Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

FARMAKOTERAPI

Disusun oleh :


INGGHEA ELYANI 260110090020
ANANDA ANNISA 260110090021
SYAMIRA AYUNINGTYAS 260110090022
RAISSA GITHA ARSHINTA 260110090023
M HILMI FATHURRAHMAN 260110090024



UNIVERSITAS PADJADJARAN
2011
Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.
Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan
hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan
penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder
disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme
primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan
renovaskuler, serta akibat obat (Bakri dan Lawrence, 2008).
Definisi Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang digunakan untuk mengedarkan
darahdalam pembuluh darah dalam tubuh. Jantung yang berperan sebagai pompa
ototmensuplai tekanan tersebut untuk menggerakan darah dan juga
mengedarkandarah diseluruh tubuh. Pembuluh darah (dalam hal ini arteri)
memiliki dinding-dinding yang elastis dan menyediakan resistensi yang sama
terhadap aliran darah. Oleh karena itu, ada tekanan dalam sistem peredaran darah,
bahkan detak jantung (Gardner, 2007).
Menurut Smith (1995) tekanan darah (blood presure, TD) adalah tekanan
yang dilakukan darah atas dinding pembuluh darah. Besaran yang dipakai
dalam pengukuran dengan mercury sphygnomanometer yaitu tekanan darah
sistolik (SBP) dan diastolik (DBP).
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,
prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 seperti yang terlihat pada tabel 1
dibawah (Gray, et al. 2005).

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7
Klasifikasi Tekanan
Darah
Tekanan Darah
Sistolik (mmHg)
Tekanan Darah
Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prahipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 > 160 > 100

The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation and
treatment of High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan dunia WHO
dengan International Society of Hipertention membuat definisi hipertensi yaitu
apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau
tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedang memakai obat anti
hipertensi. Pada anak-anak, definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah lebih
dari 95 persentil dilihat dari umur, jenis kelamin, dan tinggi badan yang diukur
sekurang-kurangnya tiga kali pada pengukuran yang terpisah (Bakri dan
Lawrence, 2008).
Patofisiologi Hipertensi
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam
pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar:
Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer (Yogiantoro, 2006).
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi
esensial antara lain :
1) Curah Jantung dan Tahanan Perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh
terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi
esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat.
Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada
arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada
peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot
halus ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol
yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya
tahanan perifer yang irreversible.
2) Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem
endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh
juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion
atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik
(Gray, et al. 2005).
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin
II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE
memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah
mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin
(diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang
tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah
menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II
berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai
vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk
mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin
menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume
cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari
bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga
meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan
hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume
cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)
dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl
akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan
darah (Gray, et al. 2005).
3) Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam
pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara
sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama sama dengan
faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon (Gray, et
al. 2005).
4) Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah
vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi
endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis
pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan produksi
dari oksida nitrit (Gray, et al. 2005).
5) Substansi Vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam
mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan
vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat
meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem
renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang
diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan volum darah. Hal
ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya dapat
meningkatkan retensi cairan dan hipertensi (Gray, et al. 2005).
6) Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding
pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium),
ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga
hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin
lama akan semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat
dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al. 2005).
7) Disfungsi Diastolik
Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat
ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan
tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel (Gray, et
al. 2005).

Manifestasi Klinis Hipertensi
Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah mengalami hipertensi
bertahun-tahun, dan berupa :
- Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intrakranium.
- Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
- Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.
- Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
- Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
(Corwin, 2001).

Diagnosa Hipertensi
Pemeriksaan diagnostik terhadap pengidap tekanan darah tinggi
mempunyai beberapa tujuan :
a) Memastikan bahwa tekanan darahnya memang selalu tinggi.
b) Menilai keseluruhan risiko kardiovaskular.
c) Menilai kerusakan organ yang sudah ada atau penyakit yang menyertainya.
d) Mencari kemungkinan penyebabnya.
Diagnosis hipertensi menggunakan tiga metode klasik, yaitu:
a) Pencatatan riwayat penyakit (anamnesis)
b) Pemeriksaan fisik (sphygomanometer)
c) Pemeriksaan laboraturium (data darah,urun,kreatinin serum,kolesterol)
Kesulitan utama selama proses diagnosis ialah menentukan sejauh mana
pemeriksaan harus dilakukan. Dimana pemeriksaan secara dangkal saja tidak
cukup dapat diterima karena hipertensi merupakan penyakit seumur hidup dan
terapi yang dipilih dapat memberikan implikasi yang serius untuk pasien
(Padmawinata, 2001).

