Anda di halaman 1dari 8

Kortikosteroid Dalam Dermatology

Kortikosteroid merupakan salah satu hormon yang dikeluarkan oleh kortek adrenal tetapi tidak termasuk hormon seks. Kortikosteroid dibagi menjadi dua kelompok menurut aktifitas biologisnya, yaitu glukokortikoid yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Dan mineralokortikoid yang mempengaruhi pengaturan elektrolit dan keseimbangan air. Kedua jenis kortikosteroid tersebut digunakan secara klinis untuk terapi penggantian hormon, untuk menekan sekresi ACTH, sebagai agen antiradang, dan imunosupresi. Pada prinsipnya ada tiga mekanisme kerja dari kortikosteroid yang digunakan di dalam terapi dermatologi : 1. Anti inflamasi Efek anti inflamasi ini merupakan efek utama yang diharapkan dalam dermatologi baik secara sistemik maupun topikal. Efek anti-inflamasi bekerja dengan cara mencegah proses marginasi (melekatnya lekosit dan monosit pada endotel pembuluh darah) dan menghambat proses kemotaksis (migrasi sel-sel radang ke fokus inflamasi). Kortikosteroid menyebabkan vasokonstriksi, menurunkan permeabilitas membran sehingga mengurangi ekstravasasi serum, udem, dan rasa gatal serta dapat juga menghambat manifestasi inflamasi yang lebih lanjut seperti proliferasi fibroblas, pengumpulan kolagen, dan pembentukan sikatrik (FKUI) 2. Imunosupresi Sifat ini melibatkan sifat antiinflamasi karena karena bagian dari respon kekebalan tubuh. kortikosteroid juga menhambat pembelahan sel-sel linfoid, melisiskan sel linfosit B dan menghambat kerja limfokin pada sasaran. Oleh sebab itu, kortikosteroid digunakan untuk mengatasi gejala klinik suatu reaksi hipersensitivitas tetapi belum dapat dipastikan terapi kortikosteroid mempunyai efek yabg berarti pada titer antibodi IgG atau IgE yang berperanan pada reaksi alergi dan autoimun. Sistem komplemen tidak dipengaruhi oleh kortikosteroid (FKUI).

3. Anti proliferasi Kortikosteroid mempunyai sifat anti proliferasi dengan menekan pembelahan sel, menurunkan transkripsi RNA, mengurangi sintesis dan reparasi DNA. Sehingga pada pemakaian jangka panjang pada kulit akan menyebabkan penipisan epidermis dan atropi sel serta dapat mengganggu sintesis kolagen sehingga terjadi striae di kulit. Di dalam klinik kortikosteroid digunakan secara sistemik dan topikal 1. Sistemik a. Indikasi dan dosis pemberian Indikasi pemberian kortikosteroid sistemik dalam dermatologi adalah sebagai berikut : Sebagai pelindung jangka pendek pada penyakit akut dan berat seperti urtikaria, eritema eksudativum multiforme, erupsi obat berat, dermatitis kontak alergi dan nekrolisis epidermal toksis (NET). Keadaan reaksi anafilaksis seperti syok anafilaksi dan gigitan binatang beracun Penyakit imunologi sistemik dan berat seperti lupus eritematosus sistemik, dermamiositis dan pioderma gangrenosum. Penyakit vaskuler seperti poliarteritis nodusa, arteritis temporalis, purpura trombositopenia dan vaskulitis alergika Penyakit kronik yang fatal seperti pemfigus, pemfigoid bulosa, dan dermatitis eksfloliativa Keadaan dimana terjadi epidermolisis bulosa pada anak, dan sarkoidosis Indikasi relatif pada penyakit seperti liken planum, eksem berat, penyakit Reiter, sindrom Sjogren, akne yang berat dan hidradenitis supuratif.
Tabel.1. Dosis inisial kortikosteroid sistemik per hari pada berbagai dermatosis (dewasa)

