Anda di halaman 1dari 5

Industri Kimia Kecil dan Menengah

ISSN 1410-9891

Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber
Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
1
Proses Ekstraksi dan Powderisasi Zat Warna Alam

Murbantan, Anwar Mustafa, Mochamad Rosjidi dan Hens Saputra
Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Industri Proses
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Lt.9 Gd.II BPPT J l. M.H. Thamrin 8 J akarta 10340
e-mail: mur97@hotmail.com

Abstrak

Dewasa ini negara maju mulai banyak menggunakan bahan alami sebagai produk yang aman
terhadap lingkungan. Demikian halnya dengan penggunaan zat warna alam pada industri batik
dan kerajinan tekstil.Telah dilakukan penelitian awal untuk menghasilkan zat warna alam dengan
menggunakan bahan baku dari 3 jenis tanaman yaitu secang, tegerang dan tingi. Sebelum proses
ekstraksi dilakukan, bahan baku dipotong menjadi serbuk halus dan sebagai pelarut digunakan
pelarut organik dari polar hingga non polar dan sebagai pembanding juga memakai pelarut air.
Hasil ekstraksi diformulasi sehingga didapatkan zat warna alam berbentuk powder. Dari berbagai
pelarut yang digunakan, ternyata dari bahan baku Tingi dengan pelarut Ethanol 50% diperoleh
hasil rendemen yang paling tinggi yaitu sebesar 80 %. Dari hasil penelitian ini direkomendasikan
untuk menjadi alternatif di dalam memproduksi zat warna alam pada skala industri.


1. Pendahuluan

Definisi zat warna adalah semua zat berwarna yang mempunyai kemampuan untuk dicelupkan pada
serat tekstil dan tidak mudah untuk dihilangkan kembali. Beberapa persyaratan suatu zat dapat disebut sebagai
zat warna antara lain, zat warna tersebut mempunyai gugus yang dapat menimbulkan warna (kromofor) misalnya
nitro, nitroso dll. Selain dari itu zat warna tersebut mengandung gugus yang dapat mempunyai afinitas terhadap
serat tekstil (auksokrom), misalnya amino, hidroksil, dll. Adapun zat-zat seperti cat tembok, cat besi, bahan
pewarna kue, meskipun berwarna tetapi tidak dapat dimasukkan dalam pengertian zat warna dalam kontek ini,
karena zat-zat tersebut tidak mempunyai afinitas atau kemampuan mengadakan ikatan terhadap serat tekstil.
Berdasarkan cara memperolehnya zat warna tersebut dapat dikelompokkan menjadi zat warna alam dan zat
warna sintetik. Dalam perkembangannya zat warna sintetik lebih banyak diaplikasikan pada skala industri karena
lebih mudah penanganannya, harga yang relatif murah serta sudah ada standarnya. Sedangkan zat warna alam
masih terbatas dalam penguasaan teknologi proses pengolahannya agar diperoleh produk zat warna yang
memiliki stabilitas tinggi Proses di atas.
Pada industri tekstil, warna merupakan komponen penting yang harus dipahami karena pemakaiannya
yang sangat dominan. Untuk memperoleh suatu warna tertentu kadang-kadang harus dilakukan pencampuran
warna (color mixing). Untuk memperoleh warna tersebut perlu dilakukan tandingan warna (color maching) yang
diperoleh dengan jalan mengukur untuk mengetahui komponen warna yang ada dalam warna yang harus dicari
tersebut.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan tentang kesehatan, mulai disadari bahwa penggunaan zat
warna sintetik dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Terutama bagi orang-orang yang terlibat langsung
dalam proses pengolahannya, lingkungan sekitar serta pengguna. Kaitannya dengan zat warna alam (natural
dyestuffs) bahwa zat warna alam merupakan zat warna alternative dari zat warna sintetis. Apalagi setelah
diketemukan adanya efek negative terhadap kesehatan dengan pemakaian beberapa zat warna sintetis, seperti
dari gugus Azo. Zat warna alam merupakan zat warna yang diperoleh dari alam baik secara langsung maupun
tidak langsung. Pewarna alam banyak terkandung pada bagian tanaman seperti akar, batang, kulit, daun, bunga,
buah dan sebagainya. Molekul-molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organic yang tidak jenuh terdiri
dari beberapa gugus yaitu gugus kromofor sebagai carrier warna dan gugus auksokrom sebagai pengikat antara
zat warna dengan serat kain/batik yang diwarnainya. Pada umumnya keberadaan gugus auksokrom pada zat
warna alam dapat menyebabkan ketahanan luntur zaat warna alam adalah rendah. Ini disebabkan karena ikatan
yang terjadi adalah ikatan hydrogen. Untuk memperkuat ikatan tersebut maka perlu dikakukan proses fiksasi.
Diantaranya dapat menggunakan kapur, tawas maupun tunjung.
Sumber-sumber zat warna alam banyak terdapat pada bagian tanaman, yaitu daun, kulit kayu, kayu,
bunga, buah, biji dan akar atau umbinya. Contoh dari zat warna tersebut antara lain ; Indigofera tinctoria (daun
dan batang), Maclura sochichinensis atau tegeran, Caesalpiria sappan atau secang (kayu), Ceriops tagal atau tingi
(kulit kayu), Morinda citrifolia atau pace (kulit akar), Terminalia belerica atau jalawe (buah), Bixa orellana atau
sumbo (biji),Spatodea companulata atau bedali (daun). Ada beberapa teknologi proses yang dapat dipergunakan
Industri Kimia Kecil dan Menengah
ISSN 1410-9891

Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber
Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
2
dalam pengambilan zat warna alam dari sumbernya tergantung dari sifat-sifat zat warna maupun komponen lain
yang ada bersama zat warna tersebut. Salah satu teknologi proses tersebut adalah ekstraksi yaitu metode yang
digunakan untuk mengeluarkan satu komponen campuran dari zat padat dengan bantuan zat cair pelarut
(solvent). Ekstraksi zat padat atau (solid extraction) disebut juga leaching. Bahan baku yang semula berbentuk
zat padat dapat terdesintegrasi menjadi bubur atau lumpur bila bahan mampu larut (soluble material) yang
terkandung di dalamnya dikeluarkan.
Bila zat padat sebagai bahan baku yang akan diekstraksi membentuk massa terbuka yang permeabel maka
selama proses ekstraksi pelarutnya memungkinkan untuk berperkolasi atau mengalir melalui rongga-rongga
dalam hamparan zat padat yang tidak teraduk. Sedangkan untuk zat padat yang tidak permeabel yang
terdisintegrasi pada waktu ekstraksi, zat padat tersebut terdispersi ke dalam pelarut, dan dipisahkan kemudian
dari pelarut tersebut. Kedua metode tersebut dapat dilakukan dengan sistem batch maupun continue.
Proses leaching yang dilakukan pada zat padat stasioner atau tidak bergerak umumnya menggunakan
vesel yang mendukung zat padat tersebut sehingga memungkinkan terjadinya aliran bahan pelarut. Pelarut
dialirkan (disemprotkan) sampai kandungan zat terlarutnya berkurang dan mencapai tingkat yang dapat diterima
secara ekonomis. Sedangkan ekstraksi pada zat padat yang tidak permeabel dilakukan dengan cara menyebarkan
zat padat itu di dalam pelarut dengan proses pengadukan mekanik di dalam vesel. Ampas hasil ekstraksi tersebut
kemudian dipisahkan dari larutan pekat dengan cara pengendapan atau penyaringan. Ada beberapa faktor yang
perlu diperhatikan pada proses ekstraksi, antara lain selektifitas, polarity, temperatur. Pelarut yang mempunyai
derajat polaritas tinggi cenderung untuk mengekstrak bahan-bahan organik lebih banyak, yang terkandung di
dalam bahan baku. Namun demikian perlu adanya pertimbangan untuk memilih jenis solvent agar bahan-bahan
organik selain zat warna (impurities) tidak terikut. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya
(referensi no 2) dapat diketahui bahwa pelarut polar seperti methanol, ethanol dapat menghasilkan rendemen
yang cukup tinggi. Tetapi untuk pelarut methanol menghasilkan produk zat warna alam yang tercampur oleh
bahan organik lain seperti minyak nabati. Hal ini menyulitkan dalam proses pembuatan powder. Sedangkan
penggunaan pelarut air meskipun rendemennya relatif lebih rendah terhadap methanol dan ethanol, tetapi lebih
mudah untuk dibuat menjadi powder. Kualitas yang dihasilkan juga lebih baik. Ditunjukkan dengan jernihnya
larutan ZWA dari powder yang dihasilkan.

2. Bahan dan Metode Penelitian

2.1. Bahan dan Peralatan Proses

Bahan yang digunakan pada penelitian laboratorium adalah kayu secang (Caesalpiria sappan), aquades, ethanol.
Sedangkan peralatan proses yang digunakan diantaranya chopper, grinder, dryer, vessel extractor dilengkapi
pemanas, filter, rotary evaporator.

2.2. Metodologi

Bahan baku kayu pohon yang digunakan (Tingi, Secang dan Tegeran), dikecilkan ukurannya dengan
chopper dan dikurangi kadar air dengan cara penjemuran. Selanjutnya ukuran diperkecil lagi menggunakan
grinder. Bahan baku yang telah ditentukan beratnya dimasukkan ke dalam alat ekstraktor bersama pelarut.
Perbandingan aquades/air dan ethanol yang digunakan merupakan parameter penelitian ini. Parameter lain yang
diamati adalah temperatur dan waktu proses ekstraksi. Pengadukan dilakukan dengan kecepatan 200 rpm.
Setelah proses ekstraksi selesai, larutan dan ampas dipisahkan menggunakan kertas filter. Kemudian zat warna
dan pelarut dipisahkan dengan alat rotary evaporator. Selanjutnya dikeringkan dan ditimbang hasil padatan yang
diperoleh. Tahapan proses penyiapan bahan baku hingga diperoleh produk berupa powder zat warna alam
digambarkan pada blok diagram proses ekstraksi yang dilakukan seperti terlihat pada gambar 1.
EKSTRAKSI PENYARINGAN PEMISAHAN PELARUT
PENGERI NGAN
Pelarut
Pelarut
Ampas
Tanaman
Zat warna alam
Zat warna alam
Powder
EKSTRAKSI PENYARINGAN PEMISAHAN PELARUT
PENGERI NGAN
Pelarut
Pelarut
Ampas
Tanaman
Zat warna alam
Zat warna alam
Powder

Gambar 1. Diagram proses pembuatan zat warna alam powder
Industri Kimia Kecil dan Menengah
ISSN 1410-9891

Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber
Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
3
Selanjutnya dilakukan analisis kadar air (moisture content) pada produk powder untuk mencapai kondisi
penyimpanan yang lebih baik.


3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Ekstraksi
Rendemen total ekstraksi kayu tingi dan secang menggunakan variasi pelarut ethanol teknis, air dan campuran
ethanol-air 50% dapat dilihat pada gambar 2.

0
20
40
60
80
100
Tingi
Secang
Ethanol Air Ethanol 50%
R
e
n
d
e
m
e
n
t
o
t
a
l

(
%
)
0
20
40
60
80
100
Tingi
Secang
Tingi
Secang
Ethanol Air Ethanol 50%
R
e
n
d
e
m
e
n
t
o
t
a
l

(
%
)

Gambar 2. Rendemen ZWA tanaman Tingi dan Secang dengan pelarut ethanol dan air

Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui bahwa untuk seluruh variasi pelarut, tanaman Tingi menghasilkan
rendemen lebih besar dibandingkan dengan Secang. Karakteristik grafik yang dihasilkan terlihat berbeda. Untuk
Tingi peningkatan rendemen yang dihasilkan adalah Ethanol 50% >Air >Ethanol. Sedangkan pada kayu Secang
Ethanol 50% >Ethanol >Air. Adapun hasil ekstraksi kayu tingi dengan solvent air dan ethanol serta ethanol
50% ditinjau pada setiap tahapan proses ekstraksi adalah seperti terlihat pada gambar 3.
0
10
20
30
40
50
60
70
0 1 2 3
Tahap ekstraksi
R
e
n
d
e
m
e
n

(
%
)
air
Ethanol
Ethanol 50%
0
10
20
30
40
50
60
70
0 1 2 3
Tahap ekstraksi
R
e
n
d
e
m
e
n

(
%
)
air
Ethanol
Ethanol 50%

Gambar 3. Hasil ekstraksi kayu tingi dengan variasi pelarut

Pada Gambar 3 dapat diketahui bahwa terjadi penurunan rendemen zat warna alam yang diperoleh dari proses
ekstraksi bertahap tersebut. Tahap pertama menghasilkan rendemen sebesar 9,6 % berat, tahap ke-dua 7,8 % dan
tahap ke-tiga 3,4 %. Dengan pertimbangan bila proses dilanjutkan pada tahap berikutnya akan mendapatkan
rendemen yang sangat rendah dan tidak ekonomis maka proses ekstraksi zat warna alam tingi lebih
menguntungkan bila dihentikan sampai pada ekstraksi tahap ke-tiga. Dari ketiga tahapan ekstraksi tersebut
diperoleh rendemen total sebesar 21,2 %. Terjadi peningkatan rendemen 18 % yang diperoleh pada ekstraksi
yang menggunakan pelarut ethanol. Peningkatan yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan merubah konsentrasi
pelarut ethanol 50 %, yaitu 360 %. Hal ini kemungkinan terjadi karena lebih banyak komponen terlarut yang
meliputi zat warna alam maupun zat-zat organik lainnya seperti tanin, minyak nabati, dll. Hipotesis ini diperkuat
dengan analisis penampakan fisik hasil ekstraksi pada proses powderisasi, berminyak sehingga lebih basah
dibandingkan hasil ekstraksi yang menggunakan pelarut air. Waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan zat
warna alam terhadap pelarutnya untuk 100 g bahan baku tingi dapat dilihat pada gambar 4.
Industri Kimia Kecil dan Menengah
ISSN 1410-9891

Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber
Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
4
0
200
400
600
800
1000
Ethanol
Air Ethanol 50%
W
a
k
t
u

P
e
n
g
e
r
i
n
g
a
n
(
m
e
n
i
t
)
0
200
400
600
800
1000
Ethanol
Air Ethanol 50%
W
a
k
t
u

P
e
n
g
e
r
i
n
g
a
n
(
m
e
n
i
t
)

Gambar 4. Waktu pengeringan zat warna alam

Gambar 4 adalah grafik hubungan antara waktu yang diperlukan untuk mengeringkan produk zat warna alam
tingi yang dihasilkan melalui proses ekstraksi terhadap pelarutnya hingga diperoleh moisture content rata-rata
7%. Basis bahan baku yang digunakan adalah 100 gram. Waktu tercepat diperoleh bila ekstraksi dilakukan
menggunakan pelarut ethanol. Sedangkan pelarut air membutuhkan waktu pengeringan yang lebih lama. Waktu
pengeringan paling lama dibutuhkan pada hasil ekstraksi yang menggunakan pelarut ethanol 50%.


3.2. Konseptual teknologi proses pembuatan powder zat warna alam untuk IKM.
Untuk ukuran industri kecil menengah (IKM), faktor kompleksitas peralatan dan keterbatasan
ketersediaan energi dan biaya operasional menjadi pertimbangan sehingga dalam mendisain teknologi proses
yang akan diterapkan diperlukan konsep yang sesuai (proper technology). Khusus pada zat warna alam dimana
membutuhkan bagian tanaman sebagai bahan bakunya (kayu, kulit, daun, akar, dll.), proses produksi yang
didisain tergantung pada ketersediaan dan jenis bahan bakunya. Oleh karena itu, untuk menyusun alur proses
produksi zat warna alam dalam bentuk powder, selain kajian data primer yang diperoleh dari eksperimen di
laboratorium juga diperlukan analisa/kajian pemilihan peralatan proses yang sesuai. Hasil akhir dari teknologi
proses yang diusulkan bermuara pada produk zat warna alam dalam bentuk bubuk (powder), dimana diharapkan
produk ini mudah digunakan, murah dan ramah lingkungan.
Ada beberapa peralatan utama yang diperlukan untuk memproduksi zat warna alam dalam bentuk
powder, diantaranya : grinder, extractor, decanter, evaporator, dryer dan milling. Karena bahan baku zat warna
alam yang digunakan berupa simplisia tanaman (kulit, batang, akar, daun) maka tahap awal proses yang
dilakukan adalah size reduction dengan menggunakan peralatan grinder, diikuti dengan proses ekstraksi
menggunakan pelarut air. Untuk memisahkan cairan hasil ekstraksi, dipilih peralatan decanter sebagai
alternative dari pemakaian filter. Pada proses ini, cairan yang mengandung zat warna alam (pregnant solution)
terpisah dari padatan dan dapat dialirkan dengan sistem overflow. Pregnant solution kemudian dialirkan ke
evaporator untuk dipekatkan sebelum dikeringkan dengan peralatan dryer sampai mencapai kandungan air
(moistire content) +10 %. Untuk membuat bentuk powder, hasil dari proses drying dihaluskan menggunakan
peralatan milling.

3.3 Analisis tekno ekonomi

Analisis ekonomi dihitung berdasarkan kapasitas produksi 1 ton produk ZWA powder per tahun, dengan
menggunakan pelarut air dan bahan baku Tingi sebagai modelnya. Hasil analisa yang dilakukan ternyata
memerlukan modal tetap untuk pembelian mesin-mesin utama dan mesin pendukung sebesar Rp. 182.000.000,-.
Dengan menggunakan asumsi harga bahan baku kayu secang Rp. 7.000,- / Kg dan harga produk zat warna alam
powder Rp. 500.000,-/Kg, maka diperoleh hasil analisis ekonomi ; Break Event Point (BEP) : 64 %, Internal
Rate of Return (IRR) : 28 % dan payback period 2,5 tahun. Hasil analisa ekonomi tersebut menunjukkan
bahwa industri yang memproduksi zat warna alam bentuk powder adalah mempunyai nilai komersial dan
tergolong low risk.





Industri Kimia Kecil dan Menengah
ISSN 1410-9891

Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber
Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
5
4. Kesimpulan

Proses ekstraksi padat-cair (leaching) dapat diterapkan untuk memproduksi zat warna alam. Untuk
contoh kasus ekstraksi kayu tingi, dengan pelarut ethanol teknis menghasilkan rendemen total 18 %, meningkat
menjadi 21,2 % bila menggunakan pelarut air dan 80 % untuk pelarut ethanol 50 %.
Dari data primer hasil eksperimen di laboratorium dan dengan mempertimbangan pada penggunaannya
untuk Industri Kecil Menengah (IKM), teknologi proses produksi zat warna alam bentuk bubuk (powder) yang
direkomendasikan adalah sesuai dengan alur proses yang terdiri dari beberapa peralatan proses utama
diantaranya : grinder, extractor, decanter, evaporator, dryer dan milling.
Dengan menggunakan model kayu tingi sebagai bahan baku zat warna alam dan air sebagai pelarut, hasil
analisis ekonomi dengan kapasitas 1 ton produk ZWA powder per tahun adalah sebagai berikut ; BEP 64 %,
IRR 28 % dan Payback period dua setengah tahun.

Daftar Pustaka
1. Adrosko, RJ ., (1971), Natural Dyes and Home Dyeing, Copy right of original edition, Dover Publications,
Inc, New York.
2. Anwar Mustafa , (2003), Potensi Produksi Zat Warna Alam untuk Aplikasi Pada industri Batik dan
Tekstil, Seminar Teknologi Untuk Negeri (STUN), BPPT.
3. Hendri Suprapto, (2000), Penggunaan Zat Warna Alami untuk Batik, Balai Penelitian Batik dan Kerajian,
Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Deperindag, Yogyakarta.
4. Kun Lestari W.F., (1997), Pengembangan Zat Warna Tumbuh-tumbuhan Untuk Batik, Laporan Proyek
Penelitian Tahun 1996/1997, Balai Litbang Kerajinan dan Batik, Deperindag, Yogyakarta.
5. Yemirta, (2000), Isolasi Zat Aktif Pewarna Alam dari Berbagai J enis Tanaman, Workshop hasil Litbang
Balai Besar Industri Kimia (BBIK), Deperindag, J akarta.
6. B. Harimurti dan Y.W. Budhi, (1994), Peningkatan biodegradabilitas limbah cair industri tekstil secara
anaerob, J urusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri ITB, Bandung.
7. W.L. Mc Cabe, J .C. Smith dan P. Harriott, (1987), Operasi Teknik Kimia J ilid 1, Penerbit Erlangga,
J akarta.
8. W.L. Mc Cabe, J .C. Smith dan P. Harriott, (1990), Operasi Teknik Kimia J ilid 2, Penerbit Erlangga,
J akarta.

Anda mungkin juga menyukai