Anda di halaman 1dari 51

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Preeklampsia berat (PEB) dan eklampsia masih merupakan salah satu

penyebab utama kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Mereka diklasifikasikan kedalam penyakit hipertensi yang disebabkan karena kehamilan. PEB ditandai oleh adanya hipertensi sedang-berat, edema, dan proteinuria yang masif. Sedangkan eklampsia ditandai oleh adanya koma dan/atau kejang di samping ketiga tanda khas PEB.1 Preeklampsia-Eklampsia adalah penyakit pada wanita hamil yang secara langsung disebabkan oleh kehamilan. Pre-eklampsia adalah hipertensi disertai proteinuri dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi. Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita preeklampsia yang disusul dengan koma. Kejang disini bukan akibat kelainan neurologis.1 Hemolisis, kelainan tes fungsi hati dan jumlah trombosit yang rendah sudah sejak lama dikenal sebagai komplikasi dari preeklampsi-eklampsi (Chesley 1978; Godlin 1982; McKay 1972).2,3 Sindrom HELLP merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets. Patogenesis sindrom HELLP belum jelas. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya; menyebabkan endotel.3 kelihatannya merupakan endotel akhir dari dan kelainan yang

kerusakan

mikrovaskuler

aktivasi

trombosit

intravaskuler, akibatnya terjadi agregasi trombosit dari selanjutnya kerusakan

1.2

Tujuan

Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah sebagai berikut ini : 1. Memahami definisi, etiologi, faktor risiko, gambaran klinis, patofisiologi, diagnosis, komplikasi, dan penatalaksanaan preeklampsia pada ibu hamil.

2. Mengetahui teknik anestesi preeklampsia dengan komplikasi HELLP Sindrom pada ibu hamil. 3. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP Haji Adam Malik Medan

1.3.

Manfaat Makalah ini adalah bermanfaat bagi para pembaca, khususnya yang

terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya. Diharapkan dengan makalah ini pembaca dapat lebih mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai penyakit preeklampsia pada ibu hamil dan teknik anestesi pada operasi sectio sesaria dengan preeklampsia yang disertai HELLP Sindrom.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Preeklampsia

2.1.1. Definisi Preeklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel.2 Preeklampsia ditemukan setelah 20 minggu kehamilan.5 Preeklampsia ditandai dengan adanya hipertensi dan proteinuria.6 Menurut Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) pada tahun 1993 hipertensi merupakan kenaikan tekanan darah menjadi 140/90 mmHg atau lebih, atau ada kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg, atau kenaikan tekanan diastolik 15 mmHg atau lebih.7 Proteinuria merupakan tanda penting preeklampsia. Disebut proteinuria jika terdapat 300 mg atau lebih protein dalam urin per 24 jam.6

2.1.2. Etiologi Sampai sekarang etiologi preeklampsia belum diketahui dengan pasti. Banyak teori yang menjelaskan penyebab terjadinya preeklampsia. Itulah sebabnya preeklampsia disebut juga Disease of Theory, gangguan kesehatan yang berasumsi teori.8 Adapun teori-teori tersebut adalah: a) Peran prostasiklin dan tromboksan Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti dengan trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.

b) Peran faktor imunologis Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun pada penderita preeklampsia/eklampsia: Beberapa wanita dengan preeklampsia/eklampsia mempunyai

kompleks imun dalam serum Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada preeklampsia/eklampsia diikuti proteinuria c) Faktor genetik Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian preeklampsia antara lain: Preeklampsia/eklampsia hanya terjadi pada manusia Frekuensi preeklampsia dan eklampsia cenderung meningkat pada anak-anak dari ibu yang menderita preeklampsia/eklampsia Frekuensi preeklampsia/eklampsia cenderung meningkat pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat preeklampsia/eklampsia dan bukan ipar mereka Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron Sistem (RAAS)

2.1.3. Faktor Risiko Faktor risiko preeklampsia menurut POGI (2012):9 Inheren Umur kehamilan <20 minggu atau 35-40 minggu Nulliparitas Riwayat preeklampsia atau penyakit kardiovaskular pada keluarga Wanita yang terlahir dengan Pertumbuhan Janin terhambat (PJT)

Kondisi medis Obesitas Hipertensi kronik Penyakit ginjal kronik Diabetes Mellitus SLE Thrombophilia Stress

Pregnancy specific Kehamilan majemuk/hamil kembar Oocyte donation Janin dengan kelainan : Mola Hydatidosa, Hydrops fetalis, Anomali structural

2.1.4. Patofisiologi Vasospasme merupakan dasar patofisiologi preeklampsia/eklampsia. Konstriksi vaskuler menyebabkan resistensi terhadap aliran darah dan menjadi penyebab hipertensi arterial. Adanya vasokonstriksi ini juga akan menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah. Selain itu, angiotensin II menyebabkan sel endotel berkontraksi. Perubahan-perubahan ini yang menyebabkan kerusakan sel endotel dan terjadinya kebocoran di celah antara sel-sel endotel sehingga mengakibatkan trombosit dan fibrinogen mengendap di lapisan subendotel. Perubahan vaskular tersebut bersama dengan lain.2 Selain itu Hubel (1989) mengatakan bahwa adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya penurunan perfusi uteroplasenta yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta. Hipoksia/anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel. Peroksidase lemak adalah hasil hipoksia vaskular jaringan di

sekitarnya menyebabkan perdarahan, nekrosis, dan kerusakan organ akhir yang

proses oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan antara peroksidase terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan yang disebut stress oksidatif.8 Pada peeklampsia/eklampsia serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada wanita hamil normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang berperan sebagai anti oksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak ini akan sampai ke semua komponen sel yang dilewati termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel

tersebut mengakibatkan antara lain: adhesi dan agregasi trombosit, gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma, terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat rusaknya trombosit, produksi prostasiklin terhenti, terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan, dan terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase lemak.8

2.1.5. Gejala Menurut POGI (2012), diagnosis hipertensi ditegakkan apabila tekanan diastolik 90 mmHg pada dua kali pengukuran yang berjarak 1 jam. Diagnosis preeklampsia berat menurut POGI:10 Tekanan Darah Diastolik > 110 mmHg Proteinuria 2+ Oliguria < 500 ml/24 jam Edema Paru: Sesak Napas, Sianosis, Ronkhi Nyeri Epigastrium/Kuadran Atas Kanan Gangguan Penglihatan: Skotoma Sefalgia/Nyeri Kepala Hebat Hiperrefleksia Mata: Spasme Arterioler, Edema, Ablasio Retina Koagulasi: Koagulasi Intravaskuler Diseminata, Sindroma HELLP

Pertumbuhan Janin Terhambat Otak: Edema Serebri Jantung: Gagal Jantung

Sedangkan kriteria preeklampsia berat menurut WHO (2012) ialah : 1. TD 160/110 mmHg 2. Proteinuria 5 g/24 jam atau +2 dipstik 3. Gejala/tanda disfungsi organ : Edema paru Oliguria Trombositopeni Peningkatan enzim hati Nyeri epigastrik atau kuadran kanan atas disertai mual dan muntah

4. Tanda serebral Kejang Sakit kepala Pandangan kabur Penurunan visus atau kebutaan kortikal Penurunan kesadaran

2.1.6. Klasifikasi Klasifikasi preeklampsia terbagi atas preeklampsia ringan dan preeklampsia berat. Adapun perbedaan dari masing-masing jenis preeklampsia tersebut adalah:8 a) Preeklampsia ringan Kenaikan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih pada kehamilan 20 minggu Proteinuria Kuantitatif Kualitatif : 0,3 gr/liter dalam 24 jam : +2

b) Preeklampsia berat Kenaikan tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih pada kehamilan 20 minggu

Trombosit < 100.000/mm3 Oliguria < 400 ml/24 jam Proteinuria > 3 gr/liter Nyeri epigastrium Perdarahan retina Odem pulmonum

2.1.7. Diagnosis Adapun pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mendiagnosa preeklampsia adalah:11 a) Uji diagnostik dasar Pengukuran tekanan darah Analisis protein dalam urin Pemeriksaan edema Pengukuran tinggi fundus uteri Pemeriksaan funduskopik

b) Uji laboratorium dasar Evaluasi hematologik (hematokrit, jumlah trombosit, morfologi eritrosit pada sediaan apus darah tepi) Pemeriksaan fungsi hati (bilirubin, protein serum, aspartat

aminotransferase, dan sebagainya) Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin)

2.1.8. Penatalaksanaan Tujuan utama penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit preeklampsia adalah:2 1. Terminasi kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan janinnya, 2. Lahirnya bayi yang kemudian dapat berkembang, 3. Pemulihan sempurna kesehatan ibu.

