Anda di halaman 1dari 17

STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING BANGSA MENUJU INDONESIA MAJU DAN MAKMUR Oleh Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS.

1 Fakta sejarah membuktikan, bahwa bangsa-bangsa yang maju, makmur, dan berdaulat adalah mereka yang mampu menguasai dan menerapkan IPTEK dalam segenap kiprah kehidupannya, terutama di bidang ekonomi dan industri serta pertahanan. Masa keemasan Umat Islam, yang berlangsung lebih dari sepuluh abad (awal abad-7 sampai akhir abad-17), kunci utama suksesnya terletak pada keunggulannya di bidang IPTEK. Hampir semua teknologi modern yang ada saat ini (mulai dari matematika, fisika, kimia, bioteknologi, farmasi, kedokteran, teknik sipil, astronomi, aeronautika sampai ke elektronik dan teknologi informasi) berasal dari karya para ilmuwan Muslim saat itu (Wallace-Murphy, 2006). Dengan bekal imantauhid dan IPTEK, umat Islam kala itu menguasai dua pertiga wilayah dunia dan menebarkan kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian ke seluruh penjuru dunia. Namun sejak tidak mengamalkan Islam secara benar, kaffah sesuai yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW, dan ikhlas karena Allah semata, umat Islam menjauhi IPTEK yang berujung pada kemuduran umat sampai sekarang. Sementara itu, sejak Revolusi Industri (awal abad-18) hingga sekarang, negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Cooperation and Development ) seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada, negara-negara Uni Eropa, Australia, Selandia Baru, dan Korea Selatan berhasil menjadi maju dan makmur terutama karena mereka menjadikan IPTEK sebagai soko guru kemajuan dan kemakmuran nya. Demikian juga halnya dengan Singapura, Taiwan, dan dua raksasa ekonomi baru dunia, RRC dan India. Di Amerika Serikat dan negaranegara industri maju lainnya sejak 1950-an sampai sekarang, pertumbuhan produktivitas ekonominya sekitar 87,5% berasal dari kemajuan teknologi. Sisanya (12,5%) disumbangkan oleh kenaikan penggunaan kapital (Solow, 1957; Narayanan, 2001). Seiring dengan ledakan kemajuan tekonologi informasi, komunikasi, dan transportasi sejak akhir 1980-an, era globalisasi menjadi semakin nyata dan digdaya ( powerful). Globalisasi bercirikan: borderless world (semakin memudarnya batas-batas negara secara politik-ekonomi dan sosial-budaya), liberalisasi perdagangan, dan semakin sengitnya persaingan antar bangsa.
1

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB; Ketua Umum Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI); Ketua Komite Pengembangan Ekonomi Maritim-KADIN; dan Co-Chairman of International Scientific Advisory Board of Center for Tropical Marine Ecology and Development, University of Bremen, Germany.

Dalam konstelasi (setting) hubungan internasional semacam ini adalah sangat logis ( natural), jika kini dan di masa mendatang, hanya bangsa yang memiliki daya saing lah yang bisa survive (bertahan) menjadi maju, makmur, dan berdaulat. Bangsa yang tidak berdaya saing akan menjadi pasar yang empuk dari berbagai barang dan jasa ( goods and services) yang diproduksi oleh bangsa lain yang berdaya saing. Akibatnya, negara-bangsa dengan daya saing rendah bukan hanya mengalami defisit neraca perdagangan, tetapi juga menyaksikan kehancuran sektor industri dan jasa nya. Karena, barang dan jasa yang dihasilkan oleh bangsa tersebut kalah bersaing dengan yang berasal dari impor. Bila kondisi semacam ini terus berlanjut, maka negara yang tak berdaya saing lama kelamaan menjadi bangkrut ( a failed state). Kondisi inilah yang diinginkan oleh negara-negara maju kapitalis dan korporasi multinasional hedonis yang merupakan arsitektur dari globalisasi (Stiglitz, 2001; Perkins, 2005; Chang and Grabel, 2008). Mencermati perkembangan ekspor-impor RI 2008, dimana hampir 75% tekstil dan produk tekstil (TPT) yang diperdagangkan di dalam negeri (pasar domestik) berasal dari produk impor ilegal yang sebagian besar dari RRC dan Vietnam; kita masih sebagai pengimpor terbesar beras, kedelai, gandum, jagung, dan buah-buahan di dunia; sementara ekspor kita sebagian besar berupa komoditas primer (gas, bahan tambang dan mineral, komoditas perkebunan dan perikanan) bukan produk manufaktur yang bernilai tambah tinggi, maka kita mulai sekarang harus segera bangkit menjadi bangsa yang memiliki daya saing tinggi. Kalau tidak, Indonesia menjadi negara gagal adalah suatu keniscayaan. FAKTOR-FAKTOR PENENTU DAYA SAING Sejak medio 1990-an, IMD Business School di Swiss setiap tahun menerbitkan peringkat daya saing (competitiveness) negara-negara di dunia. Kriteria utama yang dijadikan sebagai dasar pemringkatan daya saing tersebut mencakup: (1) kinerja perekonomian negara, (2) efisiensi pemerintahan, (3) efisiensi dan produktivitas bisnis, (4) infrastruktur, dan (5) teknologi. Atas dasar kelima kriteria ini, Indonesia merupakan salah satu negara dengan daya saing paling rendah di dunia. Pada 2007, daya saing Indonesia berada di posisi kedua terbawah dari 55 negara yang disurvei (World Competitiveness Year Book, 2007). Kemudian meningkat ke posisi 51 pada tahun ini. Tetapi, masih tetap jauh dibawah negara-negara yang sedang maju ekonominya (emerging economies) di kawasan ASEAN. Singapura menempati urutan-2, Malaysia (19), Thailand (27), dan Pilipina (40). Sementara RRC dan India menempati posisi ke-17 dan ke-29. Meski mulai menunjukkan berbagai tanda kelemahan, daya saing Amerika Serikat masih tetap menduduki peringkat-1 (World Competitiveness Year Book, 2008).

