Anda di halaman 1dari 6

PATOFISIOLOGI GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA DIABETES

MELITUS (Kodl,2008)
Patofisiologi yang mendasari perkembangan gangguan fungsi kognitif
pada pasien diabetes belum jelas diungkapkan. Banyak hipotesa yang didukung
oleh bukti, diantaranya hal yang potensial berperan sebagai faktor kausatif
terjadinya hiperglikemia, penyakit vaskular, hipoglikemia, resistensi insulin dan
pengendapan amyloid. Meskipun penelitian lanjutan untuk tiap mekanisme
kandidat masih diperlukan, penyebab gangguan fungsi kognitif pada pasien
diabetes mungkin pada ahirnya adalah kombinasi dari faktor-faktor tersebut,
tergantung dari tipe diabetes, komorbiditas, umur dan terapi.

Peran Hiperglikemia

Hiperglikemia sepertinya berhubungan dengan abnormalitas pada fungsi
kognitif pada pasien diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Namun, bagaimana
hiperglikemia bisa memediasi efek tersebut masih kurang jelas. Pada organ lain,
hiperglikemia mempengaruhi fungsinya melalui berbagai mekanisme termasuk
aktivasi jalur polyol, meningkatkan pembentukan dari advanced glycation
end products (AGEs), aktivasi diacylglycerol dari protein kinase C, dan
peningkatan shunting glukosa pada jalur hexosamine. Mekanisme yang serupa
mungkin terjadi di otak dan menginduksi perubahan dalam fungsi kognitif yang
dideteksi pada pasien diabetes. Peran AGEs dan reseptor AGEs (RAGEs) dalam
terjadinya komplikasi serebral dari diabetes masih tidak jelas. Tikus yang diabetes
(32% HbA1c vs 12% pada control) yang menunjukkan gangguan kognitif
dijumpai peningkatan ekspresi dari RAGEs pada neuron dan sel glia dan
kerusakan pada white matter dan myelin, menyarankan peranan RAGEs pada
terjadinya disfungsi serebral. Pada manusia, pasien dengan diabetes dan
Alzheimer disease memiliki N-carboxymethyllysine (suatu tipe AGEs) yang lebih
tinggi pada pewarnaan yang dilakukan pada pemeriksaan postmortem dibanding
pada pasien yang hanya menderita Alzheimer disease.
Sebagai tambahan pada kerusakan organ terminal yang diinduksi
hiperglikemia, fungsi neurotransmitter yang berubah yang diamati pada percobaan
binatang diabetes juga berperan terhadap disfungsi kognitif Pada tikus diabetes,
dijumpai gangguan pada long term potentiation yang diartikan sebagai
peningkatan secara terus-menerus jangka panjang dari kekuatan synaps pada
neuron yang kaya akan neurotransmitter N methyl d aspartate (NMDA) , yang
dapat berkontribusi pada kelemahan proses belajar.
Perubahan neurokemikal yang telah diamati, penurunan asetilkolin,
penurunan turnover serotonin, penurunan aktivitas dopamine, dan peningkatan
norepinephrine pada otak binatang diabetes. Menariknya adalah semua kelainan
ini membaik dengan pemberian insulin. Suatu usulan hipotesa bahwa perubahan
kadar glukosa yang tinggi dan rendah pada penderitia diabetes yang tidak
terkontrol bisa memperburuk fungsi neurotransmitter.

Peran Penyakit Vaskular

Pasien dengan diabetes beresiko 2 sampai 6 kali lipat untuk terjadinya
stroke thrombotic, dan penyakit pembuluh darah telah lama dihipotesa berperan
pada kelainan kognitif pada pasien tersebut. Studi dengan otopsi pada pasien
diabetes tipe 1 memperlihatkan perubahan yang berhubungan dengan penyakit
pembuluh darah, termasuk degenerasi otak difus, pseudocalcinosis, demyelinisasi
dari saraf kranial dan medula spinalis dan fibrosis saraf. Penebalan basement
membrane kapiler, suatu tanda khas dari diabetik mikroangiopati telah ditemukan
pada pasien dengan diabetes.
Pesien diabetes juga didapati penurunan cerebral blood flow yang diukur
dengan xenon, dan derajat penurunan sesuai dengan lama penyakit. Namun kadar
glukosa darah tidak dikontrol selama penelitian. Menariknya tingkat cerebral
blood flow pada pasien dengan diabetes serupa dengan pasien Alzheimers.
Observasi pada penderita diabetes didukung oleh studi-studi pemberian
streptozotocin pada tikus dengan hiperglikemia kronik. Diduga bahwa penurunan
pada cerebral blood flow, dilawan dengan stimulasi dari reseptor thromboksan A2
terjadi pada pasien diabetes, dapat berkontribusi dalam ketidakmanpuan dari
pembuluh darah otak untuk berdilatasi secara adekuat, yang akan mengarah pada
kecenderungan untuk terjadinya iskemia. Koinsidensi dari iskemia dan
hiperglikemia bisa secara khusus merusak otak. Bahkan peningkatan kadar
glukosa darah yang tidak tinggi pada manusia selama cerebrovascular event
berhubungan dengan perbaikan klinis yang lebih jelek. Salah satu mekanisme
potensial dimana hiperglikemia dapat mempotensiasi kerusakan akibat iskemia
adalah akumulasi laktat. Hiperglikemia menyediakan lebih banyak substrat
untuk pembentukan laktat, menyebabkan asidosis selular, dan
memperburuk injury. Mekanisme lain adalah akumulasi glutamate pada
kondisi hiperglikemia dan iskemik. Glutamate, suatu asam amino
neurotransmitter eksitatori, telah menunjukkan kerusakan neural pada
otak.

