Anda di halaman 1dari 13

Laporan Kasus: Seorang Pria dengan Keluhan Kedua Tungkai Bengkak

Kelompok II

03011013 Akhmad
03011015 Aldisa Puspitasari
03011017 Amanda Irnandita Harahap
03011019 Amanda Shabrina Putri
03011021 Amydhea Garnetta
03011023 Anasthasya Giovani
03011025 Andrian Valerius C.D
03011027 Andry Dimas D.P
03011029 Anggi Saputri
03011031 Anggie Pradetya M.
03011033 Anindya
03011035 Anisa Putri Zakirah
03011037 Annisa Rizky Maulida
03011039 Apriesta Athica Caroline
03011041 Aranda Baihaqi M.
03011043 Arini Nisaul I.A
03011045 Ary Titis Rio Pambudi




FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN


Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh
pelebaran ruang udara (alveolus) dalam paru-paru disertai dengan destruksi jaringan.
Emfisema merupakan salah satu penyakit yang tergolong dalam COPD (Chronic
Obstructive Pulmonal Disease).
Pokok utama emfisema adalah adanya hiperinflasi dari paru yang bersifat irreversible
dengan konsekuensi rongga thoraks berubah menjadi gembung atau barrel chest.
Gabungan alveoli yang pecah dapat menimbulkan bula yang besar yang kadang-kadang
memberikan gambaran seperti pneumotoraks.
Pada penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang
yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-paru
terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin adalah
penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.


















BAB II
LAPORAN KASUS

Pak Ahmad, 60 tahun, mengeluh kedua tungkainya bengkak. Beberapa bulan
sebelumnya, Pak Ahmad merasa sesak napas yang semakin berat disertai batuk-batuk.
Kadang-kadang disertai mengi. Pak Ahmad tidak demam, batuknya kadang-kadang berdahak,
kadang-kadang kering. Tidak pernah ada darah dalam dahaknya. Pak Ahmad adalah perokok
berat sejak masih muda. Sejak beberapa hari terakhir Pak Ahmad merasakan sesak napasnya
agak berkurang. Tetapi timbul bengkak pada kedua tungkainya dan ia cepat merasa kenyang
dan nafsu makannya hilang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
TD: 115/80 mmHg, S: 36,5C, napas: 24x/menit, nadi: 100x/menit, teratur, volume sedang.
Pak Ahmad tampak sakit sedang, dispne, mukosa mulut dan lidah agak kebiruan. Sklera mata
tidak ikterik. Pernapasan cuping hidung tidak ada.
JVP: 5 + 4 cm H
2
O, trachea di tengah, kel.tiroid tidak membesar.
Pada perkusi thorax: paru hipersonor, dengan batas jantung kanan di garis
parasternalis kanan. Batas jantung kiri di 1 jari sebelah medial garis midklavikularis kiri pada
sela iga ke 5.
Bunyi jantung II mengeras terutama di area P disertai splitting yang tidak menjadi
lebih jelas dengan Pak Ahmad menarik atau menahan napasnya.
Pada auskultasi paru terdengar ekspirasi memanjang, kadang-kadang terdengar
wheezing, ronki kering kasar, dan ronki basah sedang tidak nyaring tersebar di kedua paru.
Pada pemeriksaan abdomen, hepar teraba 1 jari dibawah arcus costae, tumpul, licin,
kenyal, agak nyeri tekan. Lien tidak teraba. Bising usus normal. Kedua tungkai edema, dari
kaki sampai pertengahan betis, pitting.









BAB III
PEMBAHASAN

I. Identifikasi Pasien
Nama : Pak Ahmad
Usia : 60 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki

II. Anamnesis
Keluhan utama (KU) : Pak Ahmad mengeluh kedua tungkainya bengkak (edema)
Riwayat penyakit sekarang (RPS) : batuk-batuk kadang berdahak, kadang kering,
sesak napas, kadang disertai mengi (wheezing), nafsu makan hilang, cepat
kenyang, sesak nafas berkurang, timbul bengkak pada tungkainya (edema)
Riwayat penyakit dahulu (RPD) : -
Riwayat penyakit dalam keluarga (RPK) : -
Riwayat hidup/Data pribadi dan kebiasaan-kebiasaan : perokok berat
Tinjauan keluhan menurut sistem (TS) : -
Dari masalah diatas dokter perlu menambahkan anamnesis tambahan untuk
memperlengkap data atas keluhan utama pasien. Anamnesis tambahannya seperti :
1. Sudah berapa lama menderita batuk?
2. Apa warna dahak yang dibatukkan?
3. Apakah sesak napas dsertai dengan nyeri dada?
4. Apakah sesak napas terjadi secara mendadak?
5. Sejak kapan kedua tungkai bengkak?

