Memiliki struktur lunak dan berlobus, berada pada abdomen di region epigastrium. Terdiri atas 4 bagian : a. Caput : cakram, pada bagian cekung duodenum, meluas kekiri dan di belakang a.v. mesenterica superior dan terdapat processus uncinatus b. Collum : terletak didepan pangkal v. porta dan a. mesenterica superior c. Corpus : berjalan ke atas dan kekiri menyilang garis tengah d. Cauda : menuju Lig. Lienorenalis menuju ke hilus limpa
Batas Batas a. Anterior : dari kanan ke kiri colon trasnversum, mesocolon trasnversum, bursa omentalis, gaster b. Posterior : dari kanan ke kiri, ductus choledocus, v. porta, v. lienalis, v. cava inferior, aorta, pangkal a. mesenterica superior, m. psoas sinistra, glandula suprarenalis sinistra, renal sinistra & hilus lienalis
Perdarahan Arteri Lienalis dan Arteri pancreaticoduodenalis superior dan inferior. Vena Lienalis, V. Pancreaticoduodenalis superior dan inferior yang bermuara ke vena porta hepatica.
Persarafan Dipersarafi oleh N.X (Vagus) sifatnya simpatis dan parasimpatis
Saluran Kelenjar Pankreas a. Ductus pancreaticus mayor (Wirsungi) b. Ductus pancreaticus minor/accesorius (Santorini)
LO 1.2 Anatomi mikroskopis
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu : (1) Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum. (2) Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah. Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50, sedangkan yang terbesar 300, terbanyak adalah yang besarnya 100-225. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1-2 juta. Sel endokrin dapat ditemukan dalam pulau-pulau langerhans, yaitu kumpulan kecil sel yang tersebar di seluruh organ. Ada 4 jenis sel penghasil hormon yang teridentifikasi dalam pulau-pulau tersebut, Sloane (2003) : a. Sel , jumlah sekitar 20-40%, memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai antiinsulin like activity. b. Sel mensekresi insulin yang menurunkan kadar gula darah. c. Sel mensekresi somatostatin, hormon penghalang hormon pertumbuhan yang menghambat sekresi glukagon dan insulin. d. Sel mensekresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan untuk fungsi yang tidak jelas.
LI 2. Memahami dan menjelaskan Fisiologi dan Biokimia Insulin LO 2.1 Struktur
Insulin adalah suatu polipeptida yang mengandung dua rantai asam amino yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Ada perbedaan kecil dalam komposisi molekul asam amino dari suatu spesies ke spesies lain. Perbedaan ini biasanya tidak cukup besar untuk dapat mempengaruhi aktivitas biologis suatu insulin pada spesies heterolog tetapi sukup besar untuk menyebabkan insulin bersifat antigenic. Bila insulin dari suatu spesies disuntikkan dalam jangka lama ke spesies lain, akan terbentuk antibody antiinsulin yang menghambat insulin yang disuntikkan. Hamper semua pasien yang pernah mendapat insulin sapi yang ada di pasaran selama lebih dari 2 bulanmembentuk antibody terhadap insulin sapi, tetapi titernya biasanya rendah. Insulin babi berbeda dari insulin manusia hanya pada satu residu asam amino dan memiliki antigenisitas yang rendah. Insulin manusia yang dihasilkan dalam bakteri oleh teknologi DNA rekombinan sekarang digunakan secara luas untuk menghindari pembentukan antibodi.
LO 2.2 Regulasi Glukosa masuk ke dalam semua sel melalui difusi terfasilitasi atau, di usus dan ginjal, melalui transport aktif sekunder dengan Na + . di otot, jaringan lemak, dan sebagian jaringan lain, insulin mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel dengan meningkatkan jumlah transporter (pengangkut) glukosa di membrane sel. Transporter glukosa yang berperan dalam difusi terfasilitasi glukosa melintasi membrane sel adalah sekelompok protein yang berkaitan erat dan 12 kali melintasi membrane sel serta memiliki terminal amino dan karboksil di dalam sel. Protein-protein ini berbeda, dan tidak memiliki homologi, dengan transporter glukosa dependen natrium (sodium-dependent glucose transporter), SGLT 1 dan SGLT 2, yang berperan dalam transport aktif sekunder glukosa keluar usus dan tubulus ginjal, maupun SGLT juga memiliki 12 ranah (domain) transmembran. Asam amino transporter fasilitatif, yang terutama terdapat dalam segmen heliks transmembran 3, 5, 7, dan 11 tampaknya mengelilingi saluran tempat masuk glukosa. Diperkirakan kemudian terjadi konformasi lalu perubahan, dan glukosa kemudian dilepaskan ke dalam sel. Telah diketahui tujuh transporter glukosa yang berbeda-beda, yang diberi nama sesuai urutan penemuan GLUT 1-7. Molekul-molekul ini mengandung 492-524 residu asam amino, dan afinitasnya terhadap glukosa bervariasi. Tiap-tiap transporter tampaknya memiliki tugas khusus. GLUT 4 adalah transporter di jaringan otot dan adiposa yang dirangsang oleh insulin. Dalam vesikel di sitoplasma sel-sel peka insulin, terdapat cadangan molekul GLUT 4. Bila reseptor insulin di sel-sel ini diaktifkan,vesikel tersebut bergerak cepat ke membran sel dan berfusi dengannya, menyelipkan transporter ke dalam membrane sel. Saat kerja insulin terhenti, bercak membrane yang mengandung transporter mengalami endositosis, dan vesikel siap untuk pajanan insulin berikutnya. Pengaktifan reseptor insulin menyebabkan pergerakan vesikel ke membrane sel dengan mengaktifkan fosfoinositol 3-kinase, tetapi bagaimana pengaktifan ini memicu pergerakan vesikel masih belum dipastikan. Pada jaringan yang jumlah transporter glukosa di membrane selnya ditingkatkan oleh insulin, kecepatan fosforilasi glukosa, setelah masuk ke dalam sel, diatur oleh hormone lain. Hormone pertumbuhan dan kortisol menghambat fosforilasi di jaringan tertentu. Proses ini dalam keadaan normal berlangsung sedemikian cepat sehingga bukanlah merupakan reaksi penentu kecepatan (rate-limiting step) dalam metabolism glukosa. Namun, proses ini merupakan reaksi penentu kecepatan di sel B. Insulin juga meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel hati, tetapi bukan melalui peningkatan jumlah transporter glukosa GLUT 4 di membrane sel, melainkan dengan memicu glukokinase. Hal ini meningkatkan fosforilasi glukosa sehingga kadar glukosa bebas intrasel tetap rendah, mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel. Jaringan peka insulin juga mengandung populasi vesikel GLUT 4 yang bergerak ke dalam membrane sel sebagai respons dari berolahraga dan populasi vesikel ini tidak bergantung pada kerja insulin. Hal ini merupakan penyebab mengapa berolahraga dapat menurunkan kadar gula darah. Suatu kinase yang diaktifkan oleh 5-AMP mungkin berperan dalam insersi vesikel ini ke membrane sel.
LO 2.3 Sekresi
Sel-sel beta pancreas mempunyai sejumlah besar pengangkut glukosa (GLUT-2) yang memungkinkan terjadinya ambilan glukosa dengan kecepatan yang sebanding dengan nilai kisaran fisiologis konsentrasi glukosa dalam darah. Begitu berada di dalam sel, glukosa akan terfosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat oleh glukokinase. Langkah ini menjadi penentu kecepatan metabolisme glukosa di sel beta dan dianggap sebagai mekanisme utama untuk mendeteksi glukosa dna menyesuaikan jumlah insulin yang disekresikan dengan kadar glukosa darah. Glukosa-6fosfatase selanjutnya dioksidasi untuk membentuk adenosine trifosfat (ATP) yang menghambat kanal kalium yang peka-ATP di sel. Penutupan kanal kalium akan mendepolarisasikan membrane sel sehingga akan membuka kanal natrium bergerbang voltase, yang sensitive terhadap perubahan voltase membrane. Keadaan ini akan menimbulkan aliran masuk kalsium yang merangsang penggabungan vesikel yang berisi insulin dengan membrane sel dan sekresi insulin ke dalam cairan ekstrasel melalui eksositosis.
