Anda di halaman 1dari 31

ASKEP DAN HE PADA KLIEN DENGAN CEREBRO VASCULAR ACCIDENT (CVA HEMORAGIK)

Kelompok SGD 4 Putu Ari Anggareni (1002105002) Ni Luh Gede Prabayati (1002105007) Ni Luh Gd Seruni Lestari (1002105011) Ni Nyoman Sri Wahyuni (1002105021) Asri Ardiani Saputri (1002105023) Lia Dwi Jayanti (1002105036) Kadek Gunantari Ariani (1002105042) I Gusti Bagus Jelantik Darma Putra (1002105050) Putu Weda Suari (1002105062)

Ni Nyoman Rita Lestari (1002105070) Ni Putu Diah Prabandari (1002105085)

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2011

Learning Task Cerebro Vascular Accident (CVA)

Jelaskan arti dari istilah-istilah berikut: Agnosia Aneurysm Aphasia Apraxsia Ataxsia Dysarthria Expressive aphasia Hemianopsia Hemiplegia/hemiparesis Infraction

Korsaffs syndrome Penumbra region Perseveration Receptive apahasia

Kelompok 1-4 CVA Hemoragik 1. 2. 3. 4. 5. 6. Apa definisi dari stroke? Bagaimana epidemiologi dari stroke hemoragik? Apa etiologi dari stroke hemoragik? Bagaimana patofisiologi dari stroke hemoragik? Bagaimana manifestasi klinis dari stroke hemoragik? Apa saja pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada stroke hemoragik? 7. 8. 9. Bagaimana medical manajement stroke hemoragik? Bagaiamana cara pencegahan stroke hemoragik? Apa saja komplikasi dari stroke hemoragik?

10. Bagaimana asuhan keperawatan pada stroke hemoragik?

Pembahasan: 1. Agnosia adalah ketidakmampuan untuk mengorganisasikan informasi sensorik agar bisa mengenal benda benda / hilangnya daya untuk mengenali arti stimuli sensoris macamnya sesuai indranya.

Agnosia adalah ketidakmampuan menginterpretasikan / mengenal benda yang dilihat dengan menggunakan perasaan spesial. (KMB Vol 3 : 2090) Agnosia adalah hilangnya kemampuan untuk mengenali benda benda, orang, suara, bentuk / bau sementara arti tertentu tidak cacat juga tidak ada kerugian memori yang signifikan. Hal ini biasanya berhubungan dengan cedera otak / penyakit syaraf, khususnya setelah kerusakan pada lobus temporal. Ketidak mampuan untuk mengenali benda karena stimulus sensoriknya tidak bisa diinterpretasi kendati terdapat alat indera yang normal (Weller, 2005; 20). Adalah keadaan ketika kemampuan terganggu untuk mengenali bentuk atau sifat berbagai benda. Biasanya agnosia hanya meliputi satu indera pendengaran, penglihatan, atau sentuhan (Kowalak, 2011; 271).

2. Aneurisma (aneurysm) adalah pelebaran/penggelembungan lokal pada pembuluh


darah atau jantung. Bagian tersebut menjadi lebih tipis sehingga mudah pecah dan menimbulkan kebocoran pada pembuluh darah. Akibat kebocoran itu, terjadilah pendarahan yang dapat mengakibatkan kematian mendadak. Dilatasi local pembuluh darah, biasanya pembuluh arteri. Aterosklerosis merupakan penyebab sebagian besar aneurisma arteri; setiap cedera pada dinding pembuluh darah dapat menjadi predisposisi terbentuknya sebuah kantong (sakus aneurisma). Penyakit lain yang dapat menyebabakan aneurisma adalah sifilis, inflamasi nonspesifik tertentu, dan defek congenital pembuluh arteri. Tekanan darah membuat ukuran aneurisma bertambah dan mungkin menimbulkan rupture. Kadang-kadang keadaan ini dapat diatasi dengan tindakan eksisi aneurisma atau ligasi pembuluh arteri tersebut (Weller, 2005; 39) Aneurisma adalah kantong yang terbentuk oleh dilatasi local pembuluh darah, biasanya pada arteri, karena kesalahan lokan di dinding pembuluh darah akibat defek, penyakit atau cedera, yang menghasilkan pembengkakan, sering kali berdenyut, dengan suara bising dapat didengar di atas pembuluh darah tersebut (Brooker, 2009; 500).

