Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru.1 Bentuk TB ini dikenali sebagai ekstra paru/non-pulmoner. Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan serta TB dengan keadaan khusus.2 Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun.3 Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan asam positif sehingga penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang diperhatikan.2 TB dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama yaitu Tuberkulosis Paru dimana penyakit tuberkulosis ini yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Kedua yaitu Tuberkulosis Ekstra Paru dimana tuberkulosis ini adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh selain jaringan paru, misalnya pleura (selaput paru), meningen (selaput otak), pericardium (selaput jantung), kelejar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. Di makalah ini akan membahas tentang Tuberkulosis Ekstra Paru mulai dari definisi, organ organ apa saja yang terkena dan bagaimana penanganannya. Tuberkulosis paling sering menyerang paru tapi juga sangat berbahaya karena dapat menyerang organ selain paru. TB bisa muncul di kelenjar getah bening, usus, tulang, otak dan selaputnya, laring, dan ginjal. Tuberkulosis bisa mengenai setiap organ pada tubuh manusia, walaupun sebagian besar tuberkulosis mengenai paru, tapi kejadian ekstra paru atau penyakit TB di luar paru dilaporkan mencapai 5 hingga 30 persen. Penampakan TB ekstra paru ini biasanya tidak khas, muncul perlahan dan diagnosis terkadang tidak terpikirkan dan cenderung terlambat. Ini suatu fenomena yang penting, karena akibat lambatnya diagnosis akan berakibat lambatnya pengobatan sehingga terjadi cacat atau keadaan mengancam nyawa. Salah satu mekanisme timbulnya TB ekstra paru ini adalah reaktifasi fokus TB lama. Reaktifasi ini meningkat sejalan peningkatan kasus, seperti pemakaian obat imunosupresif atau steroid, malnutrisi, prevalensi AIDS atau kondisi immunocompromised dan adanya penyakit penyerta seperti penyakit hati dan ginjal. Lokasi lesi TB paru dan ekstra paru pada saat infeksi primer dipengaruhi oleh derasnya aliran darah dan tingginya tekanan oksigen seperti di apeks paru, korteks ginjal dan daerah pertumbuhan pada tulang panjang. TB ekstra paru dapat menular, tapi penularannya tidak seperti TB paru yang melalui kontak langsung lewat udara yang tercemar bakteri tuberkulosis. TB ekstra paru menular melalui darah (hematogen) dan cairan tubuh (limfogen) yang terinfeksi bakteri tuberkulosis. 1.2 Penyebaran Kuman Tuberkulosis Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran

limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistematik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit shingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa. Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut , yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun. Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluriuh tubuh, dalam perjalanannya di dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat tersebut. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padipadian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, sedangkan secara histologik merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenicspread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskular pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenik spread. Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronic. Sebanyak 0,5%-3% penybaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjdai dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadi TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. Tuberkulosis paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi itu jarang terjadi pada anak tetapi sering pada remaja dan dewasa muda. Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah terinfeksi primer. Secara singkat, patogenesis tuberkulosis dapat dilihat pada Gambar 1.2.1. *Catatan: 1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenicspread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari. 2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis regional (3). 3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadi penyebaran hematogen, terbentuknya kompleks primer dan imunitas selular spesifik, hingga pasien mengalami infeksi TB dan dapat

menjadi sakit TB primer. 4. Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa melalui proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi ( infeksi sekunder dan seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen). Gambar 1.2.1 Bagan patogenesis tuberkulosis. 1.3 Perjalanan Alamiah Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga dari studi Wallgen dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadi TB di berbagai organ (Gambar 1.3.1) Gambar 1.3.1 Kalender perjalanan penyakit tuberkulosis primer Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini. Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6 bulan pertama setelah terinfeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah ter infeksi primer. Sebagian besar menifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada Tahun pertama setelah diagnosis TB. Tabel 1.3.2 Risiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis Umur saat infeksi Risiko sakit Primer (tahun) Tidak Sakit TB Paru TB Diseminata (milier, meningitis) <1 12 25 5 10 > 10 50 % 75 80 % 95 % 98 % 80 90 % 30 40 % 10 20 % 5% 2% 10 20 % 10 20 % 25% 0.5 % < 0.5 % < 0.5 %

Sumber: Marais dkk. Int J Tuberg Lung Dis 2004;8:392 dan Marais dkk. Am J Respir Crit Med 2006; 173: 107890

BAB II ISI 2.1 Evaluasi TB ekstrapulmonal pada pasien pediatrik. Tuberkulosis (TB) Ekstrapulmoner/Non-Pulmoner pada pasien pediatrik meliputi Limfadenitis TB(TB Kelenjar Linfe), Spondilitis TB (TB tulang), Meningitis TB dan TB otak, TB Milier, dan keterlibatan organ lainnya. Antara bagian tubuh lain yang jarang pada TB termasuk telinga tengah, saluran gastrointestinal (GI), kulit, ginjal, dan struktur okuler. 2.2 Limfadenitis Tuberkulosis Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis. Apabila terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula. Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering terjadi. Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah tumor skrofula pada sebuah tulisannya. Penyakit ini juga sudah dikenal sejak zaman raja-raja Eropa pada zaman pertengahan dengan nama Kings evil, dimana dipercaya bahwa sentuhan tangan raja dapat menyembuhkannya. Infeksi M.tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari struktur dasar atau terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis disebut dengan scrofuloderma.

2.2.1 Epidemiologi Limfadenitis tuberkulosis perifer merangkum ~ 10% dari kasus-kasus tuberkulosis di Amerika Serikat. Karakteristik epidemiologi termasuk perbandingan 1.4:1 untuk perempuan kepada lakilaki, memuncak pada rentang usia 30-40 tahun, dan dominan untuk pendatang asing, terutama Asia Timur. (Fontanilla et al, 2011). Tinjauan literatur menunjukkan limfadenopati servikal menjadi predileksi paling sering untuk limfadenitis TB diikuti oleh limfadenopati aksilaris dan limfadenopati sangat jarang di lokasi inguinal. Insiden kelompok leher terlibat dalam 74% - 90% kasus, kelompok aksilaris dalam 14%-20% kasus dan kelompok inguinal dalam 4-8% kasus. Satu studi di India yang dilakukan di Orissa menunjukkan bahwa keterlibatan nodus limfa inguinal adalah lebih umum daripada limfadenopati aksilaris. Keterlibatan kelompok nodus limfa inguinal ini juga sering di kelompok etnis Igbos di Nigeria. 2.2.2 Patofisiologi Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post-primer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa. Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium. TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis. Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Demikian itu, patogenesis Lifadenitis tuberkulosis inguinalis terisolasi dapat dijelaskan oleh reaktivasi lokal infeksi dormant, akibat dari penyebaran limfogen Mycobacterium dari fokus paru subklinis. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional hilus , dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, focus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit. Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB postprimer. Adanya imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ. Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru. Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu sebelum menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher. Peningkatan ukuran nodus mungkin disebabkan oleh berikut: 1.Multiplication sel dalam node, termasuk limfosit, plasma sel, monosit, atau histiosit 2.Infiltrasi sel-sel dari luar nodus, misalnya sel ganas atau neutrofil.3.Drainase sumber infeksi oleh kelenjar getah bening.

2.2.3 Gejala Klinis Limfadenitis TB ekstremitas bawah ini sering di kelenjar getah bening inguinalis lateralis dan femoralis.Ukuran nodus membesar dan harus berhati-hati karena yang tercatat meningkat tajam dalam ukuran dapat menunjukkan potensi untuk keganasan. Bentuk nodus limfa biasanya satu,namun beberapa kelenjar bisa berkonfluensi. Konsistensi mungkin termasuk kusut, fluksus, tegas, kenyal, atau keras. Dalam tahap awal, nodus dalam tuberkulosis adalahg dengan berbatas tegas, mobil, tidak lembut, dan tegas. Jika infeksi tetap tidak diobati, nodus melunakkan, menjadi fluksus, dan melekat pada kulit yang mungkin menjadi eritematus. Pada nodus-nodus multiple,perlunakan tidak serentak. Jika terjadi abses, abses lanjut menjadi fistel multipel berubah menjadi ulkus- ulkus khas: bentuk tidak teratur, sekitar livide, dinding bergaung, jaringan granulasi tertutup pus seropurulen, krusta kuning- sikatriks memanjang, tidak teratur. Fiksasi kelenjar getah bening pada kulit dan jaringan lunak dapat berarti keganasan. Kulit atasnya mungkin eritematus dalam etiologi infeksi. Sinus drainase dapat berkembang pada pasien dengan adenopati tuberkulosis. Gejala seperti penyakit saluran pernafasan atas, sakit tenggorokan, otalgia, coryza, konjungtivitis, dan impetigo sering ditemukan ditambah dengan demam, iritabilitas dan anoreksia. Limfadenitis bisa terjadi tanpa radang akut. 2.3 Tuberkulosis Tulang Tuberkulosis tulang adalah suatu proses peradangan kronik dan destruktif yang disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dari fokus jauh, dan hampir selalu berasal dari paru-paru. Penyebaran basil ini dapat terjadi pada waktu infeksi primer atau pasca primer. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak.4 2.3.1Epidemiologi Tuberkulosis tulang belakang merupakan kejadian yang paling umum dari tuberkulosis tulang dan itu terjadi sekitar 50% dari semua kasus tuberkulosis tulang hampir 88% tentang kasus infeksi atau peradangan tulang belakang yang kronis adalah tuberculous asal. Area predileksi yang utama adalah tulang belakang, pinggul, lutut, kaki, siku, tangan, dan bahu. Rahang bawah (mandibula) dan sendi temperomandibular adalah daerah yang paling sedikit kejadiannya.2 Frekuensi tuberkulosis tulang yang paling tinggi adalah pada tulang belakang, biasanya di daerah vertebra torakal atau vertebra lumbal, dan jarang terdapat di darah vertebra servikalis.4 2.3.2Patofisiologi Beberapa penderita tuberkulosis, osteoarticular merupakan hasil penyebaran secara hematogen dari suatu infeksi primer fokus jauh. Fokus primer mungkin terjadi di paru-paru atau di limfonodi mediastinum, mesentry, daerah cervical, dan ginjal. Infeksi menjangkau sistem tulang melalui saluran vaskuler, yang biasanya arteri sebagai hasil bacillemia atau kadang-kadang di dalam tulang belakang (axial skeleton) melalui vena plexus Batsons. Tuberkulosis tulang dan sendi dikatakan akan berkembang 2 sampai 3 tahun setelah fokus primer.2 Basil tuberkulosis biasanya menyangkut dalam spongiosa tulang. Pada tempat infeksi timbul osteitis, kaseasi, dan likuifaksi dengan pembentukan pus yang kemudian dapat mengalami kalsifikasi. Berbeda dengan osteomielitis piogenik, maka pembentukan tulang baru pada tuberkulosis tulang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Disamping itu periostitis dan sekwester hampir tidak ada. Pada tuberkulosis tulang ada kecenderungan terjadi perusakan tulang rawan sendi atau diskus intervertebra.4 2.3.3Gejala Klinis Pada arthritis tuberkulosis berlangsung lambat, kronik, dan biasanya hanya mengenai 1 sendi, keluhan biasanya ringan, dan makin lama makin berat disertai perasaan lelah pada sore dan malam hari, subfebris, dan penurunan berat badan. Keluhan yang lebih berat seperti panas tinggi, malaise, keringat malam, anoreksia biasanya bersamaan dengan tuberkulosis milier.5 Pada sendi, mula-mula jarang timbul gambaran yang khas seperti pada arthritis yang lainnya. Tanda awal berupa bengkak, nyeri, dan keterbatasan lingkup gerak sendi. Kulit diatas daerah yang terkena teraba panas, kadang-kadang malah dingin, berwarna merah kebiruan. Bisa terjadi sendi berada dalam kedudukan fleksi berkelanjutan dan mungkin disertai tenosinovitis.5

Pada anak-anak dapat ditemukan spasme otot pada malam hari (night start). Mungkin disertai demam, tapi biasanya ringan. Pada kasus yang berat, kelemahan otot bisa terjadi sedemikian cepatnya menyerupai kelumpuhan.5 Bila pinggul yang terkena, maka terjadi kelemahan tungkai dengan sedikit rasa tidak enak. Dalam keadan yang lanjut dan berat, pasien sukar menggerakkan dan mengangkat tungkai pada sendi pinggul yang terkena, disertai rasa sakit yang sangat mengganggu disekitar paha dan daerah pinggul tersebut.5 Tuberkulosis vertebra (penyakit Pott) biasanya terjadi didaerah thorakolumbal. Penyakit Pott merupakan 50% dari seluruh kasus tuberkulosis tulang dan sendi. Pada mulanya seluruh kasus tuberkulosis tulang dan sendi. Pada mulanya proses tejadi di bagian depan diskus intervertebra, menyebabkan penyempitan ruang diskus, memberi keluhan nyeri punggung yang menahun, kemudian disertai munculnya kifosis runcing akibat remuknya korpus vertebra yang terkena yang disebut gibbus. Gangguan neurologis terjadi karena terkenanya spinal cord atau adanya meningitis.5 2.3.4Penegakan Diagnosis Di negara berkembang diagnosis tuberkulosis tulang dan sendi dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan radiologik.2 Penyakit tuberkulosis tulang dapat mengenai hampir seluruh tulang, tapi yang paling sering adalah tuberkulosis pada tulang panjang, tuberkulosis pada tulang belakang, tuberkulosis pada trokanter mayor, daktilis tuberkulosis, artritis tuberkulosis, koksitis tuberkulosis, tuberkulosis sendi lutut, tuberkulosis sendi bahu, dan tuberkulosis sendi siku. Pemeriksaan klinis yang dilakukan dengan melihat tanda dan gejala yang ada dan melakukan pemeriksaan laboratorium (LED meningkat, test sputum BTA, test tuberculin), dan pada pemeriksaan radiologis dapat dilakukan foto toraks PA karena penyakit TB tulang dapat disebabkan karena penyebaran dari TB paru, jika ada kecurigaan infeksi pada tulang maka dapat dilakukan foto pada tulang (foto polos posisi AP, lateral dan CT-Scan atau MRI). Pemeriksaan radiologik pada penyakit tuberkulosis dapat dilakukan foto toraks PA, lateral, dan fluoroskopi, ini dilakukan pada pasien yang dicurigai adanya infeksi TB paru. Untuk menegakkan diagnosis pada penyakit TB tulang dapat dilakukan foto polos tulang dan CT-Scan tulang. 1. Tuberkulosis pada Tulang Panjang Pada tulang panjang, lesi paling sering terdapat di daerah metafisis yang pada foto rontgen terlihat sebagai lesi destruktif berbentuk bulat atau lonjong. Pada permulaan, batas-batasnya tidak tegas tetapi pada proses yang sudah kronis batasnya menjadi tegas. Kadang-kadang dengan sklerosis pada tepinya. Sequestra mengecil dan diserap oleh jaringan granulasi. Dapat ditemukan reaksi periosteal jika lesi lokal di dalam subkortikal, ini bukan merupakan bentuk yang menonjol Lesi cepat menyeberangi garis epifiser dan mengenai epifisis dan selanjutnya mengenai sendi. Proses dapat juga bermula pada epifisis tulang panjang. Lesi pada diafisis jarang, dan lebih jarang lagi pada bentuk lesi multiple cystic.3,4 2. Tuberkulosis pada Tulang Belakang Lesi biasanya pada korpus vertebra dan proses dapat bermula di 3 tempat, yaitu : 1. Dekat diskus intervertebra atas atau bawah, disebut tipe marginal, yang sesuai dengan tipe metafiseal pada tulang panjang. 2. Di tengah korpus, disebut tipe sentral. 3. Di bagian anterior korpus, disebut tipe anterior atau subperiosteal Pada tipe marginal, lesi destruktif biasanya terdapat di bagian depan korpus vertebra dan cepat merusak diskus. Proses dapat terjadi pada dua atau lebih vertebra yang berdekatan. Karena bagian depan korpus vertebra paling banyak mengalami destruksi disertai adanya kolaps, maka korpus vertebra akan berbentuk baji dan pada tempat tersebut timbul gibbus.4 Abses paravertebral timbul cepat dan paling mudah dilihat di daerah torakal karena adanya kontras paru-paru. Bila sudah lama akan timbul kalsifikasi pada abses. Tidak terlihat adanya pembentukan tulang baru pada proses yang aktif.4 Bila pengobatan berhasil, tanda-tanda penyembuhan pada vertebra yang terkena dapat dilihat

dari : Densitas tulang yang kembali normal. Rincian tulang terlihat lebih jelas. Batas tulang yang menjadi lebih tegas. Pada tipe sentral, abses timbul pada bagian tengah korpus vertebra dan diskus lambat terkena proses. Bila lesi meluas ke tepi tulang maka proses selanjutnya adalah seperti pada tipe marginal. Pada tipe anterior, proses berlangsung di bawah periost dan meluas di bawah ligamen longitudinal anterior. Kerusakan pada diskus terjadi lambat.4 3. Tuberkulosis pada Trokanter Mayor Salah satu tulang yang sering terkena tuberkulosis adalah trokanter mayor, terutama pada anakanak dan dewasa muda. Lesi dapat bermula pada tulang atau bursa. Bila lesi bermula pada bursa, maka erosi pada tulang kadang-kadang hanya superfisial dan akan sukar dilihat. Baik pada proses yang dimulai pada tulang maupun bursa, dapat meluas ke sendi panggul. Gambaran radiologik tuberkulosis pada trokanter mayor sama dengan pada tulang panjang.3,4 4. Daktilis Tuberkulosis Kelainan ini disebut juga spina ventosa (lesi pertama menjadi gambaran radiologi pada anakanak), menghasilkan gambaran yang khas. Spina ventosa dalam arti kata sebenarnya adalah tulang pendek yang dipompa dengan udara (a short bone inflated with air). Biasanya bisa dibedakan dari daktilis karena sifilis, dimana tulang melebar karena penebalan tulang akibat pembentukan kortikal tulang baru.3,4 5. Artritis Tuberkulosis Proses bisa bermula pada sinovium atau pada tulang. a) Proses mulai pada sinovium Pada stadium dini tanda-tanda tidak khas, yang tampak ialah : Penebalan kapsul sendi. Sendi tampak suram dan sela sendi agak melebar karena efusi intra-artikuler. Osteoporosis pada tulang-tulang sekitar sendi karena hyperemia.4 Sebaiknya dibuat foto sendi sebelahnya yang sehat untuk perbandingan. Kemudian, hyperemia yang terjadi akan menyebabkan percepatan maturasi ujung akhir tulang dan epifisis apabila infeksi ini terjadi pada anak-anak. Trabekula tulang menjadi samar dan korteksnya menipis.3,4 Ujung akhir tulang terkena juga. Begitu juga seluruh artikular kortek akan menjadi samar, local marginal atau erosi permukaan akan terlihat. Pada stadium lebih lanjut timbul erosi pada tulang dekat sendi yang bersifat local atau luas. Puncaknya kehilangan ruang sendi akan terjadi tapi ini tidak semenonjol seperti yang terjadi pada pyogenik artritis. Kerusakan pada tulang rawan relatif lambat dibandingkan dengan arthritis purulenta dan bila ini terjadi sela sendi akan menyempit.3,4

Anda mungkin juga menyukai