Anda di halaman 1dari 29

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 1


KATA PENGANTAR ............................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................4
A. Latar Belakang ..............................................................................................4
B. Permasalahan ................................................................................................ 10
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan.......................................................................10
1. Tujuan Penelitian .................................................................................... 10
2. Manfaat Penuisan .................................................................................... 11
D. Tinjauan Kepustakaan......................................................................................12
1. Pengertian Polisi ............................................................................................ 12
2. Pengertian Penyidik ....................................................................................... 13
3. Pengertian Bukti ............................................................................................ 18
a. Keterangan Saksi ..................................................................................... 19
b. Keterangan Ahli ....................................................................................... 21
c. Surat ......................................................................................................... 21
d. Petunjuk ................................................................................................... 22
e. Keterangan Terdakwa .............................................................................. 23
4. Pengertian Penanganan Tempat Kejadian Perkara ........................................ 24
E. Metode Penelitian .......................................................................................... 25
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................26
PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN
PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA............................................26


A. Perundang-undangan Yang Dapat Dijadikan Sebagai Dasar Hukum Untuk
Melakukan Penanganan Tempat Kejadian Perkara .........................................26
B. Penanganan Tempat Kejaian Perkara Sebagai Bagian Dari Tahap
Penyidikan ..................................................................................................... 32
C. Peranan Penyidik Dalam Melakukan Penangan Tempat Kejadian
Perkara ........................................................................................................ 36
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................41


















KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat
dan karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas karangan militer dengan judul
PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN
PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA dengan baik.
Tugas karangan militer ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam usulan
kenaikan pangkat yang telah ditetapkan oleh pimpinan.
Akhir kata, semoga tugas karangan militer ini bermanfaat bagi saya dan para
pembaca untuk memberikan tambahan pengetahuan, dan wawasan khususnya dalam
melaksanakan tugas.


Padang, Juli 2013


H E R M A N
AKP NRP 56010201















BAB I
PENDAHULUAN

A . Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan hukum yang demokratis,
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas
kekuasaan semata-mata. Muhammad Kusnardi dan Bintan Saragih berpendapat bahwa:
negara hukum menentukan alat-alat perlengkapan yang bertindak menurut dan terikat
kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan
yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan-peraturan itu, adapun ciri-ciri khas bagi
suatu negara hukum adalah:
1. pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia;
2. peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan
tidak memihak;
3. legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Sebagai bentuk dari perwujudan Indonesia merupakan negara hukum maka di
buatlah peraturan perundang-undangan yang salah satu dari perundang-undangan
tersebut adalah Kitab undang-undang hukum acara pidana yang mengatur bagaimana
cara beracara dalam hukum pidana.
Yang mana menurut buku pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum secara jujur dan tepat,
dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan suatu
pelanggaran hukum dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna
menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Hal tersebut berdasarkan pemikiran bahwa dalam praktek hukum /praktek
penegakan hukum ternyata bahwa pejabat penyidik pada saat mulai mengayunkan
langkah pertamanya dalam melakukan penyidikan maka secara otomatis dan secara
langsung sudah terikat dengan ketentuan-ketentuan pembuktian yang diatur dalam
KUHAP. Bahkan yang menjadi target penting dalam kegiatan penyidikan adalah upaya


mengumpulkan alat-alat pembuktian untuk membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi.
Demikian pula dalam hal penyidik menentukan seseorang berstatus tersangka,
setidak-tidaknya penyidik harus sudah menguasai alat pembuktian yang disebut sebagai
bukti permulaan, selanjutnya apabila penyidik sudah melakukan upaya paksa, misalnya
penahanan terhadap orang yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana maka tindakan
penyidik tersebut paling kurang harus didasarkan pada bukti yang cukup.
Jadi meskipun kegiatan upaya pembuktian yang paling penting dan menentukan
itu adalah pada tingkat pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, namun upaya
pengumpulan sarana pembuktian itu sudah berperan dan berfungsi pada saat penyidik
mulai melakukan tindakan penyidikan. Sehingga apabila pejabat penyidik dalam
melakukan penyidikan kurang memahami atau tidak memperhatikan ketentuan-
ketentuan yang berkaitan dengan sarana pembuktian maka tindakan penyidik yang
dilakukan akan mengalami kegagalan.
Jika dilihat dari tujuan hukum acara pidana tersebut diatas, maka yang dicari
adalah kebenaran yang materiil yakni kebenaran yang hakiki atau yang sebenar-
benarnya dan terbukti bersalah yang didapat berdasarkan bukti-bukti yang ada dan
selengkap-lengkapnya dan bukan dari sekedar kebenaran formil apalagi hanya dengan
pengakuan dari tersangka/terdakwa yang tidak didasarkan bukti-bukti yang lain karena
bisa saja yang mengaku tersebut bukan merupakan pelaku yang sebenarnya dan jika
dikaitkan dengan
Makalah yang disusun oleh penulis tentang peranan polisi sebagai penyidik
dalam mencari bukti pada proses penanganan tempat kejadian perkara untuk mencari
kebenaran materiil itu harus didapat dari bukti-bukti yang ada pada tempat kejadian
perkara yang merupakan tempat terjadinya suatu tindak pidana yang mana dalam hal ini
polisi sebagai penyidiklah yang berkewajiban untuk mencari dan menemukan bukti-
bukti sehingga menjadi terang tentang suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu
tindak pidana.
Namun dengan perkembangan kemajuan jaman yang semakin terus berkembang
begitu juga dengan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, guna
menghilangkan perbuatannya. Tentulah semakin canggih pula tindakan pelaku
kejahatan untuk mengaburkan atau menghilangkan benda-benda atau bukti yang