3. Aphasia, Afasia adalah kehilangan daya pengutaraan melalui bicara, menulis atau penggunaan tanda- tanda , dan kehilangan pengertian bahasa yang didengar atau

dibaca.Afasia terbagi dua yaitu : Afasia motorik dan afasia sensorik. Afasia motorik adalah kesulitan berkata- kata tetapi dapat mengerti pembicaraan, sedangkan afasia sensorik dimana pasien sukar mengerti komprehensi pembicaraan orang , tetapi mudah mengucapkan kata, tanpa adanya gangguan pendengaran. Gangguan komunikasi akibat kerusakan otak yang ditandai oleh gangguan total atau parsial dalam pemahaman, perumusan, atau pengungkapan bahasa (Weller, 2005; 45). Hilangnya kemampuan mengekspresikan diri sendiri atau mengerti bahasa (Brunner, 2002; 2144).

4. Apraxsia adalah gangguan dalam merencanakan dan memposisikan urutan kata dengan tepat karena adanya gangguan pada otot bicara yang berkaitan dengan artikulasi kata. Rangkaian bahasa yang diungkapkan terganggu. Klien berusaha untuk membentuk satu kalimat namun yang terjadi adalah susunan kata yang kacau. Ketidakmampuan melaksanakan gerakan yang benar karena adanya lesi otak dan bukan karena gangguan sensorik atau kehilangan kekuatan otot pada extremitas (Weller, 2005; 51). Ketidakmampuan melakukan aktivitas motorik yang sudah dipelajari sebelumnya pada dasar gerakan disadari (Brunner, 2002; 2144).

5. Kegagalan koordinasi otot yang mengakibatkan gerakan yang ireguler dan tersentaksentak (Weller, 2005; 61). Gerakan yang tidak tepat waktu dan tidak terkoordinasi (Brooker, 2009; 399). Istilah Ataxia berasal dari bahasa Yunani, artinya kegagalan mengerjakan segala sesuatu sesuai urutan. Gerakan dari tubuh dan anggota gerak tidak stabil, canggung karena hilangnya koordinasi semua otot-otot tubuh merupakan gejala-gejala penyakit tersebut. Ataxia berarti ketidakmampuan koordinasi tubuh yang tidak disebabkan kelemahan otot. Kata ataxia digunakan untuk mengartikan koordinasi yang buruk atau secara spesifik untuk menunjukkan sebuah penyakit yang menyerang system saraf. Ataxia menyerang (memberi efek pada) jari tangan serta tangan, kaki, tubuh,

vocal berbicara, dan juga pergerakan mata. Sistem koordinasi yang buruk ini disebabkan oleh sejumlah perbedaan kesehatan atau kondisi saraf.

6. Dysarthria adalah gangguan berbicara yang terjadi karena gangguan control otot mekanisme bicara akibat kerusakan susunan saraf pusat dan/ perifer (Brooker, 2009; 44). Kerusakan pengucapan akibat kasus neurologic (Brunner, 2002; 2144). Dysarthria adalah kelainan berbicara dimana mekanisme mekanisme bicara terganggu oleh lesi di jaras corticobulbar di satu atau lebih nervus cranialis atau nervus V,VII, IX, X, dan XII, di cerebellum atau di otot-otot yang berperan dalam memproduksi suara. Dysarthria dikarakterisasikan dalam disfungsi fonasi (phonathion), artikulasi, resonansi, atau aspek respirasi dari berbicara. Dysarthria merupakan gangguan yang ditandai dengan kesulitan berbicara dengan benar karena terjadi kelumpuhan otot-otot yang digunakan untuk berbicara. Dysarthria sering ditandai dengan bicara tak teratur atau justru sebaliknya susah berbicara.

7. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan diri; dihubungkan dengan daerah lobus frontal kiri (Brunner, 2002; 2144) Afasia ekspresif (non-fasih afasia), juga dikenal sebagai Broca afasia secara klinis neuropsikologi dan afasia agrammatic di kognitif neuropsikologi , disebabkan oleh kerusakan atau masalah perkembangan di daerah anterior dari otak , termasuk (namun tidak terbatas pada) posterior kiri lebih rendah gyrus frontal dikenal sebagai area Broca ( daerah Brodmann 44 dan daerah Brodmann 45 ). Hal ini ditandai dengan hilangnya kemampuan untuk menghasilkan bahasa (lisan atau tertulis). afasia ekspresif berbeda dari dysarthria , yang dicirikan oleh ketidakmampuan pasien untuk menggerakkan otot-otot lidah dan mulut dengan benar untuk menghasilkan suara. Afasia ekspresif kontras dengan afasia reseptif , yang dicirikan oleh ketidakmampuan pasien untuk memahami bahasa atau berbicara dengan kata-kata tepat dengan makna yang tepat.

