Faizatul Rosyidah1
1
Pusat Studi Intelektual Muslimah (PSIM) Unair Surabaya
1
39,5 juta penderita HIV/AIDS, 37,2 juta adalah remaja, 2,3 juta usia kurang
dari 15 tahun.14
Di Indonesia, menurut Ditjen P2MPL-Depkes RI, Subdit AIDS & PMS,
hingga akhir September 2006, tercatat 11.604 kasus HIV/AIDS. Sebagaimana
fenomena gunung es, diperkirakan kasus sebenarnya 90-120 ribu, dan 53%
mengenai kelompok usia 20-29 tahun,15 bahkan Ketua Masyarakat Peduli AIDS
Indonesia, Prof. Dr. Zubairi Djoerban memperkirakan sudah 200 ribu kasus
dan menegaskan telah terjadi ledakan HIV/AIDS di Indonesia.16 Sementara itu
diperkirakan jumlah yang rawan tertular HIV 13 juta hingga 20 juta, 6 ini pada
tahun tahun 2002, tentu sekarang jumlahnya jauh lebih besar. Begitu
mengkhawatirkan kasus HIV/AIDS di Indonesia, hingga baru-baru ini KPAN
menyatakan status darurat dalam penyebaran HIV/AIDS. 17
Demikianlah, seks bebas jelas telah menjadi sumber pertama dan utama
penularan HIV/AIDS. Hal ini penting diperhatikan, karena akhir-akhir ini
banyak diopinikan bahwa penularan HIV/AIDS yang tertinggi adalah akibat
penggunaan jarum suntik tidak steril di kalangan pengguna jarum suntik atau
IDU (intravena drug user). Opini ini jelas telah mengabaikan bahaya
penularan akibat perilaku seks bebas, termasuk perilaku seks bebas pada IDU
akibat loss kontrol. Selain itu, adanya kelompok “baik-baik” yang tertular
HIV/AIDS oleh pelaku seks bebas dan IDU, seperti suami yang suka jajan
ke istri, istri ke anak, pada hakekatnya berawal dari dibiarkan dan
dipeliharanya perilaku seks bebas di tengah masyarakat. Sungguh suatu
kebodohan yang menyesatkan, menyatakan bahwa “Masalah HIV hanyalah
masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas.”18
a. Kondomisasi
Kondomisasi (100% kondom) sebagai salah satu butir dari strategi
nasional tersebut yang telah ditetapkan sejak tahun 1994 hingga
sekarang.10,11 Kampanye pengunaan kondom awalnya dipopulerkan melalui
kampanye ABCD. ABCD, yaitu A:abstinentia; B:be faithful; C:condom dan D:no
Drug.22
Saat ini kampanye penggunaan kondom semakin gencar dilakukan
melalui berbagai media, seperti buklet-buklet,23,24 melalui station TV nasional,
seminar-seminar, penyebaran pamflet-pamflet dan stiker dengan berbagai
macam slogan yang mendorong penggunaan kondom untuk ‘safe sex’.25
Kampanye kondom tak jarang dilakukan dengan membagi-bagikan
kondom secara gratis di tengah-tengah masyarakat seperti mall-mall dan
supermarket. Kampanye tentang kondom juga telah masuk ke beberapa
perguruan tinggi, sekolah-sekolah bahkan meskipun mengundang banyak
penolakan kini telah diluncurkan program ATM (Anjungan Tunai Mandiri)
kondom. Hingga akhir Desember 2005 telah ada 6 lokasi ATM kondom di
Jakarta yaitu di BKKBN pusat, RSPAD Gatot Subroto, Mabes TNI AD, poliklinik
Mabes Polri, Dipdokkes polda Metro Jaya, dan klinik Pasar Baru.25
Namun kenyataannya kondomisasi ini tidak terbukti mampu mencegah
penyebaran HIV/AIDS. Di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur,
ketaqwaan yang kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang kian
individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian
menghimpit masyarakat dan maraknya industri prostitusi, kondomisasi jelas
akan membuat masyarakat semakin berani melakukan perzinahan apalagi
dengan adanya rasa aman semu yang ditanamkan dengan menggunakan
kondom.