Nama Penyakit Dermatitis Erupsi alergi obat ringan Sindrom Steven Johnson dan NET Eritroderma

Jenis Kortikosteroid dan dosis per hari Prednison 4x5 mg atau 3x10 mg Prednison 4x5 mg atau 3x10 mg Dexametason 6x5 mg Prednison 4x5 mg atau 3x10 mg

Reaksi lepra Lupus eritematosa diskoid Pemfigoid bulosa Pemfigus vulgaris Pemfigus foliaseus Pemfigus eritematosa Psoriasis pustulosa b. Cara pemberian

Prednison 3x10 mg Prednison 3x10 mg Prednison 40-80 mg Prednison 60-150 mg Prednison 3x20 mg Prednison 3x20 mg Prednison 4x10 mg

Prinsip terapi yang perlu diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid, yaitu : Pada kasus yang tidak mengancam jiwa kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik. Bila kortikosteroid diberikan dalam jangka panjang harus diberikan dosis minimal yang masih efektif. Dosis ini diberikan secara trial and error, sehingga jika dosis minimal tersebut belum memperlihatkan perbaikan maka dosis dinaikkan sampai timbul penurunan gejala dan masih dapat ditoleransi pasien. Kemudian dalam periode singkat dosis diturunkan perlahan sampai tercapai dosis minimal. Pada penyakit kulit akut dan dapat sembuh sendiri seperti dermatitis kontak alergi akut cukup diberikan dosis sedang selama beberapa hari diikuti tappering secara singkat. Tetapi jika terapi kortikosteroid bertujuan untuk mengatasi keadaan gawat darurat maka dosis awal harus lebih besar. Jika belum menimbulkan efek maka dapat dilipatgandakan dengan mempertimbangkan antara bahaya efek samping pengobatan dengan bahaya akibat penyakit tersebut. Pada kasus anak dengan dermatitis atopik moderat, pemberian kortikosteroid potensi kuat dalam jangka pendek (3 hari) lebih efektif daripada kortikosteroid potensi sedang yang diberikan selama 7 hari Pemberian kortikosteroid sistemik dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : Dosis tunggal : kortikosteroid diberikan sekaligus pada pagi hari sebelum jam 8 pagi bersamaan dengan meningkatnya kadar steroid tubuh. Cara ini

baik dilakukan untuk penyakit akut yang memerlukan pengobatan kurang dari satu bulan Dosis selang : kortikosteroid diberikan selang satu hari, pada hari minum obat dosis menjadi dua kali lipat dan hari berikutnya tidak minum sama sekali. Penurunan dosis dilakukan sedikit demi sedikit tergantung dosis awalnya. Maksud dari cara pemberian ini adalah untuk melindungi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal pada hari bebas obat sehingga aksis tersebut tetap berfungsi normal dan dapat memutus rantai sintesis imunoglobulin yang bertahan 36-48 jam. Perlu diketahui juga bahwa pemberian dosis selang kortikosteroid lebih dari 40 mg sehari tetap akan mensupresi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal. Dosis tunggal malam Kortikosteroid dosis tunggal malam diberikan pada sore atau malam hari karena aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal sangat peka diwaktu tersebut. Cara ini digunakan pada kasus hirsutisme, akne kistika kronik dan hiperplasia adrenal kongenital. Dosis pemberian adalah 5-7,5 mg. c. Pemilihan kortikosteroid Menurut lama kerjanya, kortikosteroid dibedakan menjadi tiga, yaitu : Kortikosteroid kerja jangka pendek : mempunyai waktu paruh 8-12 jam. Contohnya Hidrokortison (dosis 5-20 mg/hari) dan kortison asetat (525mg/hari) Kortikosteroid kerja jangka menengah : mempunyai waktu paruh 18-36 jam. Contohnya : Prednison (5 mg/hari), Triamsinolon (4 mg/hari) dan Metilprednisolon (4 mg/hari) Kortikosteroid kerja jangka panjang : mempunyai waktu paruh 36-54 jam. Contohnya : Betametason (0,6 mg/hari) dan Deksametason (0,6 mg/hari) Pada penggunaan steroid jangka panjang (kasus pemfigus) dianjurkan untuk memakai kortikosteroid kerja jangka menengah. d. Efek samping kortikosteroid sistemik