Pengobatan non obat (non farmakologis)
Pengobatan non farmakologis kadang-kadang dapat mengontrol tekanan
darah sehingga pengobatan farmakologis menjadi tidak diperlukan atau sekurang-
kurangnya ditunda. Sedangkan pada keadaan dimana obat anti hipertensi
diperlukan, pengobatan non farmakologis dapat dipakai sebagai pelengkap untuk
mendapatkan efek pengobatan yang lebih baik.
Pengobatan non farmakologis diantaranya adalah:
1. Diet rendah garam / kolesterol / lemak jenuh
2. Mengurangi asupan garam ke dalam tubuh
Nasehat pengurangan garam, harus memperhatikan kebiasaan makan
penderita. Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit
dilaksanakan. Cara pengobatan ini hendaknya tidak dipakai sebagai
pengobatan tunggal, tetapi lebih baik digunakan sebagai pelengkap pada
pengobatan farmakologis.
3. Ciptakan keadaan rileks
Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat
mengontrol sistem saraf yang akhirnya dapat menurunkan tekanan darah.
4. Melakukan olahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45
menit sebanyak 3-4 kali seminggu
5. Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol (admin, 2008).

Pengobatan farmakologi
Golongan obat antihipertensi yang banyak gunakan adalah diuretik tiazid
(misalnya bendroflumetiazid), betabloker, (misalnya propanolol, atenolol,)
penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya captopril, enalapril),
antagonis angiotensin II (misalnya candesartan, losartan), calcium channel blocker
(misalnya amlodipin, nifedipin) dan alphablocker (misalnya doksasozin)
(Lyrawati, 2009).
Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan antihipertensi kerja
sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang diindikasikan untuk keadaan
krisis hipertensi(Lyrawati, 2009).
Diuretika
Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan
tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal
tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga
mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat
mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada
pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati(Lyrawati, 2009).
Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 12 jam setelah pemberian dan
bertahan sampai 1224 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek
antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan
manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi. Efek
tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena itu
tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal(Lyrawati,
2009).
Secara tradisonal, diuretika tiazid membentuk dasar sebagian besar
program terapeutik yang dibentuk untuk menurunkan tekanan arteri dan biasanya
efektif sam pai 3-4 hari(harrison, 1995)
Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan
hipokalemia, hiponatriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi
karena penurunan ekskresi kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat
mengakibatkan hiperurisemia, sehingga penggunaan tiazid pada pasien gout harus
hatihati. Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten
terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2.
Efek samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan
peningkatan LDL dan trigliserida dan penurunan HDL. 25% pria yang mendapat
diuretic tiazid mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian
tiazid dihentikan(Lyrawati, 2009).
Angiotensin converting enzyme inhibitor

(ACEi) menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari
prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh darah,
ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis
sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin II ini akan
menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensinreninaldosteron teraktivasi
(misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek
antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap
degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi.
Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih
kuat(lyrawati, 2009).

Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril
cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat
untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian
ACEi. Dosis pertama ACEi harus diberikan pada malam hari karena penurunan
tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien
mempunyai kadar sodium rendah.

Antagonis Angiotensin II

Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target
lainnya. Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1
memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan
penglepasan aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat.
Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas. Banyak jaringan mampu
mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh
karena itu memblok sistem reninangitensin melalui jalur antagonis reseptor AT1
dengan pemberian antagonis reseptor angiotensin II mungkin
bermanfaat(Lyrawati, 2009).

Antagonis reseptor angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak kemiripan
dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena efeknya pada
ginjal, ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral
dan pada stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi
satu(Lyrawati, 2009).

Efek samping ACEi dan AIIRA

Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal
dan kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan
selama terapi karena kedua golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal.
Baik ACEi dan AIIRA dapat menyebabkan hiperkalemia karena menurunkan
produksi aldosteron, sehingga suplementasi kalium dan penggunaan diuretik
hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat terapi ACEI atau AIIRA.
Perbedaan anatar ACEi dan AIIRA adalah batuk kering yang merupakan efek
samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi ACEi. AIIRA
tidak menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin(Lyrawati,
2009).

Calcium channel blocker

Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke
dalam sel miokard, selsel dalam sistem konduksi jantung, dan selsel otot polos
pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan
pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas
vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal
di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB:
dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan
benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang
merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem
mempunyai efek kardiak dan digunakan untuk menurunkan heart rate dan
mencegah angina(Lyrawati, 2009).

Efek samping

Pemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki
sering dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan
mual juga sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion
kalsium, oleh karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan gastrointestinal,
termasuk konstipasi(Lyrawati, 2009).

Alpha-blocker

Alphablocker (penghambat adrenoseptor alfa1) memblok adrenoseptor
alfa1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos
pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten(Lyrawati, 2009).

Efek samping

Alphablocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada
pemberian dosis pertama kali. Alphablocker bermanfaat untuk pasien lakilaki
lanjut usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat(Lyrawati, 2009).

Beta-blocker

Beta blocker memblok betaadrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan
menjadi reseptor beta1 dan beta2. Reseptor beta1 terutama terdapat pada
jantung sedangkan reseptor beta2 banyak ditemukan di paruparu, pembuluh
darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta2 juga dapat ditemukan di jantung,
sedangkan reseptor beta1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga
dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan
memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf
simpatis. Stimulasi reseptor beta1 pada nodus sinoatrial dan miokardiak
meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada
ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system
rennin-angiotensinaldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output,
peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron
dan retensi air(Lyrawati, 2009).
Terapi menggunakan betablocker akan mengantagonis semua efek
tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Betablocker yang selektif
(dikenal juga sebagai cardioselective betablockers), misalnya bisoprolol, bekerja
pada reseptor beta1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta1 saja oleh karena
itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus
hati-hati. Betablocker yang nonselektif (misalnya propanolol) memblok reseptor
beta1 dan beta2. Betablocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal
sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja sebagai
stimulanbeta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi
akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya
saat berolah raga). Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada
siang hari. Beberapa betablocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga
memblok efek adrenoseptoralfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol,
mempunyai efek agonis beta2 atau vasodilator(Lyrawati, 2009).

Betablocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan
obat dalam air atau lipid. Obatobat yang diekskresikan melalui hati biasanya
harus diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui
ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat
diberikan sekali dalam sehari. Betablocker tidak boleh dihentikan mendadak
melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena
dapat terjadi fenomena rebound(Lyrawati, 2009).

Efek samping

Blokade reseptor beta2 pada bronkhi dapat mengakibatkan
bronkhospasme, bahkan jika digunakan betabloker kardioselektif. Efek samping
lain adalah bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tangakaki terasa dingin
karena vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta2 pada otot polos pembuluh
darah perifer. Kesadaran terhadap gejala hipoglikemia pada beberapa pasien DM
tipe 1 dapat berkurang. Hal ini karena betablocker memblok sistem saraf simpatis
yang bertanggung jawab untuk memberi peringatan jika terjadi hipoglikemia.
Berkurangnya aliran darah simpatetik juga menyebabkan rasa malas pada pasien.
Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada penggunaan betablocker yang larut
lipid seperti propanolol. Impotensi juga dapat terjadi. Betablockers nonselektif
juga menyebabkan peningkatan kadar trigilserida serum dan penurunan
HDL(Lyrawati, 2009).

Golongan lain

Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan
tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah(Lyrawati,
2009). Hidralazin adalah obat paling serba guna yang menyebabkan relaksasi
langsung otot polos vaskuler(harrison, 1995).
Antihipertensi kerja sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin)
bekerja pada adrenoseptor alpha2 atau reseptor lain pada batang otak,
menurunkan aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal, sehingga
efek akhirnya menurunkan tekanan darah. Obat anti adrenergik ini bekerja pada
satu tempat atau lebih secra sentral pada pusat vasomotor, pada neuron perifer
mengubah pelepasan katekolamin atau dengan mengahambat tempat reseptor
adrenergik pada jaringan target. Obat yang memilki kerja menononjol : klonidin,
metildopa, guanabenz, dan guanfasin. Kelompok obat anti adrenergik lain adalah
obat penghambat ganglionik, yang mempunyai sedikit efek jika pasien berbaring
terlentang tetapi mencegah relek vasokonstriksi pada posisi berdiri(Harisson,
1995).
Efek samping

Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi
hati harus dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui
hati. Hidralazin juga diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus. Minoksidil
diasosiasikan dengan hipertrikosis (hirsutism) sehingga kurang sesuai untuk
pasien wanita. Obatobat kerja sentral tidak spesifik atau tidak cukup selektif
untuk menghindari efek samping sistem saraf pusat seperti sedasi, mulut kering
dan mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa mempunyai mekanisme kerja yang
mirip dengan konidin tetapi dapat
menyebabkan efek samping pada sistem imun, termasuk pireksia, hepatitis dan
anemia hemolitik(Lyrawati, 2009).

Tujuan terapi obat anti hipertensi adalah:
Mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan renal akibat
komplikasi
Tekanan darah yang diharapkan setelah terapi adalah <140/90 mmHg
tanpa adanya komplikasi, hal ini berhubungan dengan penurunan risiko
komplikasi CVD (Coronary Vascular Disease)
Pasien hipertensi dengan komplikasi diabetes melitus dan penyakit renal,
tekanan darah yang diharapkan dapat dicapai setelah terapi yaitu <130/80
mmHg.
(Chobanian, et al., 2004).










DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2008. Darah Tinggi / Hipertensi. Available online at http://www.rsbk-
batam.co.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=25 (Diakses pada 10
maret 2012 pukul 08.43)
Bakri, S., dan Lawrence, G.S., 2008. Genetika Hipertensi.USU Press. Medan.
Chobanian A.V., Bakris., Black., Cushman., Green., Izzo., Jones., Materson.,
Oparil S., Wright., Roccella. 2003. Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, National
Heart, Lung, and Blood Institute, National High
Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Suku Patofisiologi (hands book of
pathophysiologi). EGC. Jakarta.
Gardner, DG dan Shoback, D (Ed.). 2007. Greenspans Basic and Clinical
Endocrinology 8th Edition. McGraw Hill.
Gray, H.H., Dawkins, K.D., Morgan, J.M., dan Simpson, I.A., 2005. Kardiologi :
Lecture Notes. Ed 4. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Padmawinata, K, 2001. Pengendalian Hipertensi. Penerbit ITB. Bandung.
Yogiantoro, M., 2006. Buku Ajar Penyakit Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4. Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai