Anda di halaman 1dari 46

ICA Indonesia Office

Mendukung Kegiatan Polisi Masyarakat di Indonesia


Setelah POLRI terpisah dari ABRI pada 2000, JICA memulai kerjasamanya dengan POLRI
pada 2002 dalam rangka mendukung reformasi polisi dengan melaksanakan proyek pilot di
Bekasi (Jawa Barat). Kegiatan ini tidak hanya terfokus pada pembangunan prasarana (dalam
bentuk pos polisi yang dinamakan BKPM yang mendapatkan inspirasi dari Koban di Jepang)
bagi polisi dan masyarakat untuk membangun komunikasi, tetapi juga pada peningkatan
keahlian dan pengetahuan para personil kepolisian dalam mengatasi kejahatan dan masalah
sosial lainnya di lingkungan masyarakat.
Pengiriman polisi Jepang ke Indonesia sebagai tenaga ahli serta pengiriman polisi Indonesia ke
Jepang untuk pelatihan melalui proyek ini tidak hanya menghasilkan polisi yang berkualitas,
tetapi juga menjadikan para pelatih yang mampu menyebarluaskan keahlian dan pengetahuan
yang didapatkannya (khususnya di bidang olah TKP) kepada jajaran kepolisian di berbagai
wilayah lain di Indonesia. Hasil yang menjadi kunci dari kerjasama ini adalah peluncuran
POLMAS (Perpolisian Masyarakat) melalui SKEP KAPOLRI No. 737 tahun 2005.
Namun hasil yang terpenting dari kerjasama ini bukanlah pengembangan prasarana dan
keahlian, namun peningkatan kepercayaan warga Bekasi terhadap polisi serta inisiatif warga
dan polisi Bekasi untuk membangun kemitraan melalui pembentukan FKPM dalam rangka
menciptakan lingkungan yang aman dan damai.
BKPM = Balai Kemitraan Polisi dan Masyarakat
FKPM = Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat
http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/photo01.html










POLISI ADALAH MITRA MASYARAKAT


Polisi adalah mitra masyarakat. Itulah slogan Bhayangkara yang didengungkan. Jika
disederhanakan, polisi masyarakat berarti 'polisi milik masyakarat'. Apakah sudah betul?
Apakah tidak sebaliknya, slogan itu justru ber<strong><a title="arti masyarakat"
href="http://www.anneahira.com/arti-masyarakat.htm">arti masyarakat</a></strong> polisi
(masyarakat dikuasai polisi)? Mari kita renungkan.</p>
<p>Seorang polisi bukan anggota tentara perang yang berdiri di muka dan berhadapan dengan
musuh. Ia adalah seorang anggota tentara keamanan di tengah-tengah rakyat berhadapan
dengan saudara-saudaranya sebangsa dan berkewajiban memelihara keamanan.</p>
Jika perlu, ia harus mengembalikan ketentraman yang terganggu, kadang-kadang dengan
kekerasan. Bahkan, boleh jadi terpaksa bersiap dan bersedia untuk mengorbankan jiwanya
untuk keselamatan masyarakat.
Tentara perang wajib memusnahkan segala kekuatan musuh yang menyerbu, sebanyak-
banyaknya. Sebaliknya, tentara keamanan menjaga jangan sampai menimbulkan korban lebih
banyak.<br />Jika terpaksa ada korban jiwa, harus sesedikit mungkin. Sungguh memang amat
berat kewajiban seorang polisi daripada kewajiban seorang angkatan perang.
Sebagai pemelihara tertib dan damainya masyarakat, seorang polisi harus tahu dan insyaf
tentang segala hal yang dalam hidup dan penghidupan rakyat pada umumnya dianggap hal-hal
kesukaran, perselisihan, dan pertikaian dalam arti masyarakat Seorang polisi, dalam hal ini
jangan semata-mata berpikir subjektif, yakni hanya mementingkan pertimbangan-pertimbangan
dan rasanya sendiri.
<p>Apalagi, mengukur segala kejadian, pelanggaran, dan kejahatan dengan ukurannya
sendiri.<br />Pemberitaan di media massa semarak oleh isu makelar kasus (markus) dan mafia
hukum. Lebih dari delapan petinggi lembaga penegak hukum dari kepolisian dan kejaksaan
resmi ditetapkan menjadi tersangka.
Kasusnya korupsi, suap, gratifikasi senilai miliaran bahkan triliunan rupiah. Contohnya, perkara
suap petinggi Polri terkait markus PNS Dirjen Pajak Gayus Tambunan yang fenomenal.
Belum lagi, soal penyalahgunaan kebijakan dalam kasus dugaan mafia kehutanan yang
melibatkan dua petinggi di Kabareskrim Mabes Polri. Begitukah potret Pak Polisi
sesungguhnya? Berapa jenderal lagi yang antri menyandang gelar markus? Kasus kerusuhan,
misalnya.
Korban tiga tewas dan puluhan luka berat. Apakah bukan karena Pak Polisi yang terlalu
berdiam diri? Dalam keterangannya, Kepala Satpol PP, saat hari eksekusi, meminta
pengawalan dari pihak kepolisian. Namun, tak cukup mendapat perhatian.
Hingga semua terlambat. Tindakan kasar oknum Satpol PP pun tak ubah menyulut amarah
warga. Rusuh, kekerasan, amukan, korban berjatuhan, tumpah bak peperangan tapi sedarah.
Ke manakah &lsquo;tentara keamanan&rsquo;
Seorang polisi wajib mementingkan segala apa yang hidup dalam pikiran dan perasaan rakYat
di tiap desa, daerah, dan kota. Juga dalam mengukur berat-ringannya kesalahan orang, tidak
interpretasi pribadi. Ia juga wajib mementingkan adat istiadat di tiap-tiap tempat dan menjadi arti
masyarakat.
Dengan begitu, ia dapat bertindak adil sebab keadilan itu tidak hanya bergantung pada ujung
laku kesalahan formil, tetapi banyak bergantung pada pertimbangan-pertimbangan dan
perasaan-perasaan orang-orang yang melakukan kesalahan materil.</p>
Ki Hadjar Dewantara dalam satu tulisan Bayangkara (1948), mengatakan bahwa polisi perlu
mengetahui adat istiadat masyarakat. Seperti yang terkandung dalam pepatah &ldquo;Senjari
bumi, sedumuk batuk, dilakoni taker pati.
Peribahasa ini menunjukkan kepada kita bahwa segala persoalan, perselisihan, atau pertikaian
yang mengenai perebutan tanah dan yang berhubungan dengan kesusilaan itu umumnya
dianggap perkara besar.
Orang Eropa menganggap pelecehan terhadap perempuan adalah persoalan kecil. Bahkan,
mencium istri orang lain, misalnya. Kesalahan itu oleh hakim hanya dikenakan denda beberapa
rupiah. Tentu saja, ini dianggap aneh sekali oleh rakyat Indonesia dan tampak sebagai
pengadilan yang tidak adil.
Begitu pula sikap polisi terhadap perkara perebutan tanah, hendaknya di mata rakyat tampak
sebagai sikap yang istimewa. Jangan sampai seorang polisi dalam perkara itu kelihatan
bersikap masa bodoh. Sudah tentu Pak Lurah atau Hakim yang mengurus perkaranya, tetapi
dari pihak Pak Polisi harus terlihat sikap mementingkan kepentingan rakyat agar rakyat
menaruh kepercayaan kepadanya.
Seorang polisi harus mengerti tentang beberapa adat istiadat yang hidup dalam masyarakat
agar dianggap sebagai penjaga dan pemelihara keamanan dan ditaati dalam segala sikapnya
sehingga Pak Polisi akan dianggap satu keluarga dengan rakyat.
Polisi dan Masyarakat
Polisi yang harus menjadi pelindung dan juga pengayom bagi masyarakat. Selain itu polisi
adalah sebagai penegak hukum yang selalu menjungjung tinggi hukum dan hak azasi
kewajiban manusia. Tugas seorang polisi adalah mengatur ketertiban dan keamanan untuk
mewujudkan kehidupan yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera.
Kegiatan diatas merupakan visi polisi yang mulia. Tetapi pada zaman sekarang ini justru
berbalik malah masyarakat selalu menghindari polisi. Karena dengan adanya masalah yang di
ketahui polisi malah semakin menjadi runyam.
Zaman sekarang ini melaporkan sesuatu kepada polisi bisa menjadikan pengeluaran uang lebih
besar. Berbeda dengan polisi yang benar-benar yang mulia mereka dengan ikhlas menolong
sesuatu tanpa ada imbalan karena arti masyarakat sangat penting dibanding kepentingan
pribadi.
Tetapi zaman sekarang ini sudah jarang sekali menemukan seorang polisi yang berhati mulia
kebanyakan apa-apa selalu menjadi biaya yang sangat besar. Maka dari itu banyak sekali
masyarakat yang berkesan negatif terhadap polisi dikarenakan adanya oknum-oknum polisi
yang tidak baik yang menjadikan reputasi polisi dimata masyarakat menjadi buruk.</p>
<p>Mudah-mudahan kepolisian bisa berkaca untuk memperbaiki supaya lebih profesional lagi,
agar polisi menjadi yang terdepat dalam membela kebenaran, keamanan dan memberikan
contoh yang baik kepada masyarakatnya. Dan menjadikan arti masyarakat penting untuk
kepolisian supaya bisa bekerja sama untuk menjaga ketentraman dan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Pengertian Hukum Kepolisian
Pengertian hukum kepolisian adalah hukum yang mengatur mengenai polisi yang menyangkut
wewenang dan tugas. Hukum kepolisian dapat dibagi menjadi dua hukum formal yang lebih ke
administrasi kepolisian dan hukum polisi hukum kepolisian yang objektif pada peraturan-
peraturan yang subjektif yang memberikan melakukan tindakan kepolisian. Ada juga beberapa
kepolisian yang sepakat dengan struktur kehidupan masyarakat sebagai penegak hukum
masyarakat yang mempunyai tanggung jawab untuk ketertiban &nbsp;dalam menangani
kejahatan yang berada di lingkungan masyarakat tersebut.
<p>Maka dari itu dengan adanya tindakan yang benar maka arti masyarakat dalam
kehidupannya akan berjalan dengan tentram dan sejahtera. Karena pekerjaan polisi berkenaan
dengan pekerjaan sosial. <em>Arti masyarakat</em> juga menjadi bagian pemerintahannya
atau tokoh yang menjadi kehidupan dan kepentingan masyarakat.&nbsp;</p>
<p>Oleh karena itu, kepolisian harus melindungi masyarakatnya agar masyarakat merasa
tenang dan aman ketika ada perlindungan dari polisi, karena arti masayarakan dan polisi itu
sangat berhubungan dalam kegiatan sosial didalam kehidupan ini.</p>
<p>Peranan ini dapat dilaksanakan apabila fungsi kepolisian sesuai dengan ketentuan
kebutuhan masyarakat agar kepolisian selalu bersikap profesional dalam menyikapi suatu
masalah yang ada di masyarakat dan selalu membela kebenaran.&nbsp;</p>
<p><span style="text-decoration: underline;">Arti masyarakat</span> ini diharapkan polisi turut
menciptakan rasa aman dan tentram dalam kehidupan masyarakatnya, agar terjalin hubungan
yang saling menghargai dan saling menolong antara polisi dan masyarakatnya.</p>
<p>Maka kepolisian dan masyarakat harus bekerja sama dengan baik agar semua kehidupan
dimasyarakat menjadi terkendali dan mengurangi kejahatan yang ada. &nbsp;Hubungan polisi
dan masyarakat dibagi menjadi tiga seperti :
Keadaan yang seimbang dimana polisi dan masyarakat bekerja sama dalam menyelesaikan
berbagai masalah yang ada di lingkungan masyarakat. Polisi sebagai pelindung masyarakat
dari kejahatan-kejahatan yang ada dan menjadi rasa aman. Polisi sebagai pengayom
masyarakat sekaligus sebagai penegak hukum yang adil terhadap masyarakat. Alangkah
mulianya bila rasa bersatu itu dapat menimbulkan rasa cinta kasih antara rakyat dan polisi.
Kalau rasa cinta itu sudah ada, tak akan perlu seorang polisi bertindak keras. Untuk mengatasi
ruang gerak masyarakat &nbsp;yang mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat untuk
mengamankan diri dari kejahatan dari rasa takut.</p>

http://www.anneahira.com/arti-masyarakat.htm
















Polisi Di Mata Masyarakat
Kata polisi berasal dari Politeia, adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh Plato,
seorang filsuf Yunani Kuno. Buku itu berisi tentang teori dasar polis atau Negara kota. Pada
zaman itu kelompok-kelompok manusia berbentuk himpunan yang merupakan satu kota. Dari
kata politeia itu kemudian timbul kata politik yang di maksudkan sebagai tata cara mengatur
sistim pemerintahan, kata polisi yang mengatur penegakan peraturan, kata policy atau
kebijaksanaan dan sebagainya. Pengembangan dari semua itulah yang melahirkan Negara
dengan segala atribut dan pengaturannya hingga saat ini. Kemudian kata politeia berkembang
menjadi maknanya menjadi fungsi polisi seperti yang ada sekarang. Sampai saat ini polisi di
Italia di sebut politeia, yang di Perancis disebut La Police, di Inggris menyebutnya Police,
Belanda Politie dan German Polizei. Indonesia mengikuti tradisi Belanda menyebutnya dengan
kata Polisi atau Politie di eja dengan ejaan Indonesia. Di Malaysia mengikuti tradisi Inggris
dengan ejaan melayu, Police.
Menurut Kunarto, (1997) Sejarah kepolisian, tumbuh dan berkembang bersama dengan
tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia. Setiap peradaban manusia yang memulai
dan merasakan perlunya keamanan, ketentraman, dan ketertiban dalam mempertahankan
kehidupannya, pada saat itulah sebenarnya fungsi polisi itu ada, tumbuh dan berkembang.
Fungsi polisi itu tumbuh dan berkembang semakin jelas manakala ancaman terhadap
suatu kelompok semakin nyata. Ancaman itu tidak hanya berupa bahaya yang datang dari luar
kelompok itu, tetapi juga berupa ancaman yang ada didalam kelompok itu sendiri maupun
ancaman dari luar kelompoknya. Kehidupan akan senantiasa melahirkan pergulatan hebat,
dimana manusia yang kuat pada kelompoknya selalu bertindak sebagai pimpinan untuk
melawan musuh dan melindungi kelompok lainnya. Tindakan manusia kuat itulah wujud dari
fungsi polisi yang paling sederhana. Olehnya itu, berbicara mengenai aparat keamanan dalam
negeri dalam hal ini adalah pihak kepolisian, tentunya mendapatkan posisi yang penting dalam
upaya peningkatan keamanan dalam negeri tersebut, dalam hal ini adalah NKRI pada
umumnya. Olehnya itu, sudah barang tentu tugas dari penjaga stabilitas keamanan di suatu
negara dimandatkan kepada polisi di samping tentara. Membuat aman dan rasa nyaman
kepada masyarakat adalah salah satunya. Segala tindak kejahatan dan semua tindakan yang
dapat merugikan khalayak ramai adalah makanan mereka sehari. Jika kita bertanya kepada
anak-anak kita, saudara kecil ataupun kerabat dan anggota keluarga mengenai cita-cita, profesi
sebagai polisi masih menjadi favorit pilihan mereka di samping menjadi dokter yang sangat
lumrah. Ini sebenarnya nilai tambah bagi sosok seorang polisi. Ia begitu diidamkan karena
kemuliaan dan keikhlasannya membantu dan menjaga masyarakat dari tindak kejahatan dan
kesulitan serta ketakutan akan kondisi keamanan. Sosok polisi yang bersahaja menjadi panutan
bagi semua masyarakat seperti sosok polisi yang diidamkan.
Akan tetapi dalam perkembangannya, Polri (Polisi Republik Indonesia), yang memegang
kuasa penuh atas hal tersebut bukan saja menjadi sosok bak pelindung namun juga kerap
sebagai momok yang menakutkan bagi orang-orang yang tak bersalah atau melanggar hukum.
Seiring berkembangnya dan beranekaragamnya akan dinamika kehidupan, baik di sisi sosial,
ekonomi dan politik, Polri menjadi momok yang menakutkan. Bukan dikarenakan mereka
memiliki senjata yang kapan saja siap disodorkan ke semua pihak jika melanggar hukum, tapi
juga karena moral dan etika dasar polisi sudah luntur di institusi besar ini. Tak perlu jauh-jauh
kita melihat bagaimana etika dan moral seorang polisi itu menjadi momok menakutkan bagi
masyarakat termasuk kita sendiri. Di jalan-jalan, tentunya kita sering menemukan polisi lalu
lintas yang mangkal dan patroli di setiap sudut kota dan daerah. Tugas mereka di sana adalah
menertibkan pengguna jalan dan memantau kondisi jalan, tapi bukan itu yang terjadi, mereka
(oknum) justru merisaukan masyarakat dengan dalih penegakkan hukum. Pemerasan,
intimidasi dan tindak tak terpuji yang sudah sepatutnya di pegang polisi, telah terlalu sering
dilakukan. Hal ini berlanjut sampai sekarang dan tak ada tindakan dari atasan mereka di
institusi. Lain halnya lagi, ada juga (oknum) polisi yang menjadi centeng dari pembuat atau
pelaku tindakan yang melanggar hukum. Club-club malam, tempat prostitusi, bahkan tempat
berjudi justru mendapatkan perlindungan dari (oknum) polisi, padahal semestinya mereka
memberantas hal tersebut. Dalam hal ini masyarakatlah yang menjadi pihak pertama yang
dirugikan.
Dan pada umumnya, dalam ranah penegakkan hukum, sudah terbukti dan terlihat jelas,
begitu banyak (oknum) dari Polri yang menjadi mafia-mafia dan pelanggar hukum negara.
Korupsi dan nepotisme tumbuh subur di tubuh Polri. Melihat kegilaan (oknum) Polri seperti itu
tentu masyarakat semakin antipati terhadap Polri. Tetapi, untungnya, institusi yang dahulu
menjadi panutan kita semua, juga memiliki prestasi yang sedikit banyak dapat menutupi
boroknya. Adanya Badan Narkotika Nasional (BNN) yang serius membunuh jarungan narkoba
di dalam negari dan Detasemen Khusus (DENSUS) yang fokus memberantas aksi terorisme,
juga berbicara banyak. Keberhasilan BNN dalam memberantas peredaran narkotika dan obat-
obatan terlarang direspon dan dinilai masyarakat dengan tingkat kepuasan yang lumayan yakni
59% dalam laporan yang dilakukan Litbang KOMPAS. Di samping itu, Densus yang belakangan
ini mengalami peningkatan citra dan popularitas, dinilai dan direspon masyarakat dengan
tingkat kepuasan yang sangat baik, yaitu sekitar 77%. Dan tentunya, berbicara mengenai
harapan dan tantangan tentang kepolisian ini, maka sebagai warga negara Indonesia, kita
semua berharap Polri ke depannya dapat menjadi lebih baik dan setia dalam melayani
masyarakat seperti moto mereka.
Namun tidak menuntut Polri untuk berubah. Harapan masyarakat itu akan menjadi
tantangan berat bagi Polri untuk menjadi lebih baik. Salah satunya dengan mereformasi dalam
skala besar tubuhnya (Polri). Memberantas segala tindak pelanggaran hukum dan menjaga
masyarakat agar tetap selalu ada dalam rasa aman dan nyaman harus menjadi tugas utama
bagi mereka, hanya tinggal menunggu eksekusinya saja nanti seperti apa. Jika harapan
masyarakat dan tantangan bagi Polri itu tidak dengan serius dilaksanakan, jangan harap, Polri
dapat kembali bercitra baik. Bahkan di masa depan nanti, anak-anak dan sanak saudara kita
akan enggan menyebut profesi sebagai polisi menjadi cita-cita mereka.
Di lain sisi, seorang polisi dalam melaksanakan tugasnya akan memiliki banyak pilihan
untuk menempatkan dirinya pada bentangan yang luas antara spektrum posisi dibenci atau
dimuliakan, atau memilih posisi biasa-biasa saja. Namun apapun posisi yang dipilih,
sesungguhnya polisi senantiasa dibutuhkan masyarakat. Di era transisional sesungguhnya tidak
mudah menjadi seorang polisi. Menghadapi masyarakat, mereka harus bersikap ramah dan
bertindak bijak. Kepada penjahat, mereka harus selalu waspada. Tak jarang polisi yang
bertugas sebagai penegak hukum, berada di ambang bahaya. Nyawa atau setidaknya luka di
tubuh menjadi taruhannya. Namun, kenyataannya sebagian besar masyarakat menganggap
fungsi polisi sebagai penegak hukum dan pelayan masyarakat, masih terkontaminasi dengan
kesan polisi yang masih memiliki perilaku distortif dan destruktif baik sebagai penegak hukum
maupun sebagai pelayan masyarakat.
Dalam menyikapi sesuatu, kita akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara kita
memandang persoalan itu sendiri, demikian juga dalam memandang polisi, yang kini sedang
mengalami proses metamorfosis melalui reformasi struktural, instrumental dan reformasi
kulturalnya. Setiap orang bisa dan berhak memandangnya dari sudut pandang masing-masing,
tetapi yang pasti kita tidak boleh mengembangkan apalagi memaksakan pandangan pesimis
yang mengalahkan rasa optimis. Seperti pepatah Skotlandia bahwa Lebih baik kita
menyalakan sebuah lilin kecil daripada (hanya) menyumpahi kegelapan, karena terus-menerus
menyalahkan kegelapan tidak akan membawa kita keluar dari kegelapan itu sendiri. Kupu kupu
yang indah dan memberi keindahan, merupakan hasil proses metamorfosis dari sebuah
kepongpong.
Dalam perjalanannya, kepolisian menjadi amat dibutuhkan, terutama saat instabilitas,
kriminalitas, dan kekerasan komunal kian merebak. Masalahnya yang tidak pernah kunjung
berhenti adalah, mengapa polisi yang dirindu juga sekaligus dibenci ?
Pandangan masyarakat terhadap kinerja Polri terdapat berbagai penilaian Positif dan
negatif dari masyarakat. Baik buruknya citra Polri juga tergantung dari sikap masyarakat,
bersikap apatis, reaktif, kritis atau telah puas atas kinerja Polri selama ini. Polisi yang
berkarakter terpuji yang dapat menempatkan diri sebagai seorang moralis, bapak, teman,
pengabdi, dan tokoh yang dikagumi dan dihormati. Artinya kemulyaan martabat dan
kehormatan anggota Polri dapat di lihat dari besarnya penghargaan dan pengakuan
masyarakat terhadap profesinya. Penghargaan yang sesungguhnya tercermin dalam realitas
perilaku pengabdian dan pelaksanaan tugasnya yang membawa manfaat bagi masyarakat,
bahkan ditempatkan secara terhormat di tengah kehidupan masyarakat.
Persepsi buruk masyarakat terhadap citra kepolisian adalah akibat dari ketidak-
mampuan polisi menjadi pengayom masyarakat. Masih banyak orang yang mencibir bahwa
hanya ada dua polisi yang baik, yaitu polisi patung dan polisi tidur. Bahkan mereka sering
berucap bahwa polisi tidur saja bisa bikin susah, apalagi sedang berjaga. Masih banyak lagi
ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja polisi, begini katanya: melaporkan
kehilangan kambing ke polisi akan kehilangan sapi. Jika dikaitkan dengan kemampuan dan
daya dukung kepolisian terhadap upaya pemulyaan martabat dan kehormatan Polri, terutama
dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, citra kepolisian malah semakin terpuruk.
Di tengah derasnya arus pesimisme masyarakat terhadap Polri, maka hal ini penting
untuk dicatat, oleh karena kalangan internal Polri sendiri dianggap kurang tanggap membenahi
diri. Citra buram selama ini belum banyak berubah, sehingga beragam kritik pedas masih
menerpa korps kepolisian hingga kini. Hubungan polisi dengan masyarakatnya pun, belum
kunjung mesra. Kerinduan masyarakat terhadap polisi, seolah berganti menjadi kebencian.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa praktik-praktik perpolisian di Indonesia hingga
saat, masih cenderung mengisolasikan aparat kepolisian dari masyarakat yang dilayaninya
yang tentunya berdampak pada kinerja kepolisian untuk melakukan pengendalian kejahatan
yang lebih efisien. Oleh karena itu, penerapan community policing sangat dibutuhkan untuk
memberikan ruang bagi para aparat penegak hukum tersebut untuk memperbaiki kembali
hubungannya dengan warga masyarakat yang merupakan mitra utamanya. Kemitraan adalah
salah satu wujud nyata komunikasi sehingga kedua belah pihak, terlebih pihak kepolisian
sebagai pihak yang paling berperan dalam mewujudkan kemitraan yang memberi nilai tambah
perlu menerapkan strategi komunikasi yang tepat.
Hal ini sejalan dengan hasil Pusat Penelitian Hak Asasi Manusia UII Yogyakarta (2001)
yang meneliti kemitraan polisi dan masyarakat pasca reformasi, yang menampung semua
pendapat masyarakat mengenai polisi dan apa komentar polisi tentang masyarakat. Hasilnya
sangat memprihatinkan, dua belah pihak saling menebar rasa kekecewaan dan malas untuk
memercayai satu sama lain. Masyarakat lebih memilih bertindak pragmatis dalam berhubungan
dengan polisi dan polisi juga menilai masyarakat terlalu banyak menuntut kepadanya.
Di tengah-tengah hubungan polisi masyarakat yang fluktuatif, terkadang membara, ada
baiknya kita mengenang almarhum Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, yang memaknai
jati dirinya sebagai polisi dan perannya di tengah masyarakat. Hoegeng memaknai seorang
agen polisi sama saja dengan seorang jenderal polisi. Tentu saja yang terakhir memiliki
kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar. Hakikat seorang polisi demikianlah, yang
membuat saya mencintai tugas kepolisian dan bangga sebagai polisi, tanpa membedakan
kedudukan dan pangkat!. Hoegeng membuktikannya dengan tidak pernah merasa malu turun
tangan mengambil alih tugas teknis seorang agen polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau
tidak di tempat. Misalnya jika di suatu perempatan jalan terjadi kemacetan lalu lintas, kadang
kala dengan baju dinas Kapolri, beliau menjalankan tugas seorang polisi lalu lintas di jalan raya.
Saya melakukan dengan ikhlas. Sekaligus memberikan contoh teladan tentang motivasi dan
kecintaan polisi akan tugasnya, sekaligus memberikan teguran dan peringatan secara halus
kepada bawahan yang lalai atau malas! Dalam persepsinya tentang kehormatan, kewajiban,
dan tanggung jawab polisi, maka keinginannya yang pertama adalah memulai menegakkan
citra ideal seorang polisi dari diri sendiri. Berbarengan dengan itu menaikkan pula citra seorang
komandan polisi yang baik.
Seiring bertambahnya usia, dan terjadinya proses dialektika antara polisi dan
masyarakat. Masyarakat berharap Polri, senantiasa mengubah jati dirinya menjadi polisi yang
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Polri bermetamorfosis menjadi sosok
polisi yang dipercaya, dicintai dan professional dalam melaksanakan tugasnya. Dan
masyarakat harus meresponya dengan sikap positif, namun tetap kritis, suportif dan proposional
dalam menyikapi reformasi yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian kita. Wajah polisi adalah
wajah kita semua, karena polisi lahir dari masyarakat dan berkarya di tengah masyarakat.
Olehnya itu, perlu kiranya aparat kepolisian membangun citra yang dapat dipercaya oleh
masyarakat. Polisi yang dipercaya adalah tangga awal untuk merebut hati masyarakat.
Hubungan antara polisi dan masyarakat sering diibaratkan sebagai ikan dan air. Ikan jelas tidak
bisa hidup tanpa air, demikian pula polisi tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik
tanpa dukungan masyarakat. Dengan demikian, memperoleh dukungan yang ikhlas dari
masyarakat menjadi sangat penting untuk kelancaran tugas, sesuai dengan yang diamanatkan
doktrin polisi mutakhir shaking hands with the entire community (Satjipto Rahardjo, 1999)
bergandengan tangan dengan seluruh komponen strategis masyarakat.
Hati masyarakat hanya bisa direngkuh jika Polisi memahami karakter masyarakat,
menaruh simpati dan empati yang tinggi terhadap penderitaan masyarakat, serta betul-betul
menempatkan diri sebagai pengayom dan pelayan masyarakat. Polisi ada untuk menjaga
keamanan masyarakat secara umum. Dengan demikian, rekomendasi alternatif bagi para
pemimpin kepolisian dan jajarannya adalah:
1. Mampu menjadikan masyarakat sebagai mitra kerja,
2. Mensosialisasikan hukum, agar masyarakat menjadikan hukum sebagai solusi
penyelesaian masalah, dan bukan sekedar instrumen yang harus dipatuhi dalam bertindak.
3. Memiliki sifat realistis dan kritis mampu menjalin kerjasama dengan masyarakat,
4. Mengetahui dengan benar kondisi dan aspirasi masyarakat.
Jika rekomendasi tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan kewenangan dan
peraturan yang berlaku, maka diharapkan Polri dapat mengeliminir segala tantangan, dan
mampu mengayomi, melindungai, memelihara kamtibmas dan penegakan hukum secara
efektif.

