A. Pendahuluan Infeksi saluran pernapasan akut atas sering ditemukan dalam praktek dokter pediatrik. Anak-anak diperkirakan setiap tahunnya rata-rata mengalami 6-8 kali infeksi saluran napas atas dibanding dewasa yang hanya 2-3 kali dalam setahun. Diperkirakan 0,5%-10% ISPA mengakibatkan komplikasi rhinosinusitis. 1
Rhinosinusitis merupakan kelainan yang sering ditemukan pada pasien anak dengan Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Sebuah penelitian terhadap pasien anak berusia 1-5 tahun dengan gejala-gejala ISPA menunjukkan bahwa 9,3% di antaranya memenuhi kriteria untuk diagnosis rhinosinusitis, dan didapatkan juga bahwa rhinosinusitis kronik ditemukan pada 19% pasien dengan gejala ISPA yang menetap lebih dari 12 minggu. Rhinosinusitis masih sering tidak terdiagnosis dalam praktik kedokteran pediatrik. Diperlukan kemampuan anamnesis dan pengenalan gejala untuk menentukan diagnosis rhinosinusitis. 2 Manifestasi klinis rhinosinusitis pada anak berbeda dengan pasien dewasa. Juga ada perbedaaan manifestasi antara rhinosinusitis akut dan kronik. Pada rhinosinusitis anak akut gejala yang paling menonjol adalah nasal discharge dan batuk sedangkan pada rhinosinusitis kronik gejala nyeri atau tidak nyaman pada wajah dan kongesti nasal lebih sering ditemukan. Rhinosinusitis akut yang tidak terdiagnosis atau penanganan terlambat dapat berkembang menjadi rhinosinusitis kronik dan menimbulkan berbagai komplikasi seperti penyebaran infeksi ke intrakranial, thrombophlebitis, osteomyelitis, dan komplikasi orbital. Beberapa kelainan alergi seperti rhinitis alergi, asthma, dan alergi inhalan dikaitkan sebagai faktor resiko rhinosinusitis pada anak. Faktor resiko lain di antaranya faktor genetik, defisiensi imun, dan penyakit refluks gastroesofageal. 2 Menurut National Health Interview Survey 1996, rhinosinusitis kronik merupakan penyakit dengan prevalensi tertinggi kedua di Amerika Serikat yakni 12,5% atau diperkirakan 31 juta kasus per tahun. Data dari sumber yang sama 2 pada tahun 2008 menunjukkan bahwa secara statistik rhinosinusitis mengenai 1 dari 7 orang dewasa. 4
B. Definisi Definisi klinis rhinosinusitis adalah inflamasi hidung dan sinus paranasalis yang ditandai adanya dua atau lebih gejala-gejala kongesti hidung, antara lain post nasal drip, nyeri tekan wajah, berkurang atau hilangnya fungsi penghidu; dan tanda-tanda endoskopik berupa polip, sekret mukopurulen pada meatus media, edema atau obstruksi mukosa di meatus media; dan atau perubahan gambaran CT Scan tampak perubahan mukosa dalam kompleks osteomeatal dan atau sinus. Berdasarkan durasinya penyakit ini dibagi menjadi dua yaitu rhinosinusitis akut dan kronis. 3 C. Anatomi Cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. 4
Bagian dari kavum nasi yang letaknya tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga 3 sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. 4,5
(Anatomi Hidung) 5
Sinus paranasalis adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media, sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus posterior dan bermuara di meatus superior. 4,5
Sinus Maksila Sinus maksila berbentuk pyramid dan terletak dalam kavitas maxilla. Dinding medial sinus maksila adalah dinding lateral rongga hidung dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris. 4 Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: 1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis 2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita 3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. 4
Sinus Etmoidalis Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal infeksi bagi sinus- sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi (Kamel, 2002; Stammberger et al, 1993). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis. 4
Sinus Frontalis Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai usia maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis 5 tengah. Kurang lebih 15 % orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang 4 . Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. 4