2
Mengapa bersifat semu? Karena selain seks bebas akan tetap dimurkai
Allah swt meskipun menggunakan kondom, ternyata kondom sendiri terbukti
tidak mampu mencegah transmisi HIV. Hal ini karena kondom terbuat dari
bahan dasar latex (karet), yakni senyawa hidrokarbon dengan polimerisasi
yang berarti mempunyai serat dan berpori-pori. Dengan menggunakan
mikroskop elektron, terlihat tiap pori berukuran 70 mikron,26 yaitu 700 kali
lebih besar dari ukuran HIV-1, yang hanya berdiameter 0,1 mikron. 27 Selain
itu para pemakai kondom semakin mudah terinfeksi atau menularkan karena
selama proses pembuatan kondom terbentuk lubang-lubang. Terlebih lagi
kondom sensitif terhadap suhu panas dan dingin,28 sehingga 36-38%
sebenarnya tidak dapat digunakan.29 Dengan demikian, alih-alih sebagai
pencegah, kondom justru mempercepat penyebaran HIV/AIDS. Hal ini terbukti
adanya peningkatan laju infeksi sehubungan dengan penggunaan kondom
13-27% lebih.30
Di AS, kampanye kondomisasi yang dilaksanakan sejak tahun 1982
bahkan terbukti menjadi bumerang. Hal ini dikutip oleh Hawari, D (2006) dari
pernyataan H. Jaffe (1995), dari Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat
(US:CDC:United State Center of Diseases Control). Evaluasi yang dilakukan
pada tahun 1995 amat mengejutkan, karena ternyata kematian akibat
penyakit AIDS menjadi peringkat no 1 di AS, bukan lagi penyakit jantung dan
kanker. Selain itu, kondom memang dirancang hanya untuk mencegah
kehamilan, itupun dengan tingkat kegagalan mencapai 20%.25
Selain kondom untuk pria, saat ini di Indonesia juga dipopulerkan
kondom perempuan.31,32 Ada yang berupa diafragma, yaitu kantong plastik
berbentuk tabung yang dimasukkan ke dalam vagina. Diakui, kondom ini
berisiko tinggi gagal mencegah kehamilan,33 apalagi untuk mencegah
penularan HIV. Adapun kondom perempuan yang berupa hidrojel, selain
masih diragukan keampuhannya mencegah penularan HIV, juga berpotensi
menimbulkan berbagai hal yang mempermudah penularan HIV, seperti
peradangan.34
Mencermati uraian di atas, jelaslah bahwa kondomisasi, apapun
alasannya, sama saja dengan menfasilitasi seks bebas yang merupakan
sarana penularan utama HIV/AIDS. Dan HIV/AIDS je as-jelas membahayakan
kehidupan. Sehingga, tidak heran setelah program kondomisasi dijalankan
kasus HIV/AIDS justru semakin meningkat pesat. Dengan demikian,
kondomisasi sama saja dengan penghancuran terselubung umat manusia.
3
metadon tetap memiliki efek adiktif.5 Sementara itu mereka yang terjerumus
pada penyalahgunaan NARKOBA termasuk para IDU pada hakikatnya sedang
mengalami gangguan mental organik dan perilaku,36 sehingga terjadi
kehilangan kontrol dan menjerumuskan para pengguna NARKOBA dan
turunannya pada perilaku seks bebas. Perilaku seks bebas pada pasien yang
mendapat terapi subsitusi metadon juga diakui oleh dokter yang berkerja
pada salah satu program terapi rumatan metadon di Bandung.37 Sementara
itu seks bebas merupakan media penularan terpenting HIV/AIDS.
Adapun pemberian jarum suntik steril kepada penasun agar terhindar dari
penularan HIV/AIDS, jelas sulit di terima. Mengapa? Fakta menunjukkan
bahwa peredaran NARKOBA di masyarakat berlangsung melalui jaringan
mafia yang tertutup, rapi dan sulit disentuh hukum. Jaringan tersebut bersifat
internasional, terorganisir rapi dan bergerak dengan cepat.38 Selain itu, sekali
masuk perangkap mafia NARKOBA sulit untuk melepaskan diri. Hal ini
dibuktikan oleh tingginya angka kekambuhan akibat bujukan teman-
teman. Dan setiap pemakai biasanya memiliki peer group dengan anggota 9-
10 orang.36
Dalam kondisi lemahnya ketaqwaan, himpitan ekonomi yang semakin
berat, siapa yang bisa menjamin bahwa para pelayan penasun tidak akan
“bermain mata” dengan para mafia narkoba? Bukankah bisnis haram ini
menjanjikan untung yang mengiurkan? Dan bukankah ini justru membiarkan
penasun sebagai penyalah guna NARKOBA? Siapakah yang bisa melakukan
pengawasan 24 jam terhadap penasun, sehingga penasun dapat dipastikan
akan menggunakan jarum sendiri?
Dengan demikian, memberikan jarum suntik meskipun steril, di tengah-
tengah jeratan mafia NARKOBA sama saja menjerumuskan pada
penyalahgunaan NARKOBA, sehingga jumlah penasun justru kian
membengkak. Dan yang penting lagi adalah para pengguna narkoba
meskipun menggunakan jarum suntik steril tetap berisiko terjerumus pada
perilaku seks bebas akibat kehilangan kontrol.
Dengan demikian, telah jelas bahwa penanggulangan HIV/AIDS melalui
kondomisasi, subsitusi metadon dan pembagian jarum suntik steril
sebenarnya tidak realistis. Kebebasan seks yang sangat nyata dalam upaya
ini memastikan bahwa upaya tersebut terlahir dari paham liberalisme.37
Suatu paham yang menjadikan kebebasan individu sebagai hal yang
diagung-agungkan, atas nama hak asasi manusia. Ketika terbukti bahwa seks
bebas adalah sumber penularan HIV/AIDS yang sangat cepat, dan strategi
liberal ini justru menfasilitasi perilaku seks bebas, tidakkah berarti ini justru
jalan yang melapangkan kehancuran dan kepunahan suatu bangsa?
Solusi Preventif
Transmisi utama (media penularan yang utama) penyakit HIV/AIDS adalah
seks bebas. Oleh karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan
praktik seks bebas tersebut. Hal ini meliputi media-media yang merangsang
(pornografi-pornoaksi), tempat-tempat prostitusi, club-club malam, tempat
maksiat dan pelaku maksiat.
1. Islam telah mengharamkan laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrim berkholwat (berduaan/pacaran). Sabda Rasulullah Saw: ‘Laa
4
yakhluwanna rojulun bi imroatin Fa inna tsalisuha syaithan’ artinya:
“Jangan sekali-kali seorang lelaki dengan perempuan menyepi (bukan
muhrim) karena sesungguhnya syaithan ada sebagai pihak ketiga”. (HR
Baihaqy)
2. Islam mengharamkan perzinahan dan segala yang terkait dengannya.
Allah Swt berfirman:“Janganlah kalian mendekati zina karena
sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan”
(QS al Isra’[17]:32)
3. Islam mengharamkan perilaku seks menyimpang, antara lain homoseks
(laki-laki dengan laki-laki) dan lesbian (perempuan dengan perempuan ).
Firman Allah Swt dalam surat al A’raf ayat 80-81 : “ Dan (kami juga telah
mengutus) Luth ( kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata
kepada mereka : Mengapa kamu mengerjakan perbuatan kotor itu, yang
belum pernah dikerjakan oleh seorangpun manusia (didunia ini)
sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan
nafsumu ( kepada mereka ), bukan kepada wanita, Bahkan kamu ini
adalah kaum yang melampaui batas.( TQS. Al A’raf : 80-81)
4. Islam melarang pria-wanita melakukan perbuatan-perbuatan yang
membahayakan akhlak dan merusak masyarakat, termasuk pornografi
dan pornoaksi. Islam melarang seorang pria dan wanita melakukan
kegiatan dan pekerjaan yang menonjolkan sensualitasnya. Rafi’ ibnu
Rifa’a pernah bertutur demikian: ’ Nahaana Shallallaahu ’alaihi wassalim
’an kasbi; ammato illa maa ’amilat biyadaiha. Wa qaala: Haa kadza
bi’ashobi’ihi nakhwal khabzi wal ghazli wan naqsyi.’artinya: “Nabi Saw
telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali
yang dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda “Seperti inilah
jari-jemarinya yang kasar sebagaimana halnya tukang roti, pemintal,
atau pengukir.”
5. Islam mengharamkan khamr dan seluruh benda yang memabukkan serta
mengharamkan narkoba. Sabda Rasulullah Saw :“Kullu muskirin
haraamun” artinya : “Setiap yang menghilangkan akal itu adalah haram
(HR. Bukhori Muslim)
“Laa dharaara wa la dhiraara” artinya : ”Tidak boleh menimpakan
bahaya pada diri sendiri dan kepada orang lain.” (HR. Ibnu Majah)
Narkoba termasuk sesuatu yang dapat menghilangkan akal dan menjadi
pintu gerbang dari segala kemaksiatan termasuk seks bebas. Sementara
seks bebas inilah media utama penyebab virus HIV/AIDS .
6. Amar ma’ruf nahi munkar yang wajib dilakukan oleh individu dan
masyarakat.
7. Tugas Negara memberi sangsi tegas bagi pelaku mendekati zina. Pelaku
zina muhshan (sudah menikah) dirajam, sedangkan pezina ghoiru
muhshan dicambuk 100 kali. Adapun pelaku homoseksual dihukum mati;
dan penyalahgunaan narkoba dihukum cambuk. Para pegedar dan
pabrik narkoba diberi sangsi tegas sampai dengan mati. Semua
fasilitator seks bebas yaitu pemilik media porno, pelaku porno,
distributor, pemilik tempat-tempat maksiat, germo, mucikari, backing
baik oknum aparat atau bukan, semuanya diberi sangsi yang tegas dan
dibubarkan.
Solusi Kuratif
Orang yang terkena virus HIV/AIDS, maka tugas negara untuk melakukan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Orang yang tertular HIV/AIDS karena berzina maka jika dia sudah
menikah dihukum rajam. Sedangkan yang belum menikah dicambuk
100 kali dan selanjutnya dikarantina.
2. Orang yang tertular HIV/AIDS karena Homoseks maka dihukum mati.
3. Orang yang tertular HIV/AIDS karena memakai Narkoba maka
dicambuk selanjutnya dikarantina.
4. Orang yang tertular HIV/AIDS karena efek spiral (tertular secara tidak
langsung) misalnya karena transfusi darah, tertular dari suaminya dan
sebagainya, maka orang tersebut dikarantina.
5
5. Penderita HIV/AIDS yang tidak karena melakukan maksiat dengan
sangsi hukuman mati, maka tugas negara adalah mengkarantina
mereka. Karantina dalam arti memastikan tidak terbuka peluang
untuk terjadinya penularan harus dilakukan, terutama kepada pasien
terinfeksi fase AIDS. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang
artinya: “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menularkan
kepada yang sehat” (HR Bukhori ). “Apabila kamu mendengar ada
wabah di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya dan
apabila wabah itu berjangkit sedangkan kamu berada dalam negeri itu
, janganlah kamu keluar melarikan diri” (HR. Ahmad, Bukhori,
Muslim dan Nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf).40
6
• Memulai aktivitas mengoreksi penguasa tentang kebijakan dekstruktif
• Memulai aktivitas mengoreksi pihak legislatif akan perundang-
undangan yang menjadi bagian kebijakan dekstruktif
• Mengingatkan masyarakat luas dan pemerintah akan bahaya NGO-
NGO komprador
• Mengingatkan NGO-NGO ‘Komprador’
Kesimpulan
Mendudukkan masalah:
1. HIV-AIDS adalah Penyakit yang muncul dan menyebar karena adanya
penyimpangan perilaku. Kalaupun ada kasus yang terjadi BUKAN
karena adanya/melakukan penyimpangan perilaku adalah karena kasus
primernya 'dibiarkan' atau tidak tertangani dengan baik.
2. Akar masalah tingginya HIV-AIDS di Indonesia adalah multi sector:
mulai dari level individu (kualitas keimanan & control diri yang lemah,
integritas kepribadian yang rendah, penyakit wahn, dsb), level
masyarakat (tatanan kehidupan yang sekuleristik-materialistik, budaya
hedonis, control social yang lemah, dsb), level Negara (kebijakan yang
tidak populis, hak-2/kebutuhan mendasar warga Negara yang
terabaikan, pemiskinan structural, system hukum yang lemah,
birokrasi korup, lemah terhadap tekanan/intervensi asing, dsb)
merupakan persoalan yang kompleks yang tidak hanya melibatkan
sector kesehatan tetapi juga pendidikan, ekonomi, hukum,
pemerintahan, religiocultural, sehingga upaya penyelesaian yang
harus diambil juga harus multi sektoral, multidisipliner.
3. paradigma berfikir yang digunakan untuk menyusun strategi
penanggulangan haruslah paradigma berfikir ideal, visi/misi ideal
dengan target ideal berdasarkan konsep normative ideal dengan
menjadikan realitas kerusakan yang ada sebagai obyek perubahan.
BUKAN paradigma berfikir yang menjadikan realitas sebagai sumber
konsep sehingga yang terjadi adalah 'mengalahkan idealisme' dengan
realita rusak yang ada.
4. Karena HIV-AIDS adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan hingga
saat ini, maka prinsip penanganan terpenting adalah PUTUSKAN mata
rantai dengan UPAYA PENCEGAHAN.
5. Upaya pencegahan yang dilakukan haruslah hingga bertarget ideal :
0% kasus baru. Dilakukan dengan cara:
a. Mencegah kemunculan perilaku beresiko/penyimpangan perilaku
sejak dini. Harus lahir generasi-generasi baru yang tidak melakukan
free sex/ngedrugs. Tanggung jawab ini justru lebih melibatkan sektor
non kesehatan. Dengan mewujudkan keshalihan individu dan jama'iy
(masyarakat). Dilakukan mulai dari pendekatan 'edukasi' yang bersifat
seruan, mewujudkan sistem kehidupan yang kondusif bagi lahirnya
generas-generasi baru yang 'baik', hingga 'pemaksaan' dalam bentuk
7
menjatuhkan sanksi bagi siapa saja yang menapaki/membuka jalan ke
arah terjadinya penyimpangan perilaku.
b. Mereka yang saat ini secara de facto adalah orang-orang yang
melakukan penyimpangan perilaku/ perilaku beresiko harus dibikin
BERHENTI dari penyimpangan perilakunya sekarang juga, dan tidak
akan kembali lagi melakukan penyimpangan perilaku. Tanggung jawab
ini pun 'masih' lebih banyak melibatkan sector non kesehatan untuk
melakukan. Dilakukan mulai dari pendekatan edukasi yang bersifat
seruan, mewujudkan dukungan system seperti memastikan kebutuhan
mendasar WN terpenuhi, hingga 'pemaksaan' dalam bentuk
menjatuhkan sanksi tegas bagi siapa saja yang tidak mau
tobat/berhenti
c. Mereka yang saat ini terbukti terinfeksi harus ditangani dengan
'tepat' dan menutup kemungkinan terjadinya penularan dari mereka
yang terinfeksi kepada mereka yang sehat. Tanggung jawab ini
melibatkan sector kesehatan, namun juga sector non kesehatan.
Dilakukan dengan membangun kewaspadaan terhadap penularan HIV-
AIDS melalui edukasi ke semua kalangan
8
5. Paradoks kampanye anti diskriminasi ODHA: perjuangkan HAM
segelintir orang, Abaikan HAM orang banyak/masyarakat luas, ketika
yang disebut sebagai 'diskriminasi' tersebut hakikatnya adalah
'penanganan yang tepat'
6. Kampanye Anti diskriminasi ODHA seringkali diiringi upaya mereduksi
pemahaman bahwa HIV-AIDS adalah penyakit yang muncul karena
penyimpangan perilaku, ada upaya mengaburkan fakta bahwa
sebenarnya efek spiral itu pun terjadi berawal dari adanya
penyimpangan perilaku yang tidak segera 'tertangani dengan baik'.
Wallahu A’lam Bish Showab.
--------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
1. Holmes KK et al.Sexual Transmitted Diseases.Ed 3th. New York:McGraw-Hill, 1999.
2. Brooks, GF et al. Medical Microbiology.Ed.20th. Terjemahan.EGC:Jakarta, 1995.
3. WHO. An Orientation to HIV/AIDS Counselling. A Guide for Trainer. Regional Office
for South-East Asia. New Delhi, 2002.
4. Murray, P.R., Rosenthal, K.S., Pfaller,M. A. Medical Microbiology, fifth
edition. Elsevier Mosby. 2005.
5. Ganiswarna , S. G. Rianto S, F. D. Suyatna, Purwantyastuti dan Nafrialdi.
Farmakologi dan Terapi. 2003. Bagian Farmakologi. FK. UI. Jakarta.
6. Direktorat Jenderal. P2MPL-DepKes. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan
Pengobatan bagai ODHA. DepKes RI. Jakarta, 2003.
7. Tjokronegoro A, Djoerban Z dan Matondang C. S. Seluk Beluk AIDS yang Perlu Anda
Ketahui. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 1992.
8. UNAIDS:Estimeted number of persons living the HIV/AIDS at the end of 2005 in
USA.
9. WHO. HIV/AIDS Strategic Framework for WHO South-East Asia Region 2002-
2006. Regional Office for South-East Asia.New Delhi, 2002.
10. KPAN. Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2003-2007. Kementrian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Jakarta, 2003.
11. KPAN. Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2007-2010. Kementrian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Jakarta, 2007.
12. AIDS Bunuh 25 juta orang. Jawa Pos, 5 Juni 2006.
13. Sexual Health Exchange. www. Sexualhealthexchange. 2004/3-4.
14. CDC. Global Summary of The AIDS Epdemic December 2006.
15. Priohutomo S. Kebijakan Pengendalian HIV/AIDS. Dirjen P2PL-Depkes RI. Seminar
TB-HIV Sahid Jaya Hall. 11-12 Desember 2006.(hand out).
16. AIDS Setelah Dua Dekade. Ledakan HIV/AIDS sudah terjadi di
Indonesia.Republika. 27 Mei 2007.
17. Rohaniawan Akan Bantu Atasi HIV/AIDS. Koran Tempo, 5 Mei 2007.
18. Info KesPro. Berita Aids yang Menyesatkan. Radar Jember, 11 Desember 2006.
19. Kompas 24 Mei 2007. “Mudah Hidup Dengan ODHA Perempuan.”
20. Djauzi,S dan Djoerban, Z. Penatalaksanaan Infeksi HIV di Pelayanan Kesehatan
Dasar.Balai Penerbit FKUI. Jakarta,2002.
21. Aditiawati, P. HIV/AIDS. Diskusi HIV/AIDS. ITB. Bandung, 2006. (handout).
22. Depkes RI. Profil Kesehatan Reproduksi. Depkes RI. Jakarta, 2003.
23. Anonim. Apa sih HIV/AIDS itu? (booklet edukasi HIV/AIDS). The Global
Fund. Jakarta, 2005.
24. Anonim. IMS itu epong sih ne? The Global Fund. Jakarta, 2005
25. Hawari, D. 2006. Global Effect, HIV/AIDS, Dimensi Psikoreligi. Balai Pustaka-
FKUI. Jakarta.
26. Anomalous Fatigue Behavior in Polysoprene," Rubber Chemistry and Technology,
Vol. 62, No:4, Sep.-Okt. 1989.
27. Lytle, C. D., et al., "Filtration Sizes of Human Immunodeficiency Virus Type 1 and
Surrogate Viruses Used to Test Barrier Materials," Applied and Environmental
Microbiology, Vol. 58, No: 2, Feb. 1992.
28. Vesey, W.B., HLI Reports, Vol. 9, pp. 1-4, 1991.
29. Collart, David G., M.D., op. cit.
30. Weller S, Davis K. Condom effectiveness in reducing heterosexual HIV
transmission (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 2,. Chichester,
John Wiley & Sons. UK, 2004
31. Kompas 7 Februari 2007.
32. Hak perempuan harus terpenuhi. Media Indonesia. 15 November 2006.
9
33. WHO (2002) The Safety and feasibility of female condom reuse:Report of a WHO
consultation, Geneva,Januari 28-29. 2006 Planned
Parenthood. File://H:hiv%20forum/the%20female%20condom.htm.
34. Kiser, P et al. A Moleculer Condom Against AIDS. Online Monday, Dec. 11, 2006,
ini the Journal of Pharmaceutical Sciences.
35. Terapi Metadon. Mejauhi Kematian Dini Akibat narkoba. Kompas 16 Januari 2007.
36. Hawari, D. Terapi (detoksifikasi) dan Rehabilitasi (Pesantrn) Mutakhir (Sistem
Terpadu) Pasien NAZA (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif
Lain). UI Press. Jakarta, 2004.
37. An Nabhani T. 2003. Peraturan Hidup dalam Islam (Terjemahan). Pustaka Thoriqul
Izza. Bogor.
38. Al Badri, A. A. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam. GIP. Jakarta, 1992.
39. Al-Faruqi IR dan Al-Faruqi LR. Atlas Budaya Islam. Mizan. Bandung, 1994.
40. Akbar, A. 1988. Etika Kedokteran Dalam Islam. Pustaka Antara. Jakarta.
10