8. Kebutaan setengan lapang pandang pada satu atau kedua mata (Brunner, 2002; 2144).

Hemianopsia adalah defek penglihatan atau kebutaan pada separuh lapang pandang pada satu atau kedua mata; secara bebas, skotoma pada kurang dari separuh lapang pandang pada satu atau kedua mata. Hemianopsia homonim (monocular hemianopsia) adalah hemianopsia pada sisi temporal lapang pandang salah satu mata akibat lesi pada jalur visual dibelakang kiasma. Hemianopia, atau hemianopsie, adalah jenis anopsia mana visi menurun atau kebutaan terjadi di setengah bidang visual dari salah satu atau kedua mata. Dalam kebanyakan kasus, kerugian bidang visual menghormati garis tengah vertikal. Penyebab paling umum dari kerusakan ini termasuk stroke, tumor otak dan trauma.

9. Paralis atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang biasanya disebabkan oleh cidera atau penyakit pada otak (Weller, 2005; 311). Hemiplegia atau hemiparesis adalah paralisis atau kelemahan di salah satu sisi tubuh, biasanya terjadi akibat cerebrovascular accident yang mengenai sisi otak yang bersebrangan (Brooker, 2009; 446). Hemiplegia (hemiparesis) adalah kerusakan pada seluruh korteks piramidalis sesisi menimbulkan kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) pada belahan tubuh sisi kontralateral.

10. Infarction adalah kematian sebagian jaringan karena suplai darahnya terputus. Pembentukan infark (daerah nekrosis berbentuk baji pada suatu organ akibat penyumbatan pembuluh darah yang biasanya disebabkan oleh embolus) (Weller, 2005; 351)

11. Suatu keadaan kronis dengan terjadinya gangguan daya ingat khususnya terhadap kejadian yang baru saja terjadi; pasien sindrom ini juga mengalami disorientasi waktu dan tempat (Weller, 2005; 382). Sindroma Wernicke-Korsakoff (WKS) adalah spektrum penyakit yang dihasilkan dari defisiensi tiamin, biasanya terkait dengan penyalahgunaan alkohol . Ensefalopati Wernicke awalnya dijelaskan oleh ahli saraf Jerman Karl Wernicke pada tahun 1881 sebagai tiga serangkai gejala klasik (kebingungan mental, ataksia dan

ophthalmoplegia). Psikosis Korsakoff adalah manifestasi akhir dari kondisi tersebut, di mana ensefalopati Wernicke tidak diobati secara memadai.

12. Penumbra region adalah daerah disekitar core yang mengalami infark.

13. Timbulnya kembali secara terus menerus sebuah gagasan atau kecenderungan untuk mengulangi kata-kata atau perbuatan yang sama (Weller, 2005; 517). Perseveration adalah pengulangan secara terus menerus suatu kata atau kalimat yang tidak bermakna.

14. Ketidakmampuan untuk mengerti apa yang dikatakan orang lain; sering dihubungkan denga kerusakan daerah lobus temporal (Brunner, 2002; 2144). Receptive aphasia adalah mempunyai kesulitan yang parah dalam mengerti katakata dan mengerti percakapan. Anak dengan Executive Aphasia dapat mengerti dengan cukup baik tetapi mempunyai kesulitan membuat kata-kata untuk dirinya sendiri.

Pembahasan CVA Hemoragik: 1. Definisi dari stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Kelompok Studi Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi,1999). Stroke juga dapat diartikan sebagai defisit neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena (WHO, 1989). Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak. Stroke dapat terjadi akibat pembentukkan thrombus di suatu arteri cerebrum, akibat emboli yang mengalir ke otak dari tempat lain ke tubuh, atau akibat perdarahan otak.pada

stroke. Terjadi hipoksia cerebrum yang menyebabkan cedera dan kematian sel-sel neuron. Adapun gejala-gejala yang timbul : Secara tiba-tiba dalam waktu sejenak, beberapa menit, jam, atau setengah hari. Serentak dengan hilang kesadaran ( pingsan = koma ) Secara berangsurangsur dan disertai kesdaran yang menurun Serentak tanpa gangguan kesadaran Langsung setelah mendapatkan kejang fokal pada lengan atau tungkai ataupun sebelah / seluruh tubuh, dengan hilangnya kesadaran sewaktu kejang umum. Beberapa waktu setelah mendapatkan serangan vertigo atau sakit kepala. Beberapa waktu setelah mengidap buta mutlak menetap pada sisi yang berlawanan dengan sisi tubuh tumpuh Beberapa waktu setelah mengidap buta sementara, sekali atau beberapa kali (buta puganya ) Serentak atau tidak lama setelah mengidap infark jantung atau berada dalam keadaan hipotensi. Gejala-gejala trersebut di atas merupakan manifestasi infark regional dari otak, daerah subkortikal atupun dengan bantuan otak. Sehingga stroke dapat didefinisikan sebagai suatu sindroma akibat lesi vaskuler regional dibatang otak, daerah subkortikal atau kortikal. Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan menjadi: stroke hemoragik Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yeng disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol. stroke non hemoragik Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak.