Sementara itu, Porter (1998) dan Vietor (2005) berpendapat, bahwa suatu negara-bangsa memiliki keunggulan daya saing, bila perusahaan-perusahaan dan sektor-sektor ekonomi nya mampu menghasilkan barang dan jasa yang kompetitif. Karakteristik barang dan jasa yang kompetitif adalah kualitasnya unggul, harga relatif murah, dan kuantitas produksi ( supply) nya setiap saat dapat memenuhi kebutuhan konsumen, baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Selanjutnya, keunggulan daya saing (competitive advantage) suatu bangsa dapat kita kembangkan melalui dua cara. Pertama adalah dengan memproduksi barang dan jasa yang tingkat permintaan (demand) nya tinggi dan telah diproduksi oleh bangsa-bangsa lain, kemudian kita memproduksinya secara lebih kompetitif. Contohnya, industri otomotif Jepang yang mulai mengungguli Eropa dan AS sejak pertengahan 1980-an. Industri IT (teknologi informasi) Taiwan dan India sejak lima tahun terkahir mulai menyaingi dominasi AS dan Jepang. Industri tekstil Cina dan Vietnam yang dulu jauh di belakang Indonesia, kini mengalahkan produk-produk tekstil dan garmen kita. Kedua, dengan menghasilkan barang dan jasa yang tidak bisa atau sedikit diproduksi oleh bangsa-bangsa lain, tetapi sangat dibutuhkan oleh manusia di seluruh dunia. Di sini berarti kita mengembangkan keungulan kompetitif dari keunggulan komparatif ( comparative advantages) yang kita miliki. Yang pasti, jalur manapun yang kita tempuh untuk mengembangkan keunggulan kompetitif bangsa, diperlukan aplikasi IPTEK, manajemen profesional, dan etos kerja unggul dalam seluruh mata rantai proses produksi, distribusi, dan pemasaran barang dan jasa. Tak mungkin kita bisa membangun keunggulan daya saing bangsa tanpa menggunakan teknologi atau dengan manajemen asal-asalan dan bermalas-malasan. Selain kelima faktor di atas, kisah sukses pembangunan RRC yang spektakuler sejak dua dekade terakhir mengajarkan kepada kita, bahwa suplai energi yang handal ( reliable) dan ketersediaan buruh murah dengan keterampilan serta etos kerja tinggi juga secara signifikan turut meningkatkan daya saing negeri Tirai Bambu tersebut (Kynge, 2006). Dapatlah disimpulkan, bahwa dari sekian banyak faktor ( variables) yang berpengaruh terhadap daya saing suatu bangsa, maka penguasaan dan penerapan teknologi dalam segenap bidang kehidupan, khususnya di bidang ekonomi dan industri, merupakan faktor yang paling menentukan. Oleh sebab itu, bagaimana Indonesia mengelola teknologi dan inovasi guna meningkatkan daya saing bangsa menjadi sangat krusial bagi terwujudnya Indonesia yang maju, makmur, dan berdaulat. PERANGKAP LINGKARAN KETERGANTUNGAN

Dari sejumlah kesalahan kebijakan pembangunan yang dibuat Pemerintah RI sejak kemerdekaannya hingga sekarang, yang paling fatal adalah membiarkan bangsa ini bergantung pada teknologi yang dihasilkan oleh bangsa-bangsa lain. Hingga kini, kita benar-benar menjadi bangsa konsumen produk teknologi bangsa-bangsa lain yang lebih maju, bukan inovator atau pencipta teknologi. Ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi impor inilah yang menyebabkan sistem ekonomi dan industri Indonesia kurang efisien, kurang produktif, dan tidak kompetitif. Pada umumnya produk (outputs) sistem industri Indonesia menjadi mahal, karena selain teknologi, komponen produksi (production inputs) lainnya juga sebagian besar diimpor. Contoh yang jelas adalah ketiga industri andalan nasional di masa Orde Baru, yaitu: TPT, elektronik, dan otomotif. Ternyata kandungan impor (import content) ketiga industri ini sekitar 70% sampai 85%. Artinya, selama ini kita hanya menjadi tukang jahit (assembling) saja. Sedikit sekali atau tidak ada proses transfer teknologi. Industri hulu (penunjang) ketiga industri andalan nasional tersebut juga tidak dikembangkan secara komprehensif. Industri TPT, misalnya, tidak ditunjang oleh sistem perkebunan kapas dan budidaya ulat sutera yang tangguh dan berkelanjutan. Hampir semua mesin-mesin pabrik tekstil di tanah air kini sudah tua atau absolut. Wajar, kalau produk ketiga industri nasional tersebut kini kalah bersaing dengan produk-produk dari Malaysia, RRC, Thailand, dan Vietnam. Ketergantungan pada teknologi asing juga membuat sistem industri nasional kurang atau tidak mampu meresponse secara cepat terhadap tuntutan pasar (konsumen) yang begitu dinamis. Perlu dicatat, bahwa di era dunia yang semakin datar ini, tuntutan pasar bukan hanya yang berkaitan dengan kualitas, kemasan ( packaging), harga, dan kontinuitas suplai barang dan jasa; tetapi juga yang terkait dengan pelestarian lingkungan, hak azasi manusia, dan aspek non-tarif (ideographic) lainnya. Lebih dari itu, sistem ekonomi Indonesia pun menjadi sangat tergantung pada modal (investasi) asing dan cadangan devisa yang diperoleh melalui ekspor serta hutang luar negeri. Karena, hampir semua investor asing ketika menanamkan modalnya di suatu negara, tak terkecuali Indonesia, selalu mensyaratkan penggunaan teknologi dari negaranya. Fakta empiris (sejarah) juga membuktikan, bahwa bangsa yang maju dan makmur adalah mereka yang mampu melakukan pembangunan industri secara efisien, produktif, dan berkelanjutan. Industrialisasi (pembangunan industri) baru berhasil, bila bangsa yang bersangkutan melaksanakan institusionalisasi proses-proses inovasi teknologi (AIPI, 2006). Artinya, keberhasilan industrialisasi bisa terwujud di suatu negara-bangsa, bila preskripsi-

