Anda di halaman 1dari 19

I.

Pendahuluan
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muskular (neuro muscular junction) dan saraf autonom.1

II. Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan / pertanian dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi akibat perbedaan aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.1,2 Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak, kuda dan sebagainya, sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar. Spora kuman C. tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran di manamana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptic (dermatol), ataupun pada alat suntik dan operasi.1

Data Insidens Tetanus Menurut WHO3,5

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Portd'entre tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :1 Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik. Otitis media, karies gigi, luka kronik. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.

III. Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk batang dengan sifat :1 Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti pemukul genderang. Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela. Menghasilkan eksotoksin yang kuat. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan dan desinfektan. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang

anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8 F (121C) selama 1015 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik.1,4 Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah, pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.5

IV. Patogenesis
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis. Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar gram), atau 175 nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg.4,5 Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe
3

dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar.1 Dampak toksin antara lain :1 Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia.

V. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.5 Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :5 Generalized tetanus (Tetanus umum) Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang
4

terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan. Localized tetanus (Tetanus lokal) Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik) Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk. Tetanus neonatorum Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.

Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan5 Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus
Derajat I : Ringan Manifestasi Klinis Trismus ringan sampai sedang;spastisitas umum tanpa spasme atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap

II : Sedang

III : Berat

IV : Sangat berat

VI. Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :1,5 Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari. Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur. Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan. Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun masa istirahat spasme makin pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.

Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi tulang belakang. Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif).

VII. Pemeriksaan Penunjang


Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.5 Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya

sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus. Nilai hitung leukosit dapat tinggi. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal. Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi dan bukan tetanus. Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.

EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan


pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah potensial aksi.

Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.

VIII. Diagnosis
Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi (imunokompeten).5 Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:1 Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah atau gigitan binatang? Apakah pernah keluar nanah dari telinga? Apakah pernah menderita gigi berlubang? Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir? Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?

IX. Diagnosis Banding


Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit. Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :1 Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak). Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.

X. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :1,5 Penanganan spasme. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan. Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan.

Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman, untuk memusnahkan pabrik penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan.

Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus yang berat, disfagia atau hidrofobia.

Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi, mengatasi spasme, perawatan luka atau portd'entre lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.

X.I. Tatalaksana Umum5


Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi. Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker). Mengurangi spasme dan mengatasi spasme. Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan BB10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti,
10

pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 510 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih spasme atau mengalami spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20% dari dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan.

Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai portd'entre, maka diperlukan
konsultasi dengan dokter gigi/THT.

X.II. Tatalaksana Khusus5


Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG) Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak, pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human

11

immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara IM. Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan intensif. Selain penatalaksanaan diatas, berikan tambahan penatalaksanaan berikut : o HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari 4-30%). o Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu. o Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot. o Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus iv. o Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi yang berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin. Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu spasme yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur terapeutik harus dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin dapat berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah pasien mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal. Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan toksoid tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia yang berat. Selanjutnya pasien diberikan imunisasi tetanus. Antibiotika o Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30
12

mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 710 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA). Tabel di bawah ini menggambarkan perbandingan antara penisilin dan metronidazol. Penisilin Spektrum Mekanisme kerja Metronidazol

Spektrum luas, bakteri Spektrum sempit, obligat Gram (+), anaerob anaerob (tidak dapat menginduksi superinfeksi)

Menghambat dinding sel

sintesis Menghambat DNA Stabil Jarang Jarang

sintesis

Stabilitas Reaksi alergi Resistensi Struktur

Tidak stabil Sering Sering Strukturnya menyerupai GABA: spasme menginduksi

Penetrasi ke abses Akses

Rendah IM

Baik Oral, rektal, IV

o Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang sesuai. Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan klostridium di tempat luka yang dapat memproduksi toksin.

13

XI. Komplikasi5
Sistem Tubuh Jalan napas Komplikasi Aspirasi* Laringospasme/obstruksi* Sedasi dihubungkan dengan obstruksi* Apnea* Hipoksia Tipe I* (ateletaksis, aspirasi, pneumonia) dan tipe II* gagal napas (spasme laring, pemanjangan spasme batang tubuh, sedasi berlebihan) ARDS* Komplikasi dari pemanjangan bantuan ventilasi (contoh : pneumonia) Komplikasi trakeostomi (contoh : stenosis trakea) Emboli paru Emfisema mediastinum Penumotoraks Spasme diafragma Takikardia*, hipertensi*, iskemia* Hipotensi*, bradikardia* Takiaritmia, bradiaritmia* Asistol* Gagal jantung* Gagal ginjal : fase oligouria dan poliuria Stasis urin dan infeksi Stasis lambung Ileus Diare Perdarahan* Status konvulsivus Dehidrasi Penurunan berat badan* Tromboemboli* Sepsis dan gagal organ multipel* Fraktur vertebra selama spasme
14

Respirasi

Kardiovaskular

Ginjal Gastrointestinal

Lain-lain

Avulsi tendon selama spasme

*Komplikasi jangka panjang

XII. Prognosis5
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus. Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan prognosis tetanus menurut sistem skoring Bleck: Sistem skoring Masa inkubasi Awitan penyakit Tempat masuk 1 < 7 hari < 48 jam luka bakar, luka operasi, bagian dari fraktur, aborsi septik, tali pusat, atau penyuntikan intramuskular (+) > 38,4C > 40C 0 7 hari 48 jam Selain tempat tersebut

Spasme Suhu Aksilar Rektal

(-) 38,4C 40C


15

Takikardia dengan (+) frekuensi lebih dari 120x/menit (pada neonatus >150x/menit) Tetanus umum (+) Adiksi narkotika (+)

(-)

(-) (-)

Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti diuraikan berikut ini:

XIII. Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan:5 Imunisasi aktif Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia yaitu adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali.
16

Perawatan Luka Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut ini : o Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat. o Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7 tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal.

17

KESIMPULAN
Tetanus merupakan penyakit yang dapat disembuhkan dan dicegah. Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Penatalaksanaan pasien tetanus secara garis besar terdiri atas tatalaksana umum dan khusus. Pada penatalaksanaan umum, hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut : Tercukupinya kebutuhan cairan dan nutrisi. Menjaga saluran napas agar tetap bebas. Penanganan spasme. Pada penanganan spasme, diazepam menjadi pilihan pertama. Mencari port dentree. Penatalaksanaan khusus tetanus terdiri dari pemberian serum anti tetanus/HTIG dan antibiotika. Tujuan pemberian ATS dan HTIG adalah untuk menetralisasi toksin yang beredar di dalam darah dan dapat juga diberikan sebagai profilaksis. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka dan pemberian ATS/HTIG profilaksis. Peranan imunisasi sangatlah penting dalam memberikan proteksi pada infeksi tetanus.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis: Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008. 2. Tetanus (Lockjaw). 2006. RedBook. 3. WHO Immunization surveillance, assessment and monitoring. Available at http://apps.who.int/immunization_monitoring/globalsummary/incidences?c=IDN 4. CDC. Tetanus. 5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penatalaksanaan Tetanus Pada Anak. Jakarta. 2008

19

Anda mungkin juga menyukai