Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I
STATUS PASIEN
A. IdentitasPasien
Nama :Ny. I
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 50 tahun
Alamat : Cibeber
Tanggal berobat : 30 April 2014

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama :
Nyeri tenggorokan sejak 3 bulan lalu

2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri tengggorkan sejak 3 bulan yang lalu,
awalnya pasien sudah sering merasa sakit pada tenggorokan sejak 1 tahun
yang lalu tetapi sering hilang timbul sampai 3 kali dalam setahun,
tenggorokan terasa kering, mengganjal dan terasa nyeri saat menelan. Suara
sering serak dan batuk pilek, pasien juga mengeluh sering demam yang
bersifat hilang timbul. Nafas terasa bau dan nafsu makan yang semakin
berkurang. Pasein mengaku sering mendengkur saat tidur.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Sejak 1 tahun yang lalu pasien sering mengeluh seperti yang bersifat
hilang timbul
- Riwayat hipertensi (+)
- Riwayat DM (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
- Riwayat hipertensi (-)
2

- Riwayat DM (-)

5. Riwayat Alergi :
- Alergi makanan disangkal oleh pasien
- Alergi obat disangkal oleh pasien
- Alergi udara disangkal oleh pasien

6. Riwayat Pengobatan :
Pasien belum pernah berobat sebelumnya

7. Riwayat Psikososial
Merokok (-)

C. PemeriksaanFisik
- Keadaanumum : Tampak sakit ringan
- Kesadaran :Compos mentis
- BeratBadan : 57 kg
- Tanda Vital :
- Tekanan Darah: 150/90 mmHg
- Pernafasan : 20 x/menit
- Nadi : 88 x/menit
- Suhu : 36,6
o
C
Status Generalis
1. Kepala : Normocephal
2. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
3. Telinga : Lihat Status lokalis
4. Hidung : Lihat status lokalis
5. Mulut : Mukosa bibir lembab, tidak sianosis
6. Tenggorok : Lihat status lokalis
7. Leher : Lihat status lokalis

3

8. Thorax
a. Inspeksi : pergerakan dada simetris
b. Palpasi :Vocal fremitus simetris pada kedua lapang dada
c. Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
d. Auskultasi : Suara napas utama vesikuler, tidak ada suara napas
tambahan
9. Jantung
a. Inspeksi :Iktus kordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus kordis teraba pada linea midclavicula ICS V sinistra
c. Perkusi : Batas jantung normal
d. Auskultasi : Bunyi jantung I&II regular, murmur (-), gallop (-)
10. Abdomen
a. Inpeksi : Datar
b. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepatomegaly (-), splenomegaly (-)
c. Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
d. Auskultasi : Bising usus (+) normal
11. Ekstremitas
a. Superior : Hangat (+/+), edema (-/-), RCT < 2 detik, sianosis (-/-)
b. Inferior : Hangat (+/+), edema (-/-), RCT < 2 detik, sianosis (-/-)

D. Status lokalis THT
1. Telinga
Tabel 1.PemeriksaanTelinga
AD AS
Normotia, Helix sign (-), Tragus
sign (-)
Aurikula

Normotia, Helix sign (-), Tragus
sign (-)






4



Nyeri tekan (-), benjolan (-),
edema (-)

Preaurikula


Nyeri tekan (-), benjolan (-),
edema (-)
Nyeri tekan (-), benjolan (-),
edema (-)
Retroaurikula


Nyeri tekan (-), benjolan (-),
edema (-)


Mukosa tenang, serumen (+),
sekret (-)
MAE

Mukosa tenang, serumen (+),
sekret (-)

Intak, reflex cahaya (+),
hiperemis (-)
Membran timpani

Intak, reflex cahaya (+),
hiperemis (-)
(+) Uji Rinne (+)
Tidak ada lateralisasi Uji Weber Tidak ada lateralisasi
Sama dengan pemeriksa Uji Schwabach Sama dengan pemeriksa
Interpretasi : Normal




5


2. Hidung
a. Rinoskopi Anterior
Tabel 2.Pemeriksaan Hidung
Dekstra
Rinoskopi
Anterior
Sinistra
Tenang, hiperemis (-), edema (-) Mukosa Tenang, hiperemis (-), edema (-)
(+) cair Sekret (+) cair
Eutropi Konka inferior Eutropi
Tidak deviasi Septum Tidak deviasi
(-) Massa (-)
(+) Passase udara (+)

b. Sinus Paranasal
- Inspeksi : hiperemis (-), bengkak (-)

- Palpasi : nyeri tekan pada sinus maksilla (-), sinus ethmoidales (-),
sinus frontalis (-)

c. TesPenciuman
- Kanan : normosmia dengan kopi dan tembakau (23 cm)
- Kiri : normosmia dengan kopi dan tembakau (25 cm)

- Kesan : normosmia

d. Transiluminasi
- Sinus maksilaris : tampak bayangan terang di bawah orbita berbentuk
bulan sabit
- Sinus frontalis : dinding depan sinus frontalis tampak terang


6

Kesan : normal
3. Tenggorok

a. Nasofaring
Tabel 3.Pemeriksaan Nasofaring
Nasofaring (Rinoskopi posterior)
Konka superior Tidak dilakukan
Torus tubarius Tidak dilakukan
Fossa Rossenmuller Tidak dilakukan
Plika salfingofaringeal Tidak dilakukan

b. Orofaring
Tabel 4.Pemeriksaan Orofaring
Dekstra Pemeriksaan Orofaring Sinistra
Mulut
Lembab, sianosis (-) Mukosa mulut Lembab, sianosis (-)
Tremor (-) Lidah Tremor (-)
Deformitas (-) Palatum molle Deformitas (-)
Caries (-) Gigi geligi Caries (-)
Tidak deviasi Uvula Tidak deviasi
Tonsil
Hiperemis (+) Mukosa Hiperemis (+)
T2

T2
(+) Kripta (+)
(+) Detritus (+)
(-) Perlengketan (-)
Faring
Hiperemis (+) Mukosa Hiperemis (+)
7

(+) Granula (+)
(-) Post nasal drip (-)
TesPengecapan

Manis Normal
Asin Normal
Asam Normal
Pahit Normal

c. Laringofaring
Laringofaring (Laringoskopi Indirect)
Epiglotis Tidak dilakukan
Plika ariepiglotika Tidak dilakukan
Plika ventrikularis Tidak dilakukan
Plika vokalis Tidak dilakukan
Rima glotis Tidak dilakukan

4. PemeriksaanMaksilofasial

Dekstra Nervus Sinistra
(+) normosmia I. Olfaktorius
Penciuman
(+) normosmia
Pupil bulat, isokor
(+)
II. Optikus
Daya penglihatan
Refleks pupil
Pupil bulat, isokor
(+)
(+)
III. Okulomotorius
Membuka kelopak mata
Gerakan bola mata ke superior
Gerakan bola mata ke inferior
Gerakan bola mata ke medial
(+)
8

Gerakan bola mata ke
laterosuperior
(+) IV. Troklearis
Gerakan bola mata ke lateroinferior
(+)
(+)
V. Trigeminal
Tes sensoris
Cabang oftalmikus (V
1
)
Cabang maksila (V
2
)
Cabang mandibula (V
3
)

(+)
(+)
VI. Abdusen
Gerakan bola mata ke lateral
(+)
(+)
VII. Fasial
Mengangkat alis
Kerutan dahi
Menunjukkan gigi
Daya kecap lidah 2/3 anterior
(+)
(+)
VIII. Akustikus
Tes garpu tala
(+)
(+)
IX. Glossofaringeal
Refleks muntah
Daya kecap lidah 1/3 posterior

(+)

(+)
(-)
(+)
X. Vagus
Refleks muntah dan menelan
Deviasi uvula
Pergerakan palatum
(+)
(-)
(+)
(+)
XI. Assesorius
Memalingkan kepala
Kekuatan bahu
(+)
(-)
XII. Hipoglossus
Tremor lidah
Deviasi lidah
(-)

9



5. Leher
Dekstra Pemeriksaan
Sinistra
Tidak ada pembesaran Tiroid
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjarsubmental
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjarsubmandibula
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjarjugularis superior
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjarjugularis media
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjarjugularis inferior
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjar suprasternal
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjarsupraklavikularis
Tidak ada pembesaran

E. Resume
Pasien wanita usia 50 tahun datang dengan keluhan nyeri
tengggorkan sejak 3 bulan yang lalu, awalnya pasien sudah sering merasa
sakit pada tenggorokan sejak 1 tahun yang lalu tetapi sering hilang timbul
sampai 3 kali dalam setahun, tenggorokan terasa kering, mengganjal dan
terasa nyeri saat menelan. Suara sering serak dan batuk pilek, pasien juga
mengeluh sering demam yang bersifat hilang timbul. Nafas terasa bau dan
nafsu makan yang semakin berkurang. Pasein mengaku sering mendengkur
saat tidur.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tonsil T2 T2 mukosa hiperemis, kripta
(+), detritus (+), faring hiperemis (+) granula (+)