Sinus Sfenoid Sinus sfenoid berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral septum nasi. Jika sinus sfenoid telah dibuka dan bagian dinding anterior diangkat maka akan tampak konfigurasi khas dari bagian dalam sinus sfenoid; yang terdiri dari tonjolan sela tursika, kanalis optikus dan indentasi dari arteri karotis. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior. 4
D. Patofisiologi Tiga faktor utama yang berperan pada fisiologi sinus paranasal adalah ostium yang terbuka, silia yang berfungsi efektif dan pengeluaran sekret yang normal. Retensi sekret dalam sinus paranasal dapat diakibatkan oleh obstruksi ostium, penurunan jumlah atau fungsi silia atau produksi yang berlebihan atau berubahnya viskositas sekret, diikuti dengan infeksi sekunder sehingga terjadi peradangan mukosa sinus paranasal. Variasi faktor lokal, regional atau sistemik bisa menimbulkan obstruksi kompleks osteomeatal. Faktor lokal dan regional meliputi deviasi septum, polip nasal, variasi anatomis seperti atresia koana atau konka bulosa, benda asing, edema yang berhubungan dengan peradangan virus, bakteri, alergi maupun radang selaput hidung non alergi. Faktor sistemik seperti sindrom diskinesia silia, cystic fibrosis dan defisiensi imunologis. 1 6 Patofisiologi rhinosinusitis akut berbeda dengan rhinosinusitis kronis. Rhinosinusitis akut merupakan akibat dari infeksi hidung sehingga terjadi gangguan mekanisme drainase dan ventilasi sinus, sementara rhinosinusitis kronis merupakan akibat dari penyumbatan kompleks osteomeatal karena proses inflamasi. Pada rhinosinusitis akut terjadi infeksi virus pada saluran pernapasan bagian atas anak-anak yang disertai infeksi bakteri pada sinus dan berkembang menjadi infeksi. Sementara itu rhinosinusitis kronis keadaan yang multifaktorial, termasuk asma, rhinitis alergi, keadaan imunitas, faktor lingkungan seperti asap atau alergi serbuk sari, gangguan sistem mukosiliar, obstruksi karena kelainan anatomis, penyakit refluks gastro-esofagus, infeksi bakteri dan jamur. 3
Secara sederhana patofisiologi rhinosinusitis adalah sebagai berikut: Infeksi virus pada saluran pernapasan atas Edema mukosa hidung dan sinus paranasalis Gangguan fungsi drainase sinus Stasis sekret mukus Infeksi bakteri sekunder (piogenik) 6 Variasi kolonisasi bakteri juga menggambarkan perbedaan antara rhinosinusitis akut dan kronis. Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumonia, dan Moraxella catarrhalis adalah mikroorganisme yang paling umum menyebabklan rhinosinusitis akut, sementara Staphylococci, Pseudomonus aeruginosa dan bakteri anaerob seperti Peptostreptococcus, Proprionibacterium Prevotella, dan Fusobacterium lebih mendominasi pada infeksi rhinosinusitis kronis. 3,7 Pada anak-anak, adenoid juga terlibat dalam patofisiologi rhinosinusitis kronis. Adenoid dapat berperan dalam dua proses perjalanan penyakit yaitu: 1) bertindak sebagai penghalang mekanis yang menyebabkan obstruksi dan; 2 bertindak sebagai reservoir untuk bakteri. Kedua peran adenoid tersebut masih 7 menjadi bahan perdebatan para ahli mengenai peran mana yang lebih dominan. Penelitian yang menunjukkan tidak ada korelasi antara volume adenoid atau rasio adenoid-nasofaring dan keparahan sinusitis menunjukkan peran yang lebih dominan sebagai reservoir bakteri. Penelitian terbaru tentang adenoid juga mendukung pendapat ini. Sebaliknya, penelitian lain menunjukkan efek obstruksi lebih dominan. Pemeriksaan MRI digunakan untuk menilai perbaikan rhinosinusitis yang ditandai dengan penurunan signifikan volume adenoid dan rasio adenoid nasofaring. Pendapat bahwa ada kombinasi kedua peran adenoid dalam patofisiologi rhinosinusitis dapat dipertimbangkan. 3 E. Diagnosis Penegakan diagnosis rhinosinusitis terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada anamnesis, pasien biasanya mengeluhkan rinorea mukus, demam, malaise, dan diikuti gejala-gejala berikut: a. Batuk b. Rinorea purulent (post nasal drips) c. Kongesti nasal d. Nyeri wajah/ nyeri tekan e. Hiposmia 6
Pada pemeriksaan fisis dilakukan rinoskopi anterior, yang biasanya ditemukan sekret mukopurulen pada kedua cavitas nasi. Palpasi pada permukaan sinus yang terkena akan menyebabkan timbulnya rasa nyeri tekan. Pasien dapat mengeluhkan nyeri kepala hebat terutama pada region frontal. 8
Pemeriksaan Penunjang Prosedur penunjang diagnostik untuk sinusitis akut meliputi transiluminasi, ultrasonografi, foto polos sinus paranasalis, ct scan dan magnetic resonance imaging (MRI). Banyak penulis yang menyatakan bahwa transiluminasi tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis sinusitis pada anak, demikian juga pemeriksaan ultrasonografi. Ultrasonografi digunakan hanya untuk 8 mengevaluasi sinus maksila dan itupun hanya memiliki hasil minimal dalam menegakkan diagnosis. 1. Foto Polos Sinus Paranasalis Pemeriksaan foto polos ini merupakan pemeriksaan standar utama untuk rhinosinusitis. Kekurangan foto polos adalah sering ditemukan hasil positif dan negatif palsu. Tiga jenis proyeksi yang digunakan untuk diagnosis sinusitis dengan pemeriksaan foto polos yaitu a.. Waters position untuk evaluasi sinus maksila dan frontal, b. Caldwell position untuk evaluasi sinus etmoidalis, dan c. Proyeksi lateral untuk evaluasi ukuran adenoid, masa di nasofaring dan kelainan di sfenoid 2. Computed Tomography Scanning (CT Scan) Penggunaan ct scan untuk diagnosis sinusitis pada anak sangat membantu, terutama sinusitis kronis. Hasil yang didapat menggambarkan keadaan sinus dan kompleks osteomeatal.
9 3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Penggunaan MRI sangat baik untuk mengetahui kelainan soft tissue dari sinus paranasal, namun terbatas dalam pencitraan kelainan tulang, sehingga MRI tidak dapat mengevaluasi sinusitis akut maupun kronis. 1,8
F. Penatalaksanaan 1. Medikamentosa a. Dekongestan Dekongestan yang digunakan antara lain pseudoefedrin, fenilefrin, dan tramazolin. Dekongestan topikal terbukti lebih efektif dalam penanganan dekongesti mukosa hidung, dan tidak ada efek yang signifikan pada dekongesti sinus. Penggunaan dekongestan dibatasi hingga kurang dari 10 hari untuk menghindari efek samping. b. Kortikosteroid Kortikosteroid topikal digunakan karena memiliki efek anti- inflamasi yang signifikan dalam mengurangi edema dan produksi lendir, terutama pada kompleks osteomeatal dan meatus media. Steroid intranasal sangat dianjurkan pada rhinosinusitis akut dan kronis yang disertai perbaikan gejala yang signifikan, yakni terjadi pengecilan polip dan perbaikan perjalanan penyakit. c. Antihistamin Yang digunakan termasuk antihistamin generasi pertama seperti chlorpheniramine, diphenhydramine, triprolidin dan hydroxyzine, antihistamin generasi kedua seperti cetirizine, fexofenadine, loratadine, dan levocetirizine, serta antihistamin spray intranasal. Antihistamin generasi pertama memiliki efek samping yang banyak seperti efek sedatif dan antikolinergik sementara antihistamin generasi kedua berefek samping lebih minimal. d. Antibiotik Antibiotik sangat direkomendasikan pada penatalaksanaan rinosinustis akut karena sudah terbukti secara ilmiah efektif pada 10 pasien dewasa maupun anak-anak. Penggunaan antibiotik pada rhinosinusitis kronik kurang dianjurkan karena tidak ada bukti klinis yang mendukung. 3,6,7 2. Operasi Apabila penatalaksanaan medikamentosa tidak memberikan hasil yang optimal, pengobatan bedah harus dipertimbangkan. Meskipun tidak ada pedoman yang mutlak, ada kesepakatan umum tentang indikasi operasi. Indikasi operasi pada rhinosinusitis antara lain: 1. Terjadi komplikasi intraorbital (abses, trombosis) 2. Terjadi komplikasi intrakranial 3. Penyakit yang mendasari seperti fibrosis kistik dan imunodefisiensi 4. Sinusitis jamur 5. Disertai penyakit polip 3,9,11 Anak-anak lebih rentan terhadap komplikasi intraorbital dan intrakranial karena tulang di sekitar sinus mereka tipis. Adapun operasi yang dapat dilakukan adalah Adenoidectomy, Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). Dan bisa dikombinasikan keduanya.
