Secara ontologis, kekuasaan itu adalah kemampuan seseorang untuk
memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Dalam konteks negara hukum, sumber dan batas-batas kekuasaan ditentukan oleh hukum dan harus dipergunakan dalam koridor hukum. Dari epistemologis, supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan yang dapat mengarah pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan. Sedangkan secara aksiologis, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-mata karena diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui kekuatan fisik, melainkan terletak dalam kekuasaan terhadap suara hati nurani manusia. Kata Kunci: kekuasaan, negara hukum, ontologi, epistimologi, aksiologi PendahuluanIde tentang negara hukum telah muncul dalam bentuk yang bervariasi dalam sistem hukum yang berbeda-beda. Secara historis, ada dua istilah atau konsep yang sangat berpengaruh di dunia terkait ide negara yang berdasarkan atas hukum, yaitu konsep rechtsstaat yang berkembang di Eropa Kontinental (abad XIX) dan konsep rule of law yang berkembang di negara- negara Anglo Saxon. Kedua konsep tersebut berkaitan dengan tipologi negara dipandang dari segi hubungan antara negara (pemerintah) sebagai pihak yang memerintah (mengusai) dan warga negara sebagai pihak yang dikuasai (yang diperintah). Konsep rechtsstaat yang bertumpu pada sistem civil law lahir dari suatu perjuangan panjang menentang absolutisme kekuasaan negara (machtstaat), sedangkan konsep rule of law bertumpu pada sistem common law yang bersifat memutus perkara yang didelegasikan kepada hakim berdasarkan hukum kebiasaan di Inggris (common custom of England). Meskipun, antara konsep rechtsstaat dan rule of law mempunyai perbedaan latar belakang historis, tetapi pada dasarnya keduanya berkenaan dengan perlindungan atas hak-hak kebebasan sipil warga negara dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang kekuasaan negara. (A. Mukthie Fadjar, 2003: 8-9) Tulisan singkat ini secara filosofis mendiskusikan tentang kekuasaan dalam konteks negara hukum ditinjau dari aspek ontologis (mengenai hakikat dan sumber kekuasaan), aspek epistemologis (tentang rule of law sebagai cara atau metode untuk membatasi kekuasaan), dan dari aspek aksiologis (mengenai pandangan kaum idealis dan empiris tentang hubungan hukum dan kekuasaan). Aspek OntologiIstilah kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut power, macht (dalam bahasa Belanda) dan pouvoir atau puissance (dalam bahasa Perancis). Dalam Blacks Law Dictionary, istilah kekuasaan (power) berarti: The right, ability, authority, or faculty of doing something. . . . A power is an ability on the part of a person to produce a change in a given legal relation by doing or not doing a given act (Henry Campbell Black, 1990: 1169). Istilah kekuasaan berbeda maknanya dengan kewenangan. Dalam literatur berbahasa Inggris istilah kewenangan atau wewenang disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa Belanda disebut gezag atau bevoegdheid. Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. (S.F. Marbun, 1997: 153) Berdasarkan definisi tersebut di atas, kekuasaan secara sosiologis adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang kekuasaan, baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa. Sedangkan, kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan (secara hukum) baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu. Apakah hakikat kekuasaan (power) itu? Apakah kekuasaan itu identik dengan kekuatan (force)? Dalam suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menganut sistem negara hukum, kekuasaan sering bersumber dari wewenang formal (formal authority) yang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada seseorang dalam suatu bidang tertentu. Hal ini berarti kekuasaan itu bersumber pada hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang tadi. Mengingat bahwa hukum itu memerlukan paksaan bagi penaatan ketentuan- ketentuannya, maka dapat dikatakan bahwa hukum memerlukan kekuasaan bagi penegakannya. Tanpa kekuasaan, hukum itu tak lain akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka.Hubungan hukum dan kekuasaan dalam masyarakat, oleh Mochtar Kusumaatmadja digambarkan sebagai berikut: hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Secara populer, kesimpulan ini barangkali dapat dirupakan dalam slogan bahwa: hukum tanpa kekuasaan adalah angan- angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman (Mochtar Kusumaatmadja, t.t: 4-5). Secara analitik dapatlah dikatakan bahwa kekuasaan merupakan suatu fungsi dari masyarakat yang teratur. Kekuatan fisik (force) dan wewenang resmi (formal authority) merupakan dua sumber kekuasaan. Persoalannya, apakah kekuasaan itu adalah wewenang dan kekuatan fisik? Tidak, wewenang formal dan kekuatan fisik bukan satu-satunya sumber kekuasaan. Memang dalam kenyataan, orang yang memiliki pengaruh politik atau keagamaan dapat lebih berkuasa dari pada orang yang berwenang atau memiliki kekuatan fisik. Kekayaan (uang) atau kekuatan ekonomi lainnya juga merupakan sumber-sumber kekuasaan yang penting, sedangkan dalam keadaan-keadaan tertentu kejujuran, moral yang tinggi dan pengetahuan pun tak dapat diabaikan sebagai sumber-sumber kekuasaan. Jadi, kekuasaan adalah fenomena yang beraneka ragam bentuknya dan banyak macam sumbernya. Hanya, pada hakekatnya kekuasaan itu tetap sama, yaitu kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Aspek EpistemologiMenurut pengamatan sejarah, kekuasaan itu mempunyai suatu sifat yang khas, yakni ia cenderung untuk merangsang bagi yang memilikinya untuk lebih berkuasa lagi. Kekuasaan haus akan lebih banyak lagi kekuasan (Mochtar Kusumaatmadja, t.t: 4-5). Dalam kaitannya dengan kekuasaan (power), Lord Acton telah memperingatkan bahwa: Power tends to corrupt; and absolute power tends to corrupt absolutly (Semakin besar kekuasaan, akan semakin besar pula kecenderungan untuk disalahgunakan) (Miriam Budiardjo, 1993: 52). Karena itu, dalam konsep negara hukum, sumber untuk memperoleh dan menggunakan kekuasaan serta batas-batasnya harus secara jelas diatur dan dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan. Inilah esensi kekuasaan menurut konsep negara hukum (rule of law; rechtsstaat). Oleh karena itu, dalam perspektif sosiologis, ide rule of law mengandung makna bahwa otoritas harus diberi bentuk hukum dan bahwa kekuasaan harus dilaksanakan dengan cara-cara hukum. (A.A.G. Peters dan Koesriani S. 1990: 52). Secara epistemologis, baik atau buruknya kekuasaan itu sendiri sangat tergantung dari bagaimana cara menggunakan kekuasaan. Artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan. Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan kehendak masyarakat. Karena bagi pemegang kekuasaan diperlukan syarat antara lain kejujuran dan rasa pengabdian yang tinggi terhadap kepentingan masyarakat (Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2002: 71). Ia merupakan suatu yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib, bahkan bagi setiap organisasi yang teratur (seperti negara) (Soerjono Soekanto, 1977: 19). Ilmu kepolisian telah dipelajari sebagai salah satu ilmu yang mempelajari sudut pandang ilmiah yang mencakup epistemologi, ontologi, dan aksiologi, serta metodologi yang mempersatukan beragam unsur-unsur keilmuan sebagai suatu sistem yang utuh, sehingga paradigma yang terkandung didalamnya adalah hubungan antar-bidang (interdisciplinary approach) daripada hubungan multi- bidang (multidisciplinary approach). Dikatakan antar-bidang dikarenakan ilmu kepolisian termasuk didalamnya berbagai bidang ilmu pengetahuan yang menunjang dan saling terkait, tidak berdiri sendiri dalam masing-masing ruang keilmuannya. Menurut Parsudi Suparlan, ilmu kepolisian itu sendiri mengandung maksud sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya (Suparlan dalam Suparlan, 2004: 12). Jadi dari definisi ilmu kepolisian tersebut dapat dikatakan tugas polisi itu sendiri juga berkaitan erat dengan masalah-masalah sosial, yang berkaitan dengan adanya gangguan keamanan dan ketertiban di sekitar masyarakat yang dianggap merugikan masyarakat itu sendiri. Masalah sosial yang terjadi di masyarakat satu belum tentu sama dengan masyarakat di tempat yang lain, karena itu tergantung pada kondisi maupun adat istiadat masyarakat sekitar. Polisi merupakan aparat negara yang mempunyai tugas utama menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban tersebut, polisi mengendalikan atau mengawasi perilaku masyarakat agar tidak menyimpang atau melanggar norma-norma hukum yang berlaku. Polisi mempunyai wewenang untuk menangkap dan menahan seseorang yang melanggar hukum. Peranan polisi memang sangat penting dalam suatu masyarakat. Jika tidak ada polisi atau polisinya lemah, maka akan sangat sulit menciptakan suatu keadaan masyarakat yang tertib, karena pelanggaran hukum mungkin terjadi di mana-mana. Dengan adanya polisi, warga masyarakat menjadi takut melakukan pelanggaran hukum. Polisipun mempunyai kekuasaan yang memaksa agar masyarakat mau mematuhi hukum. Polisi bukan hanya menangkap, menyidik, dan menyerahkan pelaku pelanggaran ke instansi lain seperti Kejaksaan, tetapi juga membina dan mengadakan penyuluhan terhadap orang yang menyimpang dari hukum. Penyakit masyarakat merupakan obyek studi dalam sosiologidan sudah terdapat rumusan-rumusan dari pakar tentang artinya. Menurut B. Simanjutak , S.H dalam bukunya Patologi Sosial merumuskan sebagi suatu gejala dimana tidak ada penyesuaian antara berbagai unsure dari suau keseluruhan sehingga dapat membahayakan kehidupan kelompok atau yang sangat merintang, pemuasan keinginan-keinginan fundamental dari anggota-anggota dengan akibatnya, bahwa pengikatan soSial salah sama sekali. Selanjutnya B. Simanjutak ,S.H menterjemahkan dari rumusan-rumusan Gilin-Gilin tentang patologi social sebagai terjadinya Meladjustment yang serius diantara berbagai unsure dalam keseluruhan konfigurasi kebudayaan sedemikian rupa sehingga kelangsungan hidu suatu kelompok social menghambat pemuasan kebutuhan asasi anggota kelompok yang mengakibatkan hancurnya ikatan social diantara mereka. Penyakit masyarakat gejala yang membuat masyarakat seluruhnya atau sebagian tidak berfungsi sebagai wadah yang memberi kemungkinan kepada warganya mencari dan memenuhi kebutuhan hidupnya (sandang, pangan, apan dan kesehatan). Gejala yang demikian disebabkan oleh perbuatan sekelompok warga masyarakat secara berulang yang oleh masyarakat dianggap sebagai penyakit masyarakat. Berbagai faktor yang menyebabkan warga masyarakat melakukan penyimpangan, yang berbuntut pada pelanggaran hukum atau gangguan kamtibmas. Yang sesungguhnya penyimpangan itu, diketahui dan disadari betul oleh warga masyarakat dan para aparat penjaga kamtibmas dan penegak hokum. Faktor lainnya pun sudah diketahui pasti para pemimpin negeri ini, sehingga kalau mereka bertindak benar dalam penanganannya penyimpangan itu bisa hilang. Sebagai contoh faktor terpuruknya ekonomi ditambah faktor lingkungan pergaulan dan lingkungan keluarga yang longgar, disebut sebagai penyebab munculnya perilaku menyimpang warga masyarakat, seperti praktik prostitusi. Pemberantasannya makin sulit karena perangkat hukum yang ada tidak sempurna, atau masih menyisakan celah.kritikto be continued agan.