10



F. Diagnosis Banding
1. Tonsilitis kronis hipertrofikan + Faringitis kronis
2. Tumor tonsil
3. Tonsilitis akut
4. Tonsilitis membranosa

G. Diagnosa Kerja
Tonsilitis kronis hipertrofikan + Faringitis kronik

H. Terapi
Antibiotik : Amoxcicilin 500 mg 3 dd 1 tab
Mukolitik : Ambroxol 30 mg 2 dd 1 tab
Antihistamin : cetirizin 10 mg 1 dd 1 tab
Antipiretik : parasetamol 500 mg 3 dd 1 tab

I. Rencana pemeriksaan penunjang
Laboratorium darah (Hb, Ht, leukosit dan trombosit)
Bakteriologi

J. Prognosis
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Dubia ad malam
Ad sanactionam : Dubia ad malam






11

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Embriologi dan Anatomi Tonsil
1

1. Embriologi
Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong
brakial ke II ke dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral.
Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal kantong tersebut, yang
kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan membagi
lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada
bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan. Pada
bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan terjadi nodul pada
bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan
jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim,
dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil
2. Anatomi
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.
Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid).
Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah
mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar
anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral
orofaring. Dibatasi oleh:
1) Lateral m. konstriktor faring superior
2) Anterior m. palatoglosus
12

3) Posterior m. palatofaringeus
4) Superior palatum mole
5) Inferior tonsil lingual
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat,
folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel
(terdiri dari jaringan linfoid).
b. Fossa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu
batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding
luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior
mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari
palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah
otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius
dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding
lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar
pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu
di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan
masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring
c. Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran
jaringan ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi
menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa
kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil
d. Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil
terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal
yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi
penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.
Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau
terpotongnya pangkal lidah


13

e. Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis
eksterna, yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan
cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris
interna dengan cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis
dengan cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis
dorsal dan bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua
daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil
diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. palatina desenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal
f. Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di
bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks
dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai
pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening
aferen tidak ada
g. Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus
h. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit,
0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan
di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun
kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel
dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam
proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis
14

imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel
plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
i. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus
atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah
dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini
tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah,
dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid
di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior,
walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba
eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak.
Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia
3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.
B. Fisiologi
Tonsil Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama
2
:
1. Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah saraf.
2. Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda.
3. Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai
stadium
Tonsil (amandel) dan adenoid merupakan jaringan limfoid yang terdapat pada
daerah faring atau tenggorokan. Keduanya sudah ada sejak anak dilahirkan dan
mulai berfungsi sebagai bagian dari sistem imunitas tubuh setelah imunitas
warisan dari ibu mulai menghilang dari tubuh anak
2
.
15

Pada saat itu (usia lebih kurang 1 tahun) tonsil dan adenoid merupakan organ
imunitas utama pada anak, karena jaringan limfoid lain yang ada di seluruh
tubuh belum bekerja secara optimal. Sistem imunitas ada 2 macam yaitu
imunitas seluler dan humoral. Imunitas seluler bekerja dengan membuat sel
(limfoid T) yang dapat memakan kuman dan virus serta membunuhnya.
Sedangakan imunitas humoral bekerja karena adanya sel (limfoid B) yang dapat
menghasilkan zat immunoglobulin yang dapat membunuh kuman dan virus.
Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid terkadang
tidak mati dan tetap bersarang disana serta menyebabklan infeksi amandel yang
kronis dan berulang (Tonsilitis kronis)
2
C. Tonsilitis
1. Definis Tonsilitis
3

Peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine
(tonsil fausial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius
(lateral band dinding faring / Gerlachs tonsil)
Penyebaran infeksi melalui udara (airbone droplets), tangan dan
ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama anak-anak.
Besar Tonsil
T0 : tonsil telah diangkat
T1 : tonsil di dalam fossa tonsilaris
T2 : besar tonsil jarak arkus anterior dan uvula
T3 : besar tonsil jarak arkus anterior dan uvula
T4 : besar tonsil mencapai uvula atau lebih