Insulin dibentuk dalam reticulum endoplasma kasar sel B. Insulin kemudian dipindahkan ke apparatus golgi, tempat ia mengalami pengemasan dalam granula berlapis membrane. Granula ini bergerak ke membrane plasma melalui suatu proses yang melibatkan mikrotubulus, dan isi granula dikeluarkan melalui eksitosis. Insulin kemudian melintasi lamina basalis sel B serta kapiler di dekatnya dan endotel kapiler yang berpori untuk mencapai aliran darah. Seperti hormone polipeptida dan protein serupa lain yang masuk ke dalam reticulum endoplasma, insulin disintesis sebagai suatu bagian dari praprohormon yang berukuran besar. Pada manusia, gen untuk insulin terletak di lengan pendek kromosom 11. Praproinsulin memiliki peptide sinyal asam amino 23 yang dikeluarkan sewaktu molekul ini molekul ini memasuki reticulum endoplasma. Molekul sisanya kemudian berlipat, lalu terbentuk ikatan disulfide sehingga akhirnya terbentuk proinsulin. Segmen peptide yang menghubungkanrantai A dan B, connecting peptide (peptide C), mempermudah melipatnya molekul dan kemudian terlepas dari granula sebelum sekresi. Peptide C dapat diukur dengan radioimmunoassay, dan kadarnya digunakan untuk menilai indeks fungsi sel B pada pasien yang mendapat insulin eksogen.
A. Fase 1 (acute insulin secretion response) : sekresi insulin segera setelah ada rangsangan sel beta, muncul cepat dan berakhir cepat mencegah hiperglikemi akut. B. Fase 2 (sustained phase) : setelah fase 1, sekresi insulin mulai meningkat perlahan dan bertahan dalam waktu relative lebih lama
Jika fase 1 tidak adekuat mekanisme kompensasi peningkatan sekresi insulin fase 2
LO 2.4 Ekskresi Pada orang normal dan pasien DM tanpa komplikasi, masa paruh insulin di plasma sekitar 5-6 menit,sedangkan pada DM yang mempunyai antibody anti-insulin nilai tersebut memanjang. Proinsulin masa paruhnya lebih panjang (+ 17 menit). Insulin dalam peredaran darah didistribusi ke seluruh tubuh melalui cairan ekstrasel. Degradasinya terjadi di hepar, ginjal, otak, dan sekitar 50% insulin di hepar akan dirusak dan tidak akan mencapai sirkulasi sistemik. Klirens peptide-C di hepar lebih rendah, karenanya masa paruhnya lebih panjang (+ 30 menit). Hormon ini mengalami filtrasi glomeruli dan reabsrobsi serta degradasi di tubuli ginjal. Gangguan fungsi ginjal yang berat dapat mempengaruhi kecepatan eliminasi insulin. Ada 2 enzim yang berperan pada degradasi insulin yaitu (1) enzim glutation insulin transhidrogenase yang menggunakan glutation tereduksi untuk memecah jembatan disulfide dan (2) enzim proteolitik yang memecah rantai asam amino. Akibat pemecahan jembatan disulfide maka rantai A bebas dapat ditemukan dalam plasma dan urin. LI 3. Memahami dan menjelaskan Diabetes Melitus LO 3.1 Definisi Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Diabetes Melitus tipe 2 adalah diabetes yang tidak tergantung insulin, sekresi insulin mungkin normal atau bahkan meningkat, tetapi sel sasaran insulin kurang peka terhadap hormone ini dibandingkan dengan sel normal. LO 3.2 Etiologi Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resisitensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi resistensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Kapita Selekta Kedokteran, 2001). Faktor resiko Diabetes Melitus dari emedicine health : 1. Usia diatas 45 tahun Pada orang-orang berumur fungsi organ tubuh semakin menurun, hal ini diakibatkan aktivitas sel beta pankreas untuk menghasilkan insulin menjadi berkurang dan sensifisitas sel-sel jaringan menurun sehinga tidak menerima insulin. 2. Obesitas atau kegemukan Pada orang gemuk aktivitas jaringan lemak dan otot menurun sehingga dapat memicu DM. selain itu, asam-asam lemak pada obesitas dapat menumpuk abnormal di otot dan mengganggu kerja insulin di otot, asam lemak berlebih juga dapat memicu apoptosis sel beta pankreas. 3. Pola makan Pola makan yang serba instan saat ini memang sangat digemari oleh sebagian masyarakat perkotaan. Pola makan yang tidak sesuai kebutuhan tubuh dapat menjadi penyebab DM, misalnya makanan gorengan yang mengandung nilai gizi yang minim. 4. Riwayat Diabetes Melitus pada keluarga 15-20% penderita NIDDM (Non Insulin Dependen Diabetes Melitus) atau DM tipe 2 mempunya riwayat keluarga DM, sedangkan IDDM (Insulin Dependen Diabetes Melitus) tipe 1 sebanyak 57% keluarga DM. 5. Kurang berolahraga atau beraktivitas Dapat menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin sehingga mengakibatkan penumpukan lemak dalam tubuh yang dapat menyebabkan DM. 6. Infeksi Virus : Rubella, mumps, human coxsackievirus B4. Melalui infeksi sitolitik dalam sel beta pankreas virus ini menyebabkan kerusakan dan destruksi sel. Dapa tjuga menyarang melalui reaksi autoimunitas sehingga hilangnya autoimun dalam sel beta pankreas. DM akibat bakteri masih belum bias di deteksi. (Waspadji, 2002) LO 3.3 Klasifikasi
LO 3.4 Patofisiologi Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut : 1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel sel tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 1200 mg/dl. 2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah. 3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
Pasien pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yng parah yang melebihi ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160 180 mg/100 ml), akan timbul glikosuria karena tubulus tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren.
Patofisiologi DM (Brunner and Suddarth, 2002) : 1. Diabetes Tipe 1 Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut dieksresikan dalam urin (glukosuria). Eksresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi). 2. Diabetes Tipe II Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, pilidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur. 3. Diabetes Gestasional Didefenisikan sebagai permulaan intoleransi glukosa atau pertama sekali didapat selama kehamilan (Michael F. Greenean dan Caren G. Solomon, 2005)
LO 3.5 Manifestasi Klinis Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini : Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita Menurut Newsroom (2009) seseorang dapat dikatakan menderita Diabetes Melitus apabila menderita dua dari tiga gejala yaitu : a. Keluhan TRIAS: Banyak minum, Banyak kencing dan Penurunan berat badan. b. Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl. c. Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl. Keluhan yang sering terjadi pada penderita Diabetes Mellitus adalah : Poliuria, Polidipsia, Polifagia, Berat Badan enurun, Lemah, Kesemutan, Gatal, Visus menurun, Bisul/luka, Keputihan (Waspadji, 1996).
LO 3.6 Diagnosis Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara : 1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM 2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. 3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang- ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). 1. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L). 2. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
Kriteria diagnosis DM : 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir 2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam 3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.
Catatan : Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Pemeriksaan Fisik : a. Pengukuran tinggi badan, berat badan,dan lingkar pinggang b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle brachial index (ABI),untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi c. Pemeriksaan funduskopi d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid e. Pemeriksaan jantung f. Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop g. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari h. Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan pemeriksaan neurologis i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain
Evaluasi Laboratoris / penunjang lain : i. Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial ii. A1C iii. Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida) iv. Kreatinin serum v. Albuminuria vi. Keton, sedimen, dan protein dalam urin vii. Elektrokardiogram viii. Foto sinar-x dada
LO 3.7 Diagnosis Banding
A. Insulin Resistance Resistensi Insulin (IR) adalah kondisi di mana jumlah normal insulin tidak memadai untuk menghasilkan respons insulin normal dari sel lemak, sel otot dan sel hati. resistensi insulin umumnya bersifat "pasca-reseptor", yang berarti masalah terletak pada respon sel terhadap insulin alih-alih produksi insulin. Kadar plasma yang tinggi dari insulin dan glukosa akibat resistensi insulin diyakini sebagai asal usul sindrom metabolik dan diabetes tipe 2, termasuk komplikasinya.
B. Hiperglikemi reaktif Hiperglikemi reaktif adalah gangguan regulasi gula darah yang dapat terjadisebagai reaksi non spesifik terhadap terjadinya stress kerusakan jaringan, sehinggaterjadi peningkatan glukosa darah dari pada rentang kadar puasa normal 80 90 mg / dl darah, atau rentang non puasa sekitar 140 160 mg /100 ml darah (Pulsinelli,1996), hyperglikemia reaktif ini diartikan sebagai peningkatan kadar glukosa darahpuasa lebih dari 110 mg/dl (zacharia, dkk, 2005), reaksi ini adalah fenomena yangtidak berdiri sendiri dan merupakan salah satu aspek perubahan biokimiawi multipleyang berhubungan dengan stroke akut (Candelise, dkk, 1985).