11 Secara ringkas, perbedaan penatalaksanaan rinosinusitis akut dan kronik digambarkan dalam skema di bawah ini (Epos,2007) Skema penatalaksanaan rinosinuusitis akut
Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik
12 G. Komplikasi Secara umum komplikasi rhinosinusitis dikategorikan menjadi komplikasi ekstrakranial, intrakranial, dan komplikasi yang melibatkan tulang dinding sinus (osteitis). 1. Komplikasi Ekstrakranial Manifestasi ekstrakranial dapat dibagi menjadi infeksi preseptal dan postseptal. Septum orbital adalah jaringan ikat yang memanjang dari periosteum tepi orbital dan berfungsi sebagai penghalang untuk invasi ruang orbital dari infeksi preseptal. Edema inflamasi adalah suatu kondisi preseptal yang biasanya timbul dari infeksi sinus ethmoid dan merupakan komplikasi yang paling umum dari rhinosinusitis pada anak-anak, dan mewakili 80% sampai 90% dari semua komplikasi ekstrakranial. Edema inflamasi sering disebut sebagai selulitis preseptal atau periorbital. Terminologi ini dapat membingungkan karena selulitis periorbital juga digunakan untuk merujuk pada infeksi kulit dan jaringan lunak kelopak mata. Edema inflamasi disebabkan oleh gangguan pembuluh darah dan drainase limfatik dari sinus yang terinfeksi. Pasien dengan edema inflamasi biasanya datang dengan keluhan kemerahan dan pembengkakan pada kelopak mata dan kulit periorbital tanpa disertai demam. 10,12
(Anatomi Orbita) Patogenesis Komplikasi Orbita 13 Orbita sangat rentan terhadap penyebaran infeksi dari sinus berdekatan karena dikelilingi oleh sinus di tiga sisi. Komplikasi ini sering terjadi pada anak-anak, karena tulang dan sinus dindingnya tipis, porositas tulang yang lebih besar, sutura masih terbuka, dan foramen vaskular yang lebih besar. Diagnosis banding komplikasi orbital antara lain bakteremia (yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae atau Streptococcus pneumoniae), infeksi wajah, trauma, penyebab iatrogenik, tumor, dan dakriosistitis. Namun, sinusitis merupakan penyebab sedikitnya 75% kasus infeksi orbita, dan komplikasi orbital merupakan manifestasi klinis pertama yang muncul. Orbita dipisahkan dari sel-sel ethmoid dan sinus maksilaris oleh lempeng tulang tipis (disebut lamina papyracea) yang secara alami mempunyai dehisensi. Infeksi dapat menyebar langsung melalui penetrasi tulang tipis atau melalui dehisensi kecil tersebut. 12,13 Infeksi juga dapat langsung menyebar melalui foramen ethmoidalis anterior dan posterior. Karena sistem vena oftalmik tidak memiliki katup, aliran vena dan limfatik antara sinus dan struktur sekitarnya memungkinkan terjadi secara dua arah, yang memungkinkan tromboflebitis retrograde dan penyebaran infeksi. 12
Chandler dkk mengklasifikasikan komplikasi orbita menjadi 5 kelas yaitu: Kelas 1 : Edema inflamasi dan selulitis preseptal Kelas 2 : Selulitis orbita Kelas 3 : Abses subperiosteal Kelas 4 : Abses orbita Kelas 5 : Trombosis sinus cavernosus 12 Menentukan tingkat keparahan infeksi membantu dalam membuat keputusan yang tepat berkaitan dengan terapi medikamentosa dan bedah. Kelas pertama adalah edema inflamasi atau selulitis preseptal, merupakan akibat dari obstruksi vena disebabkan oleh inflamasi pada 14 pembuluh darah ethmoid. Para pasien umumnya datang dengan tanda- tanda dan gejala yang berhubungan dengan sinusitis edema dan eritema pada kelopak mata, menyebabkan mata menjadi bengkak. Namun, tidak ada gangguan penglihatan, atau gangguan motorik otot penggerak bola mata. 8,10,12
(Selulitis orbita) Komplikasi orbital kelas kedua adalah selulitis orbita, yang merupakan peradangan dan selulitis isi orbital dengan berbagai tingkat proptosis, chemosis, keterbatasan gerakan ekstraokular, dan/atau gangguan visual. Keadaan ini menyebabkan edema difus dan infiltrasi bakteri pada jaringan adiposa, tetapi tidak disertai abses. Komplikasi kelas ketiga adalah abses subperiosteal, yang seringkali merupakan perkembangan dari selulitis orbital, dan terjadi di bawah periosteum ethmoid, frontal, dan tulang rahang. Abses dapat terbatas atau menyebar ke lateral (jika abses berasal dari ethmoid) dan ke bawah (jika abses berasal dari sinus frontal). Selama infeksi hanya terbatas pada bidang subperiosteal, tidak ada penurunan penglihatan, oftalmoplegia, atau tanda-tanda pada konjungtiva. Pengelihatan umumnya normal pada tahap awal, tetapi dapat terjadi gangguan pada tahap lanjut. 12 15
(Abses subperiosteal) Komplikasi kelas keempat adalah abses orbital, yang merupakan akumulasi nanah dalam jaringan lunak orbital belakang bola mata. Terbentuk abses karena infeksi meluas ke jaringan lemak orbital dan dikaitkan dengan edema inflamasi, nanah, dan nekrosis lemak. Pada abses orbita terjadi chemosis parah, ptosis dan oftalmoplegia komplit (gangguan nervus kranial II, III, IV, V, dan VI) dan gangguan penglihatan moderat sampai berat. Gangguan visus disebabkan peningkatan tekanan orbital yang menyebabkan oklusi arteri retina atau neuritis optik. Jika terapi bedah dan medis tidak segera diberikan dapat terjadi kebutaan permanen. 12
(Abses Orbita) Komplikasi kelas kelima adalah trombosis sinus kavernosus (CST), yang merupakan proses retro-orbital dan terjadi akibat infeksi orbital berkepanjangan. Penyebaran ini dapat terjadi karena tidak ada katup 16 dalam vena orbital yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Komplikasi ini adalah keadaan yang mengancam nyawa. CST didiagnosis dengan adanya ptosis, nyeri orbital, gangguan visual berat, hipoesthesia, disesthesia, dan paresthesia nervuss kranial VI atau VII, gangguan motilitas otot ekstraokular, penyebaran selulitis orbita dan kehilangan penglihatan pada mata kontralateral, dan pemburukan klinis dengan disertai meningitis atau sepsis. Angka kebutaan dan kematian dapat mencapai 20%. 8,12 Penanganan Komplikasi Orbita Pengobatan harus dilakukan secara agresif dari tahap awal selulitis periorbital. Jika hal ini tidak dilakukan, infeksi dapat berkembang menjadi selulitis orbita dan abses. Hasil dari manajemen medis tergantung pada durasi dan tingkat keterlibatan orbital. 12
Pasien dengan edema inflamasi ringan atau selulitis preseptal (kelas 1) dapat diobati dengan antibiotik oral dan dekongestan, terutama jika belum diobati dengan agen antimikroba sebelumnya. Namun, pengawasan yang ketat dan tindak lanjut harus dilakukan, dan harus diberikan agen antimikroba parenteral jika terjadi keterlibatan postseptal (kelas 2 sampai 5). Obat parenteral meliputi ceftriaxone atau cefotaxime ditambah antibiotik untuk bakteri anaerob (metronidazole atau klindamisin). Obat yang dapat menembus sawar darah otak lebih dianjurkan.5, 12,13 Pengobatan CST meliputi pemberian agen antimikroba spektrum luas parenteral dosis tinggi. Penggunaan antikoagulan dan kortikosteroid masih kontroversial. Antikoagulan digunakan untuk mencegah trombosis lebih lanjut, dan aktivitas fibrinolitik dari urokinase membantu melarutkan bekuan. Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat menghasilkan tingkat kelangsungan hidup 70-75%. Namun, gejala sisa seperti kebutaan dan kelumpuhan saraf kranial lainnya biasanya akan menetap. 12 17 2. Komplikasi Intrakranial Komplikasi intrakranial rhinosinusitis jarang ditemukan di era antibiotik, dan terjadi pada sekitar 4% dari pasien rawat inap dengan rhinosinusitis akut atau kronis. Beberapa komplikasi intrakranial yang dapat terjadi antara lain: a. Empiema epidural b. Empiema subdural c. Thrombosis sinus sagitalis d. Abses otak e. Meningitis f. Mucocele 6,7,10
(Komplikasi rhinosinusitis intrakranial) 8 Patogenesis Komplikasi Intrakranial Penyebaran intrakranial dapat terjadi secara langsung atau melalui tromboflebitis retrograde. Penyebaran langsung dapat melalui area nekrotik osteomyelitis pada dinding posterior sinus frontal. Bakteri menembus dura sepanjang perjalanan pembuluh darah kecil transversal. Penyebaran langsung lebih sering terjadi pada otitis media kronis dibandingkan sinusitis. 8,12 18 Rute lain penyebaran intrakranial adalah melalui sistem vena tanpa katup yang menghubungkan sistem vena intrakranial dengan pembuluh darah mukosa sinus. Tromboflebitis yang berasal dari pembuluh darah mukosa sinus dapat menyebar melalui jaringan ini ke sinus vena dural, pembuluh darah subdural, dan vena serebral. Hal ini sering terjadi pada sinusitis akut dan eksaserbasi akut dari sinusitis kronis. Abses serebri intraparenkim terjadi melalui jalur hematogen dan karena itu dapat ditemukan di seluruh regio otak, tetapi sebagian besar pada lobus frontal. Pada bayi infeksi dapat menyebar melalui arachnoid yang belum matur dan menyebabkan meningitis. 12 Mekanisme yang menjelaskan infeksi otak masih belum jelas. Infeksi otak diduga merupakan proses sekunder dari iskemia atau nekrosis yang disebabkan oleh obstruksi vena kortikal yang memungkinkan pertumbuhan bakteri anaerobik. Infeksi kemudian dapat berkembang lebih dalam melalui pembuluh otak ke dalam white matter menyebabkan cerebritis. 12
Penanganan Komplikasi Intrakranial Pada tahap awal cerebritis (sebelum enkapsulasi abses) agen antimikroba dapat mencegah pembentukan abses. Apabila abses terbentuk, eksisi bedah atau drainase dikombinasikan dengan pemberian antibiotik jangka pendek (4-8 minggu) tetap menjadi pengobatan pilihan. Peningkatan tekanan intrakranial memerlukan intervensi manitol, hiperventilasi, atau deksametason sebelum operasi. 12 Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial. Steroid dapat menghambat proses enkapsulasi, meningkatkan nekrosis, mengurangi penetrasi antibiotik ke dalam abses, dan mengubah gambaran CT scan. Terapi steroid juga dapat menghasilkan efek rebound ketika 19 dihentikan. Apabila digunakan untuk mengurangi edema serebral, terapi tidak boleh diberikan jangka panjang. 8,12 Agen antibiotik yang efektif terhadap bakteri anaerob antara lain metronidazole, kloramfenikol, penisilin ditambah beta-laktamase inhibitor, dan carbapenem (misalnya meropenem). Meskipun pemilihan terapi antimikroba yang tepat adalah terapi utama dalam pengelolaan infeksi intrakranial, drainase bedah juga diperlukan. Keterlambatan drainase bedah dan dekompresi dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 8,12