Adapun efek samping yang diakibatkan oleh penggunaan kortikosteroid sistemik seperti pada tabel berikut : Tabel 2. Efek samping kortikosteroid sistemik

Tempat
Saluran cerna Otot Susunan saraf pusat Tulang Kulit Mata Kardiovaskuler Kortek adrenal Metabolisme Elektrolit Sistem imunitas

Efek samping
Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi lambung, ulkus peptikum, pankreatitis, ileitis regionl, kolitis ulseratif Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu Perubahan kepribadian (euforia, isomni, gelisah, psikosis, paranoid, hiperkinesis) dan nafsu makan bertambah Osteoporosis, fraktur, kompresi vertebra, skoliosis Hirsustisme, hipotrofi, striae atrofi, dermatosis akneformis, purpura, telangiektasis Katarak sukapsuler posterior, glaukoma Hipertensi Atrofi Efek katabolik protein, hiperlipidemia, hiperglikemia, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati Retensi Na/air, kehilangan K (astenia, paralisis, tetani, aritmia) Imunosupresi, reaktivasi TB dan herpes simplek, keganasan

2. Topikal a. Indikasi Penyakit-penyakit yang sangat responsif terhadap kortiokosteroid topikal, yaitu dermatitis atopik, dermatitis seboroik, dermatitis numularis, dermatitis kontak alergi dan iritan, psoriasis pada muka dan genital, liken simplek kronik, dan pruritus ani. b. Pemilihan kortikosteroid topikal Pada pemilihan kortikosteroid topikal perlu diperhatikan jenis steroid, basis, lokalisasi lesi, umur penderita dan pemilihan sediaan kombinasi atau murni. Menurut potensinya kortikosteroid topikal dapat dibedakan menjadi 4 golongan sebagai berikut :

Tabel 3. Golongan kortikosteroid berdasarkan potensinya I (lemah)

Golongan/potensi

Anti inflamasi
+

Anti mitosis
-

II (sedang)

++

III (Kuat)

+++

IV (sangat kuat)

++++

+++

Hidrokortison 1-2,5% Metil prednisolon 0,25% Deksametason 0,04% Hidroksiprednisolon 0,5% Flumetason pivalat 0,02% Klobetason butirat 0,05% Desonid 0,5 % Hidrokortison butirat 0,1% Triamsinolon asetonid 0,1% Halsimomid 0,1% Betametason valerat 0,1% Fluksinolon asetonid 0,025% Halometason 0,05% Diflukortolon valerat 0,3% Clobetasol propionat 0,05%

Nama generik

Untuk pemilihan sediaan topikal terdapat beberapa prinsip yang harus diketahui. Jika lesi yang akut dan basah digunakan bentuk losio atau krim dan jika kronik, kering dan likenifikasi maka dipakai bentuk salep. Lesi di daerah berambut lebih baik dipakai bentuk losio, jeli, aerosol atau tingtura. Perlu diingat, pengenceran atau pencampuran sediaan paten kortikosteroid dengan bahan-bahan seperti asam salisilat, liquor karbonis detergen dapat menyebabkan hilangnya stabilitas dan pecahnya basis, serta mengubah bahan aktif menjadi ester yang kurang aktif. Lokalisasi lesi juga menentukan pemilihan kortikosteroid topikal. Untuk lesi-lesi dimuka, genital dan aksila, oleh karena penetrasi obat di daerah tersebut cukup tinggi hendaknya dipergunakan kortikosteroid golongan lemah sebaliknya pada lesi-lesi di daerah palmoplantar dan ekstensor perlu dipilih kortikosteroid yang cukup kuat. Pada lesi di sekitar mata sebaiknya dipergunakan kortikosteroid lemah karena kemungkinan dapat masuk ke konjungtiva yang dapat menyebabkan katarak dan glaukoma. Pada bayi, anak-anak, dan orang tua, khususnya dengan eksem atopik yang memerlukan pengobatan lama, sebaiknya dipergunakan steroid golongan lemah. c. Dosis dan cara pemberian Pada umumnya kortikosteroid topikal cukup dioleskan 1-2 kali sehari. Pengolesan beberapa kali sehari ternyata tidak jauh berbeda dengan