C. Glucose intolerance Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah puasa 8 jam. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosadarah menunjukkan salah satu dari tersebut dibawah ini : 1. Toleransi glukosa terganggu (TGT = IGT) Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan adanya disglikemi yaitu kenaikan glukosa plasma 2 jam setelah beban 75 gram glukosa pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) yaitu antara 140 mg/dl sampai dengan 199 mg/dl. Keadaan ini disebut juga sebagai prediabetes oleh karena risiko untuk mendapat Diabetes Melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler sangat besar. Disebut TGT jika gula darah setelah makan tidak normal, atau berkisar antara 140-199 mg/dL. Sedangkan gula darah puasa normal. 2. Gula darah puasa terganggu (GDPT = IFG) Kadar gula darah yang tinggi, tetapi tidak cukup tinggi untuk menjadi diabetes. Disebut GPT jika kadar gula darah puasa (8-10 jam tidak mendapat asupan kalori) tidak normal, atau berkisar 100-125 mg/dL.
LO 3.8 Komplikasi Diabetes Mellitus (DM) dengan karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi berupa komplikasi akut (yang terjadi secara mendadak) dan komplikasi kronis (yang terjadi secara menahun). 1. Komplikasi akut dapat berupa : 1. Hipoglikemia yaitu menurunnya kadar gula darah < 60 mg/d 2. Keto Asidosis Diabetika (KAD) yaitu DM dengan asidosis metabolic dan hiperketogenesis 3. Koma Lakto Asidosis yaitu penurunan kesadaran hipoksia yang ditimbulkan oleh hiperlaktatemia. 4. Koma Hiperosmolar Non Ketotik, gejala sama dengan no 2 dan 3 hanya saja tidak ada hiperketogenesis dan hiperlaktatemia.
2. Komplikasi kronis : Kadar gula darah tetap tinggi sheingga timbul komplikasi kronik. Komplikasi kronik diartikan sebagai kelainan pembuluh darah yang akhirnya bias menyebabkan serangan jantung, gangguan ginjal, gangguan saraf. - (Nephropathy ) : kerusakan ginjal. DM dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal. Sehingga ginjal tidak dapat menyaring zat yang terkandung dalam urin. Bila ada kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor keluar (proteinuria). - Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar (pembuluh darah yang dapat dilihat secara mikroskopis) antara lain pembuluh darah jantung / Penyakit Jantung Koroner, pembuluh darah otak /stroke, dan pembuluh darah tepi / Peripheral Artery Disease. - Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah mikroskopis antara lain retinopati diabetika (mengenai retina mata) dan nefropati diabetika (mengenai ginjal). - (Neuropathy) : Bisa terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik dan berlangsung sampai 10 tahun lebih. Akhirnya saraf tidak bias mengirim atau mengahntar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim, atau terlambat dikirim. Meyebabkan kelemahan otot sampai penderita tidak bias jalan. - (Retinopathy) : kerusakan retina mata. Glukosa tinggi menyebabkan rusaknya pembuluh darah retina bahkan dapat menyebabkan kebocoran pembuluh darah kapiler. Darah akan menutup sinar yang menuju ke retina sehingga pasien DM penglihatan menjadi kabur. - Penyakit jantung : DM merusak pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Jika pembuluh darah coroner menyempit, otot jantung akan kekurangan O 2 dan makanan akibat suplai darah kurang. - Hipertensi : DM cenderung terkena hipertensi 2x lipat dari orang normal. Dan dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Gangguan saluran pencernaan : menyebabkan urat saraf lambung akan rusak sehingga fungsi lambung untuk mengahncurkan makanan menjadi lemah. Gejalanya adalah sukar BAB, perut gembung, dan kotoran keras. LO 3.9 Prognosis Prognosis Diabetes Melitus usia lanjut tergantung pada beberapa hal dan tidak selamanya buruk, pasien usia lanjut dengan Diabetes Melitus tri II (Diabetes Melitus III) yang terawat baik prognosisnya baik pada pasien Diabetes Melitus usia lanjut yang jatuh dalam keadaan koma hipoklikemik atau hiperosmolas, prognosisnya kurang baik. Hipoklikemik pada pasien usia lanjut biasanya berlangsung lama dan serius dengan akibat kerusakan otak yang permanen. Karena hiporesmolar adalah komplikasi yang sering ditemukan pada usia lanjut dan angka kematiannya tinggi.
LO 3.10 Pencegahan 1. Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk menderita DM. Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer. Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian mengenai pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.
2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian pada penyandang diabetes. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan : a. Skrinning Skrinning dilakukan dengan menggunakan tes urin, kadar gula darah puasa, dan GIT. Skrinning direkomendasikan untuk : i. Orang-orang yang mempunyai keluarga diabetes ii. Orang-orang dengan kadar glukosa abnormal pada saat hamil iii. Orang-orang yang mempunyai gangguan vaskuler iv. Orang-orang yang gemuk
b. Pengobatan Pengobatan diabetes mellitus bergantung kepada pengobatan diet dan pengobatan bila diperlukan. Kalau masih bisa tanpa obat, cukup dengan menurunkan berat badan sampai mencapai berat badan ideal. Untuk itu perlu dibantu dengan diet dan bergerak badan. Pengobatan dengan perencanaan makanan (diet) atau terapi nutrisi medik masih merupakan pengobatan utama, tetapi bilamana hal ini bersama latihan jasmani/kegiatan fisik ternyata gagal maka diperlukan penambahan obat oral. Obat hipoglikemik oral hanya digunakan untuk mengobati beberapa individu dengan DM tipe II. Obat ini menstimulasi pelapisan insulin dari sel beta pancreas atau pengambilan glukosa oleh jaringan perifer.
c. DIET Diet adalah penatalaksanaan yang penting dari kedua tipe DM. makanan yang masuk harus dibagi merata sepanjang hari. Ini harus konsisten dari hari kehari. Adalah sangat penting bagi pasien yang menerima insulin dikordinasikan antara makanan yang masuk dengan aktivitas insulin lebih jauh orang dengan DM tipe II, cenderung kegemukan dimana ini berhubungan dengan resistensi insulin dan hiperglikemia. Toleransi glukosa sering membaik dengan penurunan berat badan. (Hendrawan,2002). Modifikasi dari faktor-faktor resiko a) Menjaga berat badan b) Tekanan darah c) Kadar kolesterol d) Berhenti merokok e) Membiasakan diri untuk hidup sehat f) Biasakan diri berolahraga secara teratur. Olahraga adalah aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang berulang untuk mencapai kebugaran. g) Hindari menonton televisi atau menggunakan komputer terlalu lama, karena hali ini yang menyebabkan aktivitas fisik berkurang atau minim. h) Jangan mengonsumsi permen, coklat, atau snack dengan kandungan. garam yang tinggi. Hindari makanan siap saji dengan kandungan kadar karbohidrat dan lemak tinggi. i) Konsumsi sayuran dan buah-buahan.
3. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80- 325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal . Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatrist, dll.) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier (Konsensus,2006). LI 4. Tatalaksana DM tipe 2 LO.4.1 nonfarmakologi A. Edukasi DM umumnya terjadi saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Timkes mendampingi pasien untuk menuju perubahan perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
B. Terapi gizii medis
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan bagi pasien ddiabetes, Terapi gizi medis ini pada pronsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada stasus gizi medis diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: Menurunkan berat badan, Menurunkan tekanan sistolik dan diastolik, Menurunkan kadar glukosa darah, Memperbaiki profil lipid, Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, Memperbaiki sistem koagulsi darah. Tujuan terapi gizi medis ini adlah untuk mencapai dan mempertahankan: a) Kadar glukosa darah mendekati normal b) Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl. c) Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl. d) Kadar A1c <7%. e) Tekanan darah <130/80 mmHg. f) Profil Lipid g) Kolesterol LDL<100 mg/dl h) Kolesterol HDL >40 mg/dl. i) Trigliserida < 150 mg/dl. j) Beran badan senormal mungkin.
Jenis Bahan Makanan KARBOHIDRAT Sebagai sumber energi, KH yang diberikan diabetisi tidak boleh lebih dar 55-65% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA: monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4kilokalori. Rekomendasi karbohidrat : o Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung KH, lebih ditentukan oleh jumlahnya dibandungkan dengan jenis KH itu sendiri. o Dari total kebutuhan kalori perhari, 60-70% diantaranya berasal dari sumber KH. o Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah KH maksimal 70% dari total kebutuhan kalori perhari. o Julah serat 25-50 gram per hari. o Jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan sampai lebih dari total kebutuhan kalori perhari. o Sebagai pemanis dapat digunakan pmanis non kalori seperti sakarin, aspartame, acesulfame, dan sukralosa. o Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dar10 gram/hari. o Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari. o Makanan yang mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
PROTEIN Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori perhari. Pada penderita kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 2 kilokalori/gram. Rekomendasi pemberian protein: o Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari. o Pada keadaan kadar glukosa yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah. o Pada keadaan glukosa tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg BB/hari. o Pada gangguan fungsi ginjal, asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/KgBB/hari dan tidak kurang dari 40gram. o Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan dibanding protein hewani.
LEMAK Lemak memiliki kandungan energi sebesar 9 kilokalori/gram. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitami A, D, E, K. Berdasarkan rantai karbonnya , lemak dibedakan menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolestrol sangat disarankan pada diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal bagi pasien diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid : MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi, dapat menurunkan kadar trigliserida, kolestrol total, kolestrol VLDL, dan meningkatkan kadar kolestrol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid= PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan eningkatkan aktivitas enzyme lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jarngan perifer. Sehingga dapat menurunkan kadar kolestrol LDL. Rekomendasi Pemberian Lemak: o Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari total kebutuhan kalori per hari. o Jika kadar kolestrol LDL 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori perhari. o Konsumsi kolestrol maksimal 300mg/hari, jika ada kolestrol LDL 100 mg/dl, maka maksimal kolestrol yang dapat dikonsumsi 200 mg per hari. o Batasi asam lemak bentuk trans. o Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai panjang. o Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori perhari.
Penghitungan Jumlah Kalori Perhitungan julah kalori ditentukan oleh stasus gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan kegiatan jasmani. Penetuan stasu s gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca. Penentuan stasus gizi berdasarkan IMT IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengat tinggi badan (dalam meter) kuadrat. o Berat badan kurang <18,5 o Berat badan normal 18,5-22,9 o Berat badan lebih 23,0 o Dengan resiko 23-24.9 o Obes I 25-29,9 o Obes II 30 Penentuan stasus gizi berdasarkan rumus Brocca Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus: berat badan idaman (BBI kg) = (TB cm - 100) -10%. Penetuan stasus gizi dihitung dari : (BB aktual : BB idaman) x 100% o Berat badan kurang BB <90% BBI o Berat badan normal BB 90-110% BBI o Berat badan lebih BB 110-120% BBI o Gemuk BB>120% BBI
Untuk kepentingan praktis dalam praktek digunakan rumus Brocca. Penentuan kebutuhan kalori perhari: 1. Kebutuhan basal: o Laki-laki : BB idaman (Kg) x 30 kalor o Wanita : BB idaman (Kg) x 25 kalori
2. Koreksi atau penyesuaian: o Umur diatas 40 tahun : -5% o Aktivitas ringan : +10% o Aktifitas sedang : +20% o Aktifitas berat : +30% o Berat badan gemuk : -20% o Berat badan lebih : -10% o Berat badan kurus : +10%
3. Stress metabolik : +10-30% 4. Kehamilan trimester I dan II : +300 kalori 5. Kehamilan trimester II dan menyusui : +500 kalori Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar. Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali dengan pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk merubah pola makan ini secara bertahap sesuai kondisi dan kebiasaan penderita. C. Latihan jasmani - Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL. - Latihan jasmani yang dianjurkan: Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobic berat (mencapai denyutjantung>70% maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.
LO.4.1 Farmakologi Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. 1. Terapi Insulin a. Sediaan :Termasuk obat utama DM 1 dan beberapa tipe 2. Suntikan insulin dulakukan dengan IV, IM, SK (jangka panjang). Pada SK insulin akan berdifusi ke sirkulasi perifer yang seharusnya langsung masuk ke sirkulasi portal, karena efek langsung hormone ini pada hepar menjadi kurang. b. Indikasi dan tujuan : Insulin SK diberikan pada DM 1, DM 2 yang tidak dapat diatasi dengan diet/ antidiabetik oral, dll. Tujuan pemberian insulin adalah selain untuk menormalkan kadar insulin juga untuk memperbaiki semua aspek metabolism. c. Dosis : Kebutuhan insulin pada DM antara 5-150 U sehari tergantung dari keadaan pasien. - Dosis awal DM muda 0,7-1,5 U/kgBB - Untuk DM dewasa kurus 8-10 U insulin kerja sedang diberikan 20-30mnt sblm makan pagi, dan 4-5 U sebelum makan malam. - DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U sebelum makan malam. d. ES : Hipoglikemi, alergi dan resisten, lipoatrofi dan lipohipertrofi, edem, kembung,dll. e. Interaksi : antagonis (adrenalin, glukokortikoid, kortikotropin, progestin, GH, Tiroid, estrogen, glucagon,dll)
2. Obat Antidiabetik Oral a. Sulfonylurea ( insulin secretagogues ) - Pemberian : 15-30 mnt sebelum makan - Mek. Kerja : berinteraksi dengan ATP sensitive K channel pada membrane sel beta depolarisasi membrane dan keadaan ini membuka kanal Ca. sehingga Ca masuk sel beta, merangsang sekresi insulin. - Farmakokinetik :masa paruh dan metabolism sulfonylurea generasi 1 sangat bervariasi. Semua sulfonylurea dimetabolisme di hepar dan dieksresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat. - ES : hipoglikemi bahkan sampai koma, mual, muntah, diare, hematologic (leukopenia, agranulositosis), susunan saraf pusat (vertigo, bingung, ataksia), mata dsbg. - Indikasi : untuk pasien DM yang diabetesnya di peroleh pada usia diatas 40 tahun. Kegagalan disebabkan perubahan farmakogenetik obat, misalnya penghancuran yang terlalu cepat. - Peringatan : Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada pasien DM juvenile, pasien yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, DM berat, DM dengan kehamilan dan keadaan gawat. - Interaksi : meningkatkan hipoglikemia (insulin, alcohol, sulfonamide, probenezid, kloramfenikol)
b. Meglitinid - Pemberian : sesaat sebelum makan - Mek. Kerja : sama dengan sulfonylurea, tetapi struktur kimianya berbeda. Merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel beta pankreas. - Pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam. Masa paruh 1 jam, sehingga harus diberikan beberapa kali sehari sebelum makan. - Farmakokinetik : metabolism utama di hepar, 10% di ginjal. - ES : hipoglikemi, gangguan saluran cerna, dan alergi.
c. Biguanid - Pemberian : sebelum/saat/sesudah makan - Teridiri : fenformin (ditarik dari peredaran karena sebabin asidosis laktat), buformin, metformin. - Mek. Kerja : merupakan antihiperglikemik, metformin dapat menurunkan produksi glukosa dihepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP activated protein kinase). Pada DM yang gemuk, biguanid dapat menurunkan BB. - Farmakokinetik : metformin oral di absorpsi di intestine, dalam darah tidak terikat protein plasma, eksresi dalam urin utuh, masa paruh sekitar 2 jam. - Dosis : awal 2x500 mg, maintenance dose 3x500 mg, max 2,5 gr. Diminum saat makan. - Indikasi : pasien DM yang tidak memberikan respon dengan sulfonylurea dapat diatasi dengan metformin, atau kombinasi dengan insulin atau sulfonylurea. - ES :mual, muntah, diare, metallic taste, ketosis (pada pasien yang mutlak dengan insulin eksogen), gangguan keseimbangan elektrolit cairan tubuh. - KI : kehamilan, penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan uremi dan penyakit jantung kongestif dan penyakit paru, dengan hipoksia kronik, pemberian zat kontras intravena atau yang akan di operasi harus dihentikan dan sesudah 48 jam boleh.
d. Tiazolidinedion - Pemberian : tidak bergantung pada jadwal makan - Mek. Kerja : berikatan pada peroxisome proliferators activated receptor (PPAR ) suatu resptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. - ES: peningkatan BB, edem, menambah volum plasma dan memperburuk gagal jantung kongestif, hipoglikemi. - KI : gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Perlu pemantauan faal hati secara berkala. - Interaksi : dengan insulin dapat menyebabkan edem.
e. Penghambat enzim Alfa-glikosidase (Acarbose) - Pemberian : bersama makan suapan pertama - Mek. Kerja : memperlambat absoprsi glukosa (polisakarida, dekstrin, dan disakarida) di usus halus, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin. - ES : kembung, flatulens. - Interaksi : dengan insulin menimbulkan hipoglikemi.
f. DPP-4 Inhibitor - Pemberian : diberikan bersama makan dan atau sebelum makan Mek. Kerja : glucagon like peptide 1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L dimukosa usus. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glucagon. Namun, sekresi GLP-1 menurun pada DM-2.
LI 5. Memahami dan menjelaskan Makanan yang Halal dan Tayyibah
A. Kriteria Makanan Halal Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menjelaskan bahwa makanan halal adalah apabila al- Quran maupun hadis menjelaskannya dan tidak melarangnya. Namun makanan halal yang dijelaskan teks agama tidak mencakup seluruh makanan yang ada. Karena itu para ulama berijtihad sesuai kaedah: al-Ashlu fi al-asyya al-ibahah illa ma dalla ad-dalilu ala tahrimihi (Hukum asal segala sesuatu itu adalah mubah/boleh kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya). Secara umum al-Quran maupun hadis memberikan kriteria bahwa makanan halal itu adalah thayyib (halalan thayyiban). Maksud halalan thayyiban, menurut Sayyid Sabiq, terangkum dalam tiga hal: pertama, sesuai selera alamiah manusia. Kedua, bermanfaat dan tidak membahayakan tubuh manusia. Ketiga, diperoleh dengan cara yang benar dan dipergunakan untuk hal yang benar. Para ulama menjelaskan kriteria makanan yang halal sebagai berikut: 1. Pertama, makanan nabati berupa tumbuh-tumbuhan, biji-bijian dan buah-buahan, selama tidak membahayakan tubuh. 2. Kedua, minuman seperti air, susu (dari hewan yang boleh dimakan dagingnya), kopi, cokelat. 3. Ketiga, makanan hewani terdiri dari binatang darat dan air. Hukum binatang darat baik liar mapun jinak adalah halal selain yang diharamkan syariat. Begitu juga binatang air, dalam pendapat yang paling sahih, adalah halal kecuali yag membahayakan. Hal ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW ketika ditanya tentang bersuci dengan air laut, beliau menjawab: Laut itu suci airnya dan halal bangkai binatangnya. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai).
B. Kriteria Makanan Haram Makanan dan minuman yang pelarangannya dijelaskan oleh al-Quran dan al-Hadis adalah haram. Al-Quran maupun hadis menjelaskan kriteria makanan haram itu adalah khabitsah dan rijs, seperti khamr yang dinyatakan rijs min amal asy-syaithan (QS. al- Maidah: 90). Rijs kata ulama berarti najis secara fisik dan manawi. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah SAW bersabda: Harga anjing itu khabits, mahar pelacur itu khabits dan upah bekam itu khabits. Selain itu setiap binatang yag diperintahkan untuk dibunuh adalah haram. Seperti binatang fawasiq (pengganggu); burung gagak, rajawali, kalajengking, anjing gila dan tikus. Hal ini dijelaskan dalam riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasai dari Aisyah RA. Begitu juga hewan-hewan yang dilarang untuk dibunuh seperti semut, lebah, burung hud-hud dan burung surad dan katak. Namun pendapat ini ditolak Imam Syaukani, bahwa tidak mesti hewan yang diperintahkan untuk dibunuh atau dilarang berarti haram dagingnya. Karena keharaman mengonsumsinya harus ada dalil yang jelas. Makanan yang diharamkan dalam Islam terbagi menjadi haram lidaztihi dan haram lighairihi; yaitu makanan yang pada asalnya halal namun ada faktor lain yang haram menjadikannya haram. Makanan yang diharamkan lidzatihi oleh al-Quran dan hadis secara jelas, antara lain darah (dam masfuh), daging babi, khamr (minuman keras), binatang buas yang bertaring, burung bercakar yang memangsa dengan cakarnya seperti elang, binatang yang dilarang dibunuh, binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, keledai rumah (humur ahliyah), binatang yang lahir dari perkawinan silang yang salah satunya diharamkan, anjing, binatang yang menjijikan dan kotor, semua makanan yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Sedangkan makanan yang haram lighairihi, di antaranya adalah binatang yang disembelih untuk sesajian, binatang yang disembeli tanpa menyebut nama Allah (basmalah), bangkai dengan berbagai kriterianya, makanan halal yang diperoleh dengan cara haram dan diperuntukkan untuk hal yang dilarang, jallalah atau binatang yang sebagian besar makanannya kotoran atau bangkai, dan makanan halal yang tercampur dengan najis dalam bentuk cair, namun bila berbentuk padat, maka cukup membuang yang terkena najis saja.
C. Kriteria Makanan Syubhat Syubhat yang dimaksud dalam hadis adalah perkara yang tidak dijelaskan halal dan haramnya oleh syariat. Dalam hal ini sebagian ulama mengatakan selama suatu perkara itu tidak ada penjelasan halal dan haramnya maka dikembalikan ke hukum asal, yaitu mubah (boleh) kecuali bila ada dalil yang mengharamkan. Hal ini didasari banyak ayat al-Quran dan hadis, di antaranya: Firman Allah SWT: Dialah (Allah) yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kalian. (QS. al- Baqarah: 29). Riwayat Abu Darda bahwa Rasulullah SAW bersabda: Apa yang Allah halalkan dalam Kitab-Nya adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram. Dan apa yang tidak dijelaskan adalah dimaklumi (afwun). Maka terimalah apa yang diperbolehkan Allah karena sesungguhnya Allah tidak melupakan sekecil apapun. (HR. Al-Bazzar dengan sanand Sahih). Riwayat Abu Tsalabah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesunguhnya Allah mewajibkan kepada kalian kewajiban-kewajiban (faraidh) maka janganlah kalian abaikan, dan telah memberi batasan kepada kalian, maka janganlah kalian langgar, dan mendiamkan masih banyak perkara sebagai rahmat bagi kalian bukan karena kealpaan. Maka janganlah kalian membahasnya berlebihan. (HR. Daruquthni dalam Sunan) Menurut Imam Nawawi, ada beberapa pendapat ulama tentang sesuatu tidak ada penjelasan halal haramnya: pertama, tidak dapat dikatakan halal, haram atau mubah. Karena mengatakan sesuatu halal atau haram harus kembali kepada dalil syari. Kedua, hukumnya mubah, kembali ke hukum asal, bahwa segala sesuatu itu mubah selama tidak ada dalil yang melarangnya. Ketiga, hukumnya haram. Keempat, tawaqquf. Kebanyakan ulama merujuk kepada pendapat kedua, bahwa sesuatu yang tidak dijelaskan halal haramnya, hukumnya kembali pada hukum asal, yaitu mubah. Dan perlu ditegaskan, bahwa yang halal lebih banyak dibanding yang haram. Karena itu makanlah makanan yang halal, karena hidup akan menjadi berkah, selamat di dunia dan akhirat. Wallahu alam bish shawab. LI.6. Menjelaskan retinopati diabetikum LO.6.1 Definisi dan klasifikasi Definisi Retinopati diabetik (RD)merupakan suatu komplikasi kronik diabetes melitus karena mikroangiopati vaskular retina yang dapat menimbulkan kebutaan dan umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko yang meliputi,usia dan lama menderita DM,kontrol gula darah,tipe DM serta penyakit yang menyertai, misalnya hipertensi dan nefropati. Klasifikasi Menurut perjalanannya, retinopati diabetika dibagi menjadi retinopati diabetika type non proliferatif dan retinopati diabetika type proliferatif.
1. Retinopati diabetika non proliferative Retinopati diabetika non proliferatif merupakan stadium awal dari keterlibatan retina akibat diabetes mellitus yang ditandai dengan adanya mikroaneurisma, hemoragik dan eksudat dalam retina. Dalam stadium ini terjadi kebocoran protein, lipid atau sel-sel darah merah dari pembuluh-pembuluh kapiler retina ke retina. Bila proses ini sampai terjadi di makula yaitu bagian yang memiliki konsentrasi tinggi sel-sel penglihatan maka akan menimbulkan gangguan pada ketajaman penglihatan.
Retinopati diabetika non proliferatif terdiri atas : A. Retinopati diabetika background Retinopati diabetika dasar merupakan refleksi klinis hiperpermeabilitas serta inkompetensi dindind-dinding pembuluh darah. Pada kapiler terbentuk tonjolan kecil bulat-bulat dinamakan pembuluh darah. Pada kapiler terbentuk tonjolan kecil bulat dinamakan mikroaneurisma, sedang vena retina mengalami pelebaran. Pada retina terjadi perdarahan dengan bentuk nyala api ( flame hemorages ) dan bentuk bercak ( blot hemorrhages ). Kapiler yang bocor mengakibatkan sembab retina terutama di macula, sehingga retina menebal dan terlihat berawan. Walaupun cairan serosa terserap, masih ada presipitat lipid kekuningan dalam bentuk eksudat keras (hard eksudat). Jika fovea menjadi sembab atau iskemis atau terdapat eksudat keras maka tajam penglihatan sentral akan menurun sampai derajat tertentu. Pada tahap ini umumnya tidak progresif.
B. Retinopati diabetika preproliferatif Dengan bertambahnya progresifitas sumbatan mikro vascular maka gejala ikemia melebihi gambaran retinopati dasar. Perubahannya yang khas adalah adanya sejumlah bercak mirip kapas (multiple cotton wool spots) atau yang sering disebut sebagai eksudat lunak atau soft eksudat yang merupakan mikro infark lapisan serabut saraf. Gejala yang lain adalah kelainan vena seperti ikalan (loops), segmentasi vena (boxcar phenomenon) dan kelainan mikrovaskular intraretina, yaitu pelebaran alur kapiler yang tidak teratur dan hubungan pendek antara pembuluh darah (shunt) intra retina. Pada angiongrafi fluoresin dengan jelas terlihat adanya bagian yang iskemis, non perfusi kapiler dan defek pengisian kapiler.
Perkembangan retinopati diabetika non proliferatif adalah sebagai berikut : Kelainan mula-mula adalah rusaknya barier (sawar ) darah retina ( sel endotel kapiler retina dan sel epitel pigmen ). Kebocoran ini akibat kenaikan kadar gula darah. Secara histologis terjadi penebalan membrane basalis kapiler dan hilangnya perisit ( dalam keadaan normal satu perisit ).
Terjadi microaneurisma, dimulai sebagai dilatasi kapiler pada daerah yang kehilangan perisit dengan dinding tipis, mula-mula pada sisi vena kemudian juga pada sisi arteri
Selanjutnya endotel mengalami proliferasi sehingga terjadi akumulasi material pada membrane basalis sekitar mikroaneurisma
Meskipun membrane basalis tebal, tetapi karena permeable terhadap air dan molekul besar, maka terjadi timbunan air dan lipid pada retina. Apabila kerusakan barier ringan akan terjadi timbunan cairan pada retina terutama macula ( bintik kuning ) dengan demikian terjadi penurunan visus dan kelainan persepsi warna
Terjadi pula dilatasi vena, yang kadang-kadang ireguler.
Apabial dinding kapiler lemah, maka akan menyebabkan perdarahan intra retina. Perdarahan bisa berbentuk apabila letaknya dalam, atau berbentuk seperti nyala ( frame shaped ) apabila letaknya superfisial atau perdarahan subhyaloid apabila terletak antara retina dan badan kaca.
Selain terjadi perubahan retina vascular seperti yang disebutkan di atas juga terjadi abnnormalitas koriokapilaris yang berupa penebalan membrane basalis. Gejala klinik : - Makula edema - Mikroaneurisma - Penimbunan air dan lipid - Haemorhage intra retinal - Daerah hipoksia atau iskemia - Eksudat lunak
2. Retinopati diabetika proliferatif Iskemia retina yang progresif merangsang pembentukan pembuluh darah baru ( neovaskularisasi ) yang rapuh sehingga dapat mengakibatkan kebocoran serum dan protein dalam jumlah yang banyak. Biasanya terdapat di permukaan papil optic di tepi posterior daerah non perfusi. Pada iris juga bisa terjadi neovaskularisasi disebut rubeosis. Pembuluh darah baru berproliferasi di permukaan posterior badan kaca ( corpus vitreum ) dan terangkat bila badan kaca bergoyang sehingga terlepas dan mengakibatkan hilangnya daya penglihatan mendadak.
Retinopati diabetika proliferatif terbagi dalam 3 stadium : Stadium 1 : Aktif : Disebut stadium florid, basah, kongestif dekompensata lesi intra retina menonjol, peradarah retina, eksudat lunak, neovaskularisasi progresif cepat, proliferasi fibrosa belum ada atau minimal, dapat terjadi perdarahan vitreus, permukaan belakang vitrus masih melekat pada retina bisa progresif atau menjadi type stabil.
Stadium 2 : Stabil : Disebut stadium kering atau quiescent, lesi intra retina minimal, neovaskularisasi dengan atau tanpa proliferasi fibrosa, bisa progresif lambat atau regresi lambat.
Stadium 3 : Regresi : Disebut juga stadium burned out, lesi intra retina berupa perdarahan, eksudat atau hilang, neovaskularisasi regresi, yang menonjol adalah jaringan fibrosa. LO.6.2 Etiologi Faktor resiko retinopati diabetik antara lain: 1. Durasi diabetes, adalah hal yang paling penting. Pada pasien yang didiagnosa dengan DM sebelum umur 30 tahun, insiden retinopati diabetic setelah 50 tahun sekitar 50% dan setelah 30 tahun mencpai 90%. 2. Kontrol glukosa darah yang buruk, berhubungan dengan perkembangan dan perburukan retinopati diabetik. 3. Tipe Diabetes, dimana retinopati diabetik mengenai DM tipe 1 maupun tipe 2 dengan kejadian hampir seluruh tipe 1 dan 75% tipe 2 setelah 15 tahun. 4. Kehamilan, biasanya dihubungkan dengan bertambah progresifnya retinopati diabetik, meliputi kontrol diabetes prakehamilan yang buruk, kontrol ketat yang terlalu cepat pada masa awal kehamilan, dan perkembangan dari preeklamsia serta ketidakseimbangan cairan. 5. Hipertensi yang tidak terkontrol, biasanya dikaitkan dengan bertambah beratnya retinopati diabetik dan perkembangan retinopati diabetik proliferatif pada DM tipe I dan II 6. Nefropati, jika berat dapat mempengaruhi retinopati diabetik. Sebaliknya terapi penyakit ginjal (contoh: transplantasi ginjal) dapat dihubungkan dengan perbaikan retinopati dan respon terhadap fotokoagulasi yang lebih baik. 7. Faktor resiko yang lain meliputi merokok, obesitas,anemiadan hiperlipidemia.
LO.6.3 Epidermiologi Diabetes adalah penyakit yang umum terjadi pada negara maju dan menjadi masalah terbesar di seluruh dunia. Insidens diabetes telah meningkat secara dramatis pada dekade terakhir ini dan diperkirakan akan meningkat duakali lipat pada dekade berikutnya. Meningkatnya prevalensi diabetes, mengakibatkan meningkat pula komplikasi jangka panjang dari diabetes seperti retinopati, nefropati, dan neuropati, yang mempunyai dampak besar terhadap pasien maupun masyarakat. (2)
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki resiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes.Resiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes.Pada waktu diagnosis diabetes tipe I ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada <5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40- 50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita rerinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik non proliferatif.Setelah 20 tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai derajat. Di Amerika Utara, 3,6% pasien diabetes tipe 1 dan 1,6% pasien diabetes tipe 2 mengalami kebutaan total. Di Inggris dan Wales, sekitar 1000 pasien diabetes tercatat mengalami kebutaan sebagian atau total setiap tahun. LO.6.4 Patofisiologi Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun keadaan hiperglikemik lama dianggap sebagai faktor resiko utama.Lamanya terpapar hiperglikemik menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang akhinya menyebabkan perubahan kerusakan endotel pembuluh darah. Perubahan abnormalitas sebagian besar hematologi dan biokimia telah dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain : 1) adhesi platelet yang meningkat, 2) agregasi eritrosit yang meningkat, 3) abnormalitas lipid serum, 4) fibrinolisis yang tidak sempurna, 4) abnormalitas serum dan viskositas darah. Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari fotoreseptor dan sel saraf.Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan kapiler retina.Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar ke seluruh permukaan retina kecuali suatu daerah yang disebut fovea.Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati diabetik terletak pada kapiler retina tersebut.Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan dari luar ke dalam yaitu sel perisit, membrana basalis dan sel endotel.Sel perisit dan sel endotel dihubungkan oleh pori yang terdapat pada membrana sel yang terletak diantara keduanya. Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel retina adalah 1:1 sedangkan pada kapiler perifer yang lain perbandingan tersebut mencapai 20:1. Sel perisit berfungsi mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barrier dan transportasi kapiler serta mengendalikan proliferasi endotel.Membran basalis berfungsi sebagai barrier dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran. Sel endotel saling berikatan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan matriks ekstrasel dari membran basalis membentuk barrier yang bersifat selektif terhadap beberapa jenis protein dan molekul kecil termasuk bahan kontras flouresensi yang digunakan untuk diagnosis penyakit kapiler retina. 1
Perubahan histopatologis kapiler retina pada retinopati diabetik dimulai dari penebalan membrane basalis, hilangnya perisit dan proliferasi endotel, dimana pada keadaan lanjut, perbandingan antara sel endotel dan sel perisit mencapai 10:1. Patofisiologi retinopati diabetik melibatkan lima proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler yaitu (1) pembentukkan mikroaneurisma, (2) peningkatan permeabilitas pembuluh darah, (3) penyumbatan pembuluh darah, (4) proliferasi pembuluh darah baru (neovascular) dan jaringan fibrosa di retina, (5) kontraksi dari jaringan fibrous kapiler dan jaringan vitreus. Penyumbatan dan hilangnya perfusi menyebabkan iskemia retina sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua komponen darah. 1,6
Retinopati diabetik merupakan mikroangiopati okuler akibat gangguan metabolik yang mempengaruhi tiga proses biokimiawi yang berkaitan dengan hiperglikemia yaitu jalur poliol, glikasi non-enzimatik dan protein kinase C. (1,2)
Jalur Poliol Hiperglikemik yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu suatu senyawa gula dan alkohol, dalam jaringan termasuk di lensa dan saraf optik. Salah satu sifat dari senyawa poliol adalah tidak dapat melewati membrane basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel. Senyawa poliol menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan menimbulkan gangguan morfologi maupun fungsional sel. (1,2)
Glikasi Nonenzimatik Glikasi non enzimatik terhadap protein dan asam deoksiribonukleat (DNA) yang terjadi selama hiperglikemia dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA. Protein yang terglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi sel. (1,2)
Protein Kinase C Protein Kinase C diketahui memiliki pengaruh terhadap permeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis membrane basalis dan proliferasi sel vaskular.Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yaitu suatu regulator PKC, dari glukosa. (1,2)
Tabel 3. Hipotesis Mengenai Mekanisme Retinopati Diabetik (1)
Mekanisme Cara Kerja Terapi Aldose reduktase Meningkatkan produksi sorbitol, menyebabkan kerusakan sel. Aldose reduktase inhibitor Inflamasi Meningkatkan perlekatan leukosit pada endotel kapiler, hipoksia, kebocoran, edema macula. Aspirin Protein Kinase C Mengaktifkan VEGF, diaktifkan oleh DAG pada hiperglikemia. Inhibitor terhadap -Isoform Mekanisme Cara Kerja Terapi Nitrit Oxide Synthase Meningkatkan produksi radikal bebas, meningkatkan VEGF. Amioguanidin Menghambat ekspresi gen Menyebabkan hambatan terhadap jalur metabolisme sel. Belum ada Apoptosis sel perisit dan sel endotel kapiler retina Penurunan aliran darah ke retina, meningkatkan hipoksia. Belum ada VEGF Meningkat pada hipoksia retina, menimbulkan kebocoran , edema makula, neovaskular. Fotokoagulasi panretinal PEDF Menghambat neovaskularisasi, menurun pada hiperglikemia. Induksi produksi PEDF oleh gen PEDF GH dan IGF-I Merangsang neovaskularisasi. Hipofisektomi, GH-receptor blocker, ocreotide PKC= protein kinase C; VEGF= vascular endothel growth factor; DAG= diacylglycerol; ROS= reactive oxygen species; AGE= advanced glycation end-product; PEDF= pigment-epithelium- derived factor; GF= growth factor; IGF-I= insulin-like growth factor I. 1
Sebagai hasil dari perubahan mikrovaskular tersebut adalah terjadinya oklusi mikrovaskular yang menyebabkan hipoksia retina.Hilangnya perfusi (nonperfussion) akibat oklusi dan penumpukan leukosit kemudian menyebabkan iskemia retina sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua komponen darah.Hal ini menimbulkan area non perfusi yang luas dan kebocoran darah atau plasma melalui endotel yang rusak.Ciri khas dari stadium ini adalah cotton wool spot.Efek dari hipoksia retina yaitu arteriovenous shunt.A-V shunt berkaitan dengan oklusi kapiler dari arterioles dan venules. Inilah yang disebut dengan Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA).Selain itu, dapat ditemukan dot hemorrhage dan vena yang seperti manik- manik. 10
Hilangnya sel perisit pada hiperglikemia menyebabkan antara lain terganggunya fungsi barrier, kelemahan dinding kapiler serta meningkatnya tekanan intraluminer kapiler. Kelemahan fisik dari dinding kapiler menyebabkan terbentuknya saccular pada dinding pembuluh darah yang dikenal dengan mikroaneurisma yang kemudian bisa menyebabkan kebocoran atau menjadi thrombus.Konsekuensi dari meningkatnya permeabilitas vaskular Hal ini adalah rusaknya barrier darah-retina sehingga terjadi kebocoran plasma ke dalam retina yang menimbulkan edema macula.Edema ini dapat bersifat difus ataupun local.Edema ini tampak sebagai retina yang menebal dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat intraretina sehingga terbentuk zona eksudat kuning kaya lemak bentuk bundar (hard exudates) di sekitar mikroaneurisma dan paling sering berpusat di bagian temporal makula. 10
Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyala api karena lokasinya di dalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Sedangkan perdarahan bentuk titik-titik (dot hemorrhage) atau bercak terletak di lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi vertical.Perdarahan terjadi akibat kebocoran eritrosit, eksudat terjadi akibat kebocoran dan deposisi lipoprotein plasma, sedangkan edema terjadi akibat kebocoran cairan plasma. Pada retina yang iskemik, faktor angiogenik seperti vascular endothelial growth factor (VEGF) dan insulin-like growth factor-1 (IGF-1)diproduksi.Faktor-faktor ini menyebabkan pembentukan pembuluh darah baru pada area preretina dan nervus optik (PDR) serta iris (rubeosis iridis).Neovaskularisasi dapat terjadi pada diskus (NVD) atau dimana saja (NVE). Pembuluh darah baru yang terbentuk hanya terdiri dari satu lapisan sel endotel tanpa sel perisit dan membrane basalis sehingga bersifat sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan.Pembuluh darah baru tersebut sangat berbahaya karena bertumbuhnya secara abnormal keluar dari retina dan meluas sampai ke vitreus, menyebabkan perdarahan disana dan dapat menimbulkan kebutaan. Perdarahan ke dalam vitreus akan menghalangi transmisi cahaya ke dalam mata dan memberi penampakan berupa bercak warna merah, abu-abu, atau hitam pada lapangan penglihatan. Apabila perdarahan terus berulang, dapat terjadi jaringan fibrosis atau sikatriks pada retina. Oleh karena retina hanya berupa lapisan tipis yang terdiri dari beberapa lapisan sel saja, maka sikatriks dan jaringan fibrosis yang terjadi dapat menarik retina sampai terlepas sehingga terjadi ablasio retina LO.6.5 Manifestasi Retinopati diabetik biasanya asimtomatis untuk jangka waktu yang lama. Hanya pada stadium akhir dengan adanya keterlibatan macular atau hemorrhages vitreus maka pasien akan menderita kegagalan visual dan buta mendadak. Gejala klinis retinopati diabetik proliferatif dibedakan menjadi dua yaitu gejala subjektif dan gejala obyektif. 1,2,11
- Gejala Subjektif yang dapat dirasakan : Kesulitan membaca Penglihatan kabur disebabkan karena edema macula Penglihatan ganda Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata Melihat lingkaran-lingkaran cahaya jika telah terjadi perdarahan vitreus Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip - Gejala objektif pada retina yang dapat dilihat yaitu :
Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus posterior. Mikroaneurisma terletak pada lapisan nuclear dalam dan merupakan lesi awal yang dapat dideteksi secara klinis. Mikroaneurisma berupa titik merah yang bulat dan kecil, awalnya tampak pada temporal dari fovea. Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat mikroaneurisma dipolus posterior.
Perubahan pembuluh darah berupa dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan berkelok-kelok seperti sausage-like. Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannyakhusus yaitu iregular, kekuning-kuningan. Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina. Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula (macula edema) sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan. Edema retina awalnya terjadi antara lapisan pleksiform luar dan lapisan nucleus dalam. Pembuluh darah baru ( Neovaskularisasi ) pada retina biasanya terletak dipermukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok dan ireguler. Mulamula terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah preretinal kemudian ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid (preretinal) maupun perdarahan badan kaca. LO.6.6 Diagnosis dan DD Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan funduskopi.Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA) merupakan metode diagnosis yang paling dipercaya.Namun dalam klinik, pemeriksaan dengan oftalmoskopi masih dapat digunakan untuk skrining.Ada banyak klasifikasi retinopati diabetik yang dibuat oleh para ahli. Pada umumnya klasifikasi didasarkan atas beratnya perubahan mikrovaskular retina dan atau tidak adanya pembentukan pembuluh darah baru di retina. (1)
Tabel 1 : Klasifikasi Retinopati Diabetik 1,8,9
Tahap Deskripsi Tidak ada retinopati Tidak ada tanda-tanda abnormal yang ditemukan pada retina. Penglihatan normal. Makulopati Eksudat dan perdarahan dalam area macula, dan/atau bukti edema retina, dan/atau bukti iskemia retina. Penglihatan mungkin berkurang; mengancam penglihatan. Praproliferatif Bukti oklusi (cotton wool spot). Vena menjadi ireguler dan mungkin terlihat membentuk lingkaran. Penglihatan normal. Proliferatif Perubahan oklusi menyebabkan pelepasan substansi vasoproliferatif dari retina yang menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah baru di lempeng optik (NVD) atau di tempat lain pada retina (NVE). Penglihatan normal, mengancam penglihatan. Tahap Deskripsi Lanjut Perubahan proliferatif dapat menyebabkan perdarahan ke dalam vitreus atau antara vitreus dan retina. Retina juga dapat tertarik dari epitel pigmen di bawahnya oleh proliferasi fibrosa yang berkaitan dengan pertumbuhan pembuluh darah baru. Penglihatan berkurang, sering akut dengan perdarahan vitreus; mengancam penglihatan. Early Treatment Diabetik Retinopathy Study Research Group (ETDRS) membagi retinopati diabetik atas nonproliferatif dan proliferatif.Retinopati diabetik digolongkan ke dalam retinopati diabetik non proliferatif (RDNP) apabila hanya ditemukan perubahan mikrovaskular dalam retina.Neovaskuler merupakan tanda khas retinopati diabetik proliferatif. 1
Tabel 2 : Klasifikasi Retinopati Diabetik berdasarkan ETDRS 1,8,9
Retinopati Diabetik Non-Proliferatif 1. Retinopati nonproliferatif minimal : terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras. 2. Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang : terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena derajat ringan, perdarahan, eksudar keras, eksudat lunak atau IRMA. 3. Retinopati nonproliferatif berat : terdapat 1 tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau IRMA pada 1 kuadran. 4. Retinopati nonproliferatif sangat berat : ditemukan 2 tanda pada retinopati non proliferative berat. Retinopati Diabetik Proliferatif 1. Retinopati proliferatif ringan (tanpa risiko tinggi) : bila ditemukan minimal adanya neovaskular pada diskus (NVD) yang mencakup <1/4 dari daerah diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus, atau neovaskular dimana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus. 2. Retinopati proliferatif risiko tinggi : apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor resiko sebagai berikut, a) ditemukan pembuluh darah baru dimana saja di retina, b) ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus, c) pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup > daerah diskus, d) perdarahan vitreus. Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahn, merupakan dua gambaran yang paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif dengan resiko tinggi.
Diagnosis banding harus menyingkirkan penyakit vascular retina lainnya, adalah hipertensive retinopathy. 1,2
Retinopati hipertensi adalah suatu kondisi dengan karakteristik perubahan vaskularisasi retina pada populasi yang menderita hipertensi.Kelainan ini pertama kali dikemukakan oleh Marcus Gunn pada kurun ke-19 pada sekelompok penderita hipertensi dan penyakit ginjal.Tanda-tanda pada retina yang diobservasi adalah penyempitan arteriolar secara general dan fokal, perlengketan atau nicking arteriovenosa, perdarahan retina dengan bentuk flame-shape dan blot-shape, cotton-wool spots, dan edema papilla. LO.6.7 Komplikasi 1. Rubeosis iridis progresif Penyakit ini merupakan komplikasi segmen anterior paling sering.Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik. Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskular pada permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat pembuangan aquous dengan akibat intra ocular presure meningkat dan keadaan sudut masih terbuka.Suatu saat membrane fibrovaskular ini konstraksi menarik iris perifer sehingga terjadi sinekia anterior perifer (PAS) sehingga sudut bilik mata depan tertutup dan tekanan intra okuler meningkat sangat tinggi sehingga timbul reaksi radang intra okuler.Sepertiga pasien dengan rubeosis iridis terdapat pada penderita retinopati diabetika. Frekuensi timbulnya rubeosis pada pasien retinopati diabetika dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah. Insiden terjadinya rubeosis iridis dilaporkan sekitar 25-42 % setelah tindakan vitrektomi, sedangkan timbulnya glaukoma neovaskuler sekitar 10-23% yang terjadi 6 bulan pertama setelah dilakukan operasi. 2. Glaukoma neovaskular Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang terjadi akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan jaringan anyaman trabekula yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat meningkatkan tekanan intra okuler. Nama lain dari glaukoma neovaskular ini adalah glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif, glaukoma trombotik dan glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubugan dengan neovaskular pada iris (rubeosis iridis). Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik. Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskuler pada permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat pembuangan akuos dengan akibat Intra Ocular Presure meningkat dan keadaan sudut masih terbuka. 3. Perdarahan vitreus rekuren Perdarahan vitreus sering terjadi pada retinopati diabetik proliferatif.Perdarahan vitreus terjadi karena terbentuknya neovaskularisasi pada retina hingga ke rongga vitreus.Pembuluh darah baru yang tidak mempunyai struktur yang kuat dan mudah rapuh sehingga mudah mengakibatkan perdarahan.Perdarahan vitreus memberi gambaran perdarahan pre-retina (sub-hyaloid) atau intragel.Perdarahan intragel termasuk didalamnya adalah anterior, middle, posterior, atau keseluruhan badan vitreous. Gejalanya adalah perkembangan secara tiba-tiba dari floaters yang terjadi saat perdarahan vitreous masih sedikit.Pada perdarahan badan kaca yang massif, pasien biassanya mengeluh kehilangan penglihatan secara tiba-tiba.Oftalmoskopi direk secara jauh akanmenampakkan bayangan hitam yang berlawanan dengan sinar merah pada perdahan vitreous yang masih sedikit dan tidak ada sinar merah jika perdarahan vitreous sudah banyak. Oftalmoskopi direk dan indirek menunjukkan adanya darah pada ruang vitreous.Ultrasonografi Bscan membantu untuk mendiagnosa perdarahan badan kaca.
4. Ablasio retina Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan neurosensori retina dari lapisan pigmen epithelium.Ablasio retina tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa menyebabkan gambaran bentuk- bentuk ireguler yang melayang-layang atau kilatan cahaya, serta menyebabkan penglihatan menjadi kabur. LO.6.8 Prognosis Kontrol optimum glukosa darah (HbA1c < 7%) dapat mempertahankan atau menunda retinopati.Hipertensi arterial tambahan juga harus diobati (dengan tekanan darah disesuaikan <140/85 mmHg).Tanpa pengobatan, Detachment retinal tractional dan edema macula dapat menyebabkan kegagalan visual yang berat atau kebutaan. Bagaimanapun juga, retinopati diabetik dapat terjadi walaupun diberi terapi optimum