digunakan oleh pelaku kejahatan dalam melakukan suatu tindak pidana sehingga pelaku
kejahatan dapat terbebas dari jeratan hukum, dari hal demikian maka bagi penyidik
untuk mencari dan menemukan apakah telah terjadi suatu tindak pidana pada suatu
peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana tersebut diperlukan ketelitian dan
kecermatan.
Adapun hal yang menarik tentang peranan penyidik dalam mencari bukti pada
proses penanganan tempat kejadian perkara adalah banyaknya selama ini tindakan
kejahatan yang sulit untuk diungkapkan sehingga dibutuhkan suatu upaya untuk
mengungkapkan tindakan kejahatan tersebut, sehingga bagaimana upaya penyidik untuk
mengetahui serta menemukan bukti tersebut dan salah satu upaya dari penyidik adalah
dengan cara pengolahan tempat kejadian perkara yang merupakan bagian dari suatu
proses penanganan tempat kejadian perkara.
Sebagai contoh: telah terjadi suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu
pembunuhan, yang mana pada saat kejadian pembunuhan tersebut tidak ada saksi yang
melihat, ataupun mendengar kejadian tersebut, dan kejadian tersebut baru diketahui
setelah beberapa saat oleh masyarakat dan kemudian masyarakat melaporkan kejadian
tersebut kepolisi, sesampainya ditempat kejadian perkara penyidik hanya menemukan
korban yang telah menjadi mayat dengan tubuh penuh dengan luka tikaman dan
lembam-lembam dengan jejak-jejak kaki yang diduga merupakan jejak kaki dari pelaku.
Dengan ketiadaan saksi yang melihat kejadian tersebut tentulah menyulitkan
bagi pihak kepolisian untuk segera mencari dan menangkap pelakunya, sehingga untuk
memecahkan peristiwa tersebut, dibutuhkan suatu proses pengolahan tempat kejadian
perkara guna mencari dan menemukan bukti-bukti yang ada kaitannya dengan kejadian
tersebut dan merupakan langkah awal dari penyidikan, sehingga dengan adanya bukti
tersebut dapat mengarahkan penyidik untuk menyidik kejadian pembunuhan agar
menjadi terang sehingga dapat menemukan pelakunya beserta cara dan maksud dari
pelaku melakukan pembunuhan tersebut. Guna kepentingan penyidikan, yang mana dari
hasil bukti-bukti yang didapat lihat dilapangan, dapat diketahui apakah pembunuhan
tersebut merupakan pembunuhan biasa ataupun merupakan pembunuhan yang telah
direncanakan sehingga akan menentukan pasal apakah yang nantinya akan
dipergunakan oleh penuntut umum dalam menuntut terdakwa.


Sehingga dengan dilakukannya penanganan tempat kejadian perkara oleh
penyidik diharapkan dapat menentukan suatu peristiwa yang diduga suatu tindak pidana
menjadi terang yakni apakah memang benar peristiwa tersebut merupakan suatu tindak
pidana ataupun bukan merupakan suatu tindak pidana yang mana dapat dibuktikan dari
hasil penyidikan yang ditemukan pada waktu proses penanganan tempat kejadian
perkara.
Dimana sewaktu perkara tersebut telah dilimpahkan kepada pihak kejaksaan,
perkara tersebut telah memenuhi bukti yang cukup dan menjadikan bukti yang didapat
dari hasil pengolahan tempat kejadian perkara tersebut yang akan menguatkan
keyakinan hakim dipersidangan untuk menjatuhkan vonis bersalah kepada
terdakwa.sebagai mana yang terdapat didalam pasal 183 KUHAP yang berbunyi
sebagai berikut: hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Dan apabila dari hasil penyidikan tersebut tidak memperoleh cukup bukti untuk
menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk
membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan kedepan pengadilan. Atas dasar
kesimpulan ketidak cukupan bukti inilah penyidik berwenang untuk menghentikan
penyidikan. Ataupun apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik
berpendapat apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan
melanggar dan kejahatan, dalam hal ini berwenang untuk menghentikan penyidikan 4.
Sebagaimana berdasarkan pasal 109 ayat (2) KUHAP tentang alasan penghentian
penyidikan yakni: Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena Tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum,tersangka atau keluarganya.
Dengan melihat begitu pentingnya suatu alat bukti yang nantinya akan
menentukan apakah seseorang bersalah atau tidak dihadapan persidangan maka
penanganan tempat kejadian perkara sangat dibutuhkan pada suatu tindak pidana agar
tidak terjadi kekeliruan atau pun kesalahan dari mulai penyelidikan, penyidikan,
penuntutan sampai putusan.


B. Permasalahan
Dari uraian yang telah diuraikan diatas maka timbullah permasalahan yakni sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah peranan penyidik dalam melakukan penanganan tempat kejadian
perkara?
2. Bagaimanakah proses pencarian bukti yang dilakukan penyidik pada saat
penanganan tempat kejadian perkara?
3. Bagaimanakah kendala-kendala yang dihadapi oleh penyidik dalam melakukan
penanganan tempat kejadian perkara ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
C.1 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui peranan kepolisian dalam melakukan penanganan tempat
kejadian perkara terhadap suatu tindak pidana.
2. Untuk mengetahui peraturan-peraturan apa saja yang terkait dalam menangani
tempat kejadian perkara.
3. Untuk mengetahui proses dan kendala-kendala yang dihadapi polisi selaku
penyidik dalam mencari bukti didalam mengungkap suatu kejahatan.
C.2 Manfaat penulisan
1. Secara teoritis
Untuk memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi
perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta menambah kontribusi pemikiran tentang
peranan polisi sebagai penyidik dalam mencari bukti dalam penanganan tempat kejadian
perkara sehingga menjadi kajian ilmiah bagi para polri maupun praktisi hukum dalam
perkembangan hukum di Indonesia.
2. Secara praktis
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi aparat penegak hukum dalam menentukan
langkah-langkah dan kebijakan dalam mengungkap suatu peristiwa kejahatan
agar dapat menentukan pidana apa, serta berapa ancaman pidana yang akan
dijatuhkan bagi pelaku kejahatan.
b. Sebagai informasi bagi masyarakat terhadap jalannya proses pencarian bukti
dalam menangani suatu tempat kejadian perkara.


D. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Polisi
Kata polisi berasal dari suatu judul buku yang ditulis oleh Plato yakni seorang
filsuf yunani kuno. Buku itu berisi tentang teori dasar polis atau negara kota. Yang
mana pada jaman itu kelompok-kelompok manusia membentuk himpunan yang
merupakan satu kota ( mungkin semacam dusun kecil) kelompok itu membentuk
benteng-benteng yang merupakan pagar, pertahanan dari ancaman yang datang dari
luar. Dalam kondisi seperti itu, diperlukan kekuatan untuk menegakkan aturan yang
disepakati itu agar dipatuhi oleh setiap warga kelompok. Disamping itu juga diperlukan
kekuatan untuk mempertahankan diri dari ancaman pihak luar polis.kekuatan ini lah
yang kemudian disebut kepolisian dan eksistensinya melahirkan fungsi polisi. 5
Sedangkan kata polisi sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu politeia yang artinya
warga kota Athena, lalu pengertiannya berkembang menjadi warga negara dan
kemudian berkembang lagi menjadi kota-kota yang merupakan negara yang berdiri
sendiri yang disebut juga dengan polis, maka politeia atau polis yakni adalah semua
usaha dan kegiatan negara , termasuk juga kegiatan keagamaan 6 . Kemudian dari kata
politeia itu muncul kata-kata baru seperti politik yang dimaksudkan sebagai tata cara
mengatur pemerintahan; kata polisi yang mengatur penegakan peraturan; kata policy
Atau kebijakan dan sebagainya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata polisi 7 adalah:
a. badan pemerintahan yang bertugas memilihara keamanan dan ketertiban umum(
menangkap orang yang melanggar hukum dan sebagainya)
b. anggota badan pemerintahan (pegawai negara) yang bertugas menjaga
keamanan.
Dalam arti modern, polisi adalah suatu pranata umum sipil yang mengatur tata
tertib dan hukum. Namun kadang kala pranata ini bersifat militeristik, seperti di
Indonesia sebelum polisi lepas dari ABRI sejak tanggal 1 Januari 2001. 8
Pada pasal 5 ayat (1) UU No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian mengatur bahwa
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam
memilihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpiliharanya keamanan dalam negara.


a. Pengertian Penyidik
Istilah penyidik terkadang digabungkan dengan kata-kata lain seperti penyidik
umum, penyidik pegawai negeri sipil tertentu, penyidik khusus dan penyidik pembantu.
Sehingga kedudukan dan kepangkatan penyidik perlu diselaraskan dan diseimbangkan.
Istilah penyidik umum adalah pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
syarat kepangkatan yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah, istilah penyidik
pegawai negeri sipil tertentu adalah pegawai negeri sipil sesuai dengan persyaratan
tertentu yang telah dididik dengan kualifikasi penyidik yang diberi wewenang
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang tugas dan fungsinya yang diberikan oleh
undang-undang. Istilah penyidik pembantu adalah pejabat pejabat kepolisian Negara
Republik Indonesia berpangkat tertentu dibawah pangkat penyidik umum dan pejabat
pegawai negeri sipil di lingkungan polri karena keahlian di bidang tertentu yang
diangkat oleh Kapolri.
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) dan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan Penyidik
adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang.
Pada penulisan makalah ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah penyidik
pejabat polisi negara Republik Indonesia yang mana selain penyidik dalam melakukan
penyidikan juga ada penyidik pembantu sebagaimana terdapat pada pasal 1 ayat (3)
KUHAP, penyidik pembantu adalah pejabat polisi negara yang karena diberi wewenang
tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini dan
pasal 10 KUHAP Yakni : penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara
Republik Indonesia yang diangkat oleh kepala kepolisian negara Republik Indonesia
berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.
Sedangkan berdasarkan pasal 1 ayat (10) UU No.2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik adalah pejabat kepolisian negara
Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan. Serta penyidik pembantu menurut pasal 1 ayat (12) UU No.2 Tahun 2002
adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat kepala kepolisian


negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang
tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.
Adapun syarat kepangkatan dan yang diberi wewenang tertentu dalam
melakukan tugas penyidikan diatur didalam Peraturan Pemerintah nomor 58 Tahun
2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan KUHAP yakni:

Pasal 2A
(1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, calon harus
memenuhi persyaratan:
a. berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan
b. berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;
c. bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
d. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi
e. fungsi reserse kriminal;
f. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat
g. keterangan dokter; dan
h. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditunjuk oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 2B
Dalam hal pada suatu satuan kerja tidak ada Inspektur Dua Polisi yang
berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia atau pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
ditunjuk dapat menunjuk Inspektur Dua Polisi lain sebagai penyidik.

Pasal 2C


Dalam hal pada suatu sektor kepolisian tidak ada penyidik yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1), Kepala Sektor Kepolisian
yang berpangkat Bintara di bawah Inspektur Dua Polisi karena jabatannya adalah
penyidik.

Pasal 3
Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;
b. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi
a. fungsi reserse kriminal;
b. bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua)
c. tahun;
d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat
e. keterangan dokter; dan
f. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
(2) Penyidik pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan
kesatuan masing-masing.
(3) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditunjuk oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dari pengertian berdasarkan KUHAP dan Undang-Undang No.2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah jelas apa maksud dengan
penyidik dan dapat disimpulkan pula bahwa dalam melakukan penyidikan, penyidik
dapat dibantu oleh penyidik pembantu, yang dibedakan berdasarkan kepangkatannya
sebagai mana yang telah diatur didalam Peraturan Pemerintah nomor 58 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan KUHAP adapun tugas dan kewenangannya tetap sama kecuali tentang
penahanan sebagai mana disebutkan pada pasal 11 KUHAP yakni penyidik pembantu
mempunyai wewenang seperti tersebut dalam pasal 7 ayat (1) kecuali mengenai
penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.


c. Pengertian Bukti
Kata bukti berarti adalah suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk
memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). 10 Secara terminologi dalam
hukum pidana bukti adalah hal yang menunjukkan kebenaran, yang diajukan oleh
penuntut umum, atau terdakwa, untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan
11. Kata bukti sering digabungkan dengan istilah/kata lain seperti : alat bukti dan
barang bukti.
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan,
dimana dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian
guna menimbulkan keyakinan hakim atas adanya suatu tindak pidana yang telah
dilakukan oleh terdakwa. 12 Sedangkan barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan
penyidik dalam
Kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan,
penyitaan, dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih
dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud
untuk
Sehingga keduanya dipergunakan pada waktu pembuktian di persidangan,
pembuktian adalah suatu proses, cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan
benar atau salahnya siterdakwa dalam sidang pengadilan.17 Walaupun demikian halnya
namun alat bukti lah yang merupakan bukti yang sah yang digunakan didalam
persidangan sebagaimana yang telah diatur pada pasal 184 ayat (1) KUHAP yakni:
a. Keterangan saksi.
b. Keterangan ahli.
c. Surat.
d. Petunjuk.
e. Keterangan terdakwa.

d. Keterangan saksi
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuan itu. Didalam
penggolongannya keterangan saksi ini dikelompokkan dalam dua kelompok, yatu


kelompok relatif dapat didengar kesaksiannya. yang secara absolut tidak boleh menjadi
saksi dan kelompok, yaitu:
Yang tidak dapat menjadi saksi secara absolut diantaranya anak yang
belum berumur 15 tahun dan belum pernah kawin, orang yang sakit jiwa
atau kurang ingatan meskipun kadang-kadang ingatannya baik.
Yang tidak dapat menjadi saksi secara relatif diatur dalam pasal 168
KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak
dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai
saksi:
a) keluarga sedarah dalam garis lurus keatas atau kebawah sampi derajat ketiga
dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
b) saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, ibu atau bapak
dan juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak
saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
c) suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercarai (pasal 169 KUHAP).
Disampin tidak cakap secara absolut maupun relatif juga terdapat pihak-
pihak yang karena jabatan, pekerjaan, harkat dapat meminta dibebaskan
sebagai saksi terhadap hal-hal yang dipercayakan kepada mereka dan
hakim lah yang memutus sah atau tidaknya alasan tersebut (pasal 170
ayat (1) dan (2) KUHAP. 14
Dalam memberikan kesaksian,pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak.
Dan bagaiman cara mengucapkan sumpah yang diucapkan dari seorang saksi dapat
dilihat dalam ketentuan pasal 160 ayat (3) KUHAP yakni sebelum memberikan
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya
masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya. 15

e. Keterangan ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini (pasal 1 ke 28 KUHAP), tidak semua keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti,


melainkan yang dapat memenuhi syarat-syarat kesaksian adalah yang diberikan dimuka
persidangan (pasal 186 KUHAP).

f. Surat
Pasal 187 KUHAP menyebutkan surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat
(1) huruf c dibuat atas sumpah jabatan atau dikutipkan dengan sumpah, adalah :
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana
yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal yang diminta secara resmi dari
padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dari isi alat
pembuktian yang lain.

g. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya,
baik anatara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana siapa pelakunya (pasal 188 ayat (2)
KUHAP ) petunjuk sebagaimana tersebut dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh : a.
Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Penulisan atas kekuatan
pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim
dengan arif lagi bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
dan kesaksian berdasarkan hati nurani (pasal 188 ayat (3) KUHAP)

h. Keterangan terdakwa


Pasal 189 KUHAP menegaskan :
1. keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
2. keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti disidang asalkan keterangan itu didukung oleh
suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3. keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4. keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain. 16
Adapun barang bukti dapat juga diajukan kedalam persidangan namun hanya
berfungsi sebagai menguatkan keyakinan hakim terhadap benarnya telah terjadi suatu
tindak pidana dan dalam memutuskan perkara yang sedang ditanganinya. Barang bukti
bisa berupa alat atau pun senjata yang dipergunakan pelaku kejahatan, jejak yang
ditinggalkan pelaku dan sebagainya.

i. Pengertian Penanganan Tempat Kejadian Perkara
Pengertian tempat kejadian perkara didalam petunjuk lapangan No. Pol:
Skep/1205/IX/2000 tentang Penanganan Tempat Kejadian Perkara terbagi menjadi 2
(dua) yakni:
a. tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/ terjadi atau akibat yang
ditimbulkannya.
b. Tempat-tempat lain yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut
dimana barang-barang bukti,tersangka atau korban dapat ditemukan. 17
Adapun pengertian dari penanganan tempat kejadian perkara adalah tindakan
penyelidik atau penyidik atau penyidik pembantu berupa tindakan kepolisian yang
dilakukan di TKP terdiri dari:
1. tindakan pertama di tempat kejadian perkara, yaitu tindakan penyidik/penyidik
pembantu TKP untuk:
a. mengamankan tempat kejadian perkara serta dapat melarang setiap orang
meninggalkan tempat selama pemeriksaan di tempat kejadian perkara
selesai;


b. mempertahankan status quo dan berusaha untuk tetap mempertahankan
situasi/keadaan tempat kejadian perkara sebagaimana pada saat pertama
TKP ditemukan dan ditangani;
c. melakukan pertolongan/perlindungan terhadap korban atau anggota
masyarakat yang memerlukan pertolongan
d. pengolahan tempat kejadian perkara adalah tindakan penyidik/penyidik
pembantu untuk memasuki tempat kejadian perkara dalam rangka
melakukan pemeriksaan TKP mencari informasi tentang terjadinya tindak
pidana mengumpulkan/mengambil/membawa barang-barang bukti yang
diduga ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi untuk diambil
alih penguasaannya atau menyimpan barang bukti tersebut guna
kepentingan pembuktian.

E.Metode Penelitian
Menurut kamus websters New International, research (penelitian) adalah
penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip; suatu
penyelidikan yang amat cermat untuk menetapkan sesuatu. 19


BAB II
PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN
PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA

A. Peraturan Perundang-undangan Yang Dapat Dijadikan Penyidik Sebagai
Dasar Hukum Untuk Melakukan Penanganan Tempat Kejadian Perkara
Setiap dalam melakukan tugasnya polisi (dalam hal ini adalah penyidik) harus
selalu bertindak berdasarkan peratuan perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak
boleh melakukkan sesuatu hanya dengan sewenang-wenang saja dan tidak boleh
melanggar hak asasi manusia, sebagaimana yang tercantum didalam pasal 1 ayat (1)
KUHP menyatakan tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan
ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada
perbuatannya itu sendiri.20


Oleh karena itu dalam melakukan penanganan tempat kejadian perkara guna
mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang ada ditempat kejadian perkara penyidik
juga harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti pasal 7 dan
111 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP yakni Pasal 7 ayat (1) KUHAP
menyatakan bahwa : (1)Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a
karena kewajibanya mempunyai wewenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret orang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pasal 111 KUHAP menyatakan bahwa:
1. dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang
mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan
umum wajib menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang
bukti kepada penyelidik atau penyidik.
2. setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
penyelidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka
penyidikan.
3. penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang
ketempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu
selama pemeriksaan diatas belum selesai.


4. pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai
pemeriksaan dimaksud diatas selesai.
Didalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14 kepolisian Negara Republik Indonesia
secara umum berwenang:
a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum;
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa;
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup keweangan
administratif kepolisian;
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian;
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. Mencari keterangan dan barang bukti;
Serta pada pasal 16 ayat (1) UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia menyatakan dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13 dan 14 yaitu:
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;


h. Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum ;
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenangdi tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah atau menyangkal orang yang disangka melakukan
tindak pidana;
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil
serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan
kepada penuntut umum; dan Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
Serta guna melindungi penyidik dari jeratan pidana dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku maka pada pasal 50
KUHP menyatakan barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
perundang-undangan, tidak dipidana dan pasal 51 ayat (1) KUHP barang siapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang wenang, tidak dipidana serta pada pasal 51 ayat 2 KUHP menyatakan
perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika
yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang
dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. Untuk dapat melepas
orang yang diperintah dari tangung jawab atas perbuatannya menurut ayat tersebut ada 2
syarat.
Pertama: yang subjektif, yaitu dalam batin orang yang diperintah harus mengira
bahwa perintahnya adalah sah, baik dilihat dari segi pejabat yang mengeluarkan
perintah, maupun dari segi macamnya perintah. Tentu saja kesimpulan kearah ini harus
berdasar atas fakta-fakta yang masuk akal sebab, meskipun terdakwa mengatakan dia
mengira bahwa perintah adalah sah, tetapi kalau hal itu dengan wajar tidak dapat
disimpulkan dari fakta-fakta yang ada maka di situ unsur dengan itikad baik tidak ada.
Kedua: kalau dari fakta-fakta yang ada, adalah masuk akal jika terdakwa mengira
bahwa perintah adalah sah, atau berwenang maka apa yang diperintahkan itu secara
objektif, yaitu dalam kenyataannya, harus masuk dalam lingkungan pekerjaannya.21
Untuk melaksanakan perintah yang diamanatkan didalam peraturan perundang-
undangan tersebut diatas serta berdasarkan pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No.2 Tahun


2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni kapolri menetapkan,
menyelenggarakan dan mengendalikan kebijakan teknis kepolisian sehingga kapolri
sebagai pimpinan tertinggi didalam institusi polri dalam melakukan tugas dan
wewenangnya dapat mengeluarkan surat keputusan kapolri. Dari surat keputusan
kapolri tersebutlah aparat polisi yang ada dibawah jajarannya melakukan tugas dan
kewajibannya berdasarkan instruksi yang ada. Adapun tentang proses penyidikan tindak
pidana masih menggunakan surat keputusan kapolri No.Pol :Skep/1205/IX/2000 tanggal
11 september 2000 tentang Bujuklap, Bujuknis dan Bujukadministrasi tentang Proses
Penyidikan Tindak Pidana yang menggantikan surat keputusan kapolri No.Pol: Juklak
dan Juknis/04/II/1982 tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana sebagai buku petunjuk
dan teknis penyidik dalam melakukan penyidikan dan salah satu bagiannya mengatur
tentang proses penganganan tempat kejadian perkara.


B. Penanganan Tempat Kejadian Perkara Sebagai Bagian Dari Tahap Penyidikan
Didalam pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa Penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Tempat kejadian perkara disingkat TKP merupakan bagian pokok dari pangkal
pengungkapan perkara pidana karena ditempat kejadian perkara dapat ditemukan
interaksi antara pelaku kejahatan (tersangka) alat bukti yang digunakan dan
saksi/korban kejahatan, pada saat terjadinya peristiwa pidana22, sehingga diperlukan
suatu proses pemeriksaan tempat kejadian perkara yang merupakan bagian dari tahap
penyidikan. Pasal 7 ayat (1) huruf b KUHAP mengatakan bahwa penyidik berwenang
melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian perkara. Dimana menurut
P.A.F Lamintang yang dimaksud dengan melakukan tindakan pertama ditempat
kejadian adalah melakukan segala macam tindakan yang oleh penyidik dipandang perlu
untuk:
a. menyelamatkan nyawa korban atau harta kekayaan orang;
b. menangkap pelakunya apabila pelaku tersebut masih berada dalam jangkauan
penyidik untuk segera ditangkap;
c. menutup tempat kejadian bagi siapapun yang kehadirannya di situ tidak diperlukan
untuk menyelamatkan korban, untuk menyelamatkan harta kekayaan orang atau untuk
kepentingan


Penyelidikan dan penyidikan dengan maksud agar tempat kejadian itu tetap berada
dalam keadaan yang asli untuk memudahkan penyelidikan dan penyidikan.
d. Menemukan, menyelamatkan, mengumpulkan dan mengambil barang-barang bukti
serta bekas-bekas yang dapat membantu penyidik untuk mendapatkan petunjuk tentang
identitas pelaku, tentang cara dan alat yang telah digunakan oleh pelakunya dan untuk
melemahkan alibi yang mungkin saja akan dikemukakan oleh tersangka apabila ia
kemudian berhasil ditangkap;


e. Menemukan saksi-saksi yang diharapkan dapat membantu penyidik untuk
memecahkan persoalan yang sedang ia hadapi, dan memisahkan saksi-saksi tersebut
agar mereka itu tidak dapat berbicara satu dengan yang lain, dll.23
Serta menurut P.A.F Lamintang yang dimaksud dengan tempat kejadian itu ialah
tempat dimana telah dilakukan sesuatu tundak pidana, lebih lanjut beliau menyatakan
pula dalam melakukan tindakan pertama ditempat kejadian penyidik perlu menyadari
akan pentingnya beberapa hal berikut:

D. Bahwa bukti-bukti dan berkas-berkas ditempat kejadian perkara sangat mudah
hilang dan rusak, karena terinjak kedalam tanah, tertendang oleh kaki ke tempat-
tempat yang tidak disangka-sangka, tersentuh oleh tangan atau benda-benda lain;


b. Bahwa sudah dapat dipastikan para pelakuk sesuatu tindak pidana itu akan
meninggalkan bukti-bukti dan bekas-bekas ditempat kejadian perkara, karena itu
mereka tidak mungkin dapat menghilangkan semua bekas yang telah mereka buat
ditempat kejadian perkara karena ingin lekas meninggalkan tempat tersebut, kecuali
apabila tindak pidana yang mereka lakukan itu telah direncanakan secara sempurna
sekali;
c. Bahwa tidak ada satupun barang bukti atau bekas yang terdapat ditempat kejadian itu
yang tidak berguna untuk mengungkapkan peristiwa yang telah terjadi dan untuk
menyelidiki siapa pelakunya;
d. Bahwa berhasil tidaknya seorang penyidik mengungkap peristiwa yang telah terjadi
atau dapat mengetahui siapa pelaku tindak pidana yang telah terjadi itu tergantung pada
berhasil tidaknya penyidik tersebut menemukan, mengumpulkan dan mengamankan
barang-barang bukti atau bekas yang telah ditinggalkan oleh pelakunya ditempat
kejadian perkara;
e. Bahwa harus dijaga agar tidak satupun benda yang terdapat ditempat kejadian perkara
itu disentuh, dipindahkan atau diangkat dari tempatnya yang semula oleh siapapun
sebelum benda-benda tersebut dipotret, digambar dalam satu sketsa mengenai tempat
dimana-mana benda tersebut dijumpai, dicatat mengenai tempat ditemukannya benda-


benda tersebut, letaknya, keadaannya dan lain-lain untuk memudahkan pembuatan
berita acara mengenai penemuan-penemuan itu sendiri;
f. Bahwa pada semua benda yang ditemukan ditempat kejadian itu harus diberikan
tanda-tanda tertentu dan pemberian tanda-tanda itu harus dicatat oleh penyidik, dan
diusahakan agar pemberian tanda-tanda itu jangan sampai merusak tanda-tanda atau
bekas-bekas yang telah ada pada benda-benda tersebut.24
Andi Hamzah mengingatkan tentang tempat kejadian perkara sebagai berikut
penyidik waktu melakukan pemeriksaan pertama kali di tempat kejadian perkara
sedapat mungkin tidak mengubah, merusak keadaan di tempat kejadian agar bukti-bukti
tidak hilang atau menjadi kabur. Hal ini dimaksudkan agar sidik jari begitu pula bukti-
bukti yang lain seperti jejak kaki, bercak darah, air mani, rambut dan sebagainya tidak
hapus atau hilang.
Sebagai contoh perubahan di tempat kejadian perkara merugikan usaha
penyidik, Andi Hamzah mengemukakan kejadian sebagai berikut: suatu kejadian yang
menggemparkan terjadi di Jakarta yakni pembunuhan nyoya Sari Dewi Hadiati di siang
hari di hotel Sahid Jaya pada tanggal 4 April 1983, pemeriksaan di tempat kejadian
perkara kurang membawa titik terang terungkapnya pembunuhan itu karena petugas
keamanan hotel tersebut telah memindahkan barang-barang bukti sehingga sidik jari
pelaku terhapus. Mengingat pentingnya penanganan tempat kejadian perkara tindakan
tersebut dalam penyidikan.
Dalam praktek biasanya penanganan tempat kejadian perkara melibatkan team
dari unsur-unsur sabhara, reserse, dokumentasi/fotografidan dactiloscopy. Bahkan
terkadang melibatkan pula unsur diluar dari kepolisian seperti dokter dan para
medis.25Adapun tujuan dari penanganan tempat kejadian perkara sebagai bagian dari
tahap penyidikan adalah:


1. menjaga agar tempat kejadian perkara tetap utuh/tidak berubah sebagaimana pada
saat dilihat dan diketemukan petugas yang melakukan tindakan pertama di tempat
kejadian perkara.
2. untuk memberikan pertolongan/perlindungan kepada korban/anggota masyarakat
yang memerlukan, sambil menunggu tindakan pengolahan tempat kejadian perkara.


3. untuk melindungi agar barang bukti dan jejak yang ada tidak hilang, rusak atau
terjadi penambahan/pengurangan dan berubah letaknya, yang berakibat
menyulitkan/mengaburkan pengolahan tempat kejadian perkara dalam melakukan
penyelidikan secara ilmiah.
4. untuk memperoleh keterangan dan fakta sebagai bahan penyidikan lebih lanjut dalam
mencari, menemukan dan menentukan pelaku, korban, saksi-saksi, barang bukti, modus
operandi dan alat yang dipergunakan dalam upaya pengungkapan tindak pidana.

E. Peranan Penyidik Dalam Melakukan Penanganan Tempat Kejadian
Perkara
Fungsi utama dari polisi adalah menegakkan hukum dan melayani kepentingan
masyarakat umum, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah
melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada
masyarakat,selain itu juga, secara formal tugas polisi memainkan peranan penting dalam
mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu dengan memproses tersangka pelaku
kejahatan dan mengajukan ke proses penuntutan di pengadilan.31 Secara umum peranan
polisi sebagaimana yang terdapat dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002
tentang kepolisian negara Republik Indonesia adalah: 1. Memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat; 2. Menegakkan Hukum; 3. Memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan masyarakat.
Sehubungan dalam hal menegakkan hukum sebagai salah satu pelaksanan dari
tugas pokok tersebut yaitu ketika menjalankan tugasnya sebagai penyidik selain tugas
lain yang berkaitan dengan memberikan pelayanan masyarakat sesuai dengan
kepentingan dalam ruang lingkup tugas kepolisian.
Sebagai penyidik, Polisi berperan untuk melakukan penyidikan yakni
sebagaimana yang terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUHAP bahwa Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-
Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sehingga
kaitannya dalam melakukan penangan tempat kejadian perkara adalah penyidik
berperan untuk melakukan penyidikan yang dalam penyidikan tersebut berguna untuk
mencari bukti dan membuat terang terhadap suatu tindak pidana.


Dan untuk dapat menemukan dan mencari peristiwa yang diduga tindak pidana
dan untuk dilakukan tindakan penyidikan. Setelah dilakukan tindakan penyelidikan dan
memang benar tindakan tersebut adalah suatu tindak pidana maka statusnya
ditingkatkan menjadi penyidikan. Dari tindakan tersebut maka dapat di ketahui korban,
pelaku dan barang bukti dari tindak pidana yang terjadi.
Dimulainya suatu penyidikan yang dilakukan oleh penyidik yakni karena
terjadinya suatu tindak pidana, dan diketahuinya suatu tindak pidana salah satunya
berdasarkan laporan atau pengaduan dari seseorang ataupun kejadian tersebut diketahui
sendiri oleh penyidik Sebelum dibahas lebih dalam, ada baiknya dijelaskan terlebih
dahulu perbedaan laporan dengan pengaduan. Istilah laporan menurut pasal 1 butir 24
KUHAP adalah suatu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak dan
kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah
atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Menurut KUHAP laporan
harus disampaikan kepada polisi, selaku penyidik yang mempunyai dua bentuk yakni:
a. Lisan, yaitu laporan yang disampaikan secara lisan dicatat oleh penyidik, setelah
laporan itu selesai dicacat, penyidik lalu membacakannya atau menyuruh baca pelapor
dan setelah disetujui oleh pelapor lalu ditanda tangani oleh pelapor dan penyidik. Untuk
itu penyidik wajib memberikan surat tanda penerimaan laporan kepada pelapor(pasal
108 ayat (6) KUHAP).
b. Tertulis, yaitu laporan yang disampaikan secara tertulis kepada penyidik dan untuk
itu penyidik mengagendakannya dan selanjutnya kepada pelapor diberikan oleh
penyidik surat tanda penerimaan laporan tersebut.












BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu laporan adalah suatu
pemberitahuan secara resmi kepada penyidik baik secara lisan maupun tertulis tentang
telah, sedang atau akan terjadinya suatu tindak pidana.
Sedangkan istilah pengaduan adalah pemberitahuan baik lisan maupun tertulis
disertai perminaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang
untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan peristiwa pidana33 .
Dalam hal dimulainya suatu penyidikan berdasarkan dari laporan atau pengaduan dari
seseorang, setelah menerima laporan atau pengaduan tentang telah terjadinya suatu
tindak pidana, peranan polisi sebagai penyidik selanjutnya guna menegakkan hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan adalah seketika itu juga untuk mendatangi
tempat kejadian perkara melakukan pengamanan dan pemeriksaan ditempat terjadinya
tindak pidana serta menutup semua jalan-jalan keluar masuk orang dan kendaraan serta
diikuti dengan tindakan melakukan pemeriksaan dan penggeledahan, bila ditemukan
bukti dapat segera dilakukan penangkapan. Sehingga agar semua tindakan yang
dilakukan tersebut diatas berdasarkan hukum dan tidak begitu saja menerima laporan
atau pengaduan dan setelah mendatangi tempat kejadian tindak pidana dengan
melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:
a. melakukan pengamanan tempat kejadian perkara tindak pidana dengan memasang
police line (garis polisi) yang berfungsi melarang siapapun yang kedalam police line
kecuali penyidik.
b. Tim penyidik mencari dan menemukan barang bukti yang berada ditempat kejadian
perkara serta mengumpulkan barang bukti sesuai dengan petunjuk teknis pengumpulan
bukti yang berada didalam tempat kejadian perkara.
c. Melakukan pemotretan pada tempat kejadian perkara terhadap barang bukti yang
masih belumdipindahkan, korbanbila sudah mati sesuai dengan ketentuan teknis
pemotretan di tempat kejadian perkara.
d. Meminta keterangan kepada orang-orang yang melihat mendengar dan mengalami
sendiri terjadinya peristiwa tindak pidana.
e. Melakukan penangkapan tersangka bila terdapat di tempat kejadian perkara.


Peranan penyidik dalam melakukan penyidikan dalam penanganan setelah
melakukan hal-hal tersebut diatas dan untuk mengakhiri proses penanganan tempat
kejadian perkara adalah membuat berita acara yang berkaitan dengan apa saja yang
dilakukan oleh penyidik dalam mencari bukti di tempat kejadian perkara dan
meneruskan hasil tersebut guna proses penyidikan selanjutnya.

















DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986

Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 1999,



HMA Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang: UMM Pres, 2008.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),

Kunarto, Etika Kepolisian, Jakarta: Cipta Manunggal 1996.

Warsito Hadi Utomo , Hukum Kepolisian di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005.

H.R. Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam mewujudkan Rasa
Keadilan Masyarakat, Jakarta: Restu Agung , 2006.

Surat Keputusan Kapolri No Pol: Skep/1205/IX/2000 Jakarta: Tentang Proses
Penyidikan Tindak Pidana 2000.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2008 .

Harun M Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Jakarta: Rineka
Cipta, 1991.

Anda mungkin juga menyukai