pengolesan 1-2 kali sehari, bahkan akan mempercepat timbulnya takhifilaksis yaitu berkurangnya efek terapi setelah dipakai beberapa kali. Pengolesan juga cukup dilakukan tipis selain karena efek terapinya sudah cukup maksimal, juga ekonomis dan tidak mengotori kulit dengan adanya kerak salep atau krim yang tebal. Untuk lesi yang berat dapat diberikan steroid yang kuat sebagai terapi inisial, kemudian diganti steroid sedang atau lemah untuk terapi pemeliharaan. Pada beberapa dermatosis yang kurang responsif terhadap steroid, penetrasi steroid dapat ditingkatkan selain dengan penambahan bahan-bahan seperti propilen glikol atau urea, dapat juga dilakukan dengan cara oklusi, yaitu menutup lesi yang telah diolesi kortikosteroid dengan bahan yang impermeabel (polietilen atau plastik) sehingga udara akan keluar dan stratum korneum menjadi lebih lembab yang akan meningkatkan permeabilitas stratum korneum tersebut. Dengan cara ini, dikatakan potensi steroid dapat ditingkatkan 10x. Oklusi sebaiknya dilakukan pada malam hari, tetapi hindari cara oklusi ini untuk lesi yang luas. d. Efek samping penggunaan kortikosteroid topikal Ternyata makin poten sediaan kortikosteroid topikal, makin besar pula kemungkinan efek samping yang terjadi. Pemakaian yang terlalu lama akan meningkatkan resiko timbulnya efek samping ini. Sehingga pemakaian steroid yang poten sebaiknya tidak lebih dari 2-3 minggu. Efek lokal Kerusakan kulit berupa atrofi kulit, teleangiektasi, purpura atau striae. Efek samping pada kulit ini yang dipakai sebagai evaluasi apakah suatu steroid topikal dianggap aman atau tidak. Infeksi dapat terjadi setelah pemakaian kortikosteroid jangka lama, terutama kalau digunakan secara oklusi, dapat berupa infeksi kandida, bakteri atau meluasnya impetigo. Tinea inkognito dapat terjadi karena kesalahan terapi tinea dengan kortikosteroid. Efek lain yang dapat terjadi misalnya akne steroid, dermatitis perioral, gangguan pigmentasi naik hipo maupun hiperpigmentasi dengan granuloma di kulit. Reaksi alergi pernah juga diaporkan pada pemakaian kortikosteroid topikal

Pada individu tertentu, pemakaian kortikosteroid jangka lama dapat menyebabkan rambut pada muka tumbuh subur. Efek sistemik Kortikosteroid topikal potensi kuat dan dipakai untuk jangka panjang dengan konsentrasi tinggi atau oklusi dapat pula menimbulkan efek sistemik seperti halnya kortikosteroid sistemik REFERENSI Anonim. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Jakarta : CV. Sagung Seto Atherton, David J. 2003. Topical corticosteroids in atopic dermatitis. BMJ VOL 327;942-943 K S Thomas, S Armstrong, A Avery, A Li Wan Po, C O'Neill, S Young, H C Williams. Randomised Controlled Trial Of Short Bursts Of A Potent Topical Corticosteroid Versus Prolonged Use Of A Mild Preparation For Children With Mild Or Moderate Atopic Eczema. BMJ VOL. 324; 2003 Sukarti, K. 2005. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog-Sintetik Dan Antagonisnya ; Farmakologi Dan Terapi Ed.4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai