Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH FARMASI

TYPHUS ABDOMINALIS




Oleh :
Wahyu
G99141082

Pembimbing:
Dyah Poerwohastuti, S.Farm., Apt


KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2014


2

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Typhus abdominalis adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan
oleh infeksi kuman Salmonella typhi yang menyerang manusia khususnya pada
saluran cerna yaitu pada usus halus yang masuk melalui makanan atau minuman
yang tercemar dan ditandai dengan gejala demam lebih dari satu minggu,
gangguan pada pencernaan dan lebih diperburuk dengan gangguan kesadaran.
1

B. EPIDEMIOLOGI
Typhus abdominalis termasuk penyakit menular yang tercantum dalam
Undang-undang Nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Walaupun tercantum dalam
undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum
ada, sehingga gambaran epidemiologinya belum diketahui secara pasti. Di
Indonesia, jarang dijumpai secara epidemic, tapi lebih sering bersifat sporadic,
terpencar-pencar di suatu daerah dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus
pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan.
Ada 2 sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan tifoid dan carrier.
Di daerah endemic, tranmisi terjadi melalui air yang tercemar dan
makanan yang tercemar oleh carrier yang merupakan sumber penularn yang
paling sering di daerah non endemik
5
.

C. ETIOLOGI
Salmonella adalah basil gram negative, tidak berkapsul, hampir selalu
motil dengan menggunakan flagella peritrikosa, yang menimbulkan dua atau
lebih bentuk antigen H. Kuman ini meragikan glukosa, sehingga terbentuk dasar
asam dan cekungan basa pada agar beri gula tripel ( TSI ). Umumnya
menghasilkan H
2
S yang dapat terdeteksi sebagai produk reaksi hitam dan
berfungsi awal untuk membedakan isolate dari Shigella, yang juga menimbulkan


3

reaksi TSI basa / asam. Salmonella typhi penyebab utama demam tifoid atau
typhus abdominalis. Beberapa salmonella sangat mudah beradaptasi pada
manusia seperti S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B. sementara sebagian besar
spesies beradaptasi pada hewan dan tidak menyebabkan kesakitan pada manusia.
Yang lain menginfeksi baik manusia dan hewan tingkat rendah, sehingga
menyebabkan gastroenteritis atau yang lebih jarang infeksi terlokalisir, atau
septikemik
6
.

D. PATOFISIOLOGI
Kuman S. typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan
air tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan asam lambung. Sebagian lagi masuk
ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Payeri di ileum terminalis
yang hipertropi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal
dapat terjadi. Kuman S.typhi kemudian menembus lamina propia masuk aliran
limfe mesenterial, dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga
mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini, S.typhi
masuk aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.typhi lain
mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S.typhi bersarang di plaque
Payeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotelial. Semua
disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan
endotoksemia. Tapi kemudian berdasar penelitian eksperimental disimpulkan
bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-
gejala toksemia pada typhus abdominalis. Endotoksin S.typhi berperan pada
patogenesis, karena membantu terjadinya proses inflamasi local pada jaringan
tempat S.typhi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.typhi
dan endotoksinya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen olek leucosis
pada jaringan yang meradang
5
. Proses perkembangan S. Typhi didalam tubuh
dijlaskan dalam bagan berikut.



4




5

E. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas berlangsung 10 14 hari. Gejala-gejala yang timbul bervariasi.
Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang asimptomatis
sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian.
Minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut
pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, epistaksis. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan meningkat.
Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relative, lidah khas ( kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta
tremor ), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada
orang Indonesia
5
.

F. DIAGNOSIS
Biakan darah positif memastikan typhus abdominalis, tapi biakan darah
negative tidak menyingkirkan typhus abdominalis. Biakan feces positif
menyokong diagnosis klinis typhus abdominalis
5
. Biakan feces ini, 75% positif
pada minggu ketiga.
Diagnosis serologis kurang dapat diandalkan dibandingkan biakan.
Sebagian besar pasien dapat mempunyai antibody terhadap antigen O, H, dan Vi (
tes widal ). Jika tidak mendapatkan imunisasi yang baru, titer antibody terhadap
antigen O ( > 1/ 640 ) adalah sugestif, tapi tidak spesifik selama salmonella
serogrup. Peninggian antibody empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah
criteria yang baik, untuk memastikan diagnosis typhus abdominalis selama 2
sampai 3 minggu
5,6
. Jadi pemeriksaan widal dinyatakan positif apabila :
Titer O widal I 1/ 320 atau
Titer O widal II naik 4 kali atau lebih dibandingkan titer O widal I
atau
Titer O widal I ( - ) tapi titer O widal II ( + ) berapapun angkanya


6

Sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya :
Darah perifer lengkap : leucopenia, limfositosis, aneosinofilia
Biakan empedu : tumbuh koloni Salmonella typhi
9


G. DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus
Malaria
3,9


H. TERAPI
1. Bed rest total, sampai 7 hari bebas panas
3
. Maksudnya untuk mencegah
terjadinya komplikasi yakni perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi
pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kekuatan pasien
5
.
2. Diet saring TKTP rendah serat, lunak sampai 7 hari bebas panas lalu ganti
bubur kasar , dan setelah 7 hari ganti dengan nasi
3
. Pemberian bubur saring
bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus / perforasi usus,
karena ada pendapat bahwa usus perlu diistirahatkan
5
.
3. Antibiotik
Terapi antibiotik merupakan inti dari farmakoterapi dan harus dimulai
jika bukti klinis mendukung gambaran typhus abdominalis
2
. Sejak tahun
1960, telah muncul strain S.typhii yang resisten terhadap kloramfenicol dan
pada tahun 1989, strain S. typhii Multi Drugs Resistance (MDR) yang kebal
terhadap Kloramfenikol amoxicillin dan cotrimoxazol muncul dan
menyebar di anak benua India dan beberapa negara di Asia Tenggara. Untuk
kasus typhus MDR ini maka obat pilihan utamanya adalah
Flouoroquinolone dan Cepholosporin generasi ketiga karena kemanjuran
serta rendahnya angka kasus relaps dan carrier
2
. Kloramphenicol terutama
digunakan pada daerah-daerah dimana strain lokal masih sensitive
1,2
. Pada
kasus Typhus Abdominalis MDR pada anak, karena penggunaan quinolone
tidak dianjurkan, maka cephalosporine generasi ke tiga menjadi pilihan
utama
2
.


7



a. Kloramfenikol
Obat yang dipilih sebagai antibiotik pada demam tifoid adalah
Kloramfenikol dimana obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan
subunit ribosom 50 S bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri
dengan menghambat sintesa protein
2
. Efektif untuk bakteri gram positif
dan negatif
2,7
, namun jika ada antibiotik lain yang lebih aman,
dianjurkan untuk tidak menggunakan kloramfenikol
7
. Saat ini terutama
digunakan untuk demam typhoid, infeksi Salmonella yang lain, serta
H.influenzae
7
.
Resorbsi dari usus lengkap dan cepat, dengan BA 75-90%.
Distribusi ke jaringan rongga, dan cairan tubuh, kecuali empedu, baik
sekali. Kadar dalam LCS tinggi sekali. PP kurang dari 50%, plasma-t -
nya rata-rata 3 jam. Dalam hati, 90% dirombak menjadi glukoronid
inaktif
8
. Ekskresi melalui ginjal dalam bentuk inaktif dan hanya 10%
dalam bentuk utuh
7
.
Perbaikan klinis tampak pada hari kedua dan panas mulai turun
pada hari ke 3-5
2,4
. Diberikan secara peroral kecuali pasien mengeluh
mual atau diare, dimana dapat diberikan per IV. Pemberian per IM
haruslah dihindari karena menyebabkan penurunan panas yang lambat
serta kadar obat dalam darah kurang memuaskan
2
.
Efek samping lain yang umum terjadi adalah gangguan lambung
usus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mulut
8
. Efek
samping yang lebih berat yaitu reaksi hematologik berupa depresi
sumsum tulang yang reversibel dan anemia aplastik yang irreversibel
8
.
Angka kejadian reaksi hematologik ini adalah 1: 24.000-50.000
7
.
Interaksi dengan obat lain :
- Barbiturat : dapat menyebabkan peningkatan kadar serum
barbiturat sedang kadar serum kloramfenikol menurun sehingga


8

mengakibatkan toksisitas di samping itu juga memperpendek
waktu paruh kloramfenikol
2,8
.
- Sulfonil urea : hipoglikemia.
- Rifampisin : kadar serum kloramfenikol turun.
- Antikoagulan : peningkatan efek dari antikoagulan.
- Hydantoin : meningkatkan kadar serum hydantoin.
Penggunaan pada ibu hamil (terutama pada trimester III (aterm
atau dalam persalinan)) dan menyusui tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan sindrom Grey Baby
8
. Sedang untuk ibu hamil
Trimester I dan II dapat diberikan
3
. Grey Baby Syndrome juga dapat
terjadi pada pemberian kloramfenikol pada bayi prematur yang
mendapat dosis tinggi. Dosis maksimal untuk bayi kurang dari 1 bulan
adalah 25 mg/kgBB/hr
7
.
b. Tiamfenikol ( Urfamycin )
- Dosis dan efektivitas sama dengan kloramfenikol
5
.
- Kelebihan : Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang
sensitive
- Keurangan : Perbaikan klinis lebih lambat. Kasus relaps lebih
banyak.
c. Cotrimoxazol ( Trimetroprim dan Sulfametoksazol )
- Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 480 mg sehari, digunakan
sampai 2 minggu bebas demam
5
.
- Menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis
dari asam dihidrofolik. Sama efektif seperti kloramfenikol dalam
penurunan panas dan pencegahan relaps.
- Kelebihan : Dapat digunakan pada pasien yang alergi terhadap
Kloramfenikol Thiamphenicol, dan golongan Penicillin
- Kekurangan : Perbaikan klinis lebih lambat
d. Amoxicillin


9

- Dosis yang dianjurkan berkisar 50 150 mg / kgBB sehari,
digunakan sampai 2 minggu bebas demam
5
.
- Menghasilkan aktivitas bakterisidal pada bakteri yang sensitif.
Kurang efektif dibandingkan dengan Kloramfenikol dalam
menurunkan panas dan kasus relaps. Angka Carrier lebih sedikit
dibandingkan antibiotik lain pada bakteri yang sensitif.
- Kelebihan : Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang benar-
benar sensitive.
- Kekurangan: Perbaikan klinis lebih lambat. Kasus relaps lebih
banyak.
4. Simptomatik
Antipiretik: Paracetamol dengan dosis 3x 500-1000mg sehari

I. PROGNOSIS
Terapi yang cocok, terutama jika pasien perlu dirawat secara medis pada
stadium dini, sangat berhasil. Angka kematian dibawah 1%, dan hanya sedikit
penyulit yang terjadi
6
.












10




BAB II
ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn J
Umur : 22 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Surakarta
Agama : Islam

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Badan panas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan badan panas. Sejak kurang lebih 3 hari SMRS,
badan penderita panas. Panas dirasakan naik turun, dan naik terutama pada
malam hari, sampai menggigil. Penderita meminum obat penurun panas
(panadol) dan panasnya sempat turun tapi naik lagi setelah beberapa jam
minum obat. Kepala penderita juga pusing terutama saat badan panas.
Penderita mengeluhkan nyeri perut dan mual, tetapi tidak muntah, nafsu
makan berkurang dan badan terasa lemah. Sudah 4 hari ini penderita tidak
BAB. BAK tidak ada keluhan. Dalam keseharian, pasien sering membeli
makanan di pinggiran jalan untuk makan siang di kampusnya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat mondok karena penyakit serupa ( - )


11

Riwayat alergi obat, makanan, udara dingin (- )
Riwayat DM (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat penyakit Liver (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa ( - )
Riwayat alergi (- )
Riwayat DM (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum Sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup
Tanda Vital




Status Gizi
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 96 x/ menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 38,5
0
C
BB=53 kg
TB=165 cm
BMI= 19,4
C. Kulit Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),
ekimosis (-), pucat (-)
D. Kepala Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, uban (-), mudah
rontok (-), luka (-)
E. Mata Mata cekung (-/-), konjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-
/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema
palpebra (-/-), strabismus (-/-)
F. Telinga Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan
mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
G. Hidung Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi


12

penghidu baik
H. Mulut Sianosis (-), gusi berdarah (-), gigi tanggal (-), bibir kering
(-), pucat (-), lidah tifoid (+), papil lidah atrofi (-),
stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-), tepi lidah hiperemi
(+)
I. Leher JVP R+2cm (tidak meningkat), trakea di tengah, simetris,
pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi
cervical (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
J. Thorax Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan =
kiri, retraksi intercostal (-), spider nevi (-), pernafasan
torakoabdominal, sela iga melebar (-), pembesaran KGB
axilla (-/-)
Jantung :
Inspeksi Iktus kordis tidak tampak
Palpasi Iktus kordis teraba di SIC V 1 cm medial linea
medioclavicularis
Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis
dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial linea
medioklavicularis sinistra
Pinggang jantung : SIC II-III parasternalis sinistra
konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi HR : 108 kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II murni,
intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-). Bunyi
jantung I > Bunyi jantung II, di SIC V 1 cm medial linea
medioklavikula sinistra dan SIC IV linea parasternal


13

sinistra. Bunyi jantung II > Bunyi jantung I di SIC II linea
parasternal dextra et sinistra.
Pulmo :
Inspeksi Normochest, simetris, sela iga melebar (-), iga mendatar (-
). Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga melebar,
retraksi intercostal (-)
Palpasi Simetris. Pergerakan dada kanan = kiri, peranjakan dada
kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi Sonor / Sonor
Auskultasi Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara tambahan
wheezing (-/-), ronchi basah kasar (-/-), ronchi basah halus
basal paru (-/-), krepitasi (-/-)
K. Punggung kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok
kostovertebra (-),
L. Abdomen :
Inspeksi Dinding perut sejajar dari dinding thorak, distended (-),
venektasi (-), sikatrik (-), stria (-), caput medusae (-)
Auscultasi Peristaltik (+) normal
Perkusi Timpani, pekak alih (-)
Palpasi nyeri tekan (-). Hepar tidak teraba. Lien tidak teraba.
M Genitourinaria Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)
N. Ekstremitas Kuku pucat (+), spoon nail (-)
Akral dingin Odem
_ _
_ _

_ _
_ _


D. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Darah Rutin
Hb : 12,1 g/dl Gol darah : B


14

Hct : 42 % Ur : 20
Leukosit: 7000 g/dL Cr : 0,5
Eritrosit: 3.500.000 g/dL
Widal Test
Titer O Titer H
S. typhi 1 / 320 1 / 400
S. paratyphi 1 / 160 1 / 160

E. DIAGNOSIS
Typhus Abdominalis

F. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
Bed rest total sampai 7 hari bebas panas
(mobilsasi bertahap dari duduk sampai pulih kekuatan)
Diet TKTP lunak, rendah serat sampai 7 hari bebas panas.
Kemudian diganti bubur kasar setelah 7 hari diganti nasi
Kompres air hangat
2. Medikamentosa
Infus NaCl 0,9%
Kloramfenikol 4 x 500mg drug of choice Thypoid
Pamol 3x500 mg Demam
Rantin injeksi Mual









15




Penulisan Resep

RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Poli Klinik Interna
11 Agustus 2014
Dokter : dr. Kharisma

R / Infus Natrium Chlorida 0,9% fl No II
Cum infuse set No I
Abocath no 20 No I
Three way No I
Simm
R / Kloramfenikol tab mg 500 No XXX
S 4 dd tab I
R/ Pamol tab mg 500 No. XV
S 3 dd tab I
R/ Rantin inj amp No. V
Cum disposable syringe cc 3 No. V
Simm

Pro : Tn. K (22 tahun)
Alamat : Surakarta






16



BAB III
PEMBAHASAN

A. Tindakan Umum
Tujuan pengobatan adalah untuk membasmi infeksi, mengurangi
morbiditas dan mencegah komplikasi
2
.
Untuk membasmi infeksi dan mencegah komplikasi, maka pemberian
antibiotika yang tepat adalah hal yang terpenting dan menjadi inti farmakoterapi
terhadap typhus abdominalis. Antibiotik diberikan secara empiris bila bukti-bukti
klinis menyokong diagnosa typhus abdominalis
2
.
Untuk mengurangi morbiditas, pemberian glukokortikoid
(Dexamethasone) dapat diberikan pada pasien yang mengalami demam toksemik
yang berat
1,3
. Pemberian harus dengan indikasi dan dosis yang tepat karena dapat
menyebabkan perdarahan dan perforasi usus
3
. Pemberian asam salisilat dan
antipiretik lain tidak dianjurkan kaena dapat menyebabkan perdarahan dan
perforasi usus
4
disamping memang tidak banyak berguna
3
. Untuk mengurangi
demam dapat dilakukan kompres dengan air hangat
3
.

B. Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik merupakan inti dari farmakoterapi dan harus dimulai jika
bukti klinis mendukung gambaran typhus abdominalis
2
.
Sejak tahun 1960, telah muncul strain S.typhii yang resisten terhadap
kloramfenicol dan pada tahun 1989, strain S. typhii Multi Drugs Resistance
(MDR) yang kebal terhadap Chloramphenicol, Amoxicillin dan Cotrimoxazol
muncul dan menyebar di anak benua India dan beberapa negara di Asia Tenggara.
Untuk kasus typhus MDR ini maka obat pilihan utamanya adalah


17

Flouoroquinolone dan Cepholosporin generasi ketiga karena kemanjuran serta
rendahnya angka kasus relaps dan carrier
2
.
Kloramphenicol terutama digunakan pada daerah-daerah dimana strain
lokal masih sensitif
1,2
. Pada kasus typhus abdominalis MDR pada anak, karena
penggunaan quinolone tidak dianjurkan, maka cephalosporine generasi ketiga
menjadi pilihan utama
2
.

C. Pembahasan Obat
Obat yang dipilih sebagai antibiotik pada kasus di atas adalah
Chloramphenicol, dimana obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan subunit
ribosom 50 S bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat
sintesa protein
2
. Efektif untuk bakteri gram positif dan negatif
2
, namun jika ada
antibiotik lain yang lebih aman, dianjurkan untuk tidak menggunakan
kloramfenikol. Saat ini terutama digunakan untuk demam typhoid, infeksi
Salmonella yang lain, serta H. influenzae.
Resorbsi dari usus lengkap dan cepat, dengan BA 75-90%. Distribusi ke
jaringan rongga, dan cairan tubuh, kecuali empedu, baik sekali. Kadar dalam LCS
tinggi sekali. PP kurang dari 50%, plasma-t -nya rata-rata 3 jam. Dalam hati,
90% dirombak menjadi glukoronid inaktif
8
. Ekskresi melalui ginjal dalam bentuk
inaktif dan hanya 10% dalam bentuk utuh
7
.
Perbaikan klinis tampak pada hari kedua dan panas mulai turun pada hari
ke 3-5
2,4
. Diberikan secara peroral kecuali pasien mengeluh mual atau diare,
dimana dapat diberikan per IV (intra venous). Pemberian per IM (intra muscular)
haruslah dihindari karena menyebabkan penurunan panas yang lambat serta kadar
obat dalam darah kurang memuaskan
2
.
Efek samping lain yang umum terjadi adalah gangguan lambung usus,
neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mulut. Efek samping yang lebih
berat yaitu reaksi hematologik berupa depresi sumsum tulang yang reversibel dan
anemia aplastik yang ireversibel
8
. Angka kejadian reaksi hematologik ini adalah
1: 24.000-50.000
7
.


18

Interaksi dengan obat lain :
1. Barbiturat : dapat menyebabkan peningkatan kadar serum barbiturat sedang
kadar serum kloramfenikol menurun sehingga mengakibatkan toksisitas
2
di
samping itu juga memperpendek waktu paruh kloramfenikol.
2. Sulfonil urea : hipoglikemia.
3. Rifampisin : kadar serum kloramfenikol turun.
4. Antikoagulan : peningkatan efek dari antikoagulan.
5. Hydantoin : meningkatkan kadar serum hydantoin.
Penggunaan pada ibu hamil (terutama pada trimester III (aterm atau dalam
persalinan) dan menyusui tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan sindrom
grey baby. Sedang untuk ibu hamil Trimester I dan II dapat diberikan
3
. Grey
Baby Syndrome juga dapat terjadi pada pemberian kloramfenikol pada bayi
prematur yang mendapat dosis tinggi. Dosis maksimal untuk bayi kurang dari 1
bulan adalah 25 mg/kgBB/hari
7
.

D. Alasan pemilihan Kloramfenikol untuk kasus ini
1. Diharapkan adanya perbaikan keadaan klinis yang lebih cepat dibandingkan
jika diberikan antibiotik lain (Amoxicillin, Amphicillin, Kotrimoxazol).
2. Harga lebih murah dibanding golongan Quinolon dan Cephalosporin generasi
ketiga.
3. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya tanda kerusakan hepar.
4. Dapat diberikan peroral.
5. Masih merupakan obat pilihan utama untuk typhus abdominalis di Indonesia.
Pada pasien ini harus dilakukan pemantauan darah rutin (Hb, HCt, AL,
AT). Jika terdapat penurunan dapat diganti dengan obat antibiotik lain.

E. Infus Ringer Lactate: Dextose 5%
Pemberian infus pada kasus ini bertujuan untuk mencegah dehidrasi,
sebagai tambahan nutrisi dan mencegah asidosis.



19





G. Pamol
Nama obat Pamol (Paracetamol) Parasetamol adalah drivat p-
aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik /
analgesik.
Sifat antipiretiknya disebabkan oleh gugus aminobenzen
dan mekanismenya diduga berdasarkan efek
sentral. Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena,
tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil dan atom nitrogen
dari gugus amida pada posisi para (1,4). Senyawa ini
dapat disintesis dari senyawa asal fenol yang dinitrasikan
menggunakan asam sulfat dan natrium nitrat.
Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-
aminofenol direaksikan dengan senyawa asetat anhidrat.
Sifat analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa
nyeri ringan sampai sedang. Paracetamol sebagai
analgetik memiliki khasiat sama seperti aspirin atau
obat-obat non steroid antiinflamatory drug (NSAID)
lainnya. Seperti aspirin, parasetamol berefek
menghambat prostaglandin (mediator nyeri) di otak
tetapi sedikit aktivitasnya sebagai penghambat
postaglandin perifer. Namun, tak seperti obat-obat
NSAIDs.
Sifat antiinflamasinya sangat rendah sehingga tidak
digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan per
oral, Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran


20

cerna. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam
waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian.
Parasetamol diekskresikan melalui ginjal, kurang dari
5% tanpa mengalami perubahan dan sebagian besar
dalam bentuk terkonjugasi.
Karena Parasetamol memiliki
aktivitas antiinflamasi (antiradang) rendah, sehingga
tidak menyebabkan gangguan saluran cerna maupun efek
kardiorenal yang tidak menguntungkan. Karenanya
cukup aman digunakan pada semua golongan usia.
Dosis Dewasa Dosis umum untuk orang dewasa adalah 500 mg
sampai 1000mg setiap empat jam serta dikonsumsi
tidak lebih dari 10 hari.
Dosis anak analgesik, antipiretik: oralDosis anak 6-12 bulan 60
mg/kali, maks. 6 kali sehari; 1-6 tahun 60-120 mg/kali,
maks. 6 kali/hari; 6-12 tahun 150-300 mg/kali, maks. 1,2
g/hari; dewasa 300 mg 1 g/kali, maks. 4 g/hariSediaan :
tab. 100 mg, 500 mg; sir. 120 mg/5 ml
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat gangguan fungsi hati dan ginjal
Interaksi Obat Paracetamol sering dikombinasikan dengan aspirin untuk
mengatasi rasa nyeri pada rematik sebab paracetamol
tidak mempunyai efek anti inflamasi seperti aspirin
sehingga bila kedua obat ini digabung maka akan
didapatkan sinergi pengobatan yang bagus pada penyakit
rematik. Paracetamol aman diberikan pada wanita hamil
dan menyusui namun tetap dianjurkan pada wanita hamil
untuk meminum obat ini bila benar benar membutuhkan
dan dalam pengawasan dokter. Paracetamol
dikombinasikan dengan opiod codein.


21

Paracetamol dokombinasikan dengan codein dan
penenang (syndol atau mersyndol). Parasetamol
umumnya digunakan untuk mengobati demam, sakit
kepala, dan rasa nyeri ringan. Senyawa ini bila
dikombinasikan dengan obat anti inflamasi non steroid
(NSAID) atau obat pereda nyeri opioid, dapat digunakan
untuk mengobati nyeri yang lebih parah.
Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal dan
alkoholik

H. Rantin
Nama obat Rantin (Ranitidine HCl) suatu penghambat aktivitas
histamin yang kompetitif dan reversibel pa -da reseptor-
H2 histamin, termasuk reseptor pada sel-sel lambung dan
bukan suatu zat antikolinergik, Ranitidin bekerja dengan
cara menghambat sekresi asam lambung basal dan
nokturnal melalui peng -hambatan kompetitif terhadap
kerja histamin pada reseptor - H2 histamin di sel-se!
parietal. Ranitidin juga menghambat sekresi asam
lambung yang dirangsang oieh makanan, betazole,
pentagas-trln, kofein, insulin dan refleks vagal fisiologis.
Efek penghambatan terhadap histamin bersifat
kompetitif, sedangkan terhadap pentagastrin bersifat
non-kompetitif.
Kadar puncak dalam darah setelah pemakaian oral,
tercapal dalam 1 - 2 jam dan tidak dipengaruhi oleh
adanya makanan..
Dosis Dewasa Injeksi:
Harus diberikan secara perlahan-lahan (-2'menit)


22

Dewasa: Intramuskular: 50mg/2ml, setiap 6-8 jam,
tanpa pengenceran.
Intravena:
- Intermittent bolus: 50 mg (2 ml) setiap 6'- 8 jam.
Larutkan ACRAN injeksi dalam 0,9% larutan NaCI
atau larutan i,v, yang cocok lainnya hingga konsen-
trasi tldak lebih besar dari 2,5 mg/ml (20 ml).
Suntikkan dengan kecepatan tidak lebih dari 4 ml/
menit(5menit),
- Intermittent infusion: 50 mg/2 ml setiap 6 - 8 Jam,
Larutkan ACRAN injeksi dalam dekstrosa 5% atau
larutan i.v, yang cocok lainnya hingga konsentrasi
tidak lebih dari 0,5 mg/ml ( 100 ml).
Diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 5 - 7
ml/menif(15-20menit),
- Injeksi i.v. kontinyu; tambahkan injeksi ke dalam
larutan dekstrosa 5% ( atau larutan untuk injeksi i.v.
lain yang cocok), dengan kecepatan Infus 6,25
mg/jam,
- Pada penderita sindroma Zollinger - Ellison: encer-
kan injeksi ke daldm larutan dekstrosa 5% (atau larutan
untuk injeksi i.v. lain yang cocok) sampai di -peroleh
konsentrasi tidak lebih dari 2,5 mg/ml. Ke -cepatan
infus pertama 1,0 mg/kg/jam,setelah 4 jam (bila pada
pengukuran asam lambung diper -oleh> lOmEq/jam)
dosis dapat ditingkatkan 0 5 mg/kg/jam.
Dosis maksimal sampai 2,5 mg/kg/jam dengan
kecepatan infus 220 mg/jam,
- Pada penderita gagal ginjal (bila bersihan kreatinin <


23

50 mg/menit): dosis yang dianjurkan i.m. atau i.v,
adalah 50 mg trap 18-24 jam (bila perlu interval
pemberian ditingkatkan menjaditiap 12 jam ). Karena
Ranitidin turut terdialisa maka waktu pemberian harus
disesudikan, yaitu bertepatan dengan akhirhemodialisa.
Dosis anak analgesik, antipiretik: oralDosis anak 6-12 bulan 60
mg/kali, maks. 6 kali sehari; 1-6 tahun 60-120 mg/kali,
maks. 6 kali/hari; 6-12 tahun 150-300 mg/kali, maks. 1,2
g/hari; dewasa 300 mg 1 g/kali, maks. 4 g/hariSediaan :
tab. 100 mg, 500 mg; sir. 120 mg/5 ml
Efek samping Perubahan reversible pada fungsi hati, reaksi
hipersensitivitas, sakit kepala, ruam kulit, dan
reversible mental confusion
Interaksi Obat Dengan diazepam, metoprolol, lignokain, fenitoin,
propanolol, teofilin, warfarin, midazolam, fentanyl, ni-
fedipin.
Ranitidine tidak menghambat kerja dari sitokrom
P450 dalam hati.
Pemberian bersama warfarin dapat meningkatkan
atau menurunkan waktu protrombin
Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal, disfungsi hati, hamil dan masa laktasi.







24





DAFTAR PUSTAKA

1. Butterton, JR., Calderwood, SB., Acute Infectious Diarrheal Disease and
Bacterial Food Poisoning. In Harrison Principles of Internal Medicine 15-
Ed, McGraw- Hill, 2002: 83
2. Corales, R., Typhoid Fever , www.emedicine.com, 2004
3. Gunawan, GS. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terpeutik Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia
Jakarta
4. Hermawan, AG. Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-2.
Yayasan Kesuma Islam Kedokteran. Surakarta. 1999
5. Hermawan, AG., Sumandjar, T., Penanganan penderita Demam Tifoid
Dewasa Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dalam: Protap IPD-FK UNS
RSUD Dr. Moewardi, SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNS- RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. 2004 : 115-116
6. Juwono, R. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
I. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1999 : 435-441
7. Keusch, GT. Salmonellosis. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : EGC. 1999 : 755-758
8. Setiabudy, I., Kunadi, R., Antimikroba. Dalam Farmakologi dan Terapi
Edisi Ke-4, Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1995 : 651- 653


25

9. Tjay, TH., Rahardja, K., Obat- Obat Penting: Khasiat, Penggunaan , dan
Efek- Efek Sampingnya Edisi ke- 5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
2001: 64-82
10. Zulkarnain, I., Nelwan, RHH., Pohan, GT., Demam Tifoid. Dalam :
Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2001 : 256-259.

Anda mungkin juga menyukai