III. Pemeriksaan Fisik
A. Tanda Vital :
1. Suhu
Suhu diukur menggunakan termometer yang dapat di letakkan pada ketiak, di
bawah lidah, rectum, dan kadang-kadang pada vagina wanita selama 5 menit. Suhu
pada manusia dibedakan menjadi :
Normal : 36,5 C 37,2 C
Subnormal : 35 36,5 C
Subfebris : 37-38 C
Febris : lebih dari 38 C
Hyperpirexia : lebih dari 41 C dalam waktu yang cukup lama
Hypothermia : kurang dari 35 C
Pada kasus ini pak Ahmad didapati memiliki suhu badan 36,8 C. Suhu pak Ahmad
tergolong suhu normal.
2. Denyut Nadi
Frekuensi denyut :
Normal : 60-100 kali per menit dalam keadaan istirahat
Anak-anak : 80-140 kali per menit
Takikardia : lebih dari 100 kali per menit
Bradikardia : kurang dari 60 kali per menit
Denyut nadi pak Ahmad tergolong normal, yaitu 100 kali/menit.
3. Tekanan Darah
Normal : < 120 dan < 80
Pra hipertensi : 120 139 atau 80 89
Hipertensi derajat I : 140 159 atau 90 99
Hipertensi derajat II : 160 atau 100
Tekanan darah Pak ahmad tergolong normal, yaitu 115/80 mmHg.
4. Pernapasan
Normal pada pria : 14-18 kali per menit
Normal pada wanita : 16-20 kali per menit (eupnea)
Normal pada bayi : 30-50 kali per menit
Takipnea : lebih dari 20 kali per menit
Bradipnea : kurang dari 14 kali per menit
Pada pemeriksaan didapat pernapasan pak Ahmad 24 kali/menit, ini berarti pak
Ahmad terkena Takipnea.

B. Keadaan Umum
1. Kesan sakit : pasien tampak sakit sedang
2. Tingkat kesadaran : cospos mentis (kesadaran baik)
3. Warna kulit :
Sianosis sentral yaitu warna kebiru-biruan pada kulit terutama disekitar mulut,
bibir, kuku/ujng jari dan kaki, mukosa mulut serta lidah
4. Ada Dyspnoe
Dyspnoe : pasien tampak seolah sadar kekurangan oksigen, ia akan berusaha keras
untuk bernapas lebih cepat dan lebih dalam, cupin hidung ikut bergerak.
Pada pasien tampak cuping hidung tidak ikut bergerak
5. Ada oedema pada kedua tungkai kaki.
Oedema adalah pembengkakan karena kumulasi cairan berlebih pada sela rongga
jaringan interstisial, yang disebabkan karena meningkatnya permeabilitas dinding
kapiler.

1. Leher
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada bagian leher perlu dilakukan
berbagai macam pemeriksaan. Pada kasus ini tidak ditemukannya pembesaran kelenjar
tiroid pada pasien, dimana metode pemeriksaannya dilakukan dengan cara inspeksi dan
palpasi. Posisi trakea berada ditengah yang berarti normal, dapat dilakukan dengan
inspeksi dan palpasi. Dan JVP yang diperiksa dengan posisi pasien berbaring telentang
dan posisi kepala membentuk sudut 30 dengan bidang datar. Miringkan kepala pasien
untuk mempermudah. Ini dilakukan untuk menentukan tingginya tekanan di atrium
kanan yang dapat ditetapkan dengan melihat tingginya kolom pengisian darah di vena
jugularis. JVP normal adalah 3 cm diatas bidang horizontal atau ditulis 5 + 3 cm. Pada
pasien didapati JVP 5 + 4 cm yang berarti meningkat dari keadaan normal. JVP yang
meningkat dapat dijumpai pada decompensasi cordis kanan.