KESIMPULAN Rinosinusitis pada anak adalah penyakit yang dirawat oleh dokter anak dan dokter THT. Rinosinusitis akut biasanya ditangani dengan antibiotik dan intervensi medis yang lain untuk mengurangi gejala- gejala yang didapat. Berdasarkan survey yang didapatkan, penggunaaan antibiotik pada kasus yang lebih parah (rinosinusistis kronik) harus digunakan lebih hati-hati.. Pada kasus yang mendesak, dapat dirujuk ke otolaryngologist untuk evaluasi operasi. Walaupun kombinasi dari FESS dan adenoidectomy menghasilkan hasil yang terbaik, adenoidectomy ini biasanya digunakan sebagai alternatif pertama, karena dianggap sederhana, biaya yang lebih rendah. Langkah terapi untuk kasus ini adalah pendekatan pengobatan medis, adenoidectomy dan kemudian FESS.
20 DAFTAR PUSTAKA 1. Rinaldi et al, Sinusitis pada Anak dalam Sari Pati Pediatri Vol.7 No.4, dipublikasikan Maret 2006. Hal.244-248 2. Poachanuokoon, O et al. Pediatric Acute and Chronic Rhinosinusitis: Comparison of Clinical Characteristics and Outcome of Treatment. 2012. Department of Radiology Faculty of Medicine Thammasat University : Patumtani. 3. Shyu, B. Rhinosinusitis Management in Pediatric Patients : Perspectives of an Otolaryngologist. 2011. Department of Otolaryngology Chang Gung Memorial Hospital : Taoyuan. 4. Ellies, H et al. Clinical Anatomy A Revision and Applied Anatomy for Clinical Students 11 th ed. P 2006. Blackwell Publishing Ltd : Massachusetts. 5. Tank, P. Grants Dissector 13 th ed. P 209-212. 2005. Lippincott Williams & Wilkins : Philadelphia. 6. Hamilos, D. Chronic Rhinosinusitis ; Epidemiology and Medical Management. 2011. American Academy of Allergy, Asthma, and Immunology ; Massachusetts. 7. Brook, I et al. Complications of Sinusitis in Children. Pediatrics Vol. 66. 1980. Department of Infectious Diseases and Otolaryngology George Washington University School of Medicine : Washington. 8. Clarke, R et al. Ear, Nose, and Throat at a Glance 1 st ed. P. 46-49. 2013. John Wiley & Sons Ltd : West Sussex. 9. Clarke, R. Diseases of The Ear, Nose, and Throat Lecture Notes 11 th ed. P. 87-91. 2014. Wiley & Sons Ltd : West Sussex. 10. DeMuri, G. Complications of Acute Bacterial Sinusitis in Children. Diakses 11 Juni 2014. http://www.medscape.com/viewarticle/747117_3. 11. Baroody, F. Surgical Treatment of Chronic Rhinosinusitis in Children. Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery and Pediatrics University of Chicago: Chicago. 21 12. Brook, I. Complications of Sinusitis (Orbital and Intracranial) in Sinusitis Understood. Diakses 11 Juni 2014. http://sinusitisunderstood.com/p/complications-and-referal.html 13. Neto, L. Acute Sinusitis in Children A Retrospective Study of orbital Complications. 2007. Brazilian Journal of Otolaryngology.