Brodsky grading scale
Grade 0 : Tonsil dibelakang dinding laring anterior
Grade 1 : Tonsil terlihat menutupi 25% luas orofaring
Grade 2 : Tonsil terlihat menutupi 25-50% luas orofaring
16

Grade 3 : Tonsil terlihat menutupi 51-75% luas orofaring
Grade 4 : Tonsil terlihat menutupi >75% luas orofaring

Modified 3 Grade scale
Grade 1 : Tonsil mencapai 33% dari lebar orofaring
Grade 2 :Tonsil mencapai 34-66% dari lebar orofaring
Grade 3 : Tonsil mencapai >66% dari lebar orofaring

Derajat 1 (N) : tonsil berada di belakang pilar tonsilar
Derajat 2 : tonsil berada di antara pilar dan uvula
Derajat 3 : tonsil mendekati uvula
Derajat 4 : satu/kedua tonsil melebar hingga ke garis tengah
orofaring hingga menyentuh uvula

2. Epidemiologi Tonsilitis
3

Tonsilitis akut dapat terjadi pada seluruh usia, sering dialami oleh
anak dengan insiden tertinggi pada usia 5-6 tahun. Sejauh ini belum ada
penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun lingkungan
yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis Kronis.
Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor
genetik dan lingkungan secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil
bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor genetik sebagai faktor
predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis (Kvestad, 2005).
a. Umur
Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis
merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan
dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi
karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada
usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas (Edgren, 2004). Menurut penelitian yang dilakukan di
Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah
kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % (Hannafort, 2004).
17

Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita
Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia
5-14 tahun (Kisve, 2009)
5
.
b. Jenis Kelamin
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di
Malaysia diperoleh 657 data penderita Tonsilitis Kronis dan
didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%) (Sing, 2007).
Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di
India dari 203 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%)
berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin wanita (Awan
, 2009)
5
.
c. Suku
Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan
penelitian yang dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit
Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh 38%, Malay 25%, Iban
20%, dan Chinese 14%
5

3. Patofisiologi Tonsilitis Akut
3
Terjadinya tonsilitis dimulai saat bakteri masuk ke tonsil melalui
kripte kriptenya, secara aerogen (melalui hidung, droplet yang
mengandung bakteri terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus ke
tonsil), maupun secara foodvorn yaitu melalui mulut bersama makanan.
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil
berperan sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme
berbahaya, sel-sel darah putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada
tonsil. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibody terhadap
infeksi yang akan datang, akan tetapi kadang-kadang tonsil sudah kelelahan
menahan infeksi atau virus. Infeksi bakteri dari virus inilah yang
menyebabkan tonsillitis

4. Patofisiologi Tonsilitis Kronik
3

Karena prosess radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhaqn
jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut yang akan mengalami
18

pengerutan sehingga kripti melebar. Secara krinis kritik ini tampak diisi
oleh deadtritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tomsil dan
akhirnya menimbulkan perekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris.
Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
subamandibula
1

Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik
tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus.
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas,
suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsilitis falikularis, bila bercak
detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsilitis lakunaris.

5. Perbedaan Tonsilitis akut dan kronik
4
Tabel 1
Perbedaan Tonsilitis Akut dan Tonsilitis Kronik

Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronik
Onset cepat, terjadi dalam beberapa
hari, hingga beberapa minggu
Onset lama, beberapa bulan hingga
beberapa tahun (menahun)
Penyebab kuman streptokokus beta
hemolitikus grup A, pneumokokus,
streptokokus viridian, dan
streptokokus piogenes.
Penyebab tonsillitis kronik sama halnya
dengan tonsillitis akut, namun kadang-
kadang bakteri berubah menjadi bakteri
golongan gram negatif
Tonsil hiperemis & edema Tonsil membesar / mengecil tidak edema
Kripte tidak melebar Kripte melebar
Detritus + / - Detritus +






19

6. Tonsilitis Akut
3,4
a. Tonsilitis Viral

Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai commond cold yang
disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah
virus Epstein Barr. Terapinya istirahat, minum cukup,
analgetika,dan antivirus diberikan jika gejala berat.
b. Tonsilitis Bakterial

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A
Streptokokus B hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat,
pnemokokus, streptokokus viridian, dan streptokokus piogenes.
Infiltrat bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini
merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang
terlepas. Secara klinis, detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak
sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut
tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu dan
membentuk alur-alur maka terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak
detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembran) yang menutupi tonsil.
Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri
tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam tinggi, rasa lesu, nyeri
di sendi-sendi, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di telinga (otalgia).
Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui
nervus glosofaringius (N. IX). Pada pemeriksaan, tampak tonsil
yang membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk
folikel, lakuna, atau tertutup oleh membran semu (pseudomembran).
Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.
Terapi Antibiotik spektrum lebar penisilin, antipiretik,
analgesik dan obat kumur yang mengandung desinfektan.

20

Komplikasi Pada anak-anak, tonsilitis akut sering menimbulkan
komplikasi menjadi otitis media akut. Komplikasi yang lainnya
adalah abses peritonsil, abses parafaring, sepsis, bronkitis, nefritis
akut, miokarditis, dan artritis
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas
melalui mulut, tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena
terjadinya sleep apnue yang dikenal dengan Obstructive Sleep
Apnea Syndrom (OSAS).
c. Tonsilitis Membranosa
3,4
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsilitis
membranosa adalah, antara lain:
1) Tonsilitis difteri
a) Penyebab
Frekuensi penyakit ini sudah menurun karena
keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab
tonsilitis difteri adalah Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk gram positif dan dapat mengenai
saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring, dan
laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman
ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer
anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin
sebesar 0,03 per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Tonsilitis difteri sering
ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada
usia dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.
b) Gejala dan tanda
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:
Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu
kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta
keluhan nyeri menelan.
21

Gejala lokal, yang tampak adalah berupa tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin
lama makin meluas dan bersatu membentuk membran
semu (pseudomembran). Membran ini dapat meluas ke
palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran
semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa
leher akan membengkak sehingga menyerupai leher sapi
(bull neck).
Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman
difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh
yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensation cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernapasan, dan pada ginjal menimbulkan albuminoria.
c) Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik
dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil
dari pseudomembran tonsil yang dimana akan ditemukan
kuman difteri ini.
d) Terapi
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa
menunggu hasil kultur dengan dosis tergantung dari
umur dan beratnya penyakit, antibiotik spektrum luas,
kortikosteroid, antipiretik digunakan jika perlu untuk
menurunkan demam nya. Karena penyakit ini menular,
pasien harus diisolasi. Perawatan non farmalokologi
adalah istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.


22

e) Komplikasi
Penyakit ini dapat berlangsung cepat,
pseudomembran akan menjalar ke laring dan
menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien
terkena penyakit ini maka akan makin cepat timbul
komplikasi.

2) Tonsilitis septik
Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptococcus haemoliticus
yang terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi.
Di Indonesia, susu sapi dimasak dengan cara pasteurisasi
terlebih dahulu sebelum diminum sehingga penyakit ini jarang
ditemukan.
3) Stomatitis ulseromembranosa (Angina Plaut Vincent)
a) Penyebab
Penyebab penyakit ini adalah kurangnya higienis
mulut, defisiensi vitamin C, serta kuman sprilium dan basil
fusiform.
b) Gejala
Demam sampai 39C, nyeri kepala, badan lemah, dan
kadang-kadang terdapat gangguan pencernaan, rasa nyeri
di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.
c) Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak
membran putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding
faring, gusi serta prosesus alveolaris, foetor ex ore (mulut
berbau) dan kelenjar submandibula membesar.
d) Terapi
Memperbaiki higienis mulut, antibiotik spektrum luas,
vitamin C dan vitamin B kompleks.


23

7. Tonsilitis Kronik
3,4

a. Penyebab
Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-
kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negative
b. Faktor predisposisi
Timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan yang menahun dari
rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat
c. Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik, kripti ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris.
d. Gejala dan tanda
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar, dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa
ada yang mengganjal di tenggorok, tenggorok dirasakan kering dan
napas berbau.
e. Terapi
Terapi lokal ditujukan kepada higiene mulut dengan berkumur atau
obat hisap
f. Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa rinitis kronis, sinusitis, atau otitis media secara
perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau
limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, nefritis, dan yang
lainnya. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma
24


8. Indikasi Tonsilektomi
6,7

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi
pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik
dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran
napas dan hipertrofi tonsil.
9

Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas,
indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut).
Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan
perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah
kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya
dilakukan tonsilektomi.
a. Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran
napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi
kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis
dan drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
b. Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan
terapi antibiotik adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase
resisten

25

Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy),
tonsilektomi dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.
8
Saat
mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan
apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai
kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan
indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada
dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi
kronik. Akan tetapi semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat
sangat sederhana seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil (cryptic
tonsillitis) dan pada keadaan yang lebih berat dapat timbul gejala seperti
nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak di tenggorok yang menetap.
Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan terdapat dan beratnya satu
atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan
sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala tersebut dapat
mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam nyawa.
8


9. Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan
tetap memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut
adalah:
8

1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
Tabel. 1 Indikasi Tonsilektomi dari berbagai sumber
N o Sumber Indikasi
1 American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck
Surgery (AAO-HNS)14
Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan
obstruksi saluran napas, disfagia berat,
gangguan tidur dan komplikasi
26

kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik
dengan pengobatan medis dan drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk
menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil
per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak
membaik dengan pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier
streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik -laktamase resisten
Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai
merupakan suatu keganasan
2 Scottish Intercollegiate
Guidelines Network55

Indikasi tonsilektomi pada anak dan
dewasa berdasarkan bukti ilmiah,
observasi klinis dan hasil audit klinis
dimana pasien harus memenuhi semua
kriteria di bawah:
Sore throat yang disebabkan oleh tonsilitis
5 atau lebih episode sore throat per tahun
Gejala sekurang-sekurangnya dialami
selama 1 tahun.
Keparahan episode sore throat sampai
mengganggu pasien dalam menjalani
fungsi kehidupan normal
3 Evidence Based Medicine
Guidelines56
Tonsilitis bakterialis berulang (>4x/tahun).
Dengan catatan hasil kultur bakteri harus
dicantumkan dalam surat rujukan
27

Tonsilitis akut dengan komplikasi: abses
peritonsiler, septikemia. Pasien dengan
abses peritonsiler berusia <40 tahun
langsung diterapi dengan tonsilektomi.
Curiga adanya keganasan (pembesaran
asimetri atau ulserasi)
Sumbatan jalan napas yang disebabkan
tonsil (T3-T3), sleep apnea, kelainan oklusi
gigi
Tonsilitis kronik, merupakan indikasi
relatif tonsilektomi. Tindakan dianjurkan
apabila pasien mengalami halitosis, nyeri
tenggorok, gagging, dan keluhan tidak
hilang dengan pengobatan biasa.
4 INSALUD (National Institute
of Health) Spanyol3
Indikasi absolut
Kanker tonsil
Penyumbatan saluran nafas berat pada
rinofaring dengan desaturasi atau retensi
CO2
Indikasi relatif
Infeksi rekuren dengan eksudat, dapat
dibedakan dengan jelas dari common cold,
dengan 7 atau lebih episode pada tahun ini,
atau 5 episode pertahun pada 2 tahun
sebelumnya, atau 3 episode pertahun pada 3
tahun sebelumnya.
Abses peritonsilar
Tidak diindikasikan
Otitis media akut atau kronik
Sinusitis akut atau kronik
Ketulian Infeksi saluran nafas atas atau
28

bawah
Penyakit sistemik
5 National Health & Medical
Research Council, 1991
(Australia)3
Faringitis rekuren
Faringitis kronik
Obstruksi jalan nafas
Dugaan neoplasma
6 Henry Ford Medical Group, 1995
(USA)3
Berdasarkan hasil literatur review:
Tonsilitis
Hipertrofi tonsil
Experience
7 Infectious Disease Society of
America3

Berdasarkan hasil literatur review:
Faringitis streptokokus rekuren
8 American Academy of
Pediatrics3
Berdasarkan hasil literatur review:
Faringitis rekuren

10. Tekhnik Operasi Tonsilektomi
9,10,11
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan
pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan
jari tangan.9,19 Selama bertahun-tahun, berbagai teknik dan instrumen
untuk tonsilektomi telah dikembangkan. Sampai saat ini teknik tonsilektomi
yang optimal dengan morbiditas yang rendah masih menjadi kontroversi,
masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini
adalah teknik Guillotine dan diseksi
a. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad
ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk
mengangkat tonsil. Namun tidak ada literatur yang menyebutkan kapan
tepatnya metode ini mulai dikerjakan. Tonsilotom modern atau
29

guillotine dan berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari
sebuah alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat
yang dirancang untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.
5

Hingga kini, di UK tonsilektomi cara guillotine masih banyak
digunakan. Hingga dikatakan bahwa teknik Guillotine merupakan
teknik tonsilketomi tertua yang masih aman untuk digunakan hingga
sekarang. Negara-negara maju sudah jarang yang melakukan cara ini,
namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia,
terutama di daerah masih lazim dilkukan cara ini dibandingkan cara
diseksi.
5

b. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi.
Hanya sedikit ahli THT yang secara rutin melakukan tonsilektomi
dengan teknik Sluder.22 Di negara-negara Barat, terutama sejak para
pakar bedah mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi
Rose yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih
banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga
banyak digunakan pada pasien anak.
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan
dengan desain yang lebih baik untuk tonsilektomi, prinsip dasar teknik
tonsilektomi tidak berubah. Pasien menjalani anestesi umum (general
endotracheal anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil,
membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul
tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan
manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter
atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan
salin.
Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan
disamping teknik diseksi standar, yaitu:
1) Electrosurgery (bedah listrik)
20

Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi
umum, karena mudah memicu terjadinya ledakan. Namun, dengan
30

makin berkembangnya zat anestetik yang nonflammable dan
perbaikan peralatan operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik
makin meluas
Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar
blade, monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan
mikroskop. Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W
untuk memotong, menyatukan atau untuk koagulasi
2) Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke
jaringan. Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk
membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas.
Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil
dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan jaringan juga
dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada medium
penghantar seperti larutan salin.
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie,
Elmed Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the
Somnus somnoplasty system (bekerja pada 460 kHz), the
ArthroCare coblation system dan Argon plasma coagulators
3) Skapel Harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk
memotong dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan
jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah
dibandingkan elektrokauter dan laser. Dengan elektrokauter atau
laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup
tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya
1500C-4000C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur
disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 500C -1000C).
Sistim skalpel harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece
dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.


31

4) Coblation
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk
menghasilkan listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru
melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan
aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Coblation
probe memanaskan jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan
probe diatermi standar (suhu 600C (45-850C) dibanding lebih dari
1000C).
5) Intracapsular Partial Tonsilektomi
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi.
Meskipun mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan
ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang
dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam
membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya
6) Laser (CO2-KTP)
28

Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP
(Potassium Titanyl Phospote) untuk menguapkan dan mengangkat
jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan
menghilangkan recesses pada tonsil yang meyebabkan infeksi
kronik dan rekuren.
11. Penyulit
Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan
khusus dalam melakukan tonsilektomi maupun tonsiloadenoidektomi pada
anak dan dewasa:4
1. Kelainan anatomi:
- Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan)
- Kelainan maksilofasial dan dentofasial
2. Kelainan pada komponen darah:
- Hemoglobin < 10 g/100 dl
- Hematokrit < 30 g%
- Kelainan perdarahan dan pembekuan (Hemofilia)
32

3. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain
4. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI)
5. Multiple Allergy
6. Penyakit lain, seperti:
- Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain
- Hipertensi dan penyakit kardiovaskular
- Obesitas, kejang demam, epilepsi

























33

DAFTAR PUSTAKA
1. Zuniar. Kumpulan karya ilmiah: Gambaran mikrobiologi pada tonsilitis kronis
dari hasil usapan tenggorok dan bagian dalam tonsil. FKUI-PPDS bidang studi
ilmu THT 2001.
2. http://digilib.unimus.ac.id
3. George l, Adams. Lawrence R, Boies. Peter A, Higler. BOIES Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997: 264-269, 330-331, 337-340,
370-376.
4. Soepardi, Efiaty A. Iskandar Nurbaiti. dkk. Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008: 221-225.
5. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Bernard BS, Rockette HE, Kurs-
Lasky M. Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent throat infection in
moderately affected children. Pediatrics 2002;110:7-15
6. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy.
Laryngoscope 2002;112:3-5
7. Berkowitz RG, Zalzal GH. Tonsillectomy in children under 3 years of age.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 116:685-6.[Abstract]
8. Bhattacharya N. When does an adult need tonsillectomy? Cleveland Clinic
Journal of Medicine 2003:70;698-701
9. Bck L. Paloheimo M, Ylikoski J. Traditional tonsillectomy compared with
bipolar radiofrequency thermal ablation tonsillectomy in adults. Arch
otolaryngol Head Neck Surg 2001;127:1106-12
10. Webster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook
MJ. Anesthesia for adenotonsillectomy: a comparison between tracheal
intubation and the armoured laryngeal mask airway. Can J Anaeth
1993;40:757-8 [Abstract]

Anda mungkin juga menyukai