2. Toraks
- Paru-paru
Pada pemeriksaan paru, normalnya amplitudo gerak napas kiri dan kanan
sama (simetris), frekuensi napas 14-20 kali per menit, irama teratur dan amplitudo
sedang. Pada kasus ini, pasien mengalami dispnea tetapi tidak ada pernapasan cuping
serta frekuensi napas mengalami takipnea. Pada pemeriksaan palpasi, normal gerak
kedua hemitoraks sama. Dengan perkusi normalnya terdengar sonor, tetapi saat
perkusi pasien terdengar hipersonor yang kurang nyaring dari timpani. Keadaan ini
dapat ditemui pada penderita emfisema. Lalu dengan pemeriksaan auskultasi,
normalnya suara napas pada dada kiri dan kanan sama. Pada pasien, terdengar
ekspirasi memanjang, kadang-kadang disertai wheezing, dengan suara napas
tambahan ronki kering kasar dan ronki basah yang tidak nyaring. Ini menandakan
adanya cairan transudat atau eksudat didalam lumen bronkus atau bronkiolus.
- Jantung
Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi merupakan pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya posisi dan keadaan jantung. Pada
inspeksi dan palpasi, yang dapat diperhatikan adalah ada tidaknya iktus kordis, letak,
diameter, kekuatan, dan sifat iktus kodis tersebut. Lokasi iktus kordis pada orang
dewasa normal adalah 1-2 cm sebelah medial dari garis midklavikularis kiri di sela iga
V sedangkan pada anak-anak di sela iga IV dan pada orang tua di sela iga VI.
Diameter iktus normal sekitar 2 cm.
Dengan perkusi, pemeriksa dapat menetapkan batas jantung sebelah kanan,
menetapkan batas kiri jantung, dan batas atas jantung. Hasil perkusi pada pasien ini
adalah batas jantung kiri 1 jari sebelah medial garis midklavikularis pada sela iga ke
V. Hasil ini menunjukan posisi jantung yang normal, sebab batas jantung kanan
normal pada garis sternalis kanan, batas jantung kiri pada sela iga V, 1 2 cm di
sebelah medial garis midklavikularis kiri, dan batas atas jantung pada sela iga III.
Bunyi jantung terutama disebabkan oleh menutupnya katup jantung. Pada
waktu sistole jantung, katup mitral dan trikuspid menutup secara bersamaan sehingga
dihasilkan bunyi jantung (BJ) I, sedangkan katup aorta dan pulmonal membuka secara
bersamaan. Pada waktu diastole jantung, katup aorta dan pulmonal menutup secara
bersamaan sehingga dihasilkan bunyi jantung (BJ) II, sedangkan katup mitral dan
trikuspid membuka secara bersamaan. Untuk mendengar bunyi yang berasal dari
katup mitral adalah pada apek jantung yaitu di sela iga V sedikit medial dari garis
midklavikularis kiri, tempat itu dinamakan titik M. Untuk mendengar bunyi yang
berasal dari katup aorta pada sela iga II pada tepi sternum kanan yang dinamakan titik
A. Untuk mendengar bunyi yang berasal dari katup pulmonal adalah di sela iga II tepi
sternum kiri yang dinamakan titik P. Dan untuk mendengar bunyi dari katup
trikuspidalis adalah di bagian bawah sternum dan dinamakan titik T. Untuk
mendengar bunyi jantung dapat dilakukan auskultasi dengan menggunakan bantuan
stetoskop, dengan auskultasi dapat juga didengar bunyi jantung tambahan, irama,
frekuensi, bising jantung, dan bunyi gesek perikardial. Sedangkan splitting adalah
dimana bunyi jantung terdengar terpecah, hal ini disebabkan oleh menutupnya katup
secara tidak bersamaan.
Hasil auskultasi pasien adalah bunyi jantung II mengeras terutama di titik P
disertai splitting yang tidak menjadi lebih jelas saat pasien menarik dan menahan
nafasnya. Hal ini menunjukan ciri dari hipertensi pulmonal (BJ II di titik P mengeras)
dan keadaan ASD, PS dan hipertensi pulmonal dengan ciri splitting tidak lebih
diperjelas dengan inspirasi.

3. Abdomen
Pada pemeriksaan abdomen pasien ini, didapat keabnormalan pada hepar
dimana pada saat palpasi seharusnya organ-organ tidak teraba. Pada pasien ini hepar
teraba 1 jari dibawah arcus costae (hepatomegali), tumpul, licin, kenyal dan agak
nyeri yang merupakan ciri dari decompensasi cordis kanan. Lien tidak teraba berarti
tidak ada gangguan (normal). Bising usus normal.

4. Ekstremitas
Pada inspeksi bagian ekstremitas pasien ini mengalami edema pada kedua
tungkai dari kaki sampai pertengahan betis dan pitting. Edema pada kedua tungkai ini
disebabkan oleh kegagalan ventrikel kanan jantung memompakan darah dengan baik
sehingga darah terkumpul pada vena atau kapiler.
1

IV. Diagnosis
Berdasarkan hasil anamesis dan pemeriksaan fisik pada pak ahmad maka dapat diambil
beberapa kesimpulan.
Diagnosis Kerja :
Decompensasi cordis kanan causa emphysema.


Emphysema yaitu terkumpulnya udara secara patologis dalam jaringan atau
organ (pulmo).
2
Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen yang diperlukan.
Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk kronis dan
sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok.
Ada tiga faktor yang memegang peran dalam timbulnyaemfisema yaitu :
1) Kelainan radang bronchus dan bronchiolus yang seringdisebabkan oleh asap
rokok, debu industri. Radang peribron-chiolus disertai fibrosis menyebabkan
iskhemia dan parutsehingga memperluas dinding bronchiolus.
2) Kelainan atrofik yang meliputi pengurangan jaringanelastik dan gangguan
aliran darah; hal ini sering dijumpai padaproses menjadi tua.
3) Obstruksi inkomplit yang menyebabkan gangguanpertukaran udara; hal ini
dapat disebabkan oleh perubahandinding bronchiolus akibat bertambahnya
makrophag padapenderita yang banyak merokok.Insiden emfisema meