Anda di halaman 1dari 6

MATA KERING

A. KOMPOSISI AIR MATA


Air mata merupakan salah satu proteksi mata atau daya pertahanan mata disamping
tulang rongga mata, alis dan bulu mata, kelopak mata, refleks mengedip dan adanya sel-sel
pada permukaan kornea dan konjungtiva. Sebagai salah satu alat proteksi, air mata berfungsi :
(1) mempertahankan integritas kornea dan konjungtiva dengan meniadakan ketidakteraturan
pada sel epitel permukaan guna mempertahankan permukaan kornea agar tetap licin dan rata.
Fungsi ini memperbaiki penglihatan terutama pada saat setelah mengedip; (2) membasahi dan
melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva yang lembut atau lubrikasi agar
gerakan bola mata serta mengedip terasa nyaman dan membersihkan kotoran yang masuk
mata; (3) menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan mencegah kemungkinan infeksi
karena mengandung antibakteri termasuk laktoferin, imunoglobulin, lisozim dan lipokalin;
(4) memberi kornea substansi nutrien, dan sebagai media transport produk mikroorganisme
ke dan dari sel-sel epitel kornea dan konjungtiva terutama oksigen dan karbondioksida.
(1)

Lapisan air mata terdiri atas tiga lapisan. Lapisan superfisial adalah lapisan lipid,
dengan ketebalan kurang lebih 0,1 m yang berasal dari kelenjar Meibom. Lapisan ini
berfungsi menghambat penguapan air dan merupakan sawar kedap bila palpebra ditutup.
Disfungsi kelenjar Meibom dapat menyebabkan lapisan air mata tidak stabil dan berakibat
terjadi gangguan permukaan kornea dan konjungtiva.
(1)

Lapisan tengah adalah lapisan akuos dengan ketebalan kurang lebih 7 m dihasilkan
oleh kelenjar lakrimal utama, yang terletak pada orbita serta kelenjar lakrimal asesorius
Kraus dan Wolfring pada konjungtiva. Lapisan akuos mentransportasikan nutrien-nutrien
yang larut dalam air; defisiensi lapisan akuos, yang dapat terjadi bersamaan dengan disfungsi
kelenjar Meibom merupakan penyebab dry eye paling umum.
(1)

Lapisan paling dalam adalah lapisan musin dengan ketebalan 20-50 nm yang dihasilkan
oleh sel goblet konjungtiva dan sel epitel permukaan. Lapisan ini terdiri atas glikoprotein
yang melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva. Membran sel epitel terdiri atas
lipoprotein sehingga relatif hidrofobik. Permukaan yang demikian tidak dapat dibasahi
dengan larutan berair saja. Musin diabsorbsi sebagian pada membran sel epitel kornea dan
tertambat oleh mikrofili sel-sel epitel permukaan. Ini menyebabkan permukaan menjadi
hidrofilik agar airmata menyebar ke bagian yang dibasahinya dengan menurunkan tegangan
permukaan. Lapisan musin juga berfungsi memerangkap berbagai faktor pertumbuhan,
leukosit dan sitokin.
(1)

PH air mata normal adalah berkisar 7.2, dengan osmolaritas sebesar 302 mOsm/L, dan
indeks refraksi sebesar 1,336.
(1)


B. Definisi Sindroma Mata Kering
Kerato konjungtivitis sika adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan
konjungtiva yang diakibatkan berkurangnya fungsi air mata.
(2)


C. Epidemiologi Sindroma Mata Kering
Empat penelitian besar di Amerika Serikat menunjukkan prevalensi SMK berkisar
antara 5-30% dengan total 4,91 juta penduduk berusia di atas 50 tahun. Studi besar Womens
Health Study and Physicians Health Study menunjukkan prevalensi SMK di Amerika
Serikat berkisar 7% pada wanita dan 4% pada pria, (Schaumberg et al., 2003; 2009).
Salisbury Eye Study menunjukkan angka 14,6% pada populasi berusia 48-91 tahun dengan
prevalensi tertinggi pada wanita (Schein et al., 1997). The Beaver Dam population-based
study menemukan prevalensi sindrom mata kering 14,4% pada populasi berusia diatas 65
tahun (Moss et al., 2000). Penelitian Hom (2004) pada Hispanik menunjukkan prevalensi
yang cukup besar yaitu 24,6%. Di Kanada, prevalensi berkisar 25% (Doughty et al., 1997), di
Australia, prevalensi 7,4% (McCarty et al.,1998) dan 16,6% pada tahun 2003 (Chia et al.,
2003). Di Shanghai, prevalensi sindrom mata kering 33,78% pada wanita dan 24,11% pada
pria dengan faktor risiko yang memperberat, diantaranya adalah jenis kelamin wanita, umur
di atas 50 tahun, penggunaan lensa kontak, penggunaan anti histamin (Tian et al., 2009). Jie
et al. (2009) di Beijing menunjukkan prevalensi 21% dengan dengan faktor risiko utama
perempuan berusia tua dan gangguan refraksi yang tidak dikoreksi. Di Jepang, prevalensi
berkisar 12,3% pada mahasiswa (Uchino et al., 2008). Di Taiwan, Shihpai menunjukkan
prevalensi 33,7% dengan faktor risiko utama umur dan jenis kelamin wanita (Lin et al.,
2003). Di Malaysia, prevalensi sindrom mata kering 14,4% (Jamaliah et al., 2002). Di
Indonesia, Kepulauan Riau, menunjukkan prevalensi 27,5% pada penduduk berusia di atas 21
tahun dengan faktor risiko utama umur, rokok, dan pterigium (Lee et al.., 2002). Di Rumah
Sakit Haji Adam Malik Medan, Chaironika (2011) menemukan 76,8% prevalensi SMK pada
wanita yang telah menopause.
(5)





D. Faktor Risiko Sindroma Mata Kering
Faktor risiko SMK dibagi dua yaitu, milleu interieur dan milleu esterieur. Milleu
interieur adalah kondisi fisiologis individu itu sendiri. Misal, pada individu tersebut memang
frekuensi kedipan matanya sedikit atau individu tertentu yang memiliki sudut bukaan kelopak
palpebra yang lebih lebar (Sullivan et al., 2004b). Milleu exterieur adalah kondisi lingkungan
sekitar. Kelembaban lingkungan yang rendah dan kecepatan angin yang tinggi menyebabkan
cepatnya evaporasi. Termasuk juga faktor pekerjaan seperti analis yang menggunakan
mikroskop, dokter radiologi, atau pengguna komputer. Berikut ini adalah penjelasan beberapa
faktor risiko penyebab SMK:
(6)

1. Usia
Berkurangnya androgen seiring pertambahan usia menyebabkan atropi
kelenjar lakrimal dan kelenjar Meibom dengan gambaran histopatologi infiltrasi
limfosit, fibrosis, dan atropi asinar (Rocha et al., 2000; Sullivan et al., 2002, 2004c).
Hal ini sesuai dengan penelitian Barabino et al. (2007) yang menemukan adanya
penurunan volume air mata dan kurangnya protein pada air mata orang tua. Zhu et
al. (2009) menemukan bahwa kurangnya hormon androgen dapat menurunkan
transforming growth factor sehingga limfosit yang dihasilkan sel asinar merembes
keluar dan menghancurkan kelenjar lakrimal dan kelenjar Meibom. Akan tetapi,
penelitian Schaefer et al. (2009) tidak menunjukkan adanya perbedaan tes Schrimer
antara kelompok pengguna komputer berumur 20-39 tahun dan 40-53 tahun
(p<0,05).
2. Jenis kelamin
Hampir semua penelitian epidemiologi sindrom mata kering menunjukkan
prevalensi SMK yang lebih tinggi pada wanita, terutama wanita yang menopause
(Versura et al., 2005). Hormon seks mempengaruhi sekresi air mata, disfungsi
meibom, dan sel goblet konjungtiva (Schaumberg et al., 2001).
3. Pengguna lensa kontak
Sekitar 43-50% pengguna lensa kontak mengalami mata kering (Begley et al.,
2000). Pemakaian lensa kontak memisahkan PTF menjadi dua bagian sehingga tidak
ada musin di pre lens dan tidak ada lapisan lipid di post lens sehingga SMK sering
dialami (Nichols et al., 2003). Selain itu, Tutt (2000) menunjukkan adanya
penurunan kualitas bayangan retina pada pengguna lensa kontak dengan alat
aberometer.
4. Merokok
Pekerja yang merokok lebih banyak mengalami gangguan oftalmikus
dibandingkan yang tidak merokok (Jaakkola et al., 2000; Reijula et al., 2004). Asap
rokok menyebabkan kerusakan oksidatif pada protein-protein permukaan okular
(Grus et al., 2002) sehingga BUT akan menurun (Rohit et al., 2002). Moss et al.
(2000) menunjukkan bahwa mata kering 1,22 kali lebih sering terjadi pada perokok.
5. Ruangan ber-AC
SMK lebih banyak dialami oleh penduduk yang tinggal di tempat yang tinggi
karena suhu yang rendah, kelembaban yang rendah, dan angin yang kencang
(Wolkoff et al., 2005). Oleh karena itu, SMK dapat dipicu pada ruangan yang ber-
AC (Schaumberg et al., 2003).

E. Pemeriksaan Khusus
(1)(3)

Tear film break-up time
Tear film break up time (BUT) adalah indeks dari stabilitas lapisan airmata pre
korneal. Diukur sebagai berikut :
a. Fluorescein diteteskan pada forniks inferior
b. Pasien diinstruksikan untuk berkedip beberapa kali kemudian berhenti
c. Lapisan airmata diperiksa dengan cahaya yang luas dan cobalt blue filter.
Setelah interval beberapa waktu, titik-titik atau garis-garis hitam yang
mengindikasikan daerah dry eye akan timbul. BUT merupakan interval antara
kedipan terakhir dengan munculnya dry spot pertama yang terdistribusi secara acak.
BUT yang kurang dari 10 detik adalah abnormal.
Rose bengal
Pewarnaan ini memiliki afinitas terhadap sel epitel yang telah mati dan mukus.
Rose bengal mewarnai konjungtiva bulbi yang terpapar, menghasilkan pola
pewarnaan yang khas dari dua buah segitiga dengan dasarnya di limbus. Filamen-
filamen dan plak pada kornea juga tampak lebih jelas dengan pewarnaan ini. Satu
kekurangan dari pewarnaan dengan rose bengal ini adalah dapat menyebabkan iritasi
okular yang dapat bertahan selama satu hari, khususnya pada dry eye yang berat.
Untuk meminimalisasi iritasi yang dapat terjadi diberikan hanya satu tetes kecil saja,
namun penggunaan anastesi topikal tidak diberikan oleh karena dapat memberikan
hasil positif palsu.
Tes Schirmer
Produksi lapisan akuos airmata dapat dilakukan dengan berbagai macam cara.
Tes Schirmer dilakukan dengan meletakkan kertas strip tipis pada kuldesak inferior.
Jumlah pembasahan dapat diukur untuk mengetahui jumlah produksi akuos.
Terdapat berbagai macam cara melakukan tes Schirmer. Tes sekresi basal (Basal
secretion test) dilakukan setelah diteteskan anastetik topikal.
Kertas strip tipis (lebar 5 mm, panjang 35 mm) diletakkan pada pertemuan
antara pertengahan dan 1/3 lateral palpebra inferior untuk meminimalisasi iritasi
pada kornea selama tes berlangsung. Tes ini dapat dilakukan dengan mata tertutup
ataupun terbuka, meskipun beberapa ahli merekomendasikan dengan mata yang
tertutup untuk membatasi efek dari berkedip. Meskipun pengukuran normal cukup
bervariasi, pemeriksaan yang telah diulang dengan hasil pembasahan 5 mm dengan
anastesi, dapat merupakan sugesti yang besar terhadap defisiensi lapisan akuos,
sedangkan 5-10 mm masih meragukan.
Tes Schirmer I, dimana cara pemeriksaannya serupa dengan tes sekresi basal
namun dilakukan tanpa anastetik topikal, mengukur keduanya baik basal sekresi dan
refleks sekresi dikombinasikan. Pembasahan 10 mm setelah 5 menit merupakan
diagnostik untuk defisiensi lapisan akuos.
Tes Schirmer II yang mengukur refleks sekresi, dilakukan dengan cara yang
serupa tanpa anastetik topikal. Namun setelah kertas filter diletakkan pada forniks
inferior, aplikator dengan ujung kapas digunakan untuk mengiritasi mukosa nasal.
Pembasahan 15 mm setelah 5 menit konsisten dengan adanya defek pada refleks
sekresi.
Tear meniscus 12
Dilakukan dengan inspeksi tinggi tear meniscus antara bola mata dengan
kelopak mata bawah (normal tingginya adalah 1,0 mm dan konveks). Tear meniscus
0,3 mm atau kurang dianggap abnormal.

F. Gejala Klinis
Spektrum dari defisiensi lapisan akueus berkisar dari iritasi ringan dengan kelainan
permukaan okular yang minimal hingga iritasi berat, kadang-kadang berhubungan dengan
komplikasi kornea yang mengancam penglihatan. Stadium lanjut dapat terjadi kalsifikasi
kornea, terutama berhubungan dengan obat-obat tetes mata tertentu (khususnya obat-obatan
antiglaukoma); band keratopathy; serta keratinisasi kornea dan konjungtiva.
(1)

Gejala-gejalanya cenderung memburuk menjelang penghujung siang, dengan
penggunaan mata yang berlangsung sangat lama, atau dengan paparan terhadap lingkungan
yang ekstrem. Sensasi benda asing merupakan gejala yang sering berhubungan dengan
keratopati epitelial pungtata. Keluhan-keluhan yang berhubungan termasuk rasa panas,
sensasi kering, fotofobia, dan penglihatan kabur.

Gejala-gejala lain yang juga sering
dilaporkan adalah mata yang berat atau lelah, rasa sakit, berkedip lebih sering, sekret mukus
berlebihan dan intoleransi terhadap aliran udara atau lingkungan yang kering. Pasien dengan
defisiensi lapisan akueus cenderung mengalami gejala iritasi yang memburuk di malam hari,
sementara pasien yang menderita meibomian gland disease dan pembersihan lapisan airmata
yang terlambat cenderung mengalami gejalagejala yang memberat ketika bangun tidur pagi
hari.
(4)

Tanda-tanda dari dry eye termasuk dilatasi pembuluh darah konjungtiva bulbi, lipatan-
lipatan konjungtiva, penurunan tear meniscus, permukaan kornea yang ireguler, dan
peningkatan debris didalam lapisan airmata. Keratopati epitelial, bisa tipis dan granular,
kasar, atau menyatu dapat dilihat dengan lebih jelas setelah diteteskan lissamine green, rose
bengal atau fluorescein. Fluorescein mewarnai erosi epitel dan membrana basalis yang
terpapar dan bisa menghasilkan pewarnaan granular yang halus ataupun kasar pada kornea
bagian sentral atau inferior. Dalam mengevaluasi pasien-pasien dry eye terutama yang lebih
bermanfaat adalah pewarnaan dengan rose bengal 1% atau lissamine green. Dahulu, rose
bengal dianggap hanya mewarnai sel-sel yang mati dan mukus.

Belum lama ini telah
ditunjukkan bahwa rose bengal juga dapat mewarnai sel-sel epitel yang tidak dilindungi
secara adekuat oleh lapisan musin. Pewarnaan rose bengal dan lissamine green dapat lebih
sensitif dibandingkan fluorescein dalam menunjukkan kasuskasus dini atau ringan dari
keratokonjungtivitis sika; pewarnaannya dapat terlihat pada limbus nasal dan temporal
dan/atau kornea parasentral inferior (exposure staining). Dapat juga lebih menonjol
sepanjang kornea inferior dan konjungtiva inferior (linear staining), seperti yang terlihat pada
meibomian gland disease (MGD). Lissamine green mempunyai beberapa keuntungan jika
dibandingkan dengan rose bengal yaitu tidak mewarnai epitel konjungtiva yang sehat, jauh
lebih kurang mengiritasi, dan tidak menghambat pertumbuhan viral seperti rose bengal.
(1)

Pada stadium dry eye yang lebih berat dapat dijumpai adanya filamen dan mukus plak.
Penipisan kornea marginal atau parasentral dan bahkan perforasi dapat terjadi pada kasus-
kasus yang lebih berat.
(1)


G. Terapi
1. Suplementasi dengan subsitusi air mata. Air mata artifisial tetap menjadi pengobatan
mata kering. Tersedia dalam bentuk tetes dan salep. Mengandung derivat selulosa
(0,25-0,7% metil selulosa dan 0,3% hipromelosa) atau polyvinyl alkohol (1,4%)
2. Siklosporin topikal (0,05%, 0,1%) dilaporlan sebagai obat yang sangat efektif untuk
mata kering di banyak studi terbau. Ini membantu mengurangi inflamasi cell-
mediated pada jaringan lakrimal.
3. Mukolitik, seperti 5 persen accetylcystine dipakai 4 kali sehari membantu
menyebarkan mukus dan menurunkan viskositas air mata.
4. Retinoid topikal baru-baru ini dilaporkan bermanfaat menunda perubahan selular
(metaplasia skuamosa) yang terjadi di konjungtiva pada pasien mata kering.
5. Menurunkan evaporasi dan drainase. Evaporasi dapat dikurangi dengan menurunkan
suhu ruangan, menggunakan ruang lembab dan kacamata proyeksi.
6. Tetrasiklin sistemik dapat diberikan untuk mengatasi blepharitis dan mengurangi
mediator inflamasi di air mata.
7. Oklusi punktal. Mengurangi drainase dan dapat menyelamatkan air mata alami dan
memperpanjang efek artificial tears. Ini sangat bermanfaat pada pasien dengan
keratokonjungtivitas sedang hingga berat yang tidak berespon pada pengobatan
topikal. Sementara, oklusi dapat dilakukan dengan menginsersi kolagen ke dalam
kanalikuli.

DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology: External Disease and Cornea in Basic and Clinical
Science Course, Section 8, 2009-2010, page 71-109
2. Ilyas, Sidarta., dan Sri Rahayu. 2012. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
3. Kanski JJ, The Dry Eye in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach, Sixth Edition,
Butterworth-Heinemann Elsevier, 2005, page 57-61
4. Holland EJ, Mannis MJ, Dry Eye in Ocular Surface Disease Medical and Surgical
Management, Springer-Verlag New York, Inc, 2002, page 49-55
5. Bunjamin, Mentari. 2012. Gambaran Tingkat Lama Penggunaan Komputer Dengan
Terjadinta Gejala-gejala Computer Vision Syndrome (CVS) pada Pekerja Pengoperasian
Komputer di Wilmar Grup, Medan Tahun 2012. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
6. Sullivan, D.A.; J.A. Stern; D.A. Dartt; R.M. Sullivan and B.B. Bromberg, 2002. Lacrimal
Gland Tear Film, and Dry Eye Syndrome 3. New York, Plenum Publ.

Anda mungkin juga menyukai