Peran Hipoglikemia

Episode yang berulang dari hipoglikemi berperan pada kelainan kognitif
kontroversial dan sepertinya tergantung dengan umur pasien. Kebanyakan
endokrinologis memiliki pengalaman dengan pasien yang mengalami
hipoglikemia berat dengan sedikit atau tidak ada kelainan permanen. Hal ini
sepertinya ketidakakuratan glukometer pada level glukosa yang rendah, waktu
yang tidak adekuat dalam penanganan hipoglikemia berat, atau variasi dalam
penyimpanan glikogen. Telah terlihat pada percobaan binatang, bahwa setelah 30-
60 menit dengan kadar glukosa antara 0,12 dan 1,36 mmol/liter, nekrosis neuronal
terjadi disertai dengan peningkatan aspartate, alkalemia, dan kegagalan energi
yang membawa pada gambaran yang datar pada EEG.
Korteks, basal ganglia, dan hipokampus sepertinya daerah yang
paling rentan terhadap hipoglikemia, dimana adanya nekrosis laminar dan
gliosis yang dijumpai pada daerah ini ketika dilakukan otopsi pada pasien
yang meninggal karena hipoglikemia. Studi lain, otopsi yang dilakukan pada
kematian yang terjadi karena hipoglikemia menunjukkan nekrosis multifocal atau
yang difus dari korteks serebral dan kromatolisis dari ganglion sel. Percobaan
pada binatang, kerusakan yang diinduksi hipoglikemia sepertinya slektif terhadap
neuron tertentu dengan pengecualian astrosit dan oligodendrosit.
Beberapa telah membuat hipotesa bahwa kerusakan neuron akibat
hipoglikemia adalah akibat overaktivasi dari reseptor neurotransmitter
eksitatori NMDA. Menariknya, adanya reseptor antagonis NMDA yang
sepertinya mencegah nekrosis neuron membuka peluang terapi potensial
untuk kerusakan otak yang diinduksi oleh hipoglikemia. Terapi itu mungkin
bermanfaat pada anak dengan diabetes tipe 1 yang sepertinya rentan terhadap
komplikasi serebral dari hipoglikemia. Mungkin ada juga hubungan antara
hipoglikemia selama tidur pada tengah malam, dimana terjadi konsolidasi memori
dan kelainan kognitif. Perbandingan hasil test antara yang euglikimia selama tidur
dengan pasien diabetes tipe 1 yang mengalami hipoglikemia relatif selama tidur
(2,2 mmol) selama tidur menununjukan adanya gangguan memori deklaratif.
Namun tidak dijumpai defisit neurokognitif pada beberapa studi dimana
hipoglikemia nokturnal yang diinduki selama tidur.

Peran Resistensi Insulin dan Amyloid

Meskinpun peran dari insulin pada metabolisme serebral dan fungisnya
masih diselidiki, penelitian selama duapuluh tahun dalam bidang ini telah
memberi banyak pencerahan. Sebelumnya diduga otak adalah organ yang tidak
memerlukan insulin, namun banyak penelitian yang mempertanyakan hal itu.
Reseptor insulin dan ekspresi mRNA telah dijumpai terdistribusi luas di otak
dengan menggunakan immunohistochemistry dan in situ hybridization, secara
berturut termasuk bulbus olfaktorius, hipotalamus, hipokampus, serebelum,
kortek piripormis, korteks serebral dan amigdala.
Resistensi insulin dan diabetes tipe 2 mungkin berkontribusi dalam
disfungsi kognitif melalui tiga mekanisme tidak langsung lainnya. Pertama,
disfungsi kognitif pada diabetes tipe 2 berhubungan dengan marker inflamasi, dan
peningkatan inflamasi mungkin berperan dalam berkembangnya Alzheimers atau
penyakit makrovaskular. Dalam sebuah penelitian, pasien dengan sindroma
metabolik, peningkaktan C-reaktif protein, dan peningakatan IL-6 ditemukan
mengalami gangguan fungsi kognitif, sedang pasien dangan sindroma metabolik
dengan marker inflamasi yang normal memiliki fungsi kognitif yang sama dengan
kontrol.
Pasien dengan diabetes tipe 2 diketahui memiliki kadar marker
inflamasi yang lebih tinggi termasuk C-reaktif protein, -1
antichymotrypsin, IL-6, dan intercellular adhesion molecule 1 dibanding
dengan kelompok kontrol. Temuan ini meningkatkan kemungkinan bahwa
resistensi insulin dan Alzheimers disease mungkin memiliki patofisiologi yang
sama, karena pasien dengan Alzheimers disease juga menunjukkan peningkatan
marker inflamasi. Mekanisme kedua yang potensial bagaimana resistensi insulin
dan diabetes tipe 2 bisa berperan dalam gangguan kognitif adalah melalui
hambatan pada aksis hypothalamicpituitary adrenal. Baik hewan maupun
manusia dengan diabetes tipe 2 mengalami peningktan regulasi dari aksis
hypothalamicpituitary adrenal, yang meningkatkan kortisol serum
dibandingkan dengan kontrol. Dalam penelitian lain, hiperkortisolemia
ditemukan menyebabkan disfungsi kognitif. Manusia sehat yang mendapatkan
deksametason, kortikosteron, dan hidrokortison yang menyerupai kondisi stres
semuanya menunjukkan performa memori yang lebih jelek. Berdasarkan fakta
bahwa diabetes tipe 2 dapat meningkatkan regulasi aksis
hypothalamicpituitary adrenal dan hiperkortisolemia dapat menyebabkan
disfungsi kognitif, dapat diduga bahwa peningkatan level kortisol yang
dijumpai pada pasien diabetes tipe 2 mungkin berperan terhadap disfungsi
kognitif. Mekanisme potensial ketiga bagaimana resistensi insulin mungkin
berperan dalam disfungsi kognitif adalah dengan membantu pembentukan
senile plaque pada Alzheimers disease. neurofibrillary tangles intraselular
dan senile plaque ekstraselular yang membentuk -amyloid adalah tanda
khas patologik dari Alzheimers diaease. Beta-amyloid terbentuk dari
pemecahan amyloid precursor protein (APP), yang diproduksi neuron, dengan
bantuan ezim dan sekretase. -amyloid sebenarnya dihancurkan oleh insulin
degreading enzyme. -peptide amyloid dapat dengan sendirinya berikatan dengan
RAGEs dan menyebabkan disfungsi neuronal dan mikroglia dan stress oksidatif.
Menariknya -peptide amyloid, AGEs, RAGEs telah ditemukan dalam astrosit
menggunakan immunohistochemistry dalam irisan otak manusia. Tambahan, ada
bukti yang menguatkan bahwa resistensi insulin dapat mempengaruhi metabolism
APP dan -amyloid yang potensial meningkatkan beban senile plaque serebral.
Pengamatan terhadap sel pulau Langerhans pada penderita diabetes tipe 2
adalah khas dengan kehilangan sel dan penumpukan dari amyloid di sel pulau
Langerhans dimana ini mengingatkan akan penumpukan -amyloid yang terlihat
pada Alzheimers disease. Yang membentuk amyloid pada sel pulau Langerhans
dan sel saraf adalah sama dan sama-sama toksik terhadap sel pulau Langerhans
dan sel saraf. Penelitian pada 29 subjek dimana otopsi pada otak dan pancreas
tersedia, amyloid ditemukan pada semua subjek dengan berbagai tingkatan. Pada
penelitian lain, amyloid sel pulau Langerhans ditemukan lebih banyak pada otopsi
pasien Alzheimers dibanding dengan yang bukan. Berdasarkan kesamaan -
amyloid pada sel pulau dan sel saraf ada yang menduga bahwa patogenesis yang
sama mungkin terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dan Alzheimers disease, yang
mungkin juga melibatkan kelainan pada protein chaperone yang membantu
lalulintas protein intraselular.

Anda mungkin juga menyukai