preskripsi teknologi yang mendasari beroperasinya unit-unit produksi dalam sistem industri nasional nya merupakan hasil atau ada dalam kendali bangsa tersebut. Jika kita tinjau ulang (flash back) pembangunan industri Indonesia, program institusionalisasi proses inovasi teknologi dapat dikatakan belum pernah berhasil. Yang lebih mencemaskan, upaya sadar, serius dan kontinu dari segenap komponen bangsa (terutama para pemimpin dan elit bangsa) ke arah itu pun belum pernah menjadi agenda nasional. Presiden B.J. Habibie sebenarnya telah mencoba melakukan program ini. Sayangnya, masa kepimimpinannya berlangsung sangat singkat, dan pemerintahan yang dipimpinannya pun sangat dibebani tugas pemulihan krisis multidimensi. Konsekuensi dari tidak adanya institusionalisasi inovasi teknologi membuat kita bangsa Indonesia tertjebak dalam lingkaran setan ketergantungan pada bangsa-bangsa lain. Dengan perkataan lain, meskipun Indonesia telah 63 tahun merdeka secara fisik, sejatinya kita masih terjajah secara ekonomi, politik, dan budaya. Ini tercermin dari dominasi pemilikan asing terhadap sektor-sektor pertambangan, perkebunan, perbankan, dan telekomunikasi di tanah air tercinta ini, terutama sejak empat tahun terakhir. Media masa, khususnya media elektronik, juga sebagian besar terbawa arus hedonisme, kapitalisme, dan sekularisme Barat. Lebih dari 80% tayangan program TV Indonesia berisi tentang kemaksiatan (pornografi dan ponoaksi), budaya instan dan mengumbar kesenangan (nafsu) perut dan di bawah perut, tahayul dan klenik, dan kekerasan serta kriminalitas. Semua ini membuat rakyat semakin miskin, kehilangan pekerjaan, dan sengsara. Lingkaran setan ketergantungan yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut: Sistem industri Indonesia dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi pada teknologi bangsa-bangsa lain membutuhkan devisa yang besar untuk mengimpor teknologi tersebut. Karena cadangan devisa yang kita peroleh dari ekspor barang dan jasa acap kali tidak mencukupi untuk mengimpor teknologi dan produk-produk dengan kandungan teknologi (bernilai tambah) tinggi, maka pemerintah punya dalih untuk melakukan pinjaman luar negeri. Pada kenyataannya, dari zaman Orba hingga sekarang, pinjaman luar negeri tersebut membuat Indonesia sedikit atau tidak punya pilihan dalam menentukan teknologi asing (impor) mana yang baik untuk kemajuan dan kemakmuran negeri ini. Lebih dari itu, hampir 40% dana pinjaman pun kembali ke negara kreditor melalui jasa konsultan yang

teramat mahal dan impor barang yang harganya digelembungkan ( mark-up), dan sebagian lain dikorupsi oleh pejabat pemerintah dan elit politik bangsa ini. Lepasnya kendali atas pilihan teknologi mana yang semestinya difungsikan (dikembangkan dan diterapkan) dalam rangka membangun sistem industri nasional yang mampu meresponse perubahan permintaan produk barang dan jasa yang sangat dinamis, mengakibatkan sistem industri dan ekonomi Indonesia kurang produktif, tidak efisien, dan kurang berdaya saing. Akibatnya, gaji pegawai negeri sipil, TNI, dan POLRI jauh dari mencukupi secara manusiawi; dan upah karyawan (buruh) di perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN pun sangat kecil. Bayangkan UMR tertinggi adalah DKI Jakarta, yakni Rp 980.000/bulan. Padahal, pengeluaran satu rumah tangga terdiri dari suami, istri, dan 2 orang anak untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (pangan, sandang, rumah sangat sederhana, kesehatan, pendidikan, dan transportasi) di Jakarta adalah sekitar Rp 2,9 juta (Dita Indah Sari, 2008). Karena deru kapitalisme global, sementara pemerintah pun tidak berpihak kepada rakyat (tercermin dari jor-joran pemerintah impor beras, gandum, kedelai, jagung, buah-buahan, dan lainnya), pendapatan kaum tani dan nelayan di pedesaan pun sangat rendah. Petani di AS, negara-negara Eropa, Jepang, dan negara maju lainnya mendapatkan subsidi besar-besaran, sementara kita terus memangkas subsidi pertanian. Ini semua membuat daya beli masyarakat kita menjadi rendah. Lemahnya daya beli masyarakat membuat para produsen (industri) barang dan jasa mengalami kesulitan untuk meningkatkan harga jual produknya sesuai harga keekonomian untuk pasar domestik. Sehingga, membuat banyak perusahaan (industri) seperti Sony, Panasonic, dan Nike, tidak bisa bertahan dan akhirnya hengkang ke Malaysia, Vietnam, Thailand, atau RRC. PHK dan jumlah pengangguran pun semakin membludak. Artinya, rendahnya daya beli masyarakat mengakibatkan pasar dalam negeri menjadi lemah. Padahal, sebagai negara dengan kekayaan alam melimpah dan penduduk terbesar keempat di dunia, asal kita mampu meningkatkan daya beli (purchasing power) rakyat, maka Indonesia sangat berpeluang menjadi negara maju dan makmur baru bersama-sama Brazil, Rusia, India, dan China pada 2030 sebagaimana diramalkan oleh Goldman and Sach (2008).