Adapun prinsip penatalaksanaan preeklampsia ialah pengendalian kejang, pengendalian tekanan darah, dan terminasi kehamilan. Penatalaksanaan preeklampsia menurut POGI (2012):9 a) Preeklampsia ringan Jika kehamilan < 37 minggu dan tidak memungkinkan rawat jalan, rawat di rumah sakit Pantau tekanan darah 2x/hr, proteinuria 1x/hr dan kondisi janin Istirahat Diet biasa Direkomendasikan pemberian slow released nifedipine 2 x 30 mg Pertumbuhan janin terhambat pertimbangkan terminasi Proteinuria kelola sebagai preeklampsia berat

Tekanan diastolik turun sampai normal Pasien dipulangkan Istirahat dan perhatikan tanda preeklamsia berat Tekanan diastolik naik rawat

10

Hamil >37 minggu Preeklampsia ringan Hamil <37 minggu

Terminasi kehamilan

Beri anti hipertensi, pantau tekanan darah, proteinuria, kondisi janin

Kenaikan proteinuria

Gangguan pertumbuhan janin

Kenaikan tekanan darah

Preeklampsia berat

Terminasi kehamilan

Bila diastolik 110 mmHg PEB

Gambar 2.1 : Skema Terapi Preeklampsia Ringan b) Preeklampsia berat Pengelolaan umum Jika diastolik > 110 mmHg berikan 2 x 1 slow released nifedipine 30 mg agar diastolik menjadi 90-100 mmHg Pasang infus ringer laktat/ringer asetat Jaga keseimbangan cairan, pasang kateter menetap (folley) Pantau produksi urin (harus > 25 ml/jam) Hindarkan depresi pernapasan atau edema paru Perhatikan timbulnya aura atau eklampsi imminens Observasi tanda vital, refleks patela & denyut jantung janin tiap 1 jam Lakukan uji pembekuan darah

Pilihan obat : a. Anti konvulsan Magnesium sulfat (MgSO4)

11

Mencegah terjadinya kejang/eklampsia atau kejang berulang Cara pemberian : intravena Dosis : 1) Awal 4 G MgSO4 (10 ml konsentrasi 40% atau 20 ml konsentrasi 20%) IV selama 5 - 8 menit (kecepatan 0,5 -1 G per menit), Untuk 10 ml konsentrasi 40% dilarutkan menjadi 20 ml dengan aquadest. 2) Pemeliharaan Lanjutkan dengan 15 ml MgSO4 (40%) atau 6 G dalam larutan Ringer Asetat / Ringer Laktat selama 6 jam (1 G per jam), Jika terjadi kejang ulangan, berikan MgSO4 2 G IV selama 5 menit, Infus MgSO4 1 G / jam diberikan hingga 24 jam pasca persalinan/setelah bayi lahir.

Sebelum pemberian MgSO4 ulangan, lakukan pemeriksaan: 1) Frekuensi pernafasan 16 kali/menit 2) Refleks patella (+) 3) Urin minimal 25 ml/jam dalam 4 jam terakhir

Hentikan pemberian MgSO4, jika: 1) Refleks patella (-), bradipnea (<16 kali/menit) 2) Jika terjadi henti nafas Bantu pernafasan dengan pernapasan buatan/ventilator 3) Urin 20 ml/jam

Antidotum : Berikan Kalsium glukonas 1 g (20 ml dalam larutan 10%) IV perlahan-lahan sampai pernafasan mulai lagi

b. Anti hipertensi Nifedipin : 2 x 30 mg oral slow released nifedipine

12

Labetalol

2 x 200 mg oral. Jika respons tidak membaik lagi Labetolol 100 mg oral

setelah 10 menit, berikan (maksimal 500 mg per hari)

Metildopa 250-500 mg per oral 2 - 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 gram per hari (Efek maksimal 4-6 jam dan menetap selama 10-12 jam dan diekskresikan lewat ginjal (dapat melalui sawar uri dan dikeluarkan lewat ASI).

Pengelolaan persalinan a. Preeklampsia berat persalinan dalam 24 jam b. Eklampsia persalinan dalam12 jam c. Bila dilakukan bedah caesar Jika ada koagulopati maka anestesia terpilih anestesia umum Untuk regional anestesi, pilih anestesi epidural

d. Jika tidak tersedia anestesi umum Janin mati Lakukan persalinan pervaginam BBLR e. Jika pematangan serviks baik induksi oksitosin 5 IU / 500 ml dextrose 5% atau prostaglandin 25-50 mcg Indikasi rujukan : a. Oliguria (<400 ml/24 jam) b. Sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzym, low platelet count) c. Koma berlanjut >24 jam setelah kejang

13

Kejang Preeklampsia berat dan eklampsia

Anti konvulsan

Anti konvulsan, anti hipertensi, pasang infus, keseimbangan cairan, pengawasan, observasi tanda vital, djj, edema paru, uji pembekuan darah

Oliguria, sindrom HELLP, koma

Persalinan 12 jam (eklampsia)/persalinan 24 jam (preeklampsia)

Gawat janin

ICU/rujuk

Partus pervaginam

Partus perabdominam/bedah caesar

Gambar 2.2 : Skema Terapi Preeklampsia Berat dan Eklampsia

Preeklampsia merupakan suatu kegawatan yang dapat mengancam jiwa dan membutuhkan penanganan segera untuk mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas maternal. Prioritas pertama dari penanganan di gawat darurat adalah untuk mencegah cedera pada ibu dan menyediakan support pada sistem respiratorik dan kardiovaskular. Oksigen tambahan harus segera diberikan. Kemudian pasien diposisikan dengan posisi miring ke kiri, posisi ini mengurangi resiko untuk terjadinya aspirasi dan akan memperbaiki aliran darah ke uterus dengan mengurangi obstruksi dari vena cava oleh uterus gravida. Jika terjadi kejang pasien harus kita proteksi dengan cara menjaga tempat tidur pasien agar

14

pasien tidak terjatuh, menggunakan spatel tongue di antara gigi pasien agar lidah tidak tergigit, dan menghisap lendir di rongga mulut jika diperlukan.2 Kemudian akses intravena harus didapatkan dengan menggunakan jarum abocath no.16 ataupun 18, yang kemudian berguna untuk memberikan cairan dan obat-obatan serta untuk mengambil spesimen darah. Cairan intravena harus dibatasi dengan menggunakan larutan isotonik untuk mengganti urin output ditambah dengan 700 mL/hari untuk mengganti insensible loss.2 Terapi defenitif dari preeklampsia-eklampsia adalah melahirkan fetus dan plasenta setelah pasien telah stabil terlebih dahulu. Semua kehamilan dengan preeklampsia dan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Jangan melakukan usaha apapun untuk melahirkan bayi baik pervaginam maupun seksio cesarea sampai fase akut dari kejang ataupun koma telah dilewati. Cara melahirkan bayi harus berdasarkan indikasi obstetri namun tetap diingat fakta bahwa persalinan pervaginam lebih dipilih dari sudut pandang ibu.2 Penanganan nyeri maternal pada saat persalinan adalah vital dan dapat diatasi baik dengan opioid sistemik maupun anestesia epidural. Jika tidak ada malpresentasi fetus ataupun distress fetus, oksitosin ataupun prostaglandin dapat diberikan untuk menginduksi persalinan. Seksio cesarea dapat dipilih pada pasien dengan serviks yang tidak bagus dan umur kehamilan 30 minggu atau kurang, dimana induksi pada keadaan ini akan menghasilkan fase intrapartum yang lebih lama dan seringkali tidak berhasil untuk mencegah seksio cesarea dengan tingginya komplikasi intrapartum yang terjadi. Komplikasi intrapartum yang dapat terjadi adalah seperti pertumbuhan janin terhambat, pola denyut jantung bayi yang buruk (30%), serta abrupsio plasenta (23%). Tanpa memandang umur kehamilan, iduksi yang lama dengan perburukan klinis yang signifikan dari kardiovaskular, hematologis, renal, hepatik, dan/atau status neurologi dari ibu adalah secara umum merupakan indikasi untuk dilakukan seksio cesarea.12,13

15

2.1.9. Komplikasi Komplikasi dari preeklampsia adalah:14 - Eklampsia Stroke Kematian ibu Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Haemolysis, elevated liver enzymes and low platelet count (HELLP) Pulmonary oedema Aspirasi bronchial Liver failure Renal failure Oliguria Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) Oligohidramnion Infark plasenta Placenta abruption Insufisiensi uteroplasenta Prematuritas

2.1.10. Prognosis Preeklampsia dan komplikasinya selalu menghilang setelah bayi lahir (dengan perkecualian cedera serebrovaskular). Diuresis ( > 4 L/hari ) merupakan indikator klinis paling akurat dari menyembuhnya kondisi ini. Prognosis janin sangat bergantung pada usia gestasi pada saat kelahiran dan masalah-masalah yang berhubungan dengan prematuritas.2 2.2. HELLP Sindrom

2.2.1. Definisi Sindroma HELLP ialah preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya hemolisis (Hemolysis), peningkatan enzim hepar (Elevated Liver Enzyme), disfungsi hepar, dan trombositopenia (Low Platelete Count).15

16

2.2.2. Faktor Risiko Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsia (Tabel 1). Dalam laporan Sibai dkk (1986), pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.3,16,17 Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun pada 11% pasien muncul pada umur kehamilan <27 minggu, pada masa antepartum sekitar 69% pasien dan pada masa postpartum sekitar 31%. Pada masa post partum, saat terjadinya khas, dalam waktu 48 jam pertama post partum.4,3,15

Sindrom HELLP Multipara Usia ibu >25 tahun Ras kulit putih Riwayat keluaran kehamilan yang jelek

Preeklampsia Nullipara Usia ibu <20 tahun atau >40 tahun Riwayat keluarga preeklampsia ANC yang minimal Diabetes Mellitus Hipertensi kronik Kehamilan multipel

Tabel 2.1. Faktor Resiko3 2.2.3. Patogenesis Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit

intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemia hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah tepi ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr cells.Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat

17

terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati. Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang paling sering ditemukan.3 Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit. Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai suatu variasi dari disseminated intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai parameter koagulasi seperti waktu prothrombin (PT), waktu parsial

thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen normal. Secara klinis sulit mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes antitrombin III, fibrinopeptide-A, fibrin monomer, D-Dimer, antiplasmin, plasminogen, prekallikrein, dan fibronectin. Namun tes ini memerlukan waktu dan tidak digunakan secara rutin.Semua pasiensindrom HELLP mungkin mempunyai kelainan dasar koagulopati yang biasanya tidak terdeteksi.3

2.2.4. Klasifikasi a. Klasifikasi berdasarkan jumlah kelainan Dalam sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai sindrom HELLP parsial (mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP total (ketiga kelainan ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko menderita komplikasi seperti DIC, dibandingkan dengan wanita dengan sindrom HELLP parsial.

Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam, sebaliknya yang parsial dapat diterapi konservatif. b. Klasifikasi berdasarkan jumlah trombosit. Berdasarkan kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP diklasifikasikan dengan nama klasifikasi Mississippi 1) Kelas I kadar trombosit 50.000/ml LDH 600 IU/l AST dan atau ALT 40IU/l

18

2) Kelas II

Kadar trombosit antara >50.000 100.000/mm LDH 600 IU/l AST dan atau ALT 40IU/l Kadar trombosit antara >100.000 150.000/mm LDH 600IU/l AST dan atau ALT 40IU/l

3) Kelas III

Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post partum, keluaran maternal dan perinatal.Sindrom HELLP kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan kelas III.

2.2.5. Manifestasi Klinis Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat bervariasi, dari yang bernilai diagnostic sampai semua gejala dan tanda pada pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP.2,3,5 Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%), yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda lain.14,31,51,6 Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan udem menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik160 mmHg, diastolic 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari 112 pasien pada penelitian Sibai dkk

19

(1986) mempunyai tekanan darah diastolic 110 mmHg, 14,5% bertekanan darah diastolic 90 mmHg.3

2.2.6. Diagnosis Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah. Banyak penulis mendukung nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan dalam mendiagnosis hemolisis. Derajat kelainan enzim hati harus didefinisikan dalam nilai standar deviasi tertentu dan nilai normal di masing-masing rumah sakit.3,15,16

1. Hemolisis Kelainan apusan darah tepi Total bilirubin > 1,2 mg/dl Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L 2. Peningkatan fungsi hati Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L 3. Jumlah trombosit yang rendah Hitung trombosit < 100.000/mm Tabel 2.2. Kriteria diagnosis sindrom HELLP (university of tenessee, Memphis)3

2.2.7. Penatalaksanaan Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah.3,14 Pasien sindrom HELLP diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai

20

produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv.3,14,15 Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsia. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah.3,14 Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO 20% sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO4 Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv.3,14.15 Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline) iv dalam dosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Labetalol, Normodyne dan Nifedipin juga digunakan dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.3,14,15 Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa penulis menganggap sindrom ini merupakan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan seksio sesarea, namun yang lain merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk memperpanjang

kehamilan pada kasus janin masih immatur. Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di NICU (Neonatal Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan.

21

Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam literatur sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat.3 Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35 minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus dipantau secara kontinu selama periode ini.3 Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan istirahat dapat meningkatkan volume plasma. Pasien tersebut juga menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha ekspansi volume plasma ini akan menguntungkan karena meningkatkan jumlah trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan pemberian prednison atau betametason.3 Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yang dapat dipulihkan dengan istirahat mutlak dan penggunaan kortikosteroid. Kehamilan pun dapat diperpanjang sampai 10 hari, dan semua persalinan melahirkan anak hidup, pasien-pasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari 100.000/mm atau mempunyai enzim hati yang normal. Dua laporan terbaru melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroid saat antepartum dan postpartum menyebabkan perbaikan hasil laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP.3 Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan betametason 12 mg/24 jam im, karena deksametason tidak hanya mempercepat pematangan paru janin tapi juga menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang diterapi dengan deksametason mengalami penurunan aktifitas AST yang lebih cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan peningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi dan terapi cairan dapat dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapi kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri epigastrium hilang

22

dengan tekanan darah stabil <160/110 mmHg tanpa terapi anti hipertensi akut serta produksi urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam.3 Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang mengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus diizinkan partus pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32 minggu persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harus memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviks belum matang dan umur kehamilan < 32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara terbaik.3 Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm. Namun tidak perlu diulang karena pemakaiannya terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama 48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk beberapa hari.3 Penanganan sindrom HELLP post partum sama dengan pasien sindrom HELLP anteparturn, termasuk profilaksis antikejang. Kontrol hipertensi harus lebih ketat.3,14

2.3.

Anestesi pada Ibu Hamil

2.3.1. Perubahan Fisiologi pada Kehamilan Anestesi pada ibu hamil perlu mendapat pertimbangan khusus, hal ini dikarenakan terjadinya perubahan fisiologi selama kehamilan pada berbagai sistem organ untuk menyesuaikan dengan stres kehamilan dan persalinan. Perubahan tersebut meliputi beberapa sistem organ, antara lain : 17,18,19 1. Sistem Saraf Pusat Konsentrasi minimum alveolar (minimum alveolar concentration) merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui potensi dari suatu obat anastetika inhalasi, minimum alveolar concentration/MAC diartikan sebagai konsentrasi minimum suatu

23

zat dalam alveoli yang dapat menyebabkan imobilitas pada 50% pasien bila terpapar terhadap stimulus noxious. Pada ibu hamil MAC menurun secara progresif sampai sekitar 40% terhadap semua anastetika umum, keadaan ini mengakibatkan obat-obat anastetika umum memerlukan dosis lebih rendah untuk menimbulkan efek. Ibu hamil juga menunjukkan peningkatan efek dari anestetika lokal, istilah minimum local analgesic concentration (MLAC) dipakai dalam anastetika obstetrik untuk membandingkan potensi anestetika lokal dan efek aditif. MLAC didefinisikan sebagai konsentrasi anestetika lokal yang menimbulkan efek analgesia yang memuaskan pada 50% pasien. Angka MLAC anestetika epidural pada ibu hamil menurun sekitar 30%, kejadian ini diduga berkaitan dengan perubahan hormonal disertai perubahan pada pleksus vena pada epidural. 2. Sistem kardiovaskular Cardiac output dan volume darah meningkat selama kehamilan untuk memenuhi kebutuhan darah ibu dan fetus yang sejalan dengan peningkatan kebutuhan metabolism. Volume plasma yang

meningkat sekitar 55% dibandingkan penambahan jumlah eritrosit sekitar 45% menimbulkan anemia delusional dan penurunan viskositas darah. Konsentrasi hemoglobin umumnya tetap bertahan diatas 11g/dL, untuk memenuhi oksigenasi akibat penurunan konsentrasi ini jantung mengkompensasi dengan meningkatkan cardiac output. Penurunan resistensi vaskuler sistemik menurunkan tekanan darah diastolik dan sedikit tekanan darah sistolik. Pada akhir kehamilan volume darah meningkat sekitar 1000 1500 mL pada sebagian besar wanita, peningkatan ini memungkinkan wanita menyesuaikan diri dengan kehilangan darah. Volume darah total diperkirakan sekitar 90mL/kg berat badan. Sekitar 400 500 mL darah keluar saat kelahiran vaginal spontan, dan 800 1000 mL darah keluar saat cesarean section.

24

3.

Sistem pernafasan Selama kehamilan minute ventilation meningkat sampai 50% dari keadaan normal, perubahan ini dimulai sejak trimester pertama kehamilan dan menetap selama durasi kehamilan. Kontributor utama dari peningkatan ini adalah naiknya volume tidal disamping peningkatan kecil dari laju pernafasan selama kehamilan. Akibat dari peningkatan minute ventilation ini adalah menurunnya PaCO2 selama istirahat dari 40 mmHg menjadi 30 32 mmHg, namun pH arteri tetap dalam keadaan sedikit alkalotik (7,42 sampai 7,44) akibat eksresi ion bikarbonat oleh ginjal. Perubahan pada volume paru-paru terjadi sejak trimester kedua, perubahan ini terjadi akibat penekanan uterus yang membesar hingga mendorong diafragma. Keadaan ini mengakibatkan turunnya volume residual paru sekitar 20% sampai pada akhir kehamilan. Penurunan volume paru disertai penurunan PaO2 mengakibatkan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit sebelum induksi anestetika umum sangat dianjurkan.

4.

Sistem renal & gastrointestinal Aliran darah ginjal dan GFR meningkat selama kehamilan, akibatnya dapat terjadi penurunan kadar kreatinin serum dan ureum sampai sekitar 0,5 0,6 mg/dL/ Penurunan ambang batas penyaringan tubular terhadap glukosa dan asam amino dapat menimbulkan glikosuria ringan (1 - 10g/d) atau proteinuria (<300 mg/d). Akibatnya osmolaritas plasma dapat berkurang sebesar 8 10 mOsm/kg. Terdapat setidaknya empat perubahan gastrointestinal selama kehamilan yang dapat membuat ibu hamil cenderung mengalami regurgitasi isi lambung. Perubahan tersebut adalah : Pembesaran uterus menggeser lambung dan pylorus dari posisi seharusnya.

25

Bergesernya sebagian dari esophagus intra-abdominal ke rongga thoraks yang mengakibatkan gangguan relatif dari sfingter gastroesofageal. Penurunan tonus sfingter gastro-esofageal akibat tingginya kadar esterogen dan progesteron. Sekresi gastrin fetus menstimulasi produksi asam lambung. Saat persalinan pengosongan lambung akan melambat yang berakibat peningkatan volume cairan lambung, perubahan diatas ditambah dengan nyeri dan pemberian analgetika opioid dapat memperlambat pengosongan lambung. Akibatnya ibu hamil perlu dianggap sebagai pasien beresiko tinggi terjadinya aspirasi cairan lambung tanpa memandang waktu makan terakhir, intubasi dengan cuff serta penekanan cricoid sangat dianjurkan bila melakukan induksi anastetika umum. 5. Sistem Metabolisme Perubahan metabolisme dan hormonal yang kompleks terjadi selama kehamilan. Perubahan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein terjadi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan fetus. Perubahan ini menimbulkan efek yang serupa dengan keadaan kelaparan dimana kadar gula dan asam amino dalam serum rendah, sedangkan asam lemak bebas, badan keton, dan trigliserida cenderung meningkat. Namun kehamilan tetap merupakan keadaan diabetogenik dimana kadar insulin meningkat terus selama kehamilan, resistensi insulin relatif saat kehamilan diduga disebabkan sekresi human placental lactogen atau yang dikenal dengan nama human chorionic somatomammotropin oleh plasenta. 6. Hepatik dan Hematologi Secara keseluruhan tidak banyak perubahan pada fungsi hati dan aliran darah hepar, peningkatan kecil kadar transaminase serum dan laktat dehidrogenasi dapat ditemukan pada trimester ke-tiga. Penurunan serum albumin ringan terjadi akibat peningkatan volume

26

plasma, akibatnya tekanan onkotik koloid menurun. Penurunan aktivitas pseudokolinesterase serum sekitar 25 30% dijumpai pada akhir kehamilan, namun pemecahan anestetika lokal tipe ester tidak berubah secara signifikan. Keadaan hiperkoagulasi dijumpai pada kehamilan, keadaan ini merupakan adaptasi menguntungkan untuk membatasi kehilangan darah saat persalinan. Hampir semua faktor pembekuan seperti faktor VII, VIII, IX, X, XII, dan fibrinogen meningkat; hanya faktor XI yang ditemukan menurun. Leukositosis (sampai 21.000/L) dan penurunan jumlah platelet sekitar 10% dijumpai selama trimester ketiga.

2.3.2. Efek Obat Anestesi pada Persalinan Perubahan berbagai sistem selama kehamilan mengakibatkan timbulnya efek berbeda obat-obatan pada ibu hamil, efek tersebut dapat berupa perubahan aktivitas uterus ataupun efek pada persalinan. Obat-obatan yang memiliki efek pada aktivitas uterus dan persalinan adalah : 17 1. Agen inhalasi seperti sevofluran, desfluran, isofluran, dan halotan dapat menekan aktivitas uterus dan menyebabkan relaksasi uterus yang bersifat dose dependent. Dosis rendah (<0,75 MAC) umumnya tidak menganggu efek oksitosin pada uterus. Dosis tinggi dapat menyebabkan atonia uterus dan meningkatnya kehilangan darah saat persalinan. N2O memiliki efek minimal dibanding agen inhalasi lain. 2. Agen parenteral golongan opioid dapat memperlambat progresi persalinan. Ketamin pada dosis kurang dari 2mg/kg BB umumnya tidak menimbulkan efek yang signifikan. 3. Anestetika regional seperti analgesia epidural umumnya menjadi pilihan pasien dan sering dipakai pada pasien dengan faktor maternal atau fetal yang dapat memperpanjang persalinan atau kelahiran ceaseran. Bukti terbaru menunjukkan kombinasi anestetika encer (bupivacain 0,125% atau kurang) dan opioid (fentanyl 5mcg/ml atau kurang) atau combined spinal-

27

epidural (CSE) analgesia tidak memperpanjang persalinan ataupun meningkatkan kekerapan persalinan operatif. Dosis lebih tinggi dari anestetika epidural dapat memperpanjang kala dua persalinan sekitar 15 30 menit dengan menghilangkan/mengurangi releks Ferguson dan melemahkan otot persalinan. 4. Vasopresor seperti phenylephrine (40mcg) dapat meningkatkan aliran darah uterus dengan meningkatkan tekanan darah arteri, sedangkan ephedrine tidak menunjukkan pengaruh pada kontraksi uterus. Dosis phelyephrine yang tinggi dapat menstimulasi reseptor -adrenergik yang mengakibatkan konstriksi arteri uterus dan menimbulkan kontraksi tetanik uterus. 5. Oksitosin umumnya diberi secara intravena untuk menginduksi atau menambah kontraksi uterus, atau mempertahankan tonus uterus paska persalinan. Komplikasi pemberian oksitosin adalah fetal ditress, tetani uterus, dan retensi cairan (efek antidiuretik). Pemberian agen inhalasi pada pasien obstetrik perlu dikurangi enjadi sekitar 0,5 MAC untuk mencegah timbulnya efek relaksasi uterus. 6. Alkaloid Ergot dapat menimbulkan kontraksi intens dan bekepanjangan dari uterus. Maka obat ini diberikan hanya setelah persalinan untuk mengatasi atonia uterus. Efek konstriksi otot polosnya dapat menimbulkab hipertensi berat bila diberikan bolus secara intravena, karena itu umumnya obat ini diberikan secara intramuskuler atau infuse lambat dalam bentuk encer selama 10 menit. 7. Analog prostaglandin F2 Carboprost tromethamine digunakan untuk menstimulasi kontraksi uterus. Umumnya dipakai untuk mengatasi pendarahan paska persalinan refrakter dengan dosis inisial 0,25 mg diberikan secara intramuskuler dan diulang setiap 15 90 menit sampai dosis maksimal 2 mg. 8. Magnesium diberikan sebagi tokolitik untuk menghentikan persalinan prematur dan mencegah kejang pada eklampsia. Diberikan secara intravena dengan loading dose 4 g (selama 20 menit) diikuti infuse 2

28

gr/jam. Efek samping yang serius berupa hipotensi, blockade jantung, kelemahan otot, dan sedasi.11

2.3.3. Teknik Anestesi pada Persalinan Nyeri persalinan timbul dari kontraksi myometrium terhadap resistensi serviks perineum, dilatasi progresif serviks dan segmen bawah uterus, serta peregangan dan kompresi pelvis dan struktur perineum. Nyeri pada kala satu persalinan utamanya adalah nyeri visceral dari kontraksi uterus dan dilatasi serviks, umumnya bersumber dari dermatom T11 T12 pada fase laten dan melibatkan T10 L1 saat persalinan memasuki fase aktif. Nyeri ini awalnya dirasakan pada perut bawah, namun akan menjalar ke daerah lumbosakral, gluteal, dan paha saat persalinan berlanjut.17 Onset dari nyeri perineum menandakan akhir dari kala satu, saat fetus mulai turun terjadi kompresi dan peregangan pelvis dan struktur perineum, inervasi sensorik perineum melibatkan nervus pudendal yang bersumber pada S2 S4, jadi nyeri saat kala dua persalinan melibatkan dermatom T10 S4.17 Untuk menghilangkan nyeri tersebut, ada beberapa teknik yang biasa digunakan. Teknik teknik tersebut antara lain : 17 1. Teknik Psikologis & Non-farmakologis Teknik ini didasari premis bahwa nyeri saat persalinan dapat ditekan dengan pengaturan pemikiran individu. Edukasi pada pasien dan pengkondisian positif proses persalinan merupakan pusat dari teknik ini. Nyeri saat persalinan cenderung diperberat oleh rasa takut akan pengalaman baru yang tidak menyenangkan dan asing. Beberapa teknik yang diapakai adalah teknik Bradley, Dick-Read, Lamaze, dan LeBoyer. Teknik Lamaze yang cukup terkenal melatih pasien mengambil nafas dalam tiap kontraksi diikuti nafas dangkal dan cepat antara kontraksi. Pasien juga memfokuskan pikiran pada benda dalam ruangan untuk mengalihkan perhatian dari nyeri yang timbul. Teknik non-farmakologis lain meliputi hypnosis, stimulasi saraf trans-kutan, biofeedback, dan akupuntur.

29

2. Penggunaan Agen Parenteral Hampir semua obat analgesia opioid dan sedatif parenteral dapat melewati sawar plasenta dan mempengaruhi fetus. Pencegahan pada depresi fetal membatasi penggunaan obat-obatan tersebut pada fase awal persalinan atau situasi dimana anestetika lokal tidak tersedia atau tidak sesuai. Depresi pada sistem saraf pusat fetus menimbulkan perlambatan mulainya pernafasan spontan, asidosis respiratorik, dan kelainan perilaku neurobehavioral. Selain itu gangguan detak jantung dan penurunan aktivitas motorik fetal (akibat sedasi) dapat menganggu penilaian kesehatan fetus saat persalinan. Derajat keparahan efek diatas bergantung pada jenis obat, dosis, waktu antara pemberian dan persalinan, serta kematangan fetus. Obat yang sering dipakai dalam persalinan adalah meperidine diberi 10 25 mg intravena atau 25 50 mg intramuskler. Pemberian meperidine dipertimbangan bila persalinan diperkirakan terjadi lebih dari 4 jam lagi. Fentanyl 25 100 mcg/jam secara intravena, dosis lebih rendah fentanyl tidak banyak mempengaruhi keadaan neonatus dan dilaporkan tidak mempengaruhi skor Apgar. Morfin tidak dipakai karena dapat menimbulkan depresi pernafasan yang kuat. Midazolam dosis rendah (sekitar 2mg) dapat diberi bersama dosis rendah fentanyl (sektiar 100mcg) untuk memfasilitasi blokade saraf, dengan dosis diatas umumnya tidak terjadi amnesia maternal. Ketamin dosis rendah yang diberikan secara intravena (10 15 mg) memberi efek analgesik yang baik tanpa kehilangan kesadaran. Namun depresi fetus dengan skor Apgar dijumpai pada pemberian dengan dosis >1 mg/kg, bolus dari ketamin (>1 mg/kg) dihubungkan dengan kontraksi uterus hipertonik. 3. Blok Saraf Pudendal Blok pada saraf pudendal sering dikombinasikan dengan infiltrasi perineum menggunakan anestetika lokal untuk mendapat anestesia pada kala kedua persalinan saat bentuk anestetika lain tidak diberikan atau terbukti tidak adekuat. Blok pada pleksus paracervical tidak lagi digunakan karena sering menyebabkan bradikardi fetus; dekatnya lokasi injeksi dengan arteri uterina

30

dapat menyebabkan vasokonstriksi arteri uterina, insufisiensi uteroplasental, dan meningkatnya kadar anestetika lokal dalam darah fetus. Saat blok saraf pudendal, jarum khusus (Koback) dan pemandu (Iowa trumpet) dipakai untuk memposisikan jarum secara transvagina dibawah spina ischium pada tiap sisi. Jarum ditembuskan 1 1,5 cm melewati ligament sakrospinosus, dan 10ml lidocaine 1% atau chloroprocaine 2% diinjeksikan setelah dilakukan aspirasi. Pemandu jarum dipakai untuk membatasi dalamnya suntikan dan melindungi fetus dan vagina dari jarum, komplikasi yang mungkin timbul adalah hematom retroperitoneal, dan retropsoas atau subglutea. 4. Teknik Anestesi Regional Teknik epidural atau intratekal dengan obat tunggal atau kombinasi merupakan metode analgesia paling populer untuk persalinan. Teknik ini memberi analgesia yang memuaskan dan memungkinkan pasien tetap sadar dan kooperatif selama persalinan. Meskipun opioid spinal atau anestetika lokal dapat memberi analgesia memuaskan, kombinasi keduanya bersinergis menurunkan kebutuhan dosis dengan efek samping minimal pada ibu dan bayi. Berdasarkan jenis agen yang diberikan teknik ini terbagi menjadi : Obat golongan opioid : Dosis yang relatif tinggi dibutuhkan untuk menghilangkan nyeri selama persalinan bila hanya menggunakan obat opioid saja. Dosis tinggi ini sering menyebabkan depresi pernafasan, akibatnya penggunaan opioid umumnya dikombinasikan dengan anastetika lokal. Pemberian opioid spinal tunggal diberi pada pasien yang tidak toleran terhadap simpatektomi fungsional, kelompok pasien ini meliputi kasus hipovolemia dan penyakit jantung seperti stenosis aorta berat, TOF, Eisenmengers syndrome, dan hipertensi pulmonal. Anestetika lokal tunggal atau campuran dengan opioid lebih sering digunakan untuk persalinan. Pemberian terus menerus secara epidural pada lumbal dapat mengurangi nyeri pada kala pertama persalinan dan sebagai analgesi/anastesi untuk persalinan vaginal maupun cesarean. Kontraindikasi absolute atas anestesia regional adalah; penolakan

31

pasien, infeksi pada lokasi penyuntikan, hipovolemia bermakna, koagulopati, dan alergi pada anestesi lokal. Anestetika regional dilakukan dalam 6 8 jam pemberian heparin atau 12 24 jam pemberian LMWH.

Beberapa teknik anestesi regional antara lain adalah sebagai berikut : a. Anestesia Epidural Lumbal Dilakukan dengan memposisikan pasien berbaring pada isi tubuh atau posisi duduk, posisi duduk memungkinkan penilaian garis tengah pada pasien obesitas. Identifikasi ruang epidural pada daerah lumbal relatif lebih sulit akibat adanya tekanan positif pada daerah tersebut, penambahan gelembung udara pada jarum dapat digunakan untuk mencari daerah loss of resistance yang merupakan penanda ruang epidural. Penempatan kateter epidural pada L3 4 atau L4 5 umumnya cukup optimal untuk mendapat blok saraf T10 S5. Alat ultrasound dapat digunakan untuk membantu mencari sudut dan kedalaman injeksi atau pemasangan kateter. Obat yang menjadi pilihan adalah kombinasi anestetika lokal dan opioid, kombinasi ini menurunkan dosis yang diperlukan serta angka kejadian efek samping dan toksisitas obat. Kombinasi yang sering dipakai adalah bupivacaine atau ropivacaine dengan konsentrasi 0,0625 0,125% ditambah fentanyl 2 3 mcg/mL, atau sufentanil 0,3 0,5 mcg/mL. Campuran anestetika lokal encer (0,0625%) umumnya tidak menimbulkan efek blok motorik dan memungkinkan pasien untuk berjalan. Bupivacaine mempunyai durasi lebih lama, sedangkan ropivacaine mempunyai potensi kardiotoksik lebih rendah. b. Kombinasi Anestesia Spinal dan Epidural Pada teknik ini opioid intratekal dan anestetika lokal disuntikkan disertai pemasangan kateter epidural. Injeksi intratekal memberi kontrol nyeri yang cepat dan efek minimal pada persalinan, sedangkan kateter epidural memberi jalur analgetika untuk persalinan atau cesarean section. Obat yang diberikan adalah ropivacaine atau bupivacaine (3 4 mg) pada kala

32

pertama persalinan. Dosis intratekal berupa fentanyl (5 10 mcg) atau sulfentanil (5 mcg). Penyuntikan spinal dan epidural dapat diberikan pada daerah antar ruas vertebra yang berbeda ataupun pada daerah yang sama dengan teknik needle-through-needle. Teknik ini menempatkan jarum epidural pada ruang epidural, jarum panjang spinal kemudian dimasuki melewati jarum tersebut dan disuntikkan lebih dalam ke ruang subaraknoid. Pemberian obat perlu dititrasi dengan hati-hati karena lubang bekas penyuntikan spinal dapat menjadi tempat masuknya obat ke CSF dan menambah efeknya. c. Anestesia Spinal Anestesia spinal yang diberikan sesaat sebelum proses persalinan (dikenal juga dengan nama saddle block) dapat memberi efek anestetik mendalam untuk persalinan vaginal operatif. Obat pilihan teknik ini adalah tetracaine hiperbarik (3 4 mg), bupicaine (2,5 5 mg), atau lidocaine (20 40 mg) yang ditambah fentanyl (12,5 25 mcg) atau sulfentanil (5 7,5 mcg) untuk menambah potensi blok saraf.

2.3.4. Anestesi pada Sectio Sesaria Terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi indikasi dilakukannya sectio sesaria, faktor tersebut meliputi meliputi : 17 1. Riwayat cesarean section sebelumnya 2. Riwayat myomektomi atau rekonstruksi uterus 3. Plasenta previa sentral atau parsial 4. Riwayat rekonstruksi vagina 5. Bentuk pelvis yang tidak normal 6. Presentasi fetus yang tidak normal 7. Distress fetus 8. Prolaps tali pusat disertai bradikardi fetus 9. Herpes genital dengan ruptur membran 10. Ancaman pada nyawa ibu

33

Pemilihan teknik anestesi pada cesarean section ditentukan oleh banyak faktor yaitu; indikasi operasi, urgensi, pilihan pasien dan ahli kandungan, serta kemampuan anestesiolog. Anestesi regional menjadi pilihan yang lebih disenangi karena meningkatnya mortalitas dan morbiditas ibu pada tindakan anestesi umum. Kematian berhubungan dengan masalah jalan nafas, kesulitan intubasi, kesulitan ventilasi, dan pneumia aspirasi. Keuntungan dari anestesi regional adalah lebih rendahnya pajanan fetus pada obat-obatan, lebih rendahnya resiko aspirasi, kondisi ibu yang terjaga setelah kelahiran, dan pilihan untuk memakai opioid spinal untuk pereda nyeri paska persalinan.17 Namun pada masa persalinan penolong harus siap menginduksi anestesi umum sewaktu-waktu pada saat persalinan, karena itu pemberian antasida 30 menit sebelum persalinan tetap dianjurkan. Anestesi umum mempunyai onset yang lebih cepat, kendali atas jalan nafas dan ventilasi, rasa nyaman yang lebih pada pasien yang takut pada suntikan atau operasi, dan potensi hipotensi yang lebih kecil. Anestesi umum juga memfasilitasi penanganan dalam kasus pendarahan berat pada plasenta akreta. Keuntungan dari anestesi regional adalah sebagai berikut ini : 17 1. Lebih rendahnya paparan neonatus terhadap obat-obat yang berpotensi untuk menimbulkan depresi 2. Risiko aspirasi pada ibu lebih rendah 3. Ibu sadar saat janin dilahirkan 4. Pilihan regional anestesi untuk managemen nyeri post operasi. Pilihan antara spinal dan epidural anestesi tergantung dari pengalaman dokter anestesi. Beberapa klinisi lebih memilih epidural karena penurunan tekanan darahnya lebih bersifat gradual dibanding spinal anestesi. Epidural kontinyu juga lebih baik dalam mengontrol level sensoris. Selain dari itu, spinal anestesi lebih mudah dikerjakan, onset yang lebih cepat, dan dapat diprediksi, menghasilkan blockade yang lebih lengkap, dan tidak memiliki potensi serius untuk toksisitas sistemik karena dosis obat yang digunakan lebih kecil. Keuntungan dari anestesi umum adalah sebagai berikut ini : 14 1. Onsetnya cepat dan nyata

34

2. Kontrol yang baik terhadap jalan nafas dan ventilasi 3. Potensi terjadinya hipotensi lebih rendah dibanding anestesi regional. Anestesi umum juga dapat memfasilitasi untuk penatalaksanaan komplikasi perdarahan seperti placenta acreta. Secara prinsip, kerugian anestesi umum adalah resiko aspirasi pneumonia, berpotensi untuk kesulitan intubasi atau ventilasi, dan depresi janin oleh obat-obatan yang digunakan. Teknik anestesi saat ini, pembatasan obat-obatan yang menyebabkan depresi janin ternyata

secara klinis tidak bermakna bila pengeluaran janin dapat dilakukan dalam waktu 10 menit setelah induksi. Selain itu, apapun teknik anestesinya, kelahiran janin lebih dari 3 menit setelah insisi uterus memberikan nilai Apgar yang lebih rendah dan gas darah yang asidosis. Teknik yang diusulkan untuk seksio sesarean : 17 1. Pasien dalam posisi terlentang dengan ganjal pada panggul kanan 2. Preoksigenasi selama 3-5 menit dan monitoring pasien. Defasikulasi kadang tidak diperlukan. 3. Pasien dipersiapkan untuk pembedahan 4. Setelah dokter kebidanan siap, pasien diintubasi dengan rapid sequence dan maneuver krikoid dengan menggunakan propofol 2mg/kg atau thiopental 4mg/kg dan suksinil kolin 1.5mg/kg. Ketamine 1 mg/kg digunakan untuk menggantikan thiopental pada pasien dengan hipovolemik atau asma. Obatobatan lain seperti methohexital, etomidat dan midazolam lebih sedikit manfaatnya pada pasien-pasien obstetrik. Faktanya, midazolam dapat menyebabkan hipotensi pada ibu dan depresi pada janin. 5. Operasi dapat dimulai setelah ETT terpasang dengan konfirmasi

menggunakan kapnograf. Hiperventilasi yang berlebihan (PaCO2<25 mmHg) sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan penurunan aliran darah uterus dan mengakibatkan asidosis pada janin. 6. 50% N2O dalam oksigen dengan volatile 0.75 MAC (1% sevoflurane, 0.75% isoflurane atau 3% desflurane) digunakan untuk rumatan anesthesia. Volatile dosis rendah dapat membantu untuk amnesia tetapi tidak cukup kuat untuk

35

menyebabkan relaksasai uterus. Obat pelumpuh otot kerja sedang seperti atrakurium, mivakurium atau rokuronium dapat digunakan. 7. Setelah janin dan uterus dilahirkan, oksitosin 20-30 unit dapat ditambahkan dalam tiap liter cairan infuse yang digunakan. N2O dengan konsentrasi sampai 70% dan atau tambahan obat intravena seperti propofol, opioid atau benzodiazepine dapat digunakan untuk amnesia. 8. Jika kontraksi uterus kurang baik, opioid dapat diberikan dan volatile dihentikan. Metergin 0.2mg i.m dapat diberikan tetapi obat ini dapat menaikkan tekanan darah. 9. Aspirasi isi lambung melalui NGT dapat mengurangi insiden aspirasi pada keadaan emergency. 10. Pada akhir pembedahan, obat pelumpuh otot direverse, NGT dicabut dan pasien diekstubasi setelah sadar untuk menghindari resiko aspirasi. Prinsip perawatan post-op atau post-partum pada pasien dengan preeklampsia dan eklampsia adalah : 7 1. Analgesia: Wanita yang menjalani seksio cesarea dapat diberikan opioid epidural atau intratechal kecuali terdapat kontraindikasi. Pasien dapat diberikan morfin 2,5 sampai 3,0 mg secara epidural atau 0,1 sampai 0,15 secara intratechal, tanpa memandang terapi yang lain, oleh karena obsrvasi yang ketat masih harus tetap dilakukan paling sedikit untuk 24 jam. Pemberian NSAIDs bersamaan dapat memperbaiki dan memperpanjang analgesia intraspinal opioid setelah seksio cesarea. 2. Balans cairan: Tabel balans cairan pasien harus dibuat secara ketat dan dipertahankan paling sedikit 24 jam atau sampai diuresis normal. Pemasukan total tidak boleh melebihi 75 ml/hari sampai kelebihan cairan ekstraseluler dapat dimobilisasi. 3. MgSO4: MgSO4 dapat diberikan paling sedikit untuk 24 jam postpartum atau sampai diuresis maternal tercapai. Durasi terapi bervariasi dari satu literature ke yang lain dan tampaknya bersifat empiris namun secara tipikal berhubungan dengan tingkat penyembuhan dari hipertensi, oliguria, dan/atau

36

koagulopati, begitu juga dengan keadaan umum pasien. Kejang pada postpartum akhir dapat juga terjadi. 4. Kontrol hemodinamik: hal ini perlu untuk memberikan terapi antihipertensi untuk mencegah hipertensi rebound ketika pasien mengalami nyeri pascaoperasi. Pada beberapa kasus, preeklampsia berat-eklampsia, dengan atau tanpa sindroma HELLP, menetap lebih dari 24 sampai 48 jam postpartum. Pasien dengan hipertensi persisten, oliguria, dan trombositopenia mempunyai morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi, terutama jika kelainan ini tidak dapat diatasi juga dalam 72 sampai 96 jam postpartum.

2.3.5. Anestesia untuk Sectio Sesaria Emergensi Indikasi untuk seksio sesarean emergency adalah perdarahan masif (placenta previa, solusio placenta atau rupture uterus), tali pusat menumbung, dan gawat janin. Keadaan emergency harus benar-benar ditentukan untuk membakan pada prosedur yang dapat ditunda. Komunikasi yang baik harus terjalin dengan ahli kebidanan untuk membedakan apakah ibu, janin atau keduanya yang berresiko membutuhkan tindakan anestesi umum atau memungkinkan keamanan untuk regional anestesi. Lebih dari itu, anesthesia regional dikontraindikasikan untuk keadan hipovolemik berat atau pasien dengan hipotensi. Preoksigenasi adekuat harus dilakukan dengan cepat dengan empat kali tarikan nafas maksimal dengan oksigen 100% sambil dilakukan pemasangan monitor. Ketamin 1 mg/kg dapat digunakan untuk mengganti thiopental pada pasien hipotensi dan hipovolemik. 17

Nonreassuring fetal heart rate pattern Repetitive late decelerations Loss of fetal beat-to-beat variability associated with late or deep decelerations Sustained fetal heart rate < 80 beats/min Fetal scalp pH < 7.20

37

Meconium-stained amniotic fluid Oligohydramnios Intrauterine growth restriction Tabel 2.3. Tanda tanda kegawatan Janin

Tabel diatas menjelasan tanda-tanda gawat janin, meskipun definisi yang dijabarkan tidak jelas. Pada kebanyakan institusi diagnosis utama ditegakkan berdasarkan monitoring denyut jantung janin. Karena pola denyut jantung janin insiden positif palsunya relative tinggi, interpretasi parameter lain seperti pH scalp janin atau fetal pulse oksimetri dapat digunakan. 17

38

BAB 3 LAPORAN KASUS

3.1.

Anamnesis

3.1.1. Identitas Pribadi 1. Nama 2. Jenis Kelamin 3. Usia 4. Suku Bangsa 5. Agama 6. Alamat 7. Status 8. Pekerjaan : SW : Perempuan : 22 tahun : Jawa : Islam : Jl. Bagus LK I Sidomukti Kec. Kota Kisaran Barat : Menikah : Ibu Rumah Tangga

9. Tanggal Masuk : 24 Maret 2014 Pukul 23.00 WIB

3.1.2. Riwayat Perjalanan Penyakit Keluhan Utama Telaah : Tekanan darah tinggi :

Perempuan, usia 22 tahun, berat badan 75 kg dengan status obstetri G1P0A0, datang ke RSUP H. Adam Malik dengan keluhan tekanan darah tinggi. Hal ini disadari os sejak 2 minggu yang lalu, setelah pasien datang ke dokter spesialis kandungan untuk kontrol kehamilannya. Setelah itu pasien dirujuk ke RSUP HAM karena tekanan darah tinggi pada pasien tersebut. Riwayat tekanan darah tinggi sebelumnya (-), riwayat tekanan darah tinggi sebelum hamil (-), riwayat mual dan muntah (-), riwayat nyeri ulu hati (-), riwayat sakit kepala (-), riwayat kejang (-), Riwayat pandangan kabur (-). Riwayat mules mules mau melahirkan (-), keluar air air dari kemaluan (-), keluar lendir darah dari kemaluan (-). Pasien merupakan rujukan dari RSUD Kisaran dengan diagnosa Preeklampsia Berat dan dirawat selamat 2 hari. BAK (+), BAB (+) N. HPHT: 14 Juli 2013 TTP : 24 April 2014

39

ANC : Dokter spesialis kandungan sebanyak 5 kali selama kehamilan RPO : Dexametason 3 ampul, Nifedipine 3x1 RPT : -

Riwayat Persalinan : 1. Hamil saat ini

3.2.

Time Sequence 25 Maret 2014 Pukul 01.15 WIB Konsul anestesi Operasi SC

24 Maret 2014 Pukul 23.00 WIB Masuk RSUP H. Adam Malik

25 Maret 2014 Pukul 02.00 WIB ACC tindakan Anestesi untuk operasi SC Operasi SC dimulai 04.30 WIB

3.3.

Pemeriksaan Fisik di IGD Primary Survey


A (Airway) Clear, terpasang oksigen nasal kanul 2L/I, gurling (-), snooring (-), crowing (-), Cspine stabil, maxilofacial injury (-).

B (Breathing) Spontan, RR 20 pada thorak (-)


kali

/menit, SP : vesikuler, ST : -, pernafasan cuping hidung (-), jejas

C (Circulation) Akral : H/M/K, Nadi: 82 kali/menit, t/v kuat/ cukup, reg, TD : 150/ 100 mmHg.

40

D (Disability) Sens: Compos Mentis, Pupil: isokor, diameter kanan: 3mm/ kiri: 3mm, RC +/+ , kejang (-), muntah (-).

E (Exposure) Abdomen soepel, membesar asimetris

Secondary Survey B1 (Breath) Airway: clear, S/G/C:-/-/-, SP: vesikuler, ST: -, RR: 20 x/i. Mallampati 1, JMH >6 cm, Riw. asma/alergi/batuk : -/-/-.

B2 (Blood) Akral: H/M/K, TD: 150/100 mmHg, HR: 82 x/i, t/v kuat/cukup.

B3 (Brain) Sens: CM, RC +/+, pupil isokor ka=3mm,ki=3mm, kejang (-).

B4 (Bladder) Urine (+), Vol. 50 cc/jam, warna: Kuning Pekat.

B5 (Bowel) Abdomen soepel, membesar asimetris, peristaltik (+), TFU: 30 cm(3 jari bpx), gerak (+), DJJ 155 x/menit, His (-), teregang: kiri, terbawah: Bokong, MMT jam.17.00 WIB (tgl 24-03-14).

B6 (Bone) Oedem pretibial (+)

41

Penanganan di IGD : Oksigen 2 L/I nasal kanul Pasang IV cath dengan bor besar (2 line) untuk resusitasi cairan Cek Darah utk pemeriksaan laboratorium dan Crosmatch Berbaring posisi miring ke kiri Periksa DJJ ulang Periksa urinalisa proteinuria +3 Persiapan: pasien, obat, dan alat untuk operasi dan resusitasi Informed consent dan SIA

3.4.

Hasil Laboratorium : 13.7/38.4/14.76/111.000 : 16.6(13,2)/33.5(32.7)/16,2(17)/1,29 : 45 (<32) : 736 (N: 240 - 480) : 136/3.1/107 : 32/ 0,89 : 100 : +3

Hb/ Ht/Leu/Tr PT/aPTT/TT/INR SGOT LDH Na/K/Cl Ur/ Cr KGD Ad R Proteinuria

3.6.

Tindakan Preoperatif

Persiapan pasien : Monitoring hemodinamik: kesadaran, TD, HR, T/V nadi, UOP, DJJ IVFD MgSO4 20% bolus 10 cc(2gr), lanjutan IVFD MgSO4 40% 30 cc 14 gtt/mnt makro Inj. Ranitidine 50 mg + metocloramide 10 mg iv Persiapan alat dan obat serta alat resusitasi bayi

42

Gambar 3.3. Persiapan Alat dan Obat

Gambar 3.4. Persiapan Alat Intubasi Bayi

Diagnosis

: Preeklampsia Berat + Parsial HELLP Sindrom + PG + KDR 934-35 mgg) + Presentasi Bokong + Anak Hidup + Bayi Inpartu

Tindakan PS ASA Teknik Anestesi Posisi

: Sectio Caesarian Cito :3E : RA-SAB : Supine

43

3.7.

Pemeriksaan Fisik di IBP B1 (Breath) Airway: Clear, SP: vesikular, ST:-, RR: 24 x/mnt, SpO2: 98-100%. B2 (Blood) Akral: H/M/K, TD: 150/100 mmHg, HR: 82 x/mnt, t/v kuat/cukup. B3 (Brain) Sens: CM, pupil isokor, RC +/+, 3mm ka,ki=3mm. B4 (Bladder) Urine (+), Vol. 50 cc/jam, warna: Kuning Pekat. B5 (Bowel) Abdomen soepel, membesar asimetris, peristaltik (+), TFU: 30 cm(3 jari bpx), gerak (+), DJJ 155 x/menit, His (-), teregang: kiri, terbawah: Bokong, MMT jam.17.00 WIB (tgl 24-03-14).

B6 (Bone) B6: Oedem pretibial (+)

3.8.

Teknik Anestesi
Preload 500 ml Koloid Posisi LLD Identifikasi L3-L4 desinfeksi dengan Povidone Iodine 10% dan alkohol 70% Insersi Spinal Needle 25G CSF (+), darah (-) injeksi Bupivacain 12,5 mg + fentanyl 25 mcg

Atur tinggi Blok setinggi Th 4 Premedikasi Induksi : Injeksi Midazolam 2,5 mg + Injeksi Fentanyl + nifedipine : Injeksi Ketamin 30 mg, titrasi

Relaxan

: Injeksi Rocuronium 10 mg

Maintenance fentanyl 50mcg/30 menit

3.9.

Keadaan Durante Operasi Tekanan darah Denyut nadi Cairan : 140 180/85 - 100 mmHg : 59-84 x/mnt : - Pre-Operasi HES 500 cc,

44

- Durante Operasi RL 1500 cc Perdarahan Penguapan UOP Delivery time Lama operasi Keadaan bayi : + 200cc : + 640 cc : 50 cc/ jam : 15 menit : 2 jam 15 menit : - Jenis kelamin - Berat Badan Lahir - Panjang Badan Lahir - APGAR score : Laki - laki : 2400 gram : 45 cm. : 6/9

Gambar 3.5. Monitoring Durante Operasi

45

Gambar 3.6. Rekam Medis 11.5

3.10.

Pemeriksaan Post Operasi B1 (Breath) Airway: clear, Snoring (-), gurgling (-), crowing (-), RR:14x, SP: vesikular , ST: -, SpO2: 99%.

B2 (Blood) Akral: H/M/K, TD: 145/92 mmHg, HR: 68 x/mnt, reg, t/v: kuat/ cukup B3 (Brain) Sens: CM, pupil isokor Ka=3mm,Ki=3mm, RC +/+, kejang (-)

46

B4 (Bladder) Urine (+), Vol: 200 cc/ 2 jam, warna: kuning jernih B5 (Bowel) Abdomen soepel, peristaltik (+), luka tertutup verban. B6 (Bone) B6: Oedem pretibial (+)

3.11.

Terapi Post Operasi Bed Rest Head up 30o Diet MB IVFD RL + Oksitosin 10-10-5-5 IU 20 gtt/mnt IVFD RL + MgSO4 20 mg14 gtt/mnt Inj. Tramadol drips 100 mg/8 jam Inj. Ceftriaxon 1 gram/ 12 jam/iv Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam/iv

3.12.

Pemeriksaan Lanjutan Post Operasi Darah lengkap Post Operasi, HST, LFT, RFT, albumin, elektrolit, AGDA, KGD ad random, D Dimer, LDH

47

BAB 4 DISKUSI

Teori Pre Operasi Pasien datang dalam keadaan sesak nafas Pasien dengan hipertensi Beri

Kasus

Berikan O2 2 l/menit nasal kanul

obat

antihipertensi

(nifedipine) Pada ibu hamil, waktu lambung Suction aktif

pengosongan memanjang

Supine hypotention syndrome Pasien dengan PEB

Posisi ibu tidur miring ke kiri Mgso4 20% bolus 2 gr, Maintenace 4 gr.

Pemberian

MgSO4

yang

Berikan kalsium glukonas

berlebihan dapat menyebabkan keracunan Durante operasi Teknik RA - SAB Potensial terjadi hipotensi Pastikan iv line lancar, preload cairan 10-20 ml/kgBB, pastikan volume intravaskular cukup Menggigil Sedia Epinephrine Beri oksigen, selimuti pasien,

hangatkan cairan, bila bayi sudah lahir beri inj. Pethidin 0,5

mg/kgBB atau inj. Tramadol 1 mg/kgBB

48

Potensial bayi lahir dengan APGAR score rendah

Siapkan alat dan obat resusitasi bayi baru lahir, informed consent keluarga

Kemungkinan perdarahan

Pertahanankan tetap normovolume, sedia darah

Pasien dengan hipertensi

Monitoring

dan

pertahankan

penurunan MAP tidak lebih dari 25% dari MAP basal Post operasi Pasien dengan PEB Monitoring ketat terhadap

hemodinamik, awasi tanda-tanda eklampsia. MgSo4. Nyeri post op memicu TD meningkat Infeksi post op Post op Antibioik Adekuat Beri analgetik kuat Lanjut pemberian

49

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.

Kesimpulan Preeklampsia ditandai dengan adanya hipertensi dan proteinuria.

Hipertensi merupakan kenaikan tekanan darah menjadi 140/90 mmHg atau lebih, atau ada kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg, atau kenaikan tekanan diastolik 15 mmHg atau lebih, sedangkan disebut proteinuria jika terdapat 300 mg atau lebih protein dalam urin per 24 jam. Penanganan preeklampsia meliputi mempertahankan jalan nafas,

oksigenasi yang cukup, mengontrol tekanan darah dengan obat pilihan, mencegah kejang dengan pemberian MgSO4. Terapi definitive adalah persalinan, dimana dalam keadaan darurat dapat dilakukan seksio cesarea. Anestesia yang digunakan merupakan regional anestehia yaitu anastesi spinal. Untuk post operasi, hemodinamik tetap dijaga, dimana pemberian MgSO4 tetap dilanjutkan sampai 48 72 jam, pemberian antihipertensi sampai tekanan darah terkontrol, serta pemberian analgesik untuk nyeri pasca operasi.

5.2.

Saran

Seorang klinisi harus mengetahui pola manajemen yang benar dalam menghadapi pasien yang datang dengan keluhan tekanan darah yang tinggi. Sebelumnya resusitasi awal dan perbaikan status hemodinamik lebih didahulukan sebelum menentukan pola penanganan yang sesuai dengan kasus.

50

DAFTAR PUSTAKA

1. Chaniago, Ari, 2013. Preeklampsia dan Eklampsia. Available from: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_152preeklamsiaeklamsia.pdf/11_15p reeklamsiaeklamsia.htm [Diakses pada tanggal 27 Maret 2014] 2. Cunningham, F.G., et al., 2006. Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam: Obstetri Williams Edisi 21 Volume 1. Jakarta : EGC, 624-673. 3. Chaniago, Ari, 2013. Hellp Syndrome. Available from:

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_151_SindromHELLP.pdf/11_151_Si ndromHELLP.html [Diakses pada tanggal 28 Maret 2014] 4. Soenarta, A. A., 2012. Choosing Anti Hypertensive Drugs in Preeclampsia Patients. Dalam: 44th International Meeting of Gestosis Organization. 5. Vidaef, A. C., 2012. The Challenge of Severe Atypical Preeclampsia. Dalam: 44th International Meeting of Gestosis Organization. 6. Tanjung, M. T., 2004. Preeklampsia. Dalam:Preeklampsia: Studi Tentang Hubungannya dengan Faktor Fibrinolisis Ibu dan Gas Darah Tali Pusat. Medan: Pustaka Bangsa Press, 8-58. 7. Rukiyah, A. Y., dan Yulianti, L., 2011. Komplikasi dan Penyulit Kehamilan Trimester I dan II. Dalam: Asuhan Kebidanan IV (Patologi Kebidanan). Jakarta: TIM, 172-179. 8. POGI, 2012. Preeclampsia dan Eklampsia. Dalam: Jaringan Nasional Pelatihan Klinik-Kesehatan Reproduksi. 9. POGI, 2012. Upaya Pencegahan Preeklampsia. Dalam: 44th International Meeting of Gestosis Organization. 10. Wiknjosastro, Hanifa, 2007. Preeklampsia dan Eklampsia. Dalam: Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo, 281-300. 11. Ross, M. G., Eclampsia. Departement of Obstetrics and Gynecology, HarborUCLA Medical Center. 2010. Available From:

51

http://emedicine.medscape.com/article/253960-overview [Diakses tanggal 28 Maret 2014] 12. Habli, M., Sibai, B. M. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: Danforths Obstetrics and Gynecology 10th edition. Editor : Gibbs, R. S., et. al. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2008. 13. Norwitz, E., dan Schorge, J., 2008. Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam: At a Glance Obstetri & Ginekologi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga, 88-89. 14. Saifuddin AB. Dalam Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi Keempat. Jakarta : BP SP, 2008. 15. Haram, K., Svendsen, Einar., 2009. The HELLP Syndrome: Clinical issues and management. Available from: http://www.biomedcentral.com/14712393/9/8 [Diakses pada tanggal 1 April 2014] 16. http://www.puzip.com/preview.php?key=Dic%20Syndrome&url=http://www. arupconsult.com/assets/print/HELLP.pdf. [Diakses pada tanggal 1 April 2014] 17. Butterworth, J.F., et al., 2013. Morgan dan Mikhails Clinical Anesthesiology. Edisi 5. USA : McGraw-Hill Education 18. Katzung, B.G., 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Edisi 8. Jakarta : Salemba Medika. 19. Sdrales, L.M., Miller, R.D., 2010. Millers Anesthesia Review. Edisi 2. USA : Sanders-Elsevier

Anda mungkin juga menyukai