yang sedang terjadi dalam
masyarakat Jepang.

Daftar Pustaka

9
 http://www.id.emb-japan.go.jp, download 07-05-2006, 16.00 WIB

 http://www.mimpicitanova.blogspot.com, download 07-05-2006, 16.30


WIB

 http://www.jaso.com, download 07-05-2006, 16.45 WIB

 http://nobelprize.org/chemistry/laureates/2002/tanaka-autobio.html,
download 07-05-2006, 17.00 WIB

10

Anda mungkin juga menyukai