Lebih dari itu, lemahnya daya beli masyarakat mengharuskan pemerintah (negara) secara konstitusional maupun kemanusiaan memberikan subsidi BBM, bahan pangan (beras), listrik, dan bahan pokok lainnya. Kalau tidak, akan menyulut instabilitas politik dan kerusuhan sosial yang biasanya berujung pada tumbangnya rezim pemerintah. Namun, bila pendapatan negara dari pajak, PNBP, dan lainnya tidak bisa ditingkatkan, maka subsidi jelas sangat membebani APBN dan mengakibatkan defisit anggaran belanja pemerintah. Dengan kata lain, kemampuan negara (melalui instrumen fiskal) untuk melaksanakan pembangunan di segenap bidang kehidupan, termasuk IPTEK, menjadi terpangkas.

Lemahnya pasar dalam negeri secara intrinsik menghambat laju pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya mengakibatkan pembengkakan angka pengangguran dan kemiskinan. Orang yang miskin, lapar, dan tanpa pekerjaan biasanya mudah gelap mata dan putus asa, sehingga mudah terprovokasi untuk melakukan hala-hal destruktif dan anarkis, termasuk demonstrasi. Situasi ini menyusutkan minat investasi para pengusaha, yang selanjutnya menurunkan pertumbuhan ekonomi.

MANAJEMEN TEKNOLOGI DAN INOVASI Oleh sebab itu, kalau kita ingin menjadi bangsa maju dan makmur, tidak ada pilihan lain, kecuali mulai sekarang melakukan langkah terobosan ( breakthrough) agar kita mampu mengaplikasikan teknologi pada sistem industri dan ekonomi nasional. Dan, secara simultan membangun kapasitas nasional untuk menjadi penghasil (inovator) serta penguasa teknologi. Dengan demikian, secara bertahap tapi pasti, insya Allah kita akan mampu melepaskan ketergantungan pada pihak asing, utamanya pada kapitalis (neoliberalis) global yang sangat hedonis dan eksploitatif. Langkah terobosan yang dimaksud adalah penyempurnaan Sistem Manajemen Teknologi Nasional (SMTN) beserta mekanisme kerjanya. Sebagai sebuah sistem, SMTN terdiri dari empat komponen (subsistem): (1) produsen, (2) pengguna, (3) penyandang dana, dan (4) regulator teknologi. Tujuan utama (the ultimate goal) dari SMTN adalah agar bangsa Indonesia secara mandiri mampu menghasilkan dan mengembangkan teknologi, kemudian mengaplikasikan teknologi tersebut dalam sistem industri dan ekonomi, sehingga menghasilkan barang dan jasa yang kompetitif. Untuk mencapai tujuan SMTN tersebut, maka pembangunan ekonomi dan industri nasional harus dapat mengurangi atau melepaskan ketergantungan pada teknologi impor. Dengan

kata lain, kandungan (prosentase) teknologi, yang dihasilkan oleh bangsa sendiri ( endogenous technology), dalam sistem industri dan ekonomi nasional harus semakin dominan. Pengembangan endogenous technology memerlukan SDM berkualitas di bidang Research and Development (R&D) dengan jumlah yang mencukupi, prasarana dan sarana R&D yang mumpuni (bertaraf internasional), dan dukungan dana (anggaran) yang memadai. Sehubungan dengan terbatasnya dana, pengembangan endogenous technology hendaknya difokuskan pada jenis-jenis teknologi yang dapat mendukung sektor ekonomi dan industri yang merupakan keunggulan kompetitif Indonesia, yakni industri berbasis sumberdaya alam ( resource-based industries) yang meliputi: pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, pertambangan dan energi, dan pariwisata. Ada 3 alasan utama, mengapa industri berbasis SDA diyakini sebagai keunggulan kompetitif Indonesia. Pertama, dengan terus bertambahnya jumlah dan membaiknya kualitas hidup (living standards) penduduk dunia, maka permintaan dunia terhadap SDA serta segenap prokduk hilirnya akan terus meningkat. Kedua, kemampuan dunia dalam memproduksi SDA relatif tetap, atau bahkan semakin menurun. Kenaikan harga BBM, bahan pangan, dan komoditas lainnya secara fenomenal dalam lima tahun terakhir yang diperkirakan akan berlangsung lama (FAO, Bank Dunia, dan IMF, 2008) sesungguhnya merupakan sinyal ( a wake-up call), bahwa total permintaan manusia akan SDA beserta segenap produk hilirnya telah melampaui kemampuan bumi untuk menyediakannya. Ketiga, meskipun terjadi deplesi SDA dan kerusakan lingkungan, tetapi Indonesia masih memiliki kekayaan alam yang cukup melimpah dan belum dimanfaatkan secara efisien dan berkelanjutan. Adapun jenis-jenis endogenous technology yang dimaksud, antara lain, mencakup: teknologi budidaya flora dan fauna, bioteknologi, teknologi energi terbarukan, teknologi material (new materials), teknologi informasi dan komunikasi, teknologi minyak dan gas bumi, teknologi pertambangan umum, coastal and ocean engineering, dan nanotechnology. Bioteknologi memungkinkan kita untuk meningkatkan produktivitas budidaya hewan dan tumbuhan berlipat ganda secara ramah lingkungan dan lestari. Selain itu, dengan bioteknologi kita dapat mengekstraksi senyawa-senyawa bioaktif ( bioactive substances) dari berbagai jenis organisme terestrial maupun perairan sebagai bahan baku ( raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan minuman, dan beragam industri lainnya. Dengan bioteknologi, kita juga bisa merekayasa (engineering) mikroorganisme, sehingga dapat digunakan untuk membersihkan bahan pencemar (pollutants) di lingkungan perairan maupun darat (bioremediation). Teknologi material memungkinkan kita untuk menghasilkan material baru dan memperbaiki kualitas material yang ada (existing materials) yang sangat diperlukan dalam industri nasional. Teknologi

informasi dan komunikasi memungkinkan kita untuk menggandakan dan mendistribusikan barang-barang secara lebih cepat serta akurat. Dalam jangka pendek, mulai sekarang kita mesti meneladani Singapura dan RRC yang secara cerdas memanfaatkan kiprah korporasi multinasional ( foreign direct investment) di negeri mereka untuk memacu pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, transfer teknologi, dan peningkatan daya saing nasional (Kwong, et.al., 2001; Kynge, 2006). Transfer teknologi merupakan salah satu butir penting (prasyarat utama) dalam setiap perjanjian kerjasama (investasi) dengan korporasi multinasional. Perusahaan-perusahaan multinasional ini mendatangkan berbagai mesin dan peralatan industri yang canggih dan mutakhir ( state of the art technology) dari negara mereka (negara industri maju) ke Singapura dan RRC. Selain itu, mereka juga membawa serta perangkat lunak ( softwares) untuk mengoperasikan beragam jenis mesin dan peralatan industri, dan untuk sistem pengendalian proses produksi. Dan, yang lebih penting untuk proses transfer teknologi adalah bahwa korporasi multinasional juga diwajibkan untuk memberikan pelatihan (training) secara sistemik dan berkesinambungan kepada para karyawan, teknisi, dan insinyur (engineers) di kedua negara tersebut. Lebih dari itu, pemrintah Singapura dan RRC pun mewajibkan korporasi multinasional melibatkan para peneliti, dosen, dan mahasiswa lokal dalam kegiatan R & D mereka. Pengetahuan, pengalaman, dan keahlian teknologis yang diperoleh melalui on the job training semacam ini berkontribusi sangat signifikan terhadap pembentukan SDM ( human capital) yang sangat berkualitas di Singapura dan RRC. Dengan kata lain, tidak selamanya keberadaan perusahaan asing merugikan kepentingan nasional. Syaratnya, kita jangan bermental inlander, tetapi kita harus profesional, kebijakan pemerintah mesti konsisten, dan hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Sistem pendidikan dari mulai TK sampai Perguruan Tinggi harus dirancang dan dioperasikan supaya mampu menghasilkan SDM berkualitas dalam jumlah sesuai kebutuhan pasar kerja. Yaitu para lulusan pendidikan tingkat menengah, diploma, sarjana, magister, dan doktor yang mampu berpikir jernih dan logis, kreatif, inovatif, mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dan asing (terutama Inggris, Mandarin, atau Arab) dengan baik, melek teknologi informasi (computer literacy), berjiwa wirausaha, memiliki etos kerja tinggi, dan berakhlaq mulia. Selain sejumlah kemampuan dasar tersebut, lulusan tingkat menengah kejuruan, diploma, S1, S2, dan S3 tentu harus juga menguasai keahlian yang menjadi bidang studinya. Untuk mengurangi jumlah pengangguran terdidik yang kian melonjak, jumlah dan kualitas lulusan dari setiap program studi (bidang keahlian) mestinya disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja nasional saat ini dan di masa mendatang, semacam program link and match. Dari sisi permintaan ( demand), Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi berperan

sebagai leading sector yang menghimpun dan menyusun database kebutuhan tenaga kerja nasional saat ini dan yang akan datang minimal untuk 5 sampai 25 tahun kedepan. Masukan data berasal dari semua departemen dan instansi pemerintah, pemda, swasta (KADIN), dan sektor informal. Kemudian, data dan informasi kebutuhan tenaga kerja ini menjadi dasar dalam perencanan dan penyempurnaan pembangunan sistem pendidikan oleh Departemen Pendidikan Nasional, Perguruan Tinggi, dan Sekolah Menengah sebagai penghasil ( supplier) tenaga kerja terdidik dan terampil. Balai Latihan Kerja (BLK) dibawah Depnakertrans dan sejumlah Departemen teknis lainnya harus lebih ditingkatkan lagi fungsinya guna memoles para lulusan sekolah tingkat menengah, diploma, dan Perguruan Tinggi yang belum siap pakai menjadi siap pakai. Sebagaimana di negara-negara industri maju, sudah saatnya kita mendukung Perguruan Tinggi secara sungguh-sungguh agar menjadi research-based universities, yang mampu menghasilkan tekonologi dan berbagai produk inovatif yang berguna bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa. Kurikulum dan metoda pendidikan harus terus disempurnakan sesuai kebutuhan pembangunan dan perkembangan zaman yang sangat dinamis. Laboratorium, lapangan percobaan, kapal latih dan penelitian, perpustakaan, dan prasarana serta sarana lainnya harus terus dikuatkan dan dikembangkan. Kesejahteraan guru, dosen, dan staf non-akademik yang kini masih jauh dari cukup juga mesti segera ditingkatkan. Di seluruh dunia, hasil (temuan) teknologi dari aktivitas penelitian di PT hampir semuanya bersifat skala laboratorium. Untuk menjadikannya sebagai teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia perlu upaya scaling-up (komnersialisasi) temuan tersebut. Di sini pemerintah (Departemen terkait) dan swasta dituntut bekerjasama dengan PT dalam kerangka proses komersialisasi temuan hasil penelitian skala laboratorium menjadi teknologi yang siap pakai oleh masyarakat. Perusahaan-perusahaan industri manufaktur, pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, kelautan, pertambangan, ITC, dan lainnya mestinya dengan tangan terbuka melibatkan para dosen dan mahasiswa untuk melakukan riset dan pengembangan. Sebagai bagian dari proses alih teknologi, Singapura, Malaysia, RRC, dan emerging economies lainnya mewajibkan perusahaan multinasional melibatkan para dosen dan peneliti domsetik dalam kegiatan Research and Development nya. Mengingat daya beli mayoritas rakyat kita masih rendah dan cenderung menurun dalam tiga tahun terakhir, maka seharusnya biaya pendidikan dibuat semurah mungkin, sehingga terjangkau oleh keluarga termiskin sekalipun. Di negara-negara maju, termasuk Singapura dan Malaysia, pendidikan dari TK sampai SLTA bahkan gratis. Oleh sebab itu, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, diluar gaji guru, sesuai amanat UUD 1945 Amandemen, mestinya segera direalisasikan. Pasalnya, anggaran pendidikan negara-negara maju rata-rata

sudah mencapai 30% dari APBN, Malaysia 25%, Thailand 30%, dan Myanmar 18% (UNDP, 2004). Karena manusia juga homo economicus yang mau mengikuti atau mengerjakan sesuatu, jika sesuatu tersebut menguntungkan diirinya, maka mulai sekarang kita sebagai bangsa harus menghargai orang lebih karena ilmunya, profesionalismenya, karya nyatanya, kepedulian sosialnya, akhlaq (moralitas), dan kontribusinya bagi kemajuan bangsa. Bukan karena harta, pangkat, atau simbol-simbol meterialistik lainnya, meski diperoleh dengan menipu, menjilat, menghancurkan teman, premanisme, kemunafikan, dan cara-cara tak terpuji lainnya.

PEMBENTUKAN SUPRA STRUKTUR YANG KONDUSIF Agenda terobosan pembangunan IPTEK yang dapat melepaskan ketergantungan kita pada bangsa-bangsa lain, meningkatkan daya saing bangsa; dan akhirnya mewujudkan Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat seperti diuraikan di atas, hanya bisa berhasil, jika didukung suprastruktur politik-ekonomi negara yang lebih baik dari pada yang ada sekarang. Sistem dan mekanisme kerja suprastruktur yang dimaksud harus kondusif bagi agendaagenda pembangunan politik-ekonomi berikut: Pertama adalah program peningkatan daya beli masyarakat guna mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Program ini juga secara simultan dapat memperkuat pasar dalam negeri, sehingga membuat investasi dan bisnis di berbagai industri barang dan jasa lebih menguntungkan serta atraktif. Peningkatan investasi di sektor riil, terutama industri dan jasa berbasis SDA, pada gilirannya akan menciptakan pertumbuhan berkualitas yang dapat menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, meningkatnya investasi dan pertumbuhan ekonomi secara otomatis akan meningkatkan pendapatan negara melalui pajak, cukai, retribusi, PNBP, dan lainnya. Dengan meningkatnya pendapatan negara, maka kemampuan negara untuk melaksanakan pembangunan bidang kesehatan, pendidikan, IPTEK, infrastruktur, dan lainnya akan meningkat pula. Program peningkatan daya beli masyarakat dapat dipercepat dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada rakyat kecil (UMKM) untuk mendapatkan aset ekonomi produktif berupa permodalan, teknologi, infrastruktur, informasi, dan pasar. Perlu dicatat, bahwa hingga saat ini sektor UMKM (Usaha Menengah Kecil dan Mikro) yang jumlah keseluruhannya mencapai 95% dari total unit usaha di Indonesia, hanya mendapatkan kredit perbankan sekitar 10%. Sembilan puluh persen sisa kredit nasional selama ini dinikmati oleh usaha besar (konglomerat) yang jumlahnya hanya sekitar 5%. Dengan mendapatkan sejumlah aset ekonomi produktif dibarengi

dengan pelatihan, penyuluhan, dan pendampingan teknis dan manajemen bisnis, maka sebagian besar rakyat akan mampu berwirausaha untuk meningkatkan daya beli dan kesejahteraan dirinya serta sekaligus menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Program pelatihan, penyuluhan, dan pendampingan teknis dan manajemen bisnis menjadi tanggung jawab Pemda dan Pemerintah Pusat c.q. departemen/instansi terkait. Upah buruh/karyawan perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN yang paling rendah harus dapat memenuhi 6 kebutuhan dasar manusia (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi), yang besarnya sekitar Rp 2,9 juta/bulan untuk wilayah DKI Jakarta. Bila secara faktual dan obyektif, saat ini sektor swasta dan BUMN memang belum mampu memenuhi UMR (Upah Minimum Regional) dimaksud, maka mestinya menyediakan perumahan, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan transportasi murah atau gratis, seperti di Vietnam dan RRC. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa gaji PNS, anggota TNI dan POLRI adalah sangat jauh dari memadai. Oleh sebab itu, dalam rangka peningkatan daya beli masyarakat, gaji mereka pun harus ditingkatkan. Sekali lagi, gaji minimal mesti sebesar untuk memenuhi 6 kebutuhan dasar manusia. Sedangakan, besarnya gaji untuk pegawai yang lebih tinggi golongan atau jabatan struktural nya diupayakan menyamai tingkat gaji pegawai negeri di Malaysia. Karena, biaya hidup dan budaya masyarakat Malaysia mirip dengan kita. Ini dapat dibiayai dari dana yang selama ini dikorupsi oleh birokrasi pemerintahan dan anggota DPR/DPRD. Menurut Prof.Dr. Sumitro Djojohadikusumo (1993), bahwa besarnya korupsi di masa Orba mencapai 30% dari total anggaran belanja negara (APBN). Sekarang, korupsi justru semakin merajalela mencapai sekitar 50% (ICW, 2007; Transparansi Internasional, 2008). Kalau gaji sudah bisa mensejahterakan PNS, anggota TNI dan POLRI dan membuat mereka bisa berdiri tegak (terhormat) dengan mitra kerja pengusaha atau rakyat yang mestinya dilayani, seperti halnya di negeri jiran Malaysia; niscaya perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta ekonomi biaya tinggi akan dapat diminimalkan dan, insya Allah ditiadakan. Sebaliknya, produktivitas, efisiensi dan semangat melayani PNS, anggota TNI dan POLRI kepada masyarakat diyakini bakal meningkat secara dramatis. Sudah barang tentu, skema kenaikan gaji ini harus secara simultan dibarengi dengan pemberian sanksi/hukuman secara tegas, berat, dan tak pandang bulu kepada mereka yang rendah kinerjanya atau melanggar hukum. Bahkan dengan tingkat gaji seperti Malaysia itu, kalau ada pejabat dan pemimpin yang masih melakukan korupsi patut dihukum mati seperti di Saudi Arabia dan RRC. Selain itu, harus ada teladanan dari atas. Mulai dari Presiden, para Menteri, anggota DPR, Gubernur, Bupati/Walikota sampai para Jenderal TNI dan POLRI harus benar-benar bebas dari perilaku KKN. Sebaliknya,