2.

Epidemiologi dari stroke hemoragik, yakni insiden stroke bervariasi di berbagai negara di Eropa, diperkirakan terdapat 100-200 kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun (Hacke dkk, 2003). Di Amerika diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 insiden stroke per tahun, yang menyebabkan lebih dari 160.000 kematian per tahun, dengan 4.8 juta penderita stroke yang bertahan hidup. (Goldstein dkk, 2006). Rasio insiden pria dan wanita adalah 1.25 pada kelompok usia 55-64 tahun, 1.50 pada kelompok usia 6574 tahun, 1.07 pada kelompok usia 75-84 tahun dan 0.76 pada kelompok usia diatas 85 tahun (Lloyd dkk, 2009).

3.

Etiologi dari stroke hemoragik, antara lain: Ateroskierosis (trombosis) 40 % kaitannya dengan kerusakan local dinding pada akibat anterosklerosis. Proses aterosklerosis ditandai dengan piak berlemak pada lapisan intima arteri besar. Bagian intima arteri serebri menjadi tipis dan berserabut, sedangkan sel-sel ototnya menghilang. Lumina elastika interna robek dan berjumbal, sehingga lumen pembuluh sebagian berisi oleh materi sklerotik tersebut. Embolisme Embolisme serebri termasuk urutan kedua dari penyebab utama stroke. Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu trombus dalam jantung, sehingga masalah yang dihadapi sesungguhnya merupakan perwujudan penyakit jantung, jarang terjadi berasal dari plak ateromatosa sinus carotikus (carotisintema). Setiap batang otak dapat mengalami embolisme tetapi biasanya embolus akan menyumbat bagianbagian yang sempit. Hipertensi yang menimbulkan perdarahan interserebral rupture aneurisme Sakular. Trombosis (penyakit tromboklusif) Pendarahan serebri Perdarahan intracranial biasanya disebabkan oleh subtura arteri serebri extrapasasi darah. Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan). - Trombosis sinus dura - Diseksi arteri karotis atau vertebralis - Vaskulitis sistem saraf pusat - Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intrakranial yang progresif) - Migran - Kondisi hyperkoagulasi

- Penyalahgunaan obat (kokain dan amfetamin) - Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisitemia atau leukemia) - Miksoma atrium. Faktor Resiko: - Yang tidak dapat diubah : usia, jenis kelamin pria, ras, riwayat keluarga, riwayat TIA atau stroke, penyakit jantung koroner, fibrilasi atrium, dan heterozigot atau homozigot untuk homosistinuria. - Yang dapat diubah : hypertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan obat dan alcohol, hematokrit meningkat, bruit karotis asimtomatis, hyperurisemia dan dislidemia. 4. Patofisiologi Stroke Hemoragik Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak. Dari sumber lain, patofisiologi stroke hemoragik adalah perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih 20 % adalah stroke hemoragik, dimana masingmasing 10% adalah perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2000). Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma ( Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat

pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2000). Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di dearah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000). Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM). 5. Manifestasi klinis dari stroke hemoragik: Adapun manifestasi Stroke adalah deficit neurogik yaitu dapat berupa: Hemiparesis Dimana lengan dan tungkai sesisi lumpuh dari tungkai atau sebaliknya. Hemihipertensi atau kemiparestesia Dimana lengan dan tungkai sesisi hipestetik sama beratnya, atau lengan sesisi lebih hipestetik daripada tungkai atau sebaliknya Hemiparesis dan hemihipestasia Diplegia Yaitu kedua sisi tubuh mempertahankan tanda-tanda kelumpuhan uppermotoneurone (UMN). 6. Afasi atau disfasia sensorik atau motorik. Hemiparesis dengan apasia / dispasia sensorik / motorik Hemiparesis dengan hemianopia Hemiparesis alternans Hemihipestasia

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada stroke hemoragik dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: Pemeriksaan Fisik: a. Keadaan umum Kesadaran: umumnya mengalami penurunan kesadaran Suara bicara: kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara.

Tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi. b. Pemeriksaan integument Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan jelek. Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke harus bed rest 2-3 minggu Kuku: perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis Rambut: umumnya tidak ada kelainan. c. Pemeriksaan kepala dan leher Kepala: bentuk normocephalik Muka: umumnya tidak simetris yaitu miring ke salah satu sisi Leher: kaku kuduk jarang terjadi. d. Pemeriksaan dada Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan menelan. e. Pemeriksaan abdomen Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang terdapat kembung. f. Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine. g. Pemeriksaan ekstremitas Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh. h. Pemeriksaan neurologi: Pemeriksaan nervus cranialis Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central. Pemeriksaan motorik Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi tubuh. Pemeriksaan sensorik Dapat terjadi hemihipestesi. Pemeriksaan reflex Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis. Pemeriksaan Penunjang:

a. Pemeriksaan laboratorium Peningkatan Hb & Ht terkait dengan stroke berat Peningkatan WBC indikasi adanya infeksi endokarditis bakterialis. Analisa CSF (merah) perdarahan sub arachnoid Pungsi Lumbal Menunjukan adanya tekanan normal, tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intra kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi. b. Pemeriksaan Radiologi CT Scan Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark Angiografi serebral Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri MRI Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik ( masalah sistem arteri karotis ( aliran darah / muncul plak ) arteriosklerotik ). EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena Sinar X Tengkorak: Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari massa yang meluas; klasifikasi karotis interna terdapat pada trombosis serebral; kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarakhnoid. (Doenges E, Marilynn,2000 hal 292) 7. Penatalaksanaan Medis Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah: 1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil. 2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan oksigen sesuai kebutuhan. 3. Tanda-tanda vital diusahakan stabil. 4. Bed rest 5. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia.

6. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. 7. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi. 8. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik. 9. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat meningkatkan Tekanan Intrakranial (TIK). 10. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT. 11. Penatalaksanaan spesifik berupa: Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis, antikoagulan, obat hemoragik. Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan

pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi. Untuk penatalaksanaan medik penyakit Hemorogik Stroke adalah obat-obatan.

8.

Cara pencegahan stroke hemoragik, antara lain: Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupunkelompok risiko tinggi yang berlum pernah terserang stroke. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah: Mengatur pola makan yang sehat, misalnya pembatasan makan garam dimulai dari masa muda, membiasakan memakan makanan tanpa garam atau makanan bayi rendah garam. Melakukan olah raga yang teratur, misalnya jalan setiap hari sebagai bagian dari program kebugaran. Menghentikan rokok Menhindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat

Penurunan berat badan apabila kegemukan. Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi, misalnya penghentian pemakaian kontrasepsi oral pada wanita yang merokok, karena resiko timbulnya serebrovaskular pada wanita yang merokok dan menelan kontrasepsi oral meningkat sampai 16 kali dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok dan tidak menelan pil kontrasepsi.

Khususnya pada orang tua, perawatan yang intensif untuk mempertahankan tekanan darah selama tindakan pembedahan. Cegah jangan sampai penderita diberi obat penenang berlebihan dan istirahat ditempat tidur yang terlalu lama.

Penanganan stres dan beristirahat yang cukup. Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat. Pemakaian antiplatelet. Pada pencegahan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah pengendalian

faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dan pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, riwayat TIA, dislipidemia, dan sebagainya.

9.

Komplikasi dari stroke hemoragik: a. Tekanan Intrakranial (TIK) meningkat b. Aspirasi c. Atelektasis d. Kontraktur e. Disritmia jantung f. Malnutrisi Menurut Sjaifoellah Noer, (2002), komplikasi dari stroke yaitu : 1. Depresi Dampak yang menyulitkan penderita dan orang di sekitarnya. Oleh karena itu keterbatasan akibat kelumpuhan, sulit berkomunikasi sehingga penderita stroke dapat mengalami depresi.

2. Darah beku Terbentuk pada jaringan yang lumpuh (kaki) dapat mengakibatkan pembengkakan. 3. Radang paru-paru / pneumonia Dampak stroke dapat memungkinkan penderita kesulitan menelan, batuk-batuk sehingga cairan terkumpul di paru-paru. 4. Dekubitus Saat mengalami stroke usahakan untuk selalu berpindah dan bergerak secara teratur. Bagian yang biasa mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat bisa menjadi infeksi, keadaan ini dapat menjadi parah bila berbaring di tempat tidur yang basah. Komplikasi lain yang terjadi antara lain disuse atrofi pada otot, misuse (nyeri sendi bahu dan genu), luka pada kulit yang tertekan (decubitus), hipotensi orthastatic, gangguan psychologic, pneumonia (infeksi saluran pernafasan) dan Infeksi saluran kemih (UTI). Komplikasi yang sering terjadi setelah serangan stroke adalah: (1) kejang pada pasien pasca stroke sekitar 4-8 %, (2) Trombosis Vena Dalam (TVD) sekitar 11-75 % dan Embboli Pulmonum sekitar 3-10 %, (3) perdarahan saluran cerna sekitar 1-3 %, (4) dekubitus, (5) pneumonia, (6) stress, (7) bekuan darah, (8) nyeri pundak dan subluxation (Junaidei, 2006).