Diposkan oleh patuju la di 01.42
http://lapatuju.blogspot.com/2013/04/polisi-di-mata-masyarakat.html

























Penerapan Konsep Polisi Masyarakat

Ada sebuah konsep yang sangat membantu Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat (Kamtibmas). Konsep tersebut adalah Polisi Masyarakat (Polmas). Konsep ini
sebenarnya sudah lama dijalankan Polri, namun dalam pelaksanaannya di lapangan belum
sepenuhnya optimal. Kurang optimalnya pelaksanaan Polmas, bukan berarti Polri kurang
bersungguh-sungguh.

Hambatannya justru muncul dari kurangnya dukungan dari masyarakat karena masih adanya
anggapan negatif tentang Polri. Pada intinya, Polmas merupakan sebuah konsep kemitraan
Polri dengan masyarakat yang bisa mempermudah proses identifikasi masalah, melakukan
analisis, dan menetapkan tindakan apa yang harus diambil dalam rangka memelihara
Kamtibmas.

Konsep Polmas juga merupakan upaya untuk membangun kemitraan Polri dengan masyarakat
atas dasar kepercayaan dan saling mendukung sehingga tercipta kebersamaan dalam rangka
memelihara Kamtibmas. Lewat Polmas ini, Polri bisa membangun kepercayaan masyarakat
terhadap tugas-tugas di lapangan. Lewat Polmas juga masyarakat bisa berperan aktif dalam
memberikan usul, gagasan, atau ide dan tindakan atas sebuah masalah yang berhubungan
dengan Kamtibmas.

Memasuki era globalisasi dengan masyarakat yang terus berkembang, konsep Polmas ini
akan sangat membantu kinerja Polri. Keterlibatan masyarakat dalam konsep Polmas akan
memudahkan tugas Polri, mengingat jumlah personel yang dimiliki saat ini tidak sebanding
dengan populasi penduduk yang hampir mencapai 300 juta jiwa.

Jumlah Polri juga kurang memadai dalam memantau seluruh wilayah Indonesia yang
'superluas'. Mustahil Polri akan mampu meng-cover semua gangguan Kamtibmas, tanpa
bantuan masyarakat.

Menurut penulis, pemunculan konsep Polmas ini sudah tepat. Sebagai anggota Polri, penulis
sangat merasakan, pendekatan yang sifatnya proaktif kepada masyarakat sangat membantu
dalam proses penanganan sebuah masalah. Masyarakat akan menerima Polri dengan tangan
terbuka dan siap memberikan bantuan atas masalah yang sedang ditangani, ketika dari awal
sudah dilakukan pendekatan secara baik.

Salah satu contoh adalah dalam mengatasi masalah kejahatan. Tanpa diminta pun,
masyarakat akan bersemangat melakukan ronda malam dan menjaga wilayahnya dari
gangguan keamanan. Semangat masyarakat itu muncul seiring dengan hadirnya Polri di
tengah-tengah mereka.
Keberadaan Pokdar Kamtibmas, Babinsa, Pamswakarsa, dan lain-lain ternyata cukup efektif
dalam mendekatkan Polri ke masyarakat. Terlebih, dalam kondisi ekonomi yang belum stabil
karena pengaruh krisis global, memicu munculnya kemiskinan baru.
Kemiskinan merupakan mata rantai kejahatan sehingga dalam kondisi ekonomi
sulit, tindak kriminal di masyarakat cenderung meningkat. Untuk menekan kejahatan, Polri tidak
bisa asal tangkap. Tindakan Polri yang gegabah dan cenderung memosisikan diri sebagai
penguasa, akan menjauhkan mereka dari masyarakat.

Perlu diingat, dalam menjalankan tugas, Polri jangan hanya menjadikan masyarakat sebagai
objek yang harus dikejar atau ditangkap karena terlibat masalah. Melalui konsep Polmas, Polri
bisa meyakinkan masyarakat untuk menjadi subjek yang punya kewenangan untuk mengelola
lingkungan sendiri sehingga aman dan tertib.

Untuk menjadikan masyarakat sebagai subjek, Polri bisa bertindak sebagai supervisor yang
mengarahkan bagaimana cara melakukan pengamanan teritorial atau lingkungan. Seiring
dengan bergulirnya era reformasi, tugas Polri dalam masyarakat jangan hanya menampilkan
diri sebagai alat hukum atau pelaksana undang-undang yang hanya mencari kesalahan
masyarakat. Namun, Polri harus lebih menitikberatkan kepada upaya membangun
kepercayaan masyarakat.

Pada tahapan selanjutnya, untuk memelihara Kamtibmas, Polri bisa melakukan pendekatan
teritorial dengan memperhatikan adat istiadat dan norma-norma masyarakat. Untuk
membangun sebuah kemitraan, Polri juga bisa melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan
masyarakat tanpa harus meninggalkan hukum nasional yang mengatur tentang hak asasi
manusia (HAM)dan demokrasi yang bertanggung jawab.

Menurut penulis, penerapakan Polmas sudah sesuai dengan nilai-nilai dasar budaya dan adat-
istiadat bangsa Indonesia, terutama yang terkandung dalam konsep sistem keamanan
swakarsa. Polri tidak perlu memunculkan konsep baru dalam menjalin kemitraan dengan
masyarakat. Supaya konsep Polmas ini tetap relevan diterapkan dalam era modern seperti
sekarang ini, Polri harus membangun dan mengembangkan sistem serta networking yang
bagus dengan konsep-konsep yang ada dalam kehidupan masyarakat.


Hal lain yang sangat penting dilakukan Polri adalah menjaga kepercayaan masyarakat, yang
di antaranya bisa dilakukan dengan meningkatkan pelayanan. Melalui moto 'kami siap
melayani masyarakat', Polri harus bisa membangun komunikasi dua arah sehingga
keberadaannya selalu dinanti dan dibutuhkan.

Penulis yakin, penerapan konsep Polmas akan semakin mendekatkan Polri ke hati masyarakat
dan secara otomatis membantu meningkatkan pelayanan. Salah satu dampak positif konsep
Polmas yang bisa dirasakan adalah penangaan teroris. Sikap masyarakat yang terbuka dan
tidak pelit dalam memberikan keterangan mempermudah Polri membongkar jaringan teroris di
Indonesia.

Penggerebekan beberapa persembunyian teroris, seperti di Cawang dan Cikampek, bisa
menjadi contoh keberhasilan penerapan konsep Polmas. Masyarakat dengan tangan terbuka
menerima kehadiran Tim Antiteror Densus 88 dan membantu kerja Polri di lapangan untuk
memerangi teroris.
Selain penanganan teroris, berjalannya konsep Polmas juga bisa dilihat dari penanganan
demonstrasi. Pada zaman Orde Baru, pendekatan terhadap demonstrasi kebanyakan dengan
cara kekerasan. Namun, melalui konsep Polmas, Polri selalu mengedepankan dialog dalam
menangani demonstrasi. Bukti kemitraan yang dibangun Polri adalah mendampingi para
pendemo dan menjaganya supaya tetap berjalan tertib dan sesuai dengan norma-norma
hukum.
Melalui konsep Polmas, masyarakat tidak perlu khawatir dengan kehadiran anggota Polri, baik
dalam aksi demonstrasi maupun kehidupan sehari-hari. Tidak ada tujuan lain dari Polri dalam
keterlibatannya dalam kehidupan masyarakat, selain hanya untuk mendekatkan diri dan
menjadi mitra dalam melaksanakan tugasnya.





http://artikel-media.blogspot.com/2010/05/penerapan-konsep-polisi-masyarakat.html
Opini Republika 26 Mei 2010

Selasa, 04 Desember 2012
KONSEP POLISI YANG BERKEMANUSIAAN DALAM PEMBANGUNAN PEMOLISIAN
MASYARAKAT DI INDONESIA
Pemolisian Berbasis Hak Asasi Manusia
Institusi kepolisian didirikan untuk menangani berbagai permasalahan sosial yang terjadi di
masyarakat, melakukan penegakan hukum, dan memelihara ketertiban dan keamanan untuk
mendukung meningkatnya kualitas hidup masyarakat. Polisi bertugas secara dinamis dan
berkembang mengikuti dinamika perubahan masyarakat yang dilayaninya, dimana tetap pada
pelaksanaan peran dan fungsinya guna melindungi harkat dan martabat manusia sehingga
dapat melakukan aktifitasnya dengan produktif dan aman dari gangguan kejahatan. Karena
dengan adanya produktifitas tersebut, masyarakat akan berkembang dan tumbuh seiring
dengan stabilitas pembangunan yang telah dirancang oleh pemerintah. Namun apabila
masyarakat tersebut tidak produktif maka akan menjadi penghambat pembangunan bahkan
mematikan produktifitas itu sendiri. Hambatan tersebut salah satunya gangguan keamanan
yang dapat berupa tindakan kriminal, konflik sosial, kerusuhan, permasalahan sosial, dan lain-
lain.
Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang terdiri dari ratusan sukubangsa yang
memiliki berbagai corak kebudayaan yang berbeda satu daerah dengan yang lainnya. Masing-
masing daerah tersebut juga memiliki keberagaman nilai-nilai sosial dan aturan
kemasyarakatan yang terbalut dalam hukum adat istiadat lokal, dimana sukubangsa yang
mendiami daerah sukubangsa tertentu wajib mematuhi aturan yang berlaku di wilayah tersebut.
Sehingga tak jarang hal inilah yang memunculkan konflik sosial di Indonesia, dimana adanya
masyarakat yang tidak produktif menganggap masyarakat lain yang mendiami wilayahnya
bertujuan mengeksploitasi kekayaan alamnya dan tidak membawa kemakmuran bagi daerah
yang ditinggalinya. Konflik sosial ini biasanya muncul berawal dari konflik pribadi akibat adanya
perebutan sumberdaya atau karena harga diri kesukuan yang kemudian meluas menjadi
solidaritas primordial yang disebarluaskan melalui isu sehingga menjadi pemicu konflik di
masyarakat. Adanya korban jiwa dan kerugian harta benda sebagai imbas konflik sosial ini
menuntut adanya sikap proaktif dari polisi untuk menjadi penengah guna mengeliminir dampak
konflik sosial agar tidak semakin meluas (Chrysnanda, 2011: 103).
Masyarakat yang terjebak dalam konflik sosial akan membentuk dirinya menjadi individu yang
beringas, tak segan melakukan pelecehan terhadap hukum, dan melanggar nilai-nilai hak asasi
manusia. Problem mendasar pelaksanaan tugas Polri maupun kepolisian di dunia pada
umumnya dalam menangani hambatan diatas adalah sifatnya yang khas dalam pekerjaan polisi
itu sendiri yang harus berhadapan dengan kejahatan, kekerasan, dan bahaya. Tentunya hal ini
berimbas pada tuntutan masyarakat agar Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tetap
bersikap profesional dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), karena HAM pada
prinsipnya berisi penolakan terhadap penggunaan kekerasan, dimana justru polisi menempati
posisi yang sangat rentan untuk melakukan pelanggaran HAM (Rahardjo, 2007: 46 47). Posisi
polisi sebagai hukum yang sifatnya melindungi kepentingan umum erat kaitannya dengan
legitimasi guna menggunakan kekuatan yang bersifat langsung. Hal ini tentunya disesuaikan
dengan ancaman bahaya yang telah menjadi ciri dari pekerjaan polisi, dimana risiko ini
ditegaskan secara ekstrem dengan adanya polisi-polisi yang meninggal dunia dalam
menjalankan pekerjaannya. Polisi yang tengah menjalankan tugasnya dan menjadi korban
sebagai ekses dari pekerjaannya tersebut, tentunya sama derajatnya seperti warga negara lain
dilindungi hak asasinya. Jadi meskipun tengah menjalankan upaya paksa, seperti
penangkapan, penahanan, penyitaan, dll dan disitu mendapat perlawanan dari orang lain, maka
secara hak asasi, polisi tersebut berhak untuk turut pula mendapat perlindungan hukum dari
tindakan yang dilakukannya, karena mereka bertugas untuk menegakkan hukum, menjaga
ketertiban masyarakat, serta memelihara keamanan, terutama dalam hal pencegahan
kejahatan yang dilakukan seseorang/kelompok kepada orang/kelompok lain. Jadi apabila
mendengar berita bahwa ada polisi yang meninggal akibat dikeroyok warga karena tengah
menjalankan tugas kepolisiannya, maka polisi tersebut seharusnya turut pula dilindungi hak
asasinya sebagai manusia, karena ia tengah menjalankan tugasnya menegakkan hukum atas
terlanggarnya hak asasi orang lain (pelapor) yang merasa terganggu haknya untuk beraktifitas
yang akan menghambat juga produktifitasnya sebagai warganegara. Opini yang tengah beredar
saat ini adalah karena polisi mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk melakukan upaya
paksa terhadap pelaku kriminal, maka apabila polisi tersebut terkena dampaknya (gugur dalam
tugas) akibat adanya perlawanan dari warga yang hendak melindungi pelaku kriminal tersebut,
pelaku penyerangan dianggap tidak melanggar HAM tetapi hanya kriminal murni (pengeroyokan
hingga tewas). Sedangkan apabila polisi yang melakukan upaya paksa dan terpaksa
melakukan tindakan tegas sehingga mengakibatkan pelaku kejahatan meninggal dunia, sering
dianggap melanggar HAM. Keharusan untuk menjunjung tinggi HAM disaat melaksanakan
tugas kepolisian membuat posisi polisi menjadi sulit, terkesan munculnya ketakutan saat
menjalankan tugas. Takut untuk melanggar HAM, padahal justru dengan ketakutan seperti itu,
bisa jadi hak asasi warganegara lain justru yang terlanggar oleh pelaku kejahatan. Hal ini bukan
saja terjadi di Indonesia saja, namun hampir di seluruh kepolisian dunia pun mengalami hal
yang sama. Chesshyre (1989) mengungkapkan kekuatiran tersebut, The ultimate grievance,
....is the belief that the criminal justice system is weighted against the police and in favor of the
criminal.... Selanjutnya, Society wants police officers to catch and convict offenders, while
making it as aukward and difficult for them as it can....We are losing the battle on the streets
because the job is protected by the technicalities of the law, while the policeman has no such
protection (Rahardjo, 2007: 47). Sehingga memang benar adanya, bahwa apabila masyarakat
menuntut polisi yang profesional maka seharusnya Pimpinan Polri tidak henti-hentinya untuk
terus mengingatkan pemolisian berbasis HAM kepada seluruh anak buahnya yang tersebar di
tingkat Polda sampai Pos Pol. Untuk mengimplementasikan pemolisian yang berbasis HAM,
maka polisi harus mengedepankan pendekatan kepada warganegara dan berbagai komunitas
masyarakat sebagai kelompok yang berhak mendapat perlindungan keamanan dari polisi,
tentunya melalui tindakan yang komprehensif, sistematik, patuh pada aturan kepolisian dalam
melakukan tindakan kepolisian yang mendasari standar hak asasi manusia internasional dan
dalam praktiknya terkait tugas dan fungsinya.
Pemolisian berbasis pada HAM berarti setiap tindakan polisi berlabuh pada aturan hukum yang
berlaku dan pengakuan atas supremasi sipil. Dari istilah penegakan hukum itu sendiri, dapat
dipahami bahwa tidak ada penegakan hukum yang terpisah dari hukum. Setiap tindakan
penegakan hukum yang dilakukan polisi (seperti, penggunaan kekuasaan polisi atau upaya
paksa polisi) apabila terjadi diluar aturan hukum yang berlaku dapat dianggap sebagai suatu
kejahatan, atau setidaknya, suatu penyalahgunaan wewenang. Menghormati aturan hukum dan
supremasi sipil yang berlaku merupakan hal yang terbaik yang dapat dicontohkan ketika polisi
mempertanggungjawabkan seluruh tindakan kepolisian, atau dengan kata lain, tidak bertindak
diluar batas kewenangan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak hukum
warganegara. Oleh karena itu, seluruh anggota Polri hendaknya juga mengingat tugas
pokoknya sesuai UU No. 2 Tahun 2002 pasal 14 ayat (1) huruf i, melindungi keselamatan jiwa
raga, harta benda, masyarakat, dan linfkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau
bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Jadi apabila dalam pelaksanaan tugas kepolisiannya kelak, seorang anggota Polri
tidak perlu takut dianggap melanggar HAM apabila dia sudah berbuat sesuai UU yang
mengaturnya, meskipun itu mengakibatkan jatuhnya korban pada warga sipil (pelaku kejahatan)
yang dianggap mencederai hak asasi warga sipil lainnya (korban). Dan sebagai institusi,
hendaknya Polri turut melindungi hak asasi anggota Polri tersebut dengan aturan yang
mengikatnya serta perlindungan bantuan hukum apabila dianggap melanggar HAM oleh
lembaga eksternal padahal yang bersangkutan melakukan itu semua demi melindungi HAM
warga sipil lainnya dari ancaman dan gangguan kejahatan.




Polisi Yang Berkemanusiaan, Wujud Polisi Masa Depan
Ada pendapat beberapa senior polisi yang mengatakan bahwa nilai-nilai disiplin polisi akan
luntur apabila Polri menganut asas pemolisian sipil, nilai-nilai disiplin yang dimaksud adalah
disiplin ketika bergabung dengan militer era Orde Baru dahulu. Polisi akan dianggap lembek
apabila berhadapan dengan masyarakat yang anarkis, karena ketakutannya akan anggapan
pelanggaran HAM. Juga akan dianggap penakut apabila menghadapi tuntutan masyarakat
yang tidak puas pada ketidakprofesionalan polisi dalam menghadapi unjuk rasa atau
penindakan hukum yang berakibat jatuhnya korban kalangan sipil lainnya. Beda apabila
dibandingkan dengan militer, yang rakyat enggan untuk mengungkit-ungkit semua
permasalahan yang berhadapan dengan militer yang disebabkan oleh adanya arogansi militer
ketika berhadapan dengan rakyat (meski hal ini sudah dibantah dengan adanya reformasi di
tubuh militer akhir-akhir ini). Namun sebagian polisi reformis mengatakan, sudah selayaknya
polisi meninggalkan sikap-sikap disiplin paku dan lebih humanis dalam menghadapi
permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Polisi masa kini dan masa depan harus lebih
mengedepankan pendekatan akademis dalam memecahkan masalah, tentunya didukung
pendekatan teknologi kepolisian dan manajemen keamanan. Polisi sudah seharusnya
membuka diri untuk mendiskusikan perilaku sipil, proses sipil, komunikasi sipil, dialog sipil,
interaksi sipil, dan sebagainya tanpa meninggalkan atribut polisi sebagai penegak hukum yang
tidak tebang pilih (Rahardjo, 2007: 61). Untuk itulah pola pendekatan polisi yang represif dalam
menghadapi permasalahan pencegahan kejahatan atau permasalahan sosial di masyarakat
hendaknya sudah ditinggalkan, dimana anggapan polisi yang menempatkan warga sipil dalam
objek perpolisiannya menyebabkan mereka kehilangan hak dalam memperoleh kepastian
hukum. Sudah sepatutnya polisi masa kini menghargai manusia sama derajatnya di mata
hukum, dimana polisi sudah memikirkan bagaimana menolong orang tanpa harus disuruh atau
mengambil langkah-langkah antisipatif dalam melindungi keselamatan orang dan harta
bendanya melalui kegiatan-kegiatan preventif sebagai perwujudan adanya interaksi sipil dalam
pekerjaan polisi.

Tipikal polisi seperti inilah yang sudah mengarah kepada pembentukan polisi yang
berkemanusiaan (humane policing). Pembacaan hak-hak manusia yang berkaitan dengan
hukum saat polisi melakukan upaya paksa terhadap pelaku kejahatan merupakan wujud
pemolisian berbasiskan HAM. Kalau kita sering melihat polisi Amerika menangkap penjahat,
pembacaan hak-hak tersebut pasti akan selalu terlontar sebelum dilakukan upaya paksa
lainnya (Miranda Warning, 1966), you have a rights to remain silent, anything you say can and
will be used againts you in a court of law, you have the rights to speak to an attorney, if you
cannot afford one, an attorney will be provided at no expense to you, you have the rights to not
answer questions at any time and request an attorney to be present before any questioning.
Mungkin alangkah baiknya, kalau Polri juga mengadaptasi hal tersebut untuk diterapkan dalam
penindakan hukum, seperti misalnya anda melanggar undang-undang, anda berhak untuk
tidak menjawab pertanyaan, anda berhak untuk didampingi penasehat hukum untuk
menghadapi kasus ini, apabila anda tidak mampu maka Polri akan menyiapkan
penasehat hukum untuk anda, apapun yang anda katakan nantinya akan menjadi
kesaksian di depan pengadilan
Mengapa saya katakan demikian? Ini menimbang pekerjaan polisi tidak akan mungkin dicintai
oleh masyarakat. Jadi apabila kita lihat arahan dari senior-senior polisi yang mengatakan Ingin
menjadi polisi yang profesional agar dicintai masyarakat itu tidaklah mungkin terjadi, karena
dampak dari pekerjaan polisi adalah melanggar hak asasi manusia. Manusia yang mana?
Tentunya manusia yang melakukan pelanggaran hukum terhadap manusia lain, terhadap harta
benda manusia lain, atau terhadap negara. Sejak manusia itu dilahirkan, manusia berhak untuk
merasakan kebebasan bergerak, manusia berhak untuk bebas dari rasa takut, manusia berhak
untuk menyatakan pendapat, dll. Dan perlu diingat bahwa hak-hak manusia tersebut
berbatasan dengan hak-hak manusia yang lainnya, sehingga ketika ada hak manusia yang
dilanggar oleh manusia lain maka butuh satu lembaga khusus untuk mengatasi masalah
tersebut, dan lembaga itu dipercayakan kepada kepolisian. Nah, ketika polisi bertindak sebagai
konsekuensi hukum yang berlaku, sudah barang tentu akan melanggar hak asasi manusia yang
melanggar hukum tersebut sebagai manusia. Namun sebagai konsekuensi hukum, maka
tindakan polisi tersebut dibenarkan atas nama undang-undang yang berlaku, selagi pelanggar
tersebut mendapat perlakuan yang sama di mata hukum.

Dari sinilah sebenarnya polisi harus menyadari bahwa ada suatu peran yang harus dijalankan
kaitannya dengan tugas pokoknya sebagai polisi, dimana peran itu tidak diberikan kepada
masyarakat biasa. Polisi diberi keistimewaan untuk menghadapi bahaya dan ancaman
kekerasan dengan kekuatan penggunaan kekerasan yang dimilikinya, yang tentunya ditujukan
untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dari ancaman dan gangguan yang ditimbulkan
manusia lain. Peran ini yang seharusnya Polri kembalikan kembali ke dalam konsepsi Tri Brata,
bahwa polisi harus memiliki empati terhadap rakyat dibandingkan dengan penggunaan
kekuatan guna memelihara kamtibmas. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan dengan akar
rumput (grass-roots) untuk mengetahui problematika masyarakat yang disesuaikan dengan
kondisi setempat. Kedekatan dengan masyarakat harusnya menjadi prioritas utama ketimbang
pendekatan represif yang nantinya akan membuat polisi semakin terisolasi dengan masyarakat
yang diayominya. Peningkatan komunikasi dan interaksi sosial dengan masyarakat ditempuh
dengan cara-cara resiprositas polisi-masyarakat, desentralisasi wilayah, reorientasi patroli dan
alternatif gaya pemolisian merupakan perwujudan konsepsi pemolisian sipil Indonesia
(Rahardjo,2004:79).

Konsepsi pemolisian sipil yang tertuang dalam Polmas (Pemolisian Masyarakat) sudah barang
tentu merupakan prinsip-prinsip dasar filosofi dan strategi Polri dalam mewujudkan dan
memelihara kamtibmas melalui pemberdayaan komunitas-komunitas masyarakat guna turut
membantu polisi dalam mengatasi permasalahan sosial sekaligus juga sebagai wadah untuk
pemecahan masalah yang ada dalam masyarakat. Polmas juga sebetulnya tidak perlu biaya
yang besar seperti untuk pembangunan kantor BKPM/FKPM, pengadaan alat-alat kepolisian,
dll. namun cukup dengan meningkatkan sambang, tatap muka, dialog interaktif, konsultasi,
penjagaan, patroli rutin, dan sebagainya didukung dengan teknologi kepolisian maupun peran
aktif masyarakat akan membuat sistem keamanan semakin terpadu dan berkesinambungan.

Program 1 Polisi 1 Desa juga harus didukung secara mutlak oleh Polri, mulai dari
personelnya, kelengkapan sarana dan prasarana, serta penyiapan sistem reward and
punishment bagi setiap keberhasilan/kegagalan. Jangan hanya mengharapkan outcome nya
saja, namun input dan outputnya tidak diperhatikan. Penghargaan bagi polisi yang berhasil
membina wilayahnya (desa, kelurahan, kecamatan, dll) baik itu berupa promosi jabatan atau
kelancaran pendidikan pengembangannya, akan memacu polisi lain untuk berbuat hal yang
sama. Tentunya dengan indikator pelaksanaan pemolisian tersebut tidak memberatkan
masyarakat yang dibinanya. Petugas yang mengawaki program ini harus dirubah mindset-nya
dan harus memiliki kepemimpinan yang transformatif, namun tetap menekankan bahwa
pemolisian yang humanis bukan berarti polisi tidak bertindak tegas apabila ada potensi
kejahatan yang muncul disitu, tetap UU menjadi payung hukum untuk ditegakkan. Karena
tindakan tegas polisi bukan untuk melanggar hak asasi manusia, namun untuk melindungi
harkat dan martabat manusia yang produktif, dari gangguan dan ancaman manusia lain yang
tidak produktif, agar produktifitasnya tidak terganggu (Chrysnanda, 2011: 148).
Tentunya program ini harus didukung dari hulu ke hilir, harus ada komitmen dari Pimpinan Polri
untuk mendukung terlaksananya program ini secara terpadu dan berkesinambungan. Hal ini
perlu juga didukung fasilitas dan anggaran bagi para pelaksananya, namun harus secara
akuntabel dipertanggungjawabkan dengan pekerjaan yang telah dikerjakannya. Para
punggawanya pun harus orang-orang yang memang berdedikasi tinggi dan memiliki integritas
moral untuk mengabdikan diri pada negara dan masyarakat, tidak bisa hanya main tunjuk
namun tidak ada motivasi untuk menuju perubahan. Beri penghargaan bagi mereka yang
berhasil melakukan pembinaan keamanan, dan beri sedikit teguran bagi mereka yang tidak
secara serius melakukan pembinaan kepada desa/wilayah yang menjadi tanggungjawabnya.
Kalau perlu ajak para polisi yang telah berhasil ini untuk melakukan studi banding keluar negeri,
di negara yang pemolisian masyarakatnya bisa dikatakan cukup berhasil untuk menekan angka
kejahatan melalui pola pendekatan kerjasama dengan masyarakat. Ini semua dilakukan demi
terwujudnya keamanan dan ketertiban di Indonesia. Dan sekali lagi, perlu komitmen moral dari
semua personel Polri untuk mewujudkan ini semua.

Referensi:

Chrysnanda, DL. 2011. Kenapa Mereka Takut dan Enggan Berurusan Dengan Polisi? Sebuah
CatatanHarian.Jakarta:YPKIK-UI.

Rahardjo, Satjipto. 2004. Sosok Polisi Rakyat Menuju Indonesia Baru (dalam Bunga Rampai
Ilmu Kepolisian Indonesia, Parsudi Suparlan, ed.). Jakarta: YPKIK-UI.

Rahardjo, Satjipto. 2007. Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan
Kemasyarakatan. Jakarta: Kompas-Gramedia.
Diposkan oleh arriwp1997 - Police Hazard 2 di 14.31
http://arriwp1997.blogspot.com/2012/12/konsep-polisi-yang-berkemanusiaan-dalam.html













Minggu, 12 September 2010
POLMAS SEBAGAI STRATEGI PARTNERSHIP BUILDING

ABSTRAK
Perpolisian masyarakat (Polmas) dewasa ini telah menjadi model perpolisian dalam masyarakat
moderen. Model perpolisian yang menempatkan masyarakat bukan semata-mata sebagai
obyek tetapi subyek dan mitra kepolisian dalam pemecahan masalah Kamtibmas. Kondisi
karakteristik masyarakat di Indonesia merupakan modal awal dan faktor pendukung dalam
pembangunan Polmas (Community Policing). Dalam membangun kemitraan diperlukan
kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi baik aspek teknis maupun penegakan hukum.
Guna mendukung efektifitas implementasi Polmas, institusi kepolisisan telah dan terus
melakukan reformasi birokrasi sebagaimana tuntutan dan harapan masyarakat.
Polmas menjadi aspek strategis dalam membangun kepercayaan masyarakat kepada
kepolisian. Kepercayaan inilah yang bila ditumbuhkembangkan pada gilirannya menjadi faktor
pendukung strategis dalam membangun kemitraan polisi-masyarakat, keberhasilan
membangun kepercayaan masyarakat akan berdampak pada keberhasilan membangun
kemitraan, demikian sebaliknya. Polmas merupakan salah satu strategi dalam partnership
building yang diperlukan dukungan trust building.
Penerapan Polmas terkait dengan upaya membangun kerjasama polisi - masyarakat guna
menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan Kamtibmas,,
tidak hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan
permasalahannya. Dalam konteks ini diperlukan kondisi kepercayaan masyarakat yang
kondusif sebagai strategi membangun kemitraan polisi-masyarakat. Untuk itu dibutuhkan
unsurunsur pendukung yakni profesionalisme, implementasi paradigma polisi mitra
masyarakat secara proporsional. Strategi tersebut mencakup pembinaan aspek internal
maupun eksternal yang relevan dalam mewujudkan kemitraan.

(Key Words : Polmas, perpolisian moderen, reformasi birokrasi polisi, membangun kepercayaan
masyarakat, polisi professional, paradigma kemitraan polisi-masyarakat, dan strategi partner
shipbuilding.




I. Pendahuluan

1. Latar Belakang.
Perjalanan reformasi telah membawa seluruh institusi dan komponen masyarakat negeri ini
untuk terus berbenah diri. Pembenahan telah menyentuh berbagai ranah yang mengatur
kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut seiring dengan tuntutan kualitas
pelayanan publik yang selama ini telah mengalir melalui setiap kebijakan birokrasi. Kepolisian
merupakan bagian integral aparat negara yang mengemban amanah melalui visi, misi, dan
tugas pokoknya sebagai penegak hukum, pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat.
Sejalan dengan pemikiran di atas maka terdapat hal-hal yang perlu dicermati secara tepat
terkait dengan operasionalnya yakni; Falsafah kepolisian yang bersifat personal dalam arti
anggota polisi yang sama bertugas di masyarakat yang sama; Gaya manajemen dan strategi
organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara pro-aktif; Tujuan untuk
memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun permasalahan lain dalam
masyarakat, dengan menerapkan prinsip menjalin hubungan kemitraan polisi-masyarakat.
Perpolisian tradisional lebih menekankan pada angka statistik penyelesaian kasus (crimes
solved or offenses cleared by arrest) sebagai parameter hard data untuk membuktikan
berhasilnya pekerjaan kepolisian. Perpolisian moderen merupakan hasil perkembangan
perpolisian konvensional. Selain itu juga memberikan masyarakat peran untuk ikut
bertanggungjawab terhadap Kamtibmas. Sedangkan unsur penegakan hukum tetap menjadi
tanggungjawab polisi. Terkait dengan itu polisi melakukan pendekatan terhadap masalah
kejahatan dilihat dari perspektif yang lebih luas, mulai dari mencari asal mula kejahatan sampai
pada pemecahan masalah kejahatan maupun masalah lain yang menjadi perhatian publik. Pola
perpolisian berorientasi pada penuntasan masalah (problem solving policing) dan kegiatan
sepenuhnya berorientasi pada pelayanan publik (public service policing). Pemolisian
mengandalkan sumber daya setempat (resource based policing), dan mengakomodir
kebutuhan masyarakat, serta mempertahankan kedekatan dengan masyarakat (community
policing).
Selain itu sebagai dukungan terhadap perpolisian moderen implementasi Polmas diwujudkan
oleh kiprah kepolisian profesional, demokratis, berwibawa, kuat, dan dekat dengan masyarakat.
Hal tersebut sangat relevan dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang harmonis.
Perlunya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian guna membangun kemitraan. Dalam
implementasi tugas-tugas kepolisian dituntut cocok dengan kebutuhan masyarakatnya.
Diperlukan kebijakan pimpinan institusi kepolisian dalam membangun kemitraan masyarakat
baik terkait dengan aspek teknis kepolisian, penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)
maupun penerapan Polmas. Sebagai model strategi dalam membangun kemitraan (partnership
building) maka Polmas dibutuhkan efektifitas perannya dalam implementasinya.
Citra polisi di mata masyarakat dengan iklim yang kurang kondusif akan menjadi ganjalan
dalam membangun kemitraan. Tuntutan pencintraan tersebut sangat terkait dengan perilaku
polisi yang etis dan bermoral. Dampak reformasi Indonesia adalah lahirnya tuntutan masyarakat
terhadap institusi kepolisian dengan citra profesional dan humanis. Untuk itu maka kini terus
dilakukan uapaya memantabkan kultur polisi sipil yang demokratis, menegakkan hukum dan
hak asasi manusia. Polmas dalam partnership building mendorong terwujudnya kepolisian
profesional dan berorientasi pada kepuasan masyaraka. Hal ini telah mengedepankan tindakan
proaktif, menjadikan masyarakat sebagai subyek. Menempatkan masyarakat sebagai mitra
kerja yang setara dalam mewujudkan Kamtibmas.

B. Permasalahan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan pokok permasalahan
yakni : Bagaimanakah Polmas sebagai strategi dalam partnership building?

II. Pembahasan
Hakekat, landasan hukum, dan landasan konseptual Polmas

1. Hakekat Polmas.
Pada hakekatnya Polmas atau perpolisian masyarakat (community policing) merupakan :
a). Perwujudan kerjasama Polisi dan masyarakat untuk menanggulangi kejahatan dan
ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketentraman umum dalam
kehidupan masyarakat setempat. Konsepsi Polmas secara konvensional
melembaga dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Polmas merupakan
model community policing ala negeri ini.
b). Menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial mengandung makna bukan
hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan
permasalahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap Kamtibmas.
c). Menciptakan ketentraman umum. Mengandung makna bahwa Polmas bukan hanya
sekedar meniadakan gangguan faktual terhadap Kamtibmas tetapi juga perasaan
takut warga menghadapi gangguan Kamtibmas.
d). Kerjasama Polisi dan masyarakat yang mengandung makna bukan sekedar bekerja
bersama dalam operasionalisasi penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban
sosial tetapi juga meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup keseluruhan
proses manajemen, mulai dari perencanaan sampai pengawasan/ pengendalian
dan analisis/ evaluasi atas pelaksanaannya.
e). Falsafah kerja kepolisian yang bersifat personal dalam arti anggota polisi yang
sama bertugas dalam masyarakat, didukung oleh gaya manajemen dan strategi
organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara proaktif
bersama-sama dengan masyarakat.
f). Polmas mempunyai tujuan memahami dan menanggulangi sebab kejahatan
maupun permasalahan lain dalam masyarakat, dengan bekerja dalam hubungan
kemitraan polisi-masyarakat, dengan polisi sebagai "problem solver".
g). Pemolisian Masyarakat suatu filosofi atau strategi yang dimiliki oleh anggota Polri
dalam melaksanakan tugasnya. Dan hal yang terpenting bagi Polri sebelum
menerapkan Polmas adalah bagaimana institusi tersebut dapat dipercaya oleh
masyarakat, untuk mempermudah terjadinya kemitraaan.

2. Landasan Hukum.

Landasan hukum Perpolisian masyarakat meliputi :

a). UUD 1945 perubahan Kedua Bab XII Pasal 30 : (1) Tiap-tiap Warga Negara berhak
dan wajib ikut serta dalam usaha Keamanan negara. (2) Usaha Keamanan
negara dilaksanakan melalui sistem keamanan rakyat semesta oleh dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat,
sebagai kekuatan pendukung.
b). Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dalam Pertimbangan huruf b ditegaskan bahwa Pemeliharaan Keamanan Dalam
Negeri dilakukan oleh Polri selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sedangkan pada Pasal 3 : (1)
Pengembangan fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang dibantu oleh : kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau
bentuk-bentuk pengawasan swakarsa. (2) Pengemban fungsi kepolisian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c, melaksankan fungsi
kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing.
c). Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri.
d). Bahwa untuk anev Polmas dilakukan melalui sistem pendataan yang memungkinkan
proses analisis dari satuan terbawah Kepolisian Sektor (Polsek) sampai Markas
Besar (Mabes Polri) (pasal 54).) Dalam Skep/737/X/2005, Polmas menjadi program
penuh dari tingkat Polsek sampai Polres, sedangkan pengawasan kegiatan
dilakukan hingga tingkat Polda.

3. Landasan Konseptual

Pengertian berbagai hal yang perlu diuraikan terkait dengan pengertian Polmas adalah sebagai
berikut :

a). Konsep Polmas mencangkup dua unsur yakni Perpolisian dan masyarakat.
Secara harafiah, perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata Policing berarti
segala hal ikhwal penyelenggaraan fungsi Kepolisian. Pengelolaan fungsi kepolisian
secara menyeluruh. Mulai dari tataran manajemen puncak sampai manajemen lapis
bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filosofinya.
b). Masyarakat yang merupakan terjemahan dari kata Community dalam konteks
Polmas berarti warga masyarakat yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang
jelas batas-batasnya. Dalam perkembangan kebijakan Kapolri selanjutnya
Community Policing diterjemahkan sebagai pemolisian masyarakat atau perpolisian
masyarakat atau disingkat Polmas. Sedangkan pemolisian, merupakan
pemberdayaan seluruh komponen dan sumber daya yang dapat dilibatkan dalam
tugas dan fungsi guna mendukung penyelenggaraan fungsi kepolisian agar
mendapatkan hasil yang lebih optimal.
c). Trust building dalam konteks ini dimaksudkan sebagai public trust building yakni
membangun kepercayaan masyarakat terkait dengan strategi Polmas.
d). Perpolisian masyarakat dalam trust building dimaksudkan sebagai seluruh kiprah
perpolisian masyarakat baik terkait dengan hakikat Polmas maupun muaranya pada
upaya membangun kepercayaan masyarakat kepada kinerja kepolisian, sehingga
memerlukan langkah-langkah strategis.
e). Partnership building dimaksudkan sebagai kegiatan membangun kemitraan polisi
masyarakat dalam mewujudkan Kamtibmas. Sebagai strategi mencapai partnership
building maka implementasi Polmas menekankan kemitraan polisi masyarakat
dalam menyelesaikan setiap permasalahan Kamtibmas.



f). Model Polmas dapat mengambil bentuk :

1. Model wilayah

a). Mencakup satu atau gabungan beberapa area/kawasan pemukiman (RW/ RK/
dusun/ desa/ kelurahan). Pembentukan Polmas model ini harus lebih didasarkan
pada keinginan masyarakat itu sendiri, walaupun proses ini bisa saja
dilatarbelakangi oleh dorongan Polisi.

b). Model kawasan yaitu satu kesatuan area kegiatan bisnis dengan pembatasan
terhadap wilayah hukum yang jelas seperti mall, pusat perdagangan,
perkantoran, dan kawasan industri). Polmas model ini dapat dilakukan inisiatif
bersama masyarakat dan petugas kepolisian.

c) Perwujudan nilai-nilai dan hakekat Polmas, telah bermuara pada lahirnya trust
building dan berdampak pada tumbuhnya kemitraan.

2. Konsep Community Policing (CP).

Menurut para ahli seperti Trojanowich (1998), Bayley (1988), Meliala (1999), dan
Rahardjo (2001) yang secara garis besar menekankan pada pentingnya kerjasama
antara polisi dengan masyarakat tempat bertugas untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah-masalah sosialnya sendiri. Konsep Polmas yang diadopsi
Polri sekarang ini, bervariasi. Ada yang mirip sistem Koban atau Chuzaiso dari
Jepang, sistem Neighbourhood Policing dari Singapura, atau Community Policing
dari Amerika Serikat. Konsep tersebut dimodifikasi di Indonesia, karena karakteristik
budaya masyarakatnya. Perlu ada penyesuaian cara bertindak sebagai penjabaran
konsep Polmas tersebut dengan karakteristik masyarakat. Meski demikian,
pengertian Polmas sampai saat ini masih ada yang mengartikan pemolisian
masyarakat dan pembinaan Kamtibmas maupun Community Oriented Policing
(COP). Namun demikian dalam perkembangannya telah dimodifikasi dengan
kebijakan tentang Polmas sebagai pemolisian masyarakat.





3. Kultur polisi sipil.

Merupakan gambaran dari budaya kepolisian yang akan secara langsung ditanggapi
oleh masyarakat, dengan pujian, perasaan puas, atau dengan celaan dan
ketidakpuasan masyarakat terhadap sikap dan perilaku Polri. Dalam rangka
pemantapan kultur Polri, maka perlu diurai mengenai elemen budaya yakni artefak,
nilai-nilai (values) dan asumsi dasar atau paradigma.) 1. Artefak, merupakan elemen
budaya yang kasat mata, mudah diobservasi oleh seseorang atau kelompok orang
baik dalam maupun luar organisasi. Menurut Mary Jo Hatch (1997) kategorisasi
artefak yakni manifestasi fisik, yang terdiri atas logo, bentuk bangunan, cara
berpakaian, tata letak bangunan, dan design organisasi. Sedangkan manifestasi
perilaku antara lain upacara-ritual, cara berkomunikasi, tradisi/kebiasaan, sistem
reward dan punishment, cara menyapa, mitos/sejarah/cerita-cerita sukses, dan
metafora yang digunakan). Untuk itu perubahan secara kultural harus menampilkan
sosok polisi yang ramah, tidak lagi memeras, tidak suka menjebak, tidak lagi arogan,
tidak sewenang-wenang dan tidak bisa dibeli oleh calo kasus kejahatan. 2. Nilai-nilai
(values), adalah sebuah konsep yang abstrak., namun bila diimplementasikan dalam
model Polmas dikaitkan dengan transparansi dan akuntabilitas kinerja kepolisian
akan sangat mendukung terwujudnya kemitraan polisi-masyarakat.

4. Kultur Masyarakat.

Kultur masyarakat merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola
kehidupan bersama. Dalam proses ini masyarakat memasukkan gagasan tentang
hak dan kewajiban, kemudian merumuskan dalam sistem aturan baik yang bersifat
formal maupun non-formal beserta sarana dan prasarana untuk mengelola dan
menegakkannya. Beberapa tuntutan terkait dengan persoalan masa lalu yang belum
terselesaikan yakni telah menciptakan perasaan kekecewaan, kekhawatiran, dan
ketidakadilan masyarakat. Salah satu bidang penting dari perkembangan itu adalah
lemahnya lembaga penegak hukum akibat dari krisis sosial dan kepercayaan yang
berkepanjangan. Dalam kondisi ini untuk membangun kemitraan diperlukan kultur
polisi yang relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.





5. Sinerginya Kultur Polisi dan Kultur Masyarakat.

Setelah kemandirian Polri model Polmas di berbagai struktur kepolisian dan
masyarakat terus dikembangkan. Dalam implementasinya, terbentuknya sejumlah
FKPM (Forum Komunikasi Polisi Masyarakat) sebagai wadah bertemunya aparat
kepolisian dan masyarakat. Melalui ruang yang mengedepankan kebersamaan baik
dalam pembahasan maupun tindakan tentang soal Kamtibmas dan isu-isu sosial
lainnya. FKPM dalam proses berikutnya, bisa menggunakan perkumpulan atau
organisasi kemasyarakatan yang sudah ada. Misalnya saja perkumpulan Karang
Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK, dan lain-lainnya. Dalam hal
inilah pentingnya program Polmas yang awalnya dikenal dengan COP (Civilian
Oriented Policing), polisi yang berbasis masyarakat sipil. Program ini merupakan
salah satu wujud dan arah polisi Indonesia masa depan,) di era reformasi polisi.
Antara kultur polisi yang melayani dan menegakkan hukum secara profesional
menjadi sinergi dengan kultur masyarakat yang berperilaku demokratis, reforrmis,
dan kultur yang mendukung penegakan hukum dan hak asasi manusia.

6. Polmas Sebagai DukunganTerhadap Pencitraan Polisi.

Pencintraan merupakan suatu proses menuju terwujudnya citra polisi sebagai
pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat serta penegak hukum. Sebagai profil
profesional, bermoral dan moderen, polisi dalam melaksanakan tugasnya
memahami dan menerapkan prinsip - prinsip dasar penegakan HAM. Dalam rangka
kemitraan Polisi masyarakat, dibutuhkan keterampilan komunikasi yang efektif,
dengan bermacam-macam orang dari lapisan yang berbeda. 1) Komunikasi internal
terjadi ketika dengan sesama anggota kelompoknya. 2) Komunikasi eksternal terjadi
ketika anggota kepolisian berkomunikasi dengan departemen terkait dalam
pemerintahan, organisasi- organisasi non pemerintah, kalangan bisnis, korban
kejahatan, pelaku kejahatan dan anggota masyarakat lainnya. Implementasi Polmas
yang efektif akan mendukung efektifitas pencintraan polisi, polisi yang bercitra
profesional dan humanis dalam mewujudkan tugas memelihara Kamtibmas.

Unsur Utama dari Kemitraan Efektif, yang meliputi :
- Sifat sukarela untuk bermitra
- Saling ketergantungan sebagai dampak dari saling berbagi tanggung jawab.
- Sumber daya, dan kompetensi.
- Sinerginya konsep nilai tambah atau jumlah yang lebih besar dari pada bila tidak
bermitra, namun hanya secara individu
- Komitmen atau perjanjian pada bagian dari peserta.
- Bekerja bersama-sama para mitra di semua tingkat, tahapan serta pelaksanaan
dan evaluasi.
- Adanya tambahan dukungan
- Terjadinya peningkatan berbagai jenis sumber daya dan kompetensi.
- Terjadinya komunikasi yang baik.
- Saling Menghormati Dan Saling Percaya

g). Pemantapan Kultur. Konsep pemantapan, untuk menggambarkan perubahan
dari kondisi kultur polisi sipil yang masih kurang stabil menjadi lebih stabil.
Pemahaman tentang :

1). Kata civil dikaitkan dengan civility yang secara harafiah berarti kesopanan.
Dalam kata civilize yang berarti membudayakan lebih sopan. Kata civilization
yang berarti peradaban, cara hidup orang atau negara yang beradab.
Dengan demikian, civility tidak bisa diartikan hanya sebagai kesopanan,
melainkan mencakup pemahaman yang lebih luas, termasuk peradaban.

2). polisi sipil bukan polisi kekuasaan meskipun menggunakan kekuasaan
lasimnya kepolisian. Konsep polisi sipil adalah pada pengakuan polisi atas
diri klien sebagai sosok bermartabat dan berharga diri. Nilai-nilai
martabat/harga diri tersebut melekat dalam setiap pelayanan, pengayoman,
perlindungan dan penegakan hukum.

I. Analisis Faktor Pengaruh Kinerja Kepolisian.

1. Aspek Sumber Daya Manusia.

Dengan berbagai keterbatasan sumber daya manusia, maka Polri kini terus
membuat dan melaksanakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM).
Di berbagai daerah dibangun pula Pemuda Mitra Kamtibmas (PMK), ada Ulama
Mitra Kamtibmas dan sebagainya. Yang perlu bagi tuntutan masyarakat adalah
dibangun wadah untuk menjembadani antara masyarakat dengan polisi. Kondisi
kemitraan polisi dengan masyarakat masih perlu terus ditingkatkan. b.Kondisi
sebagian masyarakat yang masih merasa takut berhubungan dengan polisi.
Masyarakat masih melihat polisi bagai hantu yang menakutkan. Meski Polri juga
memberi kesempatan kepada masyarakat untuk tidak takut melaporkan apabila ada
oknum polisi yang arogan dan merusak citra. Masyarakat perlu sadar akan haknya
untuk mendapatkan pelayanan dan sebagai mitra polisi.

2. Aspek Kultur.

Kultur kepolisian Indonesia dibangun atas dasar nilai-nilai Tribrata dan Catur
Prasetya sebagai pedoman dan tuntunan dalam bertugas. Di samping itu juga
berorientasi pada penjabaran nilai-nilai Filosofi, Visi, Misi, tujuan, tugas, wewenang
dan Doktrin Polri. Semuanya bermuara pada upaya untuk memelihara Kamtibmas.
Melalui kegiatan melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, kiranya mampu
mendorong meningkatnya kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat." b. Polisi
sebagai elemen aparatur pemerintahan. Berbagai persoalan publik diharapkan
dapat dilakukan sharing-position polisi dengan masyarakat dalam pelaksanaan
tugasnya, hal ini sebagaimana dirumuskannya konsep community policing oleh
Robert R Friedmann (1998). c. Perubahan kultur polisi sebagai kerangka konseptual
untuk mengimplementasikannya.

3. Aspek Konsistensi Pelayanan Polisi.

Pertama-tama yang perlu dibenahi adalah mentalitas. Mental pelayan diberikan
makna positif seiring dengan komitmen seluruh komponen kepolisian. Secara
kasuistis penyimpangan petugas kepolisian berdampak negatif. Terutama di tengah
kepolisian yang sedang membangun kemitraan dan kepercayaan masyarakat.
Misalnya saja Babinkamtibmas telah memberikan penyuluhan bahwa polisi saat ini
telah berubah, sudah transparan, tak diskriminasi, dan akuntabel, tak lagi ada
pungutan yang menyimpang ketentuan. Namun ironis memang karena masih saja
ada sebagian warga yang merasakan ketika berurusan dengan masalah pelayanan
oleh petugas polisi ketika menegakkan hukum, sebagian warga masyarakat
mengalami perlakuan yang diskriminatif dan pungutan liar yang membebaninya.

4. Aspek Perilaku Aparat.

Bahwa masih adanya perilaku aparat yang belum sesuai dengan harapan
masyarakat. Perilaku arogan yang masih melekat sebagai warisan masa lalu. Di
berbagai daerah, masih banyak oknum-oknum yang belum menyadari tugas
sebagai Polri. Banyak oknom polisi yang bersikap arogan dan seakan-akan kebal
hukum. Kebijakan Polri itu tidak pernah demikian. Disadari bahwa hal tersebut
hanyalah ulah oknum saja, namun ulah segelintir oknum tersebut nama baik Polri
menjadi tercemar. Sekarang ini, pimpinan Polri sedang berupaya menertibkan
polisi-polisi nakal yang mencemarkan nama baik institusi Polri. Sosok polisi ideal itu
adalah low profile, berkomitmen kuat dan punya kemauan kerja, serta memiliki
dedikasi yang tinggi. Sedangkan kekurangan Polri, adalah pengawasan secara
internal. Kelemahan ini tergolong klasik, ada istilah jeruk makan jeruk. Sesama
anggota dalam melaksanakan pengawasan di instansi manapun tak bisa dijamin
obyektivitasnya.


5. Aspek Efektifitas Menghadapi Perubahan.

Tantangan bagi institusi kepolisian dalam melayani masyarakat yang dinamis dan
memang telah banyak mengalami perubahan, namun masih belum efektif. Misalnya
saja bagaimana menyesuaikan struktur pengelolaan (governing stucture) kepolisian
agar dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Efektivitas struktur pengelolaan
organisasi kepolisian dalam melayani masyarakat telah bergerak dari bentuk
birokrasi (bureaucracy) ke bentuk pasar (market), lalu ke bentuk jaringan (network),
lagi-lagi masih mengalami berbagai ketimpangan.

6. Aspek Efektifitas Komunikasi dengan Masyarakat.

Polri harus memperbanyak komunikasi dengan masyarakat. Kemudian lebih banyak
melibatkan masyarakat dalam Kamtibmas. Masyarakat juga harus turut serta. Jadi
harus ada kedekatan antara polisi dengan masyarakat. Hal ini guna mewujudkan
keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan Kamtibmas.

7. Aspek Efektifitas Penggunaan Hukum dan Peraturan non pidana.

Dalam perkembangannya kini semakin banyak persoalan yang muncul. Dalam
faktanya hal tersebut telaha diatur dalam berbagai produk hukum, peraturan-
peraturan, undang-undang publik, dan statuta. Peraturan-peraturan serta undang-
undang tersebut dapat digunakan polisi untuk membantu memecahkan masalah.
Peraturan-peraturan tentang bangunan, misalnya, dapat digunakan untuk
menegakkan tindakan pencegahan kejahatan. Peraturan mengenai kebisingan
suara dapat pula digunakan untuk menangani penyewa kamar yang susah diatur,
peraturan mengenai kesehatan dapat digunakan untuk mencegah terlalu padatnya
tingkat hunian dan mencegah peredaran narkoba.

8. Aspek Kebijakan di Bidang Operasional.

Kebijakan di bidang operasional diarahkan agar terpeliharanya Kamtibmas,
tegaknya hukum serta meningkatnya kualitas perlindungan, pengayoman dan
pelayanan masyarakat, guna terwujudnya Kamdagri. Penerapan strategi tersebut
antara lain adalah meningkatkan pemeliharaan Kamtibmas dengan
mengedepankan pendekatan pre-emtif dan preventif.

9. Aspek Sikap Perilaku Anggota Polri.

Masih banyaknya perilaku yang belum sepenuhnya mencerminkan jati diri sebagai
pelindung, penyayom dan pelayan. masyarakat Penampilan Polri masih menyisakan
sikap perilaku yang arogan, cenderung menggunakan kekerasan, diskriminatif,
kurang responsif dan belum profesional masih merupakan masalah yang harus
dibenahi secara terus menerus.

II. Polmas Sebagai Strategi Dalam Partnership Building

1. Pembinaan Terhadap Aspek Internal.

a. Mengembangkan Sistem Pembinaan Sumber Daya Manusia. Pembinaan SDM
khusus bagi petugas Polmas yang meliputi :

- Rekruitmen, pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para pelatih maupun
petugas Polmas.
- Pembinaan karier secara berjenjang dari tingkat kelurahan sampai dengan
supervisor dan pembina Polmas tingkat Polres dan seterusnya.
- Penilaian kinerja dengan membuat standar penilaian baik untuk perorangan
maupun kesatuan.
-
2. Pemberian penghargaan dan penghukuman yang tepat dan consisten.
Menyelenggarakan program-program pendidikan dan pelatihan Polmas secara bertahan
sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan.
3. Meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tugas Polmas.
4. Menyediakan dukungan anggaran yang memadai dalam pelaksanaan tugas Polmas.
5. Mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi penerapan
Polmas sehingga setiap aktivitas penyajian layanan yang berorientasi kepada
kepentingan masyarakat. Setiap anggota Polri seharusnya menunjukkan sikap dan
perilaku yang respek dan senantiasa membangun hubungan yang harmonis.
Meningkatkan kemampuan anggota kepolisian sehingga tercapai kinerja yang
diharapkan. Proses tersebut melibatkan peran masyarakat sebagai mitra kepolisian.
6. Mengembangkan Model Penerapan Polmas. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
kebijakan, bahwa Polmas merupakan kebijakan strategis mengingat hal tersebut
merupakan wujud perkembangan kepolisian moderen dalam Negara demokrasi yang
plural yang menjunjung tinggi hak asasi manusia yang diwujudkan dalam :

a) Polmas yang dikembangkan dari pola tradisional seperti Model Siskamling seperti
ronda kampung dan ronda kawasan pemukiman) . 2)
b) Pemberdayaan Pranata Sosial seperti halnya dengan Jaga baya, jaga tirta,
Pecalang, dan Pela gandong. 3)
c) Melalui intensifikasi kegiatan fungsi Binmas Polri dengan penerangan dan
penyuluhan.
d) Patroli.
e) kegiatan pembinaan oleh fungsi teknis kepolisian.
f) penggalangan potensi komunitas.
g) pendidikan/pelatihan keterampilan Kamtibmas.
h) Koordinasi dan kerjasama kamtibmas. Polmas yang dikembangkan dari Pola
Community Policing di Negara lain yang kini diadopsi di Indonesia meliputi :

- Perpolisian masyarakat sesuai dengan Skep Kapolri No. Pol. :Skep/737/X/2005)
yang terdiri atas komponen petugas Polmas, pembentukan FKPM, pembentukan
Balai Kemitraan Polri-masyarakat.
- Di Jepang yakni sistem Koban dan sistem Chuzaisho.
- Kanada dan Amerika Serikat melalui Hot Spot Area dan Neighborhood Watch.

7. Memberikan Program Pelatihan. Program pelatihan diberikan kepada setiap anggota
kepolisian tentang teknologi kepolisian dan tehnik berkomunikasi dengan masyarakat
secara efektif. Polri harus memperbanyak komunikasi dengan masyarakat. Kemudian
lebih banyak melibatkan masyarakat dalam Kamtibmas. Masyarakat juga harus turut
serta. Jadi harus ada kedekatan antara polisi dengan masyarakat. Hal ini guna
mewujudkan keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan
kamtibmas. Sedangkan teknologi kepolisian, adalah untuk mendukung trust building.
Dimaksudkan untuk mendukung profesionalisme kepolisian. Bahwa secara teknis
pengembangan teknologi kepolisian merupakan bagian dari unsur kualitas pelayanan
kepolisian yang moderen dan akan memampukan institusi kepolisian untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat.

8. Menerapkan Manajemen Perubahan Secara Konsisten. Guna keberhasilan Polmas
maka harus didukung perubahan manajemen. Hal ini terkait dengan Polmas sebagai
strategi yang mendasar dari penyelenggaraan tugas kepolisian yang semula mendasari
prinsip layanan birokratif menuju arah personalisasi penyajian layanan kepolisian, yakni
yang layanan nyata oleh petugas kepolisian yang langsung bersentuhan dengan warga
masyarakat.) Selain itu layanan juga dilaksanakan oleh seluruh tingkatan, dengan
kebijakan yang komprehensif. Perubahan manajemen Polri diarahkan untuk mendukung
kebijakan Polmas, diarahkan untuk berkembangnya organisasi yang berdaya saing
sehat, setiap individu diarahkan kepada penciptaan kesempatan melakukan perubahan
baik karier maupun kehidupan pribadinya. Perlu langkah antisipatif terhadap penolakan
perubahan manajemen bagi yang telah berada pada zona aman.

9. Mengembangkan Sistem Pengawasan yang Efektif. Untuk meningkatkan profesionalitas
dan kinerja personil Polri, dibutuhkan sistem pengawasan dan penilaian terhadap
perencanaan dan implementasi program kerja atau kegiatan guna mengetahui tingkat
keberhasilan pelaksanaan program kerja atau kegiatan tersebut. Mekanisme
pengawasan dilakukan secara berkala, mencakup pengawasan internal organisasi Polri
dan pengawasan yang dilakukan pihak lain di luar Polri, seperti masyarakat, media
massa, ormas, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lain-lain. Sedangkan sistem
penilaian (evaluasi) dilakukan pada setiap periode tertentu atau pada akhir program
kerja dan didasarkan atas kriteria dan indikator keberhasilan program kerja yang jelas
dan transparan.

10. Mengembangkan Akuntabilitas Publik. Polri merupakan lembaga publik yang secara
struktural bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia, namun secara moral
juga bertanggung jawab kepada rakyat, karena sumber anggaran Polri berasal dari
pajak-pajak yang dibayarkan masyarakat. Oleh karena itu, Polri harus
mempertanggungjawabkan seluruh penggunaan anggaran kepada masyarakat sebagai
bentuk akuntabilitas publik oleh Polri. Sebagai bentuk akuntabiltas publik, pemimpin
Polri dapat membangun mekanisme pertanggungjawaban setiap unit dari kesatuannya.
Setiap unit di kesatuan Polri (Mabes, Polda, Polres dan Polsek) harus membuat laporan
pertanggungjawaban yang menunjukkan tingkat pencapaian hasil berdasarkan
perbandingan antara perencanaan dengan realisasi (program dan anggaran).

11. Memberikan Pelatihan Pelayanan Prima. Kepada seluruh petugas kepolisian diberikan
pelatihan pelayanan prima, pembenahan aspek mentalitas. Mental pelayan bukan lagi
slogan kosong namun diberikan makna dengan komitmen seluruh komponen kepolisian.
Sering terjadi secara kasuistis namun berdampak negatif akan adanya konsep pelayan
masyarakat namun praktiknya perilaku feodal yang dipertontonkan. Dalam membangun
kemitraan dan kepercayaan masyarakat pemaknaan pelayan yang sebenar-benarnya
sebagai pelayan. Babinkamtibmas dengan mulut berbusa telah memberikan penyuluhan
bahwa polisi telah berubah. Sudah transparan, tak diskriminasi, dan akuntabel, tak lagi
ada pungutan yang menyimpang ketentuan. Nyatanya ketika warga berurusan dengan
petugas reserse, masyarakat mengalami perlakuan yang diskriminatif yang nyata-nyata
melukai hati mereka.

12. Penetapan Kebijakan Remunerasi. Ini dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan
beban tugas setiap anggota kepolisian, sehingga pelaksanaan tugas dapat dilakukan
secara lebih fokus. Hal tersebut sejalan dengan paradigma polisi yang berorientasi
kepada kualitas pelayanan masyarakat. Indikator Keberhasilan perpolisian masyarakat
adalah sebagai berikut :

- Intensitas kegiatan forum baik kegiatan pengurus maupun keikut-sertaan warganya.
- Kemampuan forum menemukan dan mengidentifikasikan akar masalah.
- Kemampuan petugas Polmas dalam penyelesaian masalah termasuk
konflik/pertikaian antar warga.
- Kemampuan mengakomodir/menanggapi keluhan masyarakat.
- Intensitas kunjungan warga oleh petugas Polmas meningkat.
- Pembinaan Terhadap Aspek Eksternal, meliputi :

A. Membangun Kepercayaan Masyarakat.

Institusi kepolisian melakukan upaya mempromosikan nilai-nilai demokrasi berkaitan
dengan partisipasi masyarakat guna mengembangkan kemitraan dengan masyarakat
terus dilakukan. Selain terkait dengan isu-isu Kamtibmas, Polmas juga terkait dengan
isu-isu lain yang dibutuhkan masyarakat. Pada tingkatan dan kondisi tertentu,
berhubungan dengan polisi diciptakan sebagai hal yang menyenangkan. diperlukan :

1. kecepatan dan ketepatan waktu dalam menangani masalah yang dihadapi
masyarakat.
2. Tugas dan peran polisi tidak lagi dirasakan sebagai hal yang dikomersialisasi.

B. Memenuhi Harapan Masyarakat.
Adanya polisi sipil yang profesional yang lebih mengutamakan kemitraan (partnership)
dan pemecahan masalah (problem solving) untuk menunjukkan jati diri polisi sipil yang
humanis dan mampu berkomunikasi dari hati ke hati dengan warga masyarakat.
Senantiasa berupaya mengurangi rasa ketakutan warga masyarakat terhadap gangguan
kamtibmas dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Keberhasilan Polri
membungkam berbagai kejahatan seperti judi dan premanisme, membuat citra Polri
semakin menguat.

C. Mengadakan Kerjasama Dengan Instansi Terkait Lainnya.

Ketertiban masyarakat merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola
kehidupan bersama. Dalam proses ini masyarakat memasukkan gagasan tentang hak
dan kewajiban, kemudian merumuskan dalam sistem aturan baik yang bersifat formal
maupun non-formal beserta sarana dan prasarana untuk mengelola dan
menegakkannya.

D. Meningkatkan Peranserta Aktif stakeholder.

Pemeliharaan Kamtibmas merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen
masyarakat. Untuk itu, Polri membutuhkan dukungan dari berbagai pihak terkait
(stakeholders) guna memelihara Kamtibmas. Dalam rangka pemeliharaan kamtibmas
tersebut, Polri meningkatkan dukungan dari berbagai kalangan, seperti pemerintah
daerah, DPRD, dunia usaha (private sector), media massa, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), perguruan tinggi dan masyarakat. Dukungan stakeholders dapat
diwujudkan dalam bentuk pengawasan masyarakat, media massa dan LSM terhadap
perilaku personil Polri.

E. Mengembangkan Berbagai Terobosan Dalam Bentuk Pelatihan Dan Sosialisasi.

Guna membangun kultur polisi yang mampu berkomunikasi efektif dengan
masyarakatnya sehingga mereka mudah mendapat informasi dari kepolisian tentang
hukum. Menciptakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). Misalnya
Pemuda Mitra Kamtibmas (PMK), Ulama Mitra Kamtibmas, Cendekia mitra Kamtibmas,
dan sebagainya. Yang diperlukan bagi masyarakat adalah dibangun wadah untuk
menjembadani antara masyarakat - Polri melalui program kemitraan agar masyarakat
tidak takut berhubungan dengan polisi, lebih berani memposisikan polisi dan masyarakat
sebagai mitra.

F. Operasionalisasi Polmas.

Kegiatan perorangan oleh petugas Polmas, supervisor, dan unsur manajemen
mencakup :

a. Petugas pengemban Polmas di lapangan.

antara lain memfasilitasi siskamling, memanfaatkan pertemuan warga dan kegiatan
masyarakat seperti pertandingan sepak bola, konser musik, dan melakukan tatap muka
dengan berbagai kelompok termasuk tokoh masyarakat, agama, pemuda , dan
sebagainya.

b. Supervisor/pengendali Polmas melalui :

- Tatap muka dengan komunitas tertentu.
- Memberdayakan peran pranata sosial tertentu.
- memfasilitasi kegiatan umum.
- Melakukan koordinasi dengan penyelenggara kegiatan demi mencegah terjadinya
gangguan keamanan.
- Menghadiri/memfasilitasi forum diskusi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
tertentu.
- Memfasilitasi penyelenggaraan lomba-lomba keterampilan tertentu terkait dengan
masalah Kamtibmas.

c. Manajemen, Melakukan kegiatan :

- koordinasi dan komunikasi dengan pejabat formal dalam rangka pengembangan
sistem penanggulangan Kamtibmas.
- konsultasi dan diskusi dalam pembuatan aturan, perijinan, pengaturan, dan
pembangunan dalam rangka pencegahan dan penaggulangan bencana alam.
- koordinasi dengan Pemda dan institusi terkait.
- penentuan sasaran, metode dan prioritas penerapan program di wilayah dalam batas
kewenangan jabatannya.

G. Mengembangkan Perilaku Terpuji.

Di berbagai tempat tugas masih banyak ditemukan oknum polisi yang belum menyadari
tugasnya. Sikap arogan dan seakan-akan kebal hukum berdampak negatif dalam era
reformasi birokrasi. Dampak ulah negatif segelintir oknum, nama baik Polri menjadi
tercemar. Polri sedang berupaya menertibkan polisi-polisi nakal yang mencemarkan
nama baik institusinya. Sosok polisi ideal itu adalah low profile, berkomitmen kuat,
punya kemauan kerja, dan memiliki dedikasi yang tinggi. Kekurangan aspek
pengawasan secara internal tergolong klasik, munculnya istilah jeruk makan jeruk,
dimaknai sebagai sesama anggota dalam melaksanakan pengawasan di instansi
manapun tak bisa dijamain obyektivitasnya. Profesionalisme kepemimpinan
dipersiapkan dan dikembangkan melalui pembinaan dan kaderisasi secara proporsional
sehingga menghasilkan figur-figur pemimpin kepolisian yang mampu mengemban tugas
kepolisian secara efektif terlebih dalam mengembangkan perilaku teruji. Tugas tersebut
terkait dengan kemampuan membawa anggota dan mempengaruhi masyarakatnya
untuk menumbuhkan kepercayaan guna membangun kemitraan yang lbih efektif.

III. Penutup

Kepolisian merupakan bagian integral aparat negara yang mengemban tugas sejalan
dengan visi dan misinya, sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat serta
dalam penegakan hukum. Menjawab tuntutan masyarakat yang kini terus mereformasi
diri ini Polri telah mencanangkan pembenahan institusinya dalam aspek struktural,
instrumental dan kultural. Dalam pembangunan aspek kultural merupakan langkah
penting dalam meningkatkan kualitas kinerja kepolisian, sebagaimana yang diharapkan
masyarakat yaitu profil polisi yang memiliki citra positif di masyaraka. Membangkitkan
semangat dan motivasi masyarakat untuk bersedia menjadi mitra kepolisian. Dari
berbagai kebijakan pimpinan Kepolisian dalam membangun kultur institusinya bila
dicermati maka ada dua hal yang penting akan berdampak positif, hal tersebut adalah
penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta peneraapan Polmas.
Mewujudkan pencitraan merupakan strategi yang efektif dalam membangun
kepercayaan masyarakat (trust building). Kiranya akan menjadi sebuah kejanggalan bila
hanya menuntut kesadaran masyarakat untuk percaya dengan polisi bila citra polisi tak
lagi berkenan di hati masyarakat. Disadari bahwa kepercayaan yang tengah dan terus
dibangun oleh kepolisian masih perlu dikembangkan terus-menerus. Bila disimak dari
pemahaman dari aspek kultur maka akan semakin membuka wacana bahwa kultur
terkait dengan nilai-nilai yang dilahirkan dari proses perilaku organisasi yang positif dan
bermanfaat dalam keberadaan organisasi tersebut. Dalam salah satu tuntutannya
adalah bahwa setiap anggota kepolisian wajib memahami dan menerapkan kultur
kepolisian baik dalam menegakkan hukum maupun melayani dan mengayomi serta
melindungi masyarakatnya. Karena setiap anggota kepolisian merupakan kepanjangan
tangan negara selaku aparat penegak hukum dalam tanggungjawabnya memelihara
Kamtibmas. Sikap dan perilaku yang telah menjadi kebiasaan serta nilai-nilai dalam
organisasi kepolisian inilah yang pada gilirannya diharapkan mampu menjadikan nilai-
nilai dan kultur yang mampu merubah tampilan individu atau kelompok dalam suatu
organisasi khususnya dalam institusi kepolisian yang profesional sebagaimana tuntutan
masyarakatnya.
Membangun Kultur Polmas bagi Kepolisian di Indonesia merupakan upaya peningkatan
kualitas kinerja dan profesionalisme guna mewujudkan kepolisian sipil yang demokratis.
pembangunan aspek kultur yang terus bergulir antara lain melalui kebijakan dan strategi
penerapan model perpolisian masyarakat dalam penyelenggaraan tugas kepolisian.
Keterkaitan dengan aspek strategi lainnya adalah bahwa kepolisian melalui grand
Strateginya tahun 2005 sampai dengan 2010 salah satu sasarannya adalah
membangun kepercayaan masyarakat. Polmas sebagai salah satu paradigma baru di
lingkungan organisasi kepolisian di negara Indonesia, dalam aplikasinya melalui
kehadiran polisi di tengah masyarakat dengan cara lebih mengedepankan aspek-aspek
preemtif dan preventif bukan lagi represif. Untuk mendukung kultur Polmas perlu
dibangun kebijakan strategis yang sifatnya desentralisasi kewenangan pada unit
Community Policing, serta adanya kewenangan. David H. Bayley berpendapat bahwa
terdapat sistem tiga tingkat yang saling terkait erat. Kegiatan kepolisian komunitas ini
merupakan kegiatan yang sistematis dan terprogram, seperti halnya Koban di Jepang,
keberadaan pos polisi di semua tingkat kelurahan dapat dijadikan ujung tombak
operasional perpolisian masyarakat.
Dengan demikian Polmas merupakan sistem baru yang merupakan sintesa kepolisian
tradisional yang terdiri atas struktur, personil, dan pengendalian. Kebijakan membangun
kultur kepolisian yang bersemangat kemitraan dengan masyarakat, diperlukan
konsistensi, keteladanan dalam perilaku, serta biaya operasional serta tingkat
kesejahteraan yang memadai, termasuk kontrol sosial serta partisipasi aktif masyarakat
dalam kemitraan dimaksud. Langkah-langkah yang telah ditempuh ini merupakan
keseriusan institusi kepolisian untuk membangun kultur polisi yang demokratis dan
menegakkan HAM. Dalam rangka pencegahan Kejahatan maka ; Polmas mempunyai
falsafah kerja kepolisian yang bersifat personal; Polmas mempunyai gaya manajemen
dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara pro-
aktif bersama-sama dengan masyarakat; Polmas mempunyai tujuan memahami dan
menanggulangi sebab kejahatan maupun sebab permasalahan lain dalam masyarakat,
dengan bekerja dalam hubungan kemitraan polisi-masyarakat. Tujuan Polmas bekerja
dalam kemitraan dengan masyarakat, menanggulangi kejahatan maupun masalah-
masalah sosial lainnya yang ada dalam wilayah kerja anggota polisi bersangkutan.
Dari analisis terhadap kinerja kepolisian maka ditemukan berbagai faktor yang
berpengaruh seperti halnya :

1. Aspek Sumber Daya Manusia. Dengan berbagai keterbatasan sumber daya manusia,
hal ini berpengaruh dalam melaksanakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat
(FKPM).
2. Aspek Kultur, Kultur kepolisian Indonesia dibangun atas dasar nilai-nilai Tribrata dan
Catur Prasetya sebagai pedoman dan tuntunan dalam bertugas, perlu terus menerus
ditanamkan sebagai landasan merubah kultur polisi yang mampu mendukung
kepercayaan demi membangun kemitraan.
3. Aspek Konsistensi Pelayanan Polisi dalam aspek mentalitas sebagai unsur dalam
membangun kemitraan tersebut.
4. Aspek Perilaku terus dikembangkan sehingga perilaku aparat menjadi sesuai dengan
harapan masyarakat. Perilaku arogan yang masih melekat sebagai warisan masa lalu
terus dikikis dengan pencitraan polisi yang berubah kulturnya.
5. Aspek Efektifitas Menghadapi Perubahan. Tantangan bagi institusi kepolisian dalam
melayani masyarakat yang dinamis dan memang telah banyak mengalami perubahan,
namun masih belum efektif.
6. Aspek Efektifitas Komunikasi dengan Masyarakat. Polri harus memperbanyak
komunikasi dengan masyarakat, lebih banyak melibatkan masyarakat dalam
memelihara Kamtibmas.
7. Aspek Efektifitas Penggunaan Hukum dan Peraturan non pidana semakin sesuai
dengan kebutuhan dan harapan masyarakat yang terus menghendaki reformasi
tersebut.
8. Aspek Kebijakan di Bidang Operasional. Kebijakan di bidang operasional diarahkan agar
terpeliharanya Kamtibmas, tegaknya hukum serta meningkatnya kualitas perlindungan,
Pengayoman dan pelayanan masyarakat. Dari tinjauan Polmas Sebagai Strategi Dalam
Partnership Building, sebagaimana pengalaman empirik di berbagai Negara yang telah
menerapkan Polmas, maka Polmas dapat dijadikan strategi dalam mewujudkan
partnership building. Hal tersebut meliputi Pembinaan terhadap Aspek Internal mutlak
dilakukan secara proporsional melalui :

a. Mengembangkan Sistem Pembinaan Sumber Daya Manusia. Pembinaan SDM meliputi
rekruitmen, pendidikan/pelatihan, untuk menyiapkan para pelatih Polmas, pembinaan karier,
penilaian kinerja, pemberian penghargaan dan penghukuman yang tepat dan consisten,
meningkatkan sarana dan prasarana, menyediakan dukungan anggaran yang memadai, dan
mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi penerapan
Polmas.

b. Membangun Model Penerapan Polmas. Sebagaimana yang telah ditetapkan bahwa Polmas
merupakan kebijakan strategis mengingat hal tersebut merupakan wujud perkembangan
kepolisian moderen dalam Negara demokrasi.

c. Memberikan Program Pelatihan. Program pelatihan diberikan kepada setiap anggota
kepolisian tentang teknologi kepolisian dan tehnik berkomunikasi dengan masyarakat secara
efektif.

d. Mewujudkan keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan kamtibmas.
Sedangkan teknologi kepolisian, adalah untuk mendukung trust building, hal ini dimaksudkan
untuk mendukung profesionalisme kepolisian.

e. Menerapkan Manajemen Perubahan Secara Konsisten. Hal ini terkait dengan Polmas
sebagai strategi yang mendasar dari penyelenggaraan tugas kepolisian yang semula mendasari
prinsip layanan birokratif menuju arah personalisasi penyajian layanan kepolisian, yakni layanan
nyata oleh petugas kepolisian yang langsung bersentuhan dengan warga masyarakat.

f. Membangun Sistem Pengawasan yang Efektif. Untuk meningkatkan profesionalitas dan
kinerja personil Polri, dibutuhkan sistem pengawasan dan penilaian terhadap perencanaan dan
implementasi program kerja atau kegiatan guna mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan
program kerja tersebut.

g. Membangun Akuntabilitas Publik. Polri merupakan lembaga publik yang secara struktural
bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia, namun secara moral juga
bertanggung jawab kepada rakyat, karena sumber anggaran Polri berasal dari pajak-pajak yang
dibayarkan masyarakat.

h. Memberikan Pelatihan Pelayanan Prima. Kepada seluruh petugas kepolisian diberikan
pelatihan pelayanan prima dan pembenahan aspek mentalitas, sehingga mental pelayan bukan
lagi slogan kosong namun diberikan makna dengan komitmen seluruh komponen kepolisian.

i. Penetapan Kebijakan Remunerasi. Ini dilaksanakan secara proporsional sesuai
dengan beban tugas setiap anggota kepolisian, sehingga pelaksanaan tugas dapat
dilakukan secara lebih fokus. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong kinerja yang
lebih transparan dan akuntabel serta profesional.

ii. Dalam rangka pembinaan terhadap Aspek Eksternal, diperlukan keseriusan
komponen kepolisian melalui komitmen yang kuat untuk :

a. Membangun Kepercayaan Masyarakat, terkait dengan isu-isu Kamtibmas dan isu-
isu lain yang terjadi di masyarakat.

b. Memenuhi Harapan Masyarakat. Adanya polisi sipil yang profesional yang lebih
mengutamakan kemitraan dan pemecahan masalah untuk menunjukkan jati diri
polisi sipil yang humanis dan mampu berkomunikasi dari hati ke hati dengan warga
masyarakat.

c. Mengadakan Kerjasama Dengan Instansi Terkait Lainnya. Kamtibmas merupakan
hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola kehidupan bersama.

d. Meningkatkan Peranserta Aktif stakeholder untuk memelihara Kamtibmas.

e. Memberikan Berbagai Terobosan Dalam Bentuk Pelatihan dan Sosialisasi. Guna
membangun kultur polisi yang mampu berkomunikasi efektif dengan masyarakatnya
sehingga mereka mudah mendapat informasi dari kepolisian tentang hukum.

f. Operasionalisasi Polmas, merupakan kegiatan perorangan oleh petugas Polmas,
supervisor, dan unsur manajemen.

g. Membangun Perilaku Polisi Profesional. Profesionalisme kepemimpinan
dipersiapkan dan dikembangkan melalui pembinaan dan kaderisasi secara
proporsional sehingga menghasilkan figur-figur pemimpin kepolisian yang mampu
mengemban tugas kepolisian secara efektif.

Pengembangan Polmas sebagai filosofi dan strategi dalam partnership building harus dilakukan
secara bertahap : pertama, pengembangan sumber daya manusia Polri dan pembentukan
Polmas berikut sarana/ prasarana pada desa/kelurahan sesuai kebutuhan operasional
sehingga kebutuhan penempatan petugas Polmas secara menyeluruh. Untuk mencapai tujuan
penerapan Polmas maka diperlukan strategi. Kedua, membangun dan membina kemitraan
dengan tokoh-tokoh sosial, media massa dan lembaga swadaya masyarakat dalam rangka
memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan Polmas. Ketiga, membentuk FKPM
sebagai wadah kerjasama polisi--masyarakat dalam operasionalisasi Polmas, termasuk
membentuk Pusat Kajian Polmas guna mengembangkan evaluasi kinerja Polmas guna
pengembangan model tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Djamin, Awaloedin, 1999, Menuju Polri Mandiri yang Profesional, Yayasan Tenaga Kerja
Indonesia.
2004, Polri Pengamanan Swakarsa dan Community Policing.
Finlay Mark dan Ugljesa Zvekic,1993, Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat,
(diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.
Friedmann Robert, 1992, Community Policing, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto),
Jakarta, Cipta Manunggal.
Hafidah, Noor, 2001, Membangun Sumber Daya Manusia Indonesia Dalam Perspektif
Globalisasi, Bhayangkara PPITK, Jakarta.
Himpunan Teori / Pendapat Para Sarjana Yang Berkaitan Dengan Kepolisian, 2008,
PTIK, Jakarta.
Kadarmanta, A., 2010, Perpolisian masyarakat Dalam Trust Building, Forum Media Utama,
Jakarta.
Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008, tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah.
Pasis Selapa Polri Dikreg XXXVIII, Menyelamatkan Bangsa dari Narkoba dan Teroris melalui
Polmas, 2007, Forum Media Utama, Jakarta.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 7 tahun 2008, tentang
Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam penyelenggaraan
Tugas Polri.

Panduan Pelatihan Polmas untuk anggota Polri, tahun 2006.
Ronny Lihawa, Drs., Msi., Memahami Perpolisian Masyarakat (Polmas) Undersatanding
Community Policing, Biro Bimmas Sdeops Polri, Jakarta.
Robins, Stephen P., 2005, Perilaku Organisasi, P.T Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 1998, Mengkaji Kembali Peran dan Fungsi Polri dalam Masyarakat di Era
Reformasi, makalah Seminar Nasional tentang Polisi dan Masyarakat dalam Era Reformasi.
2007. Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta:
PT.Kompas-Gramedia.
2002, Polisi Sipil, Jakarta, Gramedia
2004. Pemolisian Komuniti (Community Policing) di Indonesia.
Suparlan Parsudi, 1997, Polisi dan Fungsinya dalam Masyarakat, Diskusi angkatan I KIK
Program S2 UI.
1999, Makalah sarasehan "Etika Publik Polisi Indonesia", tanpa penerbit.
1999, Ilmu Kepolisian dan Dinamika Masyarakat, Orasi Ilmiah dalam rangka DiesNatalis PTIK
ke-53.

---------,2001, Kajian Ilmu Kepolisian, Partnership Governance Reform in Indonesia 23-24
oktober 2001.
Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan
dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Trojanowicz Robert, 1998, Community Policing: How To Get Started, co-authored with
policing.coms Bonnie Bucqueroux (Anderson Publishing, Cincinnati, OH.
Tabah, Anton, 2008, Bureaucracy Policing (pemolisian Birokrasi), CV. Sahabat , Klaten, Jawa
Tengah.
Williams, Chuck, 2001, Manajemen, Salemba Empat, Jakarta.
Wren, Daniel A., 1994, The Evolution of Management Thought (Fourth Edition).
http://www.crossborderpartnerships.com/partnerships/guide- theoryparticipationladder.aspx
http://www.1000ventures.com/business_guide/partnerships_main.html
http://www.slideshare.net/NCPC/improving-policecommunity-relations-presentation
http://www.klikgalamedia.com/indexnews.php?wartakode=20100407101306&idkolom=opinipen
didikan
Diposkan oleh a.kadarmanta blogsite di 18.52

Anda mungkin juga menyukai