Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Obat golongan ini menghambat golongan reseptor muskarinik sehingga efeknya berlawanan
dengan obat kolinergik baik yang bekerja langsung atau tidak langsung.

I. Obat Antimuskarinik
Obat golongan ini bekerja menyekat reseptor muskarinik yang menyebabkan hambatan
semua fungsi muskarinik. Selain itu, obat ini menyekat sedikit perkecualian neuron simpatis
yang juga kolinergik, seperti saraf simpatis yang menuju ke kelenjar keringat. Obat ini sangat
menguntungkan dalam sejumlah besar situasi klinis. Karena obat ini tidak menyekat reseptor
nikotinik, maka obat antimuskarinik ini sedikit atau tidak mempengaruhi sambungan
saraf otot rangka atau ganglion otonom.

A. Atropin
Atropin memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini terikat
secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor
muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik baik disentral maupun disaraf tepi.
Kerja obat ini secara umum berlangsung secara4 jam kecuali bila diteteskan ke dalam
mata, maka kerjanya bahkan sampai berhari - hari.

1. Kerja

a) Mata : Atropin menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata, sehingga
menimbulkan midriasis (dilatasi pupil), mata menjadi tidak bereaksi terhadap cahaya
dan siklopegia (ketidakmampuan memfokus untuk penglihatan dekat). Pada pasien dengan
glaukoma, tekanan intraokular akan meninggi.
b) Gastrointestinal (GI) : atropin digunakan sebagai obat antispasmodik untuk mengurangi
aktifitas saluran cerna. Atropin dan skopolamin mungkin merupakan obat terkuat sebagai
penghambat saluran cerna. Walaupun motilitas (gerakan usus) dikurangi, tetapi
produksi asam hidroklorat tidak jelas dipengaruhi. Oleh karena itu, obat ini tidak
efektif untuk mempercepat penyembuhan ulkus peptikum
c) Sistem kemih : atropin digunakan pula untuk mengurangi keadaan hipermotilitas
kandung kemih. Obat ini kadang kadang masih dipakai untuk kasus enuresis (buang
air senitanpa disadari / ngompol) di antara anak - anak, tetapi obat antikolinergik alfa
mungkin jauh lebih efektif dengan efek samping yang sedikit.
d) Kardiovaskuler : atropin menimbulkan efek divergen pada sistem kardiovaskuler,
tergantung pada dosisnya. Pada dosis rendah, efek yang menonjol adalah penurunan
denyut jantung (bradikardia). Pangkalnya mungkin disebabkan oleh aktivasi sentral
dari keluaran eferen vagal, tidak banyak data menunjukkan bahwa efek akibat dari
penyekatan reseptor M1 pada neuron hambatan sebelum sambungan, yang berarti
memungkinkan peningkatan pelepasan asetilkolin. Pada dosis tinggi, reseptor jantung
pada nodus SA disekat, dan denyut jantung sedikit bertambah (takikardia). Dosis
sampai timbul efek ini sedikitnya 1mg atropin, yang berarti sudah termasuk dosis
tinggi dari pemberian biasanya. Tekanan darah arterial tidak dipengaruhi tetapi pada
tingkat toksik, atropin akan mendilatasi pembuluh darah dikulit.
e) Sekresi : atropin menyekat kelenjar saliva sehingga timbulefek pengeringan pada
lapisan mukosa mulut (serostomia).Kelenjar saliva sangat peka terhadap atropin.
Kelenjar keringat dan kelenjar air mata juga terganggu. Hambatan sekresi pada
kelenjar keringat menyebabkan suhu tubuh meninggi.


2. Penggunaan terapi

a) Oftalmik : pada mata, salep mata atropin menyebabkan efek midriatik dan sikloplegik
dan memungkinkan untuk pengukuran kelainan refraksi tanpa gangguan oleh
kapasitasakomodatif mata. Atau obat adrenergik alfa yang sejenis, lebih baik untuk
mendilatasi pupil bila efek siklopegik tidak diperlukan. Demikian pula pada individu
berusia 40 tahun ataulebih tua dengan kemampuan untuk mengakomodasi sudah menurun,
maka obat-obatan tidak begitu penting untuk refraksi yang akurat. Atropin mungkin
menimbulkan suatu serangan pada individu yang menderita glaukoma sudutsempit.
b) Obat antispasmodik : atropin digunakan sebagai obat antispasmodik untuk
melemaskan saluran cerna dan kandungkemih.
c) Antidotum untuk kolinergik : atropin difunakan untuk mengobati kelebihan dosis
organofosfat (yang mengandung insektisida tertentu) dan beberapa keracunan jenis
jamur (jamur tertentu yang mengandung substansi kolinergik).Kemampuan obat ini
termasuk dalam SSP sangat penting sekali. Atropin menyekat efek asetilkolin yang
berlebihan akibat dari hambatan terhadap asetilesterase oleh obat-obatan seperti
fisostigmin.
d) Obat antisekretori : atropin digunakan sebagai obat antispasmodik untuk melemaskan
saluran cerna dan kandung kemih.

3. Farmakokinetik

Atropin mudah diserap, sebagian dimetabolismedidalam hepar, dan dibuang dari tubuh
terutama melalui air seni. Masa paruhnya sekitar 4 jam.

4. Efek samping

Tergantung sekali pada dosis, atropin dapat menyebabkan mulut kering, penglihatan
mengabur, mata rasa berpasir (sandy eyes) , takikardia, dan konstipasi. Efeknya terhadap
SSP termasuk rasa capek, bingung, halusinasi, delirium, yang mungkin berlanjut menjadi depresi,
kolaps sirkulasi dan sistem pernafasan dan kematian.

Pada individu yang lebih tua, pemakaian atropin dapat menimbulkan midriasis dan
sikloplegik dan keadaan ini cukup gawat karena dapat menyebabkan serangan glaukoma
berulang setelah menjalani kondisi tenang.

B. Skopolamin
Skopolamin, dapat menimbulkan efek tepi yang sama dengan efek atropin. Tetapi efek
skopolamin lebih nyata pada SSP dan masa kerjanya lebih lama dibandingkan atropin.

1. Efek

Skopolamin merupakan salah satu obat antimabuk perjalanan yang paling efektif. Obat
ini menimbulkan pula efek penumpulan daya ingat jangka pendek. Bertolak belakang
dengan atropin, obat ini menyebabkan sedasi, rasa mengantuk, tetapi pada dosis yang
lebih tinggi bahkan menimbulkan kegelisahan/kegaduhan.

2. Penggunaan terapi

Walaupun mirip dengan atropin, indikasi obat ini terbatas pada pencegahan mabuk
perjalanan (obat ini memang sangat efektif ) dan penumpulan daya ingat jangka pendek.

3. Farmakokinetik dan efek samping : aspek ini sama persis dengan atropin.

C. Ipratropium
Ipratropium bermanfaat untuk pengobatan asma dan penyakit paru obstruktif menahun
(PPOM) pada pasien yang tidak cocok menelan adrenergik. Ipratropium dipakai juga
untuk penatalaksanaan PPOM.

II. Penyekat Ganglionik

III. Penyekat Neuromuskular

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem saraf parasimpatis adalah bagian saraf otonom yang berpusat dibatang otak
dan bagian kelangkang sum-sum belakang yang mempunyai dua reseptor terhadap
reseptor muskarinik dan reseptor nikotik.
Susunan saraf parasimpatis disebut sebagai syaraf kolinergik karena bila
dirangsang ujung sarafnya akan melepaskan asetilkolin (Ach). Dan Efek asetilkolin ini
adalah : Jantung: Denyut diperlambat, Arteri koronari: Kontriksi, Tekanan darah: Turun,
Pupil mata: Kontriksi, S.P.M: Peristaltik bertambah.

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini di maksudkan untuk:
a. Sistem Saraf
b. Sistem Saraf Otonom
c. Obat yang bekerja pada saraf parasimpatis
d. Golongan Obat untuk Parasimpatis

C. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi kepustakaan
dan media internet sebagai acuan dan sumber.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Saraf
Sistem saraf adalah sistem organ yang terdiri atas sel neuron yang mengkoordinasikan
aktivitas otot, memonitor organ, membentuk atau menghentikan masukan dari indra,
mengaktifkan aksi, dan mempertahankan kelangsungan hidup melalui berbagai mekanisme
sehingga tubuh tetap mencapai keseimbangan. Sedangkan cabang dari ilmu kedokteran yang
menangani kelainan pada sistem saraf adalah neurologi.
Sistem saraf tak sadar (otonom)
a) Sistem saraf simpatik
b) Sistem saraf parasimpatik
Kedua saraf tersebut bersifat antagonis. Jika saraf simpatik menyebabkan kontraksi pada
suatu efektor, saraf parasimpatik menyebabkan relaksasi pada efektor tersebut. Mekanisme
kerja seperti itu bertujuan agar proses-proses di dalam tubuh berjalan dengan normal. Contoh
pengaruh saraf simpatik dan parasimpatik terhadap efektor
adalah saraf simpatik menyebabkan kecepatan dan volume kecepatan jantung bertambah,
sedangkan saraf parasimpatik menyebabkan kecepatan volume kecepatan jantung berkurang.

B. Sistem Saraf Otonom
Sistem otonom ini dibagi menjadi sistem simpatis dan parasimpatis secara anatomi,
fungsional, dan alasan farmakologis yang luas. Secara anatomis, sistem saraf simpatik
memiliki motor cell station di substansia gresia lateral torakalis dan dua segmen teratas
lumbal dari sumsum tulang belakang. Sistem parasimpatis berjalan sepanjang saraf kranial
III, VII, IX dan X, dan sakral outflow, dengan cell station di segmen kedua, ketiga kadang-
kadang segmen keempat sakral.
Menurut fungsinya, sistem saraf simpatis berhubungan erat dengan reaksi stress tubuh.
ketika saraf ini dirangsang, terjadi pupil dilatasi, konstriksi pembuluh darah perifer,
penigkatan pemakaian oksigen dan denyut jantung, dilatasi bronkus, menurunkan aktivitas
viseral dengan menghambat peristaltik dan peningkatan kekuatan sfingter, proses
glikogenolisis dihati, menstimulasi medula supradrenal dan berkeringat dan piloereksi. saraf
simpatik pelvis menghambat kontraksi vesika urinaria.
Aliran darah koroner meningkat, sebagian disebabkan oleh efek langsung simpatis dan
sebagian disebabkan oleh faktor tidak langsung yang termasuk kontraksi jantung yang kuat,
menurunnya sistole, diastole relatif meningkat dan peningkatan konsentrasi metabolit
vasodilator.
Sistem saraf simpatis berefek antagonis terhadap sistem simpatis. perangsangannya
menyebabkan konstirksi pupil, penurunan frekwensi, hantaran dan respon rangsangan otot
jantung, peningkatan peristaltik usus dengan relaksasi spingter . tambahan pada sistem
parasimpatis pelvis menghambat spingter internal vesika urinaria.
Sistem saraf simpatis mempunyai efek yang luas, menstimulasi banyak organ yang
menimbulkan respon yang bervariasi. berbanding terbalik dengan aktivitas parasimpatis yang
biasanya tidak menyeluruh dan terlokalisir. perbedaan ini dapat dijelaskan, setidaknya
sebagian, oleh perbedaan secara anatomi yang telah diterngkan sebelumnya.
Sistem saraf perifer dapat bekerja secara sinergis contohnya reflek penurunan detak
jantung sebagian disebabkan oleh rangsangan vagal dan sebagian karena penurunan
rangsangan simpatis. beberapa organ mendapat inervasi otonom hanya dari satu sistem
contohnya medulla supradrenal dan arteriol kutan hanya oleh saraf simpatis, sedangkan
sekresi lambung neorogenik seluruhnya dikontrol oleh sistem para simpatis melalui saraf
vagus.


C. Obat yang bekerja pada saraf parasimpatis
Sistem saraf parasimpatis adalah bagian saraf otonom yang berpusat dibatang otak
dan bagian kelangkang sum-sum belakang yang mempunyai dua reseptor terhadap reseptor
muskarinik dan reseptor nikotik.

Obat-obat yang yang termasuk kelompok obat
v Asetilkolin (Ach)
v Fisostigmin(Eseri,Anticholium)
v Neostigmin(Prostigmin)
v Piridostigmin (Mestinon)
v Distigminbromida (ubretid)

Farmakokinetik
Ester kolin kurang diserap dan didistribusi kedalam SSP dari saluran cerna (kurang
aktif per oral),namun kepkaan nya untuk di hidrolisa oleh kolinestrase sangat
berbeda.Asetilkolin sangat cepat dihidrolisa sehingga untuk mencapai efek yang memuaskan
obat ini harus diberikan melalui infus secara IV dalam dosis besar.efek asetilkolin yang
dibelikan dalam bentuk bolus besar IV diperoleh selama 5-20 detik,sedangkan suntikan IM
dan SC hanya memberikan efek lokal. Metakolin lebih tahan 3 kali terhadap hidrolisa dan
dapat memberikan efek sistemik walaupun diberikan secara SC.

Farmakodinamik
Aktifasi sistem saraf parasimpatis memodifikasi fungsi organ melalui 2 mekanisme
utama. Pertama, asetilkolin yang dilepas dari saraf para simpatis dapat mengaktifkan reseptor
muskarinik pada organ efektor unuk mengubah fungsinya secara langsung. Kedua, asetilkolin
yang dilepas dari saraf para simpatis dapat berinteraksi dengan reseptor muskarinik pada
ujung saraf untukmenghambat pelepasan neurotransmiternya. Melalui mekanisme ini,
asetilkolin yang dilepas dan kemungkinan, mensirkulasi agonis muskarinik secara tidak
langsung mengubah fungsi organ dengan memodulasi efek para simpatis dan sistem saraf
simpatis serta kemungkinan juga sistem nonkolinergik, dan adrenergik.

Efek samping
Dapat menimbulkan banyak keringat, ludah, nause, muntah dan diare, yang
merupakan tanda naiknya tonus parasimpatikus.

Interaksi obat
Pemakain obat tidak dapat diberikan secara per-oral karena obat tersebut
dihidrolisis oleh asam lambung, karena cara kerjanya terlalu singkat sehingga segera
dihancurkan oleh asetilkolinestrase atau outirilkolinestrase.

D. Golongan Obat untuk Parasimpatis
Obat parasimpatis itu sendiri dibagi dalam 2 kelompok besar yakni:
A. Kolinergik
B. Antikolinergik

Kolinergik/ Parasimpatikomimetika
----------
adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan
Parasimpatis(SP), karena melepaskan Asetilkolin( Ach ) di ujung-ujung neuron. dimana
tugas utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat
penggunaannya, singkatnya asimilasi.

Efek kolinergis yang terpenting adalah:
o stimulasi pencernaan, dengan cara memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar
ludah dan getah lambung(HCl), juga sekresi air mata.
o memperlambat sirkulasi, dengan cara mnegurangi kegiatan jantung, vasodilatasi
dan penurunan tekanan darah.
o memperlambat pernafasan, dengan cara mengecilkan bronchi sedangkan sekresi
dahak diperbesar.
o kontraksi otot mata, dengan cara miosis( penyempitan pupil) dan menurunnya
tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata.
o kontraksi kandung kemih dan ureter, dengan cara memperlancar pengeluaran urin
o dilatasi pembuluh dan kontraksi otot kerangka.
o menekan SSP (Sistem Saraf Pusat), setelah stimulasi pada permulaan.
Setelah mengetahui efek obat kolinergis, kita akan beralih ke reseptor-reseptor kolinergis
yang merupakan tempat substrat obat menempel supaya "obat" dapat menghasilkan efek
yang kita inginkan.
Reseptor kolinergis dibagi 2 yakni:
1. Reseptor Muskarin (M)
berada pada neuron post-ganglion dan dibagi 3 subtipe, yaitu Reseptor M1, M2, dan M3
dimana masing-masing reseptor ini memberikan efek berbeda ketika dirangsang.
Muskarin (M) merupakan derivat furan yang bersifat toksik dan terdapat pada jamur
Amanita muscaria sebagai alkaloid.
Reseptor akan memberikan efek-efek seperti diatas setelah mengalami aktivasi oleh
neurotransmitter asetilkolin(Ach).
2. Reseptor Nikotin (N)
berada pada pelat ujung-ujung myoneural dan pada ganglia otonom.
Stimulasi reseptor ini oleh kolinergik (neostigmin dan piridostigmin) yang akan
menimbulkan efek menyerupai adrenergik, berlawanan sama sekali. Misalnya
vasokonstriksi dengan naiknya tensi, penguatan kegiatan jantung, stimulasi SSP ringan.
Efek Nikotin dari ACh juga terjadi pada perokok, yang disebabkan oleh jumlah kecil
nikotin yang diserap ke dalam darah melalui mukosa mulut.
Penggolongan
Kolinergika dapat pula dibagi menurut cara kerjanya, dibagi menjadi zat-zat bekerja
langsung dan zat-zat bekerja tak langsung.
1. Bekerja langsung: karbachol, pilokarpin, muskarin dan arekolin. Zat-zat ini bekerja
langsung terhadap organ ujung dengan kerja utama seperti efek muskarin dari ACh.
2. Bekerja tak-langsung: zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin,
piridostigmin. Obat-obat ini menghambat penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya
untuk sementara. Setelah habis teruraikan oleh kolinesterase, ACh akan segera dirombak
kembali.
Ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara ireversibel, misalnya parathion dan
organofosfat lain. Kerjanya cukup panjang dengan cara membuat enzim baru lagi dan
membuat enzim baru lagi.

Penggunaan
Obat-Obat kolinergik digunakan pada penyakit glaukoma, myasthenia gravis, demensia
Alzheimer dan atonia.
Glaukoma
merupakan penyakit yang bercirikan peningkatan tekanan cairan mata intraokuler(TIO)
diatas 21 mmHg, yang menjepit saraf mata. Saraf ini berangsur-angsur dirusak secara
progresif sehingga penglihatan memburuk dan menyebabkan kebutaan.

Antikolinergik
-----------
Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan basa organik. Ikatan
ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan reseptor
asetilkolin. Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan mencegah
aktivasi reseptor.
Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic
guanosine monophosphate (cGMP) dicegah.Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya
terhadap blokade.
Faktanya : reseptor muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat
diidentifikasikan : reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar (M3) (Askep, 2009).
Dalam dosis klinis, hanya reseptor muskarinik yang dihambat oleh obat antikolinergik yang
akan dibahas pada bab ini. Kelebihan efek antikolinergik tergantung dari derajat dasar tonus
vagal.
Beberapa sistem organ dipengaruhi : A. Kardiovaskular Blokade reseptor muskarinik pada
SA node berakibat takikardi. Efek ini secara khusus mengatasi bradikardi karena reflek vagal
(reflek baroreseptor,stimulasi peritoneal atau reflek okulokardia). Perlambatan transien
denyut jantung karena antikolinergk dosis rendah telah dilaporkan. Mekanisme ini
merupakan respon paradoks karena efek agonis perifer yang lemah, diduga obat ini tidak
murni antagonis. Konduksi melalui AV node akan memendekkan interval P-R pada EKG dan
sering menurunkan blokade jantung disebabkan aktivitas vagal. Atrial disritmia dan ritme
nodal jarang terjadi. Antikolinergik berefek kecil pada fungsi ventrikel atau vaskuler perifer
karena kurangnya persarafan kolinergik pada area ini dibanding reseptor kolinergik. Dosis
besar antikolinergik dapat menghasilkan dilatasi pembuluh darah kutaneus (atropin flush).


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem saraf parasimpatis adalah bagian saraf otonom yang berpusat dibatang otak
dan bagian kelangkang sum-sum belakang yang mempunyai dua reseptor terhadap
reseptor muskarinik dan reseptor nikotik.
Obat parasimpatis itu sendiri dibagi dalam 2 kelompok besar yakni:
A. Kolinergik
B. Antikolinergik
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan s, dkk. (2007). Farmakologi Dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Gon
Katzung G, Betram. (1997). Farmakologi Dasar Dan Klinik. Edisi 6. Jakarta: EGC
Pearce, Evelyn C. (2002). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia Pustaka
Umum.

Anda mungkin juga menyukai