Pathway:

Stres

Makanan Banyak Garam

Kurang Aktivitas

Hipertens Perfusi Otak Menurun i Otak Otak 2 STRO perfusi jaringan otak 1 Metabolisme Edema Aneurisma Asam Laktat Na dan K gagal Aktivitas Elektrolit Nekrosis Jaringan Pembuluh Darah Tidak Mampu Lagi Menahan Pompa Tekanan Anaerob Iskemia

Pembuluh darah pecah

Gangguan Perfusi Jaringan Cerebral 1 Asidosis Metabolik 2

Kerusakan sel neuron Fungsi Saraf

Vasodilatasi Jaringan pembuluh darah mengalami reaksi Tekanan Intrakranial dan pergeseran Nyeri Akut meningkat Nyeri Kepala sensasi nyeri

Hambatan Mobilitas Fisik Saraf Motorik Imobilisasi

Konfusi Kronik Saraf Motorik

10. Asuhan Keperawatan pada stroke hemoragik:

Pengkajian Pengkajian merupakan pengumpulan data yang sengaja dilakukan secara sistematik untuk menentukan keadaan kesehatan klien sekarang dan masa lalu serta untuk mengevaluasi pola koping klien sekarang dan masa lalu. Data dapat diperoleh dengan 5 (lima) cara yaitu wawancara, pemeriksaan fisik, observasi, menelaah catatan dan laporan diagnostik serta berkolaborasi dengan tim kesehatan lain. Untuk mewujudkan pengkajian yang akurat, perawat harus dapat berkomunikasi secara efektif, mengobservasi secara sistematik dan menginterprestasikan data yang akurat (Carpenito, 2000). Data dasar yang ada pada saat pengkajian pasien stroke menurut Doenges, Moorhouse, Geissler (1999) adalah : 1. Aktifitas/istirahat Adanya kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis, terdapat gangguan tonus otot dan gangguan tingkat kesadaran. 2. Sirkulasi Adanya hipertensi arterial, disritmia, desiran pada karotis, femoralis dan aorta yang abnormal. 3. Integritas Ego Ditemukan adanya emosi yang labil dan kesulitan untuk mengekspresikan diri, perasaan tidak berdaya dan putus asa. 4. Eliminasi Ditemukan adanya perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urine maupun anuria, distensi abdomen (pada perabaan kandung kemih berlebihan). 5. Status Nutrisi Didapatkan anoreksia, mual dan muntah selama fase peningkatan TIK, kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, tenggorokan dan disfagia (kesulitan menelan). 6. Neurosensori Adanya sakit kepala (yang bertambah berat dengan adanya perdarahan intraserebral), kelemahan, kesemutan, penglihatan menurun (total), kehilangan daya lihat sebagian (kebutaan monokuler), penglihatan ganda (diplopia) serta hilangnya rangsang sensorik kontralateral (pada sisi tubuh yang berlawanan) pada ekstremitas. Dapat juga ditemukan adanya gangguan tingkat kesadaran seperti koma, kelemahan atau paralisis, pada ekstermitas (kontralateral pada semua jenis stroke), parase pada wajah, afasia, miosis/midriasis pada pupil disertai dengan ukuran yang tidak sama. 7. Nyeri/kenyamanan Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-bada, adanya tingkah laku yang tidak

stabil dan gelisah 8. Pernafasan Ditandai dengan ketidakmampuan menelan/batuk/hambatan jalan nafas. 9. Keamanan Ditemukan perubahan persepsi terhadap orientasi tempat tubuh, kesulitan untuk melihat objek dari sisi kiri atau kanan, gangguan berespon terhadap panas atau dingin. 10. Interaksi sosial Masalah dalam berbicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi 11. Penyuluhan atau pembelajaran Adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke dan pecandu alcohol. 12. Pemeriksaan Diagnostik a. CT Scan memperlihatkan edema, hematoma, iskemia dan adanya infark. b. Sinar X menggambarkan klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarakhnoid. c. EEG mengidentifikasi masalah berdasarkan pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik. d. Angiografi serebral memperlihatkan adanya perdarahan arteri atau adanya oklusi atau ruptur. e. MRI menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena (AVM). f. Pungsi lumbal memperlihatkan adanya peningkatan dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan intrakranial.