para pemimipin ini harus bekerja cerdas, keras, dan ikhlas untuk kemajuan, kemakmuran, dan kedaulatan bangsa tercinta ini. Kedua, mempercepat pembangunan infrastruktur (jalan, pelabuhan laut dan udara, jaringan listrik, jaringan informasi dan telekomunikasi, jaringan irigasi, jaringan pipa gas, jaringan pipa air bersih, dan lainnya); dan memperbaiki serta memelihara infrastruktur yang ada. Program pembangunan, perbaikan, dan pemeliharaan infrastruktur harus dirancang secara tepat dan benar, sehingga mampu memfasilitasi peningkatan efisiensi, produktivitas, dan daya saing sistem ekonomi dan industri nasional. dasar lainnya di seluruh Nusantara. Ketiga, mulai sekarang kita harus bisa memastikan bahwa pasok (supply) energi listrik dan bahan bakar untuk keperluan rumah tangga, industri, transportasi, perkantoran, pusat perbelanjaan, pusat bisnis, dan konsumen lainnya di seluruh tanah air tercukupi secara teratur dan berkelanjutan (sustained). Dengan potensi sumberdaya energi yang melimpah dan tersebar di seluruh Nusantara, sejatinya Indonesia sangat berpeluang untuk berdaulat di bidang energi. Sedikitnya kita memiliki empat jenis energi fosil: minyak bumi, gas bumi, coalbed methane (CBM), dan batubara. Potensi minyak bumi sebesar 86,9 milyar barel dan cadangannya sebesar 9,1 milyar barel atau sekitar 1% total cadangan dunia. Dengan rencana produksi rata-rata 500 juta barel/tahun, maka dalam waktu 18 tahun kita akan kehabisan minyak. Sementara itu, produksi gas bumi sejauh ini masih sangat rendah, sebesar 3 TSCF (kaki trilyun kubik) atau 1,6 % total cadangan (186 TSCF). Sedangkan total deposit gas bumi sebesar 384,7 TSCF. Dengan tingkat produksi 3 TSCF, maka gas bumi dapat melayani kita untuk sekitar 62 tahun lagi. Ditemukannya CBM yang mempunyai cadangan potensial sekitar 400 TSCF, yang hingga kini belum dieksploitasi, seharusnya juga dapat memperpanjang era pelayanan gas bumi. Potensi sumberdaya batubara sekitar 58 milyar ton, dan cadangannya 19,3 milyar ton. Dengan tingkat produksi sekarang 132 juta ton/tahun, maka batubara dapat memasok kebutuhan energi nasional untuk 146 tahun ke depan. Ragam energi terbarukan malah jauh lebih banyak ketimbang energi fosil, dan tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Sebut saja, panas bumi, tenaga air, microhydro, biomass, biofuel , tenaga surya, tenaga angin, tenaga pasang surut, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), dan gas hidrat/biogenik laut. Indonesia mempunyai potensi energi panas bumi terbesar di dunia, 27 GW setara dengan 219 juta BOE (40% cadangan panas bumi dunia), dan hingga kini baru dimanfaatkan sebesar 0,8 GW. Potensi tenaga air 75,67 GW (845 BOE) dan tingkat pemanfaatannya hanya 4,2 GW. Selain itu, jaringan infrastruktur juga harus dapat memfasilitasi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, pendidikan, pariwisata, dan kebutuhan

Kini saatnya kita membangun dan mengimplementasikan Sistem Energi Nasional Berkelanjutan (SENB), yaitu sistem energi yang berbasis pada sumberdaya energi terbarukan, ramah lingkungan, dan mampu mendukung pembangunan ekonomi secara berkesinambungan. Esensi dari SENB adalah perbaikan sruktur energi ( energy mix) nasional dengan cara mengurangi ketergantungan pada minyak. Dan, secara simultan mengembangkan diversifikasi sumber-sumber energi terbarukan serta meningkatkan produktivitas (efisiensi) dan konservasi penggunaan energi di semua lini kehidupan. Saat ini, konsumsi energi Indonesia sekitar 68% masih bergantung pada BBM. Selebihnya dari energi listrik (11,2), gas bumi (13 %), batubara (6%), dan LPG (1,8%). Sekedar perbandingan, struktur konsumsi energi Malaysia hanya 40% berasal dari BBM. Sisanya, 45% dari gas alam, 8% dari batubara, dan 7% dari tenaga air. Dalam hal produktivitas energi, kita pun paling buruk diantara negara-negara ASEAN. Pada 2005 Indonesia memerlukan sekitar 5 SBM (setara barel minyak) untuk menghasilkan PDB sebesar US$ 1000. Sedangkan, rata-rata negara ASEAN hanya butuh sekitar 3,5 SBM untuk menghasilkan PDB yang sama. Dalam SENB harus ditetapkan skala prioritas kegiatan pembangunan energi dari hulu (eksplorasi dan produksi) sampai hilir (pengolahan, distribusi, dan pemasaran) untuk semua jenis sumberdaya energi. Ini disusun berdasarkan pada proyeksi kebutuhan energi secara nasional maupun per propinsi atas dasar trend pertumbuhan penduduk, industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi untuk 25 tahun ke depan. Kelebihan potensi produksi setelah dikurangi proyeksi kebutuhan energi nasional itulah yang dapat kita ekspor. Pemetaan antara potensi suplai dan proyeksi kebutuhan energi per propinsi memungkinkan kita untuk membangun pembangkit energi atau memasok energi sesuai kebutuhan di setiap daerah. Tidak seperti selama ini, kawasan industri, kota, pemukiman, bahkan Istana Negara pun sering mengalami kekurangan gas, BBM, atau listrik mati secara mendadak. Bagaimana industri dan ekonomi kita mau kompetitif?. Karena sifat gas alam yang lebih ramah lingkungan, dan jika diproses di dalam negeri jauh lebih menguntungkan ketimbang diekspor mentah, maka dalam masa transisi (dari basis energi fosil ke energi terbarukan), porsi konsumsi energi nasional yang dari gas harus segera ditingkatkan secara signifikan. Guna penciptaan nilai tambah, lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan rakyat dan daya saing ekonomi, sebaiknya gas alam kita proses untuk menghasilkan pupuk, plastik, polyetilin, tekstil, dan produk petrokimia lainnya. Ekspor gas alam harus dijadikan alternatif terakhir. Akan lebih bijaksana kalau kita mengekspor batubara. Sementara itu, batubara kualitas rendah (muda), yang jumlahnya mencapai 60% total cadangan, kita tingkatkan mutunya melalui berbagai teknologi seperti coal water mixture, coal slurry, coal liquefaction, dan coal gassification, dan kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dengan harga minyak sudah menyentuh US$ 140/barel, maka pengembangan dan penggunaan energi terbarukan (khususnya panas bumi, tenaga air, tenaga surya, dan biofuel) kini menjadi lebih layak dan menguntungkan. Saat ini terdapat lebih dari 22 juta ha lahan kritis di Indonesia yang bisa ditanami dengan berbagai jenis tanaman penghasil biofuel, seperti sawit, jarak, singkong, jagung, dan tebu (Deptan, 2006). Jika saja kita berhasil memanfaatkan 20 juta ha lahan kritis tersebut, maka seluruh kebutuhan energi nasional (60 juta kilo liter/tahun) akan terpenuhi dari biofuel. Belum lagi, lapangan kerja baru yang dapat disediakan untuk sekitar 20 juta orang, perbaikan lingkungan hidup, mitigasi pemanasan global, dan sejumlah multiplier effects lainnya. Bila kita serius dan konsisten mengikuti peta jalan ( road map) pembangunan SENB, diyakini Indonesia tidak saja bakal berswasembada energi, tetapi juga menjadi pengekspor utama energi dunia. Keempat, pemerintah bersama masyarakat mulai sekarang harus menciptakan usaha yang kondusif, meliputi: (1) konsistensi kebijakan pemerintah; (2) pelayanan publik (termasuk pengurusan izin usaha) secara lebih cepat, mudah, dan murah; (3) penghapusan ekonomi biaya tinggi; (4) peraturan perpajakan yang atraktif, perlu bench marking dengan Malaysia, Thailand, Vietnam, dan RRC; (5) peraturan ketenagakerjaan yang saling menguntungan antar pihak terkait; (6) keamanan berusaha; dan (7) kepastian hukum. Kelima, maksimalisasi pendapatan negara melalui program nasionalisasi perusahaan migas dan pertambangan lainnya seperti yang telah sukses dilakukan oleh Bolivia dan Venezuela, atau melalui perbaikan kontrak karya dengan perusahan-perusahan migas dan pertambangan lainnya, sehingga lebih menguntungkan Indonesia. Dalam hal ini, kita bisa meneladani Malaysia, Australia, Kanada, dan negara lainnya yang telah berhasil menjadikan sektor pertambangan dan energi sebagai prime mover kemajuan dan kemakmuran bangsanya. Bukan seperti kita, sumberdaya energi dan mineral yang kita miliki malah lebih sebagai kutukan ( resource curse) dengan menyuburkan perilaku koruptif para pajabat. Bila kita berhasil melakukan program ini, diperkirakan pendapatan negara dari sektor pertambangan dan energi akan meningkat lima kali lipat lebih. Mengingat selama ini sektor pertambangan dan energi menyumbang sekitar 60% pendapatan negara (APBN), maka peningkatan pendapatan sektor ini sebesar lima kali lipat akan sangat signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Bila kelima agenda pembangunan di atas dapat kita laksanakan dengan baik, niscaya akan terjadi pertumbuhan ekonomi berkualitas dalam skala yang lebih besar. Sehingga, negara akan bertambah makmur dengan pendapatan yang jauh lebih besar. Selanjutnya, negara akan

mampu membiayai program pembangunan IPTEK diatas yang menjadikan Indonesia bisa menguasai dan menerapkan IPTEK dalam segenap bidang kehidupan. Pada gilirannya ini akan meningkatkan daya saing bangsa menuju Indonesia maju, adil-makmur, dan berdaulat.

Bahan Rujukan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2006. Prakarsa Teknologi Untuk Mewujudkan Kemandirian Bangsa. Komisi Ilmu Rekayasa. Jakarta. Chang, H.J. and I. Grabel. 2008. Membongkar Mitos Neolib: Upaya merebut kembali makna pembangunan (Terjemahaan dari Reclaiming Development: An alternative economic policy manual. Zed Books, London 2004). INSIST Press. Yogyakarta. Kynge, J. 2006. China Shakes the World: The Rise of a Hungry Nation. Weidenfeld & Nicolson, London. Kwong, K.S., L.C. Chau, F.T. Lui and L.D. Qiu. 2001. Industrial Development in Singapore, Taiwan, and South Korea. World Scientific Publishing Co., Singapore. Narayanan, V.K. 2001. Managing Technology and Innovation for Competitive Advantage. Prentice-Hall, New Jersey, USA. Perkins, J. 2005. The Confession of An Economic Hitman. Berrett-Koehler Publishers, Inc. San Francisco. Porter, M. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Macmillan Press Ltd. London. Sarji, A (Ed). 1997. Malaysias Vision 2020: Understanding the Concept, Implications, and Challenges. Pelanduk Publications, Selangor, Malaysia. Solow, R. 1957. Technical Change and the Aggregate Production Function. A Review of Economics and Statistics. Vol.39, pp. 312 320.

Stiglitz, J. 2002. Globalization and Its Discontents. Pinguins Books. London Wallace-Murphy, T. 2006. What Islam Did For Us: Undertsanding Islams Contribution to Western Civilization. Watkins Publishing. London.

Anda mungkin juga menyukai