Rencana Keperawatan: NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL KEPERAWATAN 1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (meningkatnya tekanan intrakranial) yang ditandai dengan perubahan tekanan darah, masker wajah (meringis), laporan isyarat KRITERIA HASIL - Pain Level - Pain Management - Pain Setelah asuhan keperawatan selama .x 24 jam diharapkan klien nyeri berkurang diberikan a. Lakukan pengkajian secara komprehensif meliputi kareteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, kuantitas atau keparahan dan batas tingkat nyeri, factor lokasi, Management nyeri a. untuk mengetahui kondisi dan klien untuk

menetapkan intervensi yang akan diberikan. b. untuk mengetahui tingkat klien. c. mengeliminir faktor presipitasi dapat menghilangkan nyeri yang dirasakan klien. nyeri yang dirasakan

dengan kriteri hasil: a. Ekspresi klien tenang b. Tanda-tanda vital dalam normal - Tekanan darah dewasa Sistolik: 60-90 - Nadi dewasa 60-100x/menit - Temperatur tubuh dewasa 36-37,5oC - Pernafasan dewasa 20x/menit 1295140, diastolic: wajah tampak

pencetusnya. b. Observasi isyarat ketidaknyamanan nonverbal, khususnya mampu mengkomunikasik annya efektif. c. Kurangi atau obati factor nyeri pencetus secara pada klien yang tidak

d. mengetahui ada
tidaknya perubahan kondisi untuk mengetahui ada tidaknya nyeri. - Analgesic administration klien

d. Memeriksa tingkat
ketidaknyamanan dengan perhatikan perubahan dalam catatan klien,

medis, a. untuk

memberi profesional kesehatan yang dengan klien. - Analgesic administration a. Kolaborasi pemberian analgesic

tahu lain bekerja

mengurangi nyeri dirasakan. b. mencegah terjadinya kesalahan dalam pemberian obat. Berfungsi sebagai legalitas dalam pemberian obat. - Vital Monitoring Signs yang

jika

perlu dan awasi penggunaannya serta sampingnya b. Perhatikan prinsip 6B pemberian obat - Vital Monitoring Signs efek

dalam a. mengetaui tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan tekanan status klien.

a. Monitor
dan

darah, nadi, suhu, pernafasan, sebagaimana mestinya.

b. mengetahui ada
tidaknya fluktuasi darah. yang luas di tekanan

b. Perhatikan
kecenderungan dan fluktuasi yang luas darah di tekanan

c. mengetahui ada
tidaknya perubahan tekanan setelah melakukan darah klien

c. Memonitor
tekanan darah setelah klien telah

pengobatan.

melakukan pengobatan, mungkin jika

d. mencari
penyebab perubahan tanda vital.

d. Mengidentifikasi
kemungkinan penyebab perubahan tanda vital

e. mencegah agar
tidak dalam pengukuran tanda-tanda vital. terjadi kesalahan

e. Memeriksa secara
berkala instrumen digunakan akuisisi pasien akurasi yang untuk data

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuro muskular yang ditandai dengan keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik kasar, keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus, pergerakan tidak terkoordinasi

- Mobility Setelah asuhan keperawatan

- Mobility diberikan a. kaji tingkat ambulasi klien

- Mobility a. untuk mengetahui tingkat ambulasi klien. - Exercise

selama .x24 jam - Exercise Therapy: Ambulation diharapkan mobilitas sudah peningkatan dengan hasil: a. Gerakan mulai otot ada kriteria klien ada a. Kenakan klien pakaian yang tidak bersifat membatasi.

Therapy: Ambulation a. mempermudah pergerakan klien

b. Bantu klien untuk


menggunakan alas kaki yang memudahkan berjalan dan mencegah cedera.

peningkatan dari level 1 ke level 2 (rentang skala 15)

b. memudahkan
dalam latihan ambulasi

c. untuk
mempercepat proses

c. Kolaborasi

dengan ahli terapi fisik mengenai rencana ambulasi sesuai kebutuhan.

ambulasi sesuai yang diharapkan.

d. mempercepat
proses kemandirian klien dalam ambulasi

d. Bantu klien
ambulasi awal dan jika diperlukan.

e. Dorong ambulasi
mandiri dalam batas aman 3. Konfusi kronik berhubungan dengan serangan stroke yang ditandai dengan gangguan respon terhadap stimulus, gangguan memori jangka panjang, gangguan memori jangka pendek Setelah asuhan keperawatan selama .x 24 jam diharapkan mengalami peningkatan ingat kriteria hasil: - Dementia a. Kemampuan mengingat informasi secara a. Ikutkan anggota akurat naik satu level (rentang skala 1-5) b. Mampu mengingat informasi yang keluarga dalam perencanaan, penyediaan, dan mengevaluasi perawatan, sejauh yang diinginkan Management daya dengan klien diberikan a. Kaji kemampuan mengingat informasi klien, baik yang baru saja terjadi maupun yang sudah jauh terjadi sebelumnya. - Memory - Memory

e. memandirikan
klien dalam melakukan ambulasi. - Memory a. mengetahui tingkat mengingat informasi klien. - Dementia Management

a. agar keluarga
mengetahui rencara keperawatan yang akan diberikan dan agar bisa mendukung rencana keperawatan tersebut sehingga rencana keperawatan

baru saja terjadi b. Identifikasi Pola naik satu level (rentang skala 1umum perilaku untuk kegiatan

5) c. Mampu mengingat informasi jauh level yang sudah (rentang

seperti tidur, penggunaan obat, eliminasi, asupan makanan, dan perawatan diri

berjalan dengan baik.

b. untuk
mengetahui pola umum perillaku seharihari klien guna membantu tindakan keperawatan yang akan diberikan

terjadi naik satu c. Tentukan riwayat fisik, sosial, psikologis klien, kebiasaan, dan rutinitasnya skala 1-5)

d. Siapkan diri untuk


interaksi dengan kontak mata dan sentuhan yang sesuai.

c. mengetahui
riwayat klien d. meningkatkan rasa percaya klien dan hubungan dekat

e. Perkenalkan diri
saat memulai kontak.

f. Bicara dengan
jelas, nada rendah, hangat, suara penuh hormat.

e. untuk
mendekatkan diri dengan klien

f. meningkatkan
rasa percaya klien

g. Pilih program
televisi atau radio berdasarkan kemampuan proses kognitif dan minat.

g. membantu
dalam proses tindakan keperawatan

h. Gunakan simbol,
selain tanda-tanda tertulis, untuk membantu pasien

h. agar klien tidak


tersesat dan menemukan dengan mudah

untuk menemukan, kamar mandi, atau daerah lain

ruangan yang ia cari

i. mengetahui
penyebab kebingungan fisiologis klien

i. Monitor dengan
hati-hati untuk penyebab kebingungan fisiologis yang meningkat yang mungkin akut dan reversible.

j. mempercepat
penyesuaian ketika perawatan akan dilanjutkan di rumah

j. Diskusikan isu-isu
keamanan rumah dan intervensi.

4.

Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan aliran darah ditandai dengan ketidaknormalan dalam berbicara, kelumpuhan, edema.

- Tissue Perfusion: Cerebral - Intracranial Pressure (ICP) Monitoring Setelah asuhan keperawatan selama .x 24 jam diharapkan perfusi jaringan cerebaral diberikan

- Tissue Perfusion: Cerebral a. Kaji MABP klien - Intracranial Pressure (ICP) Monitoring

- Tissue Perfusion: Cerebral a. mengetahui MABP klien - Intracranial Pressure (ICP) Monitoring

a. Bantu dengan
penyisipan perangkat pemantauan ICP

a. memabantu
pemantauan ICP

klien sudah mulai b. Berikan b. mengurangi adekuat dengan informasi kepada kecemasan kriteria hasil: keluarga / orang keluarga penting lainnya a. MABP (mean c. mengetahui arterial blood c. Catat tekanan ICP pressure) dalam pembacaan rentang normal tekanan ICP dan d. memantau menganalisis bentuk gelombang tekanan perfusi serebral (120-140 mmHg) b. Klien mengalami pusing c. Klien muntah tidak tidak

e. posisi yang
membantu dalam proses peningkatan perfusi serebral

d. Monitor tekanan
perfusi serebral

e. posisikan klien
dengan kepala ditinggikan 30 sampai 45 derajat dan dengan leher pada posisi netral

f. mempertahank
an tekanan intracranial

g. agar segera
dilakukan tindakan yang tepat dan

f. Jaga tekanan

arteri sistemik dalam kisaran tertentu

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan

g. Beritahu dokter
ICP tinggi yang tidak merespon terhadap protokol pengobatan

DAFTAR PUSTAKA Brunner., and Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Volume 2. Jakarta: EGC Wilkinson., Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Nanda Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC Guyton, and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Volume 11. Jakarta: EGC Wilson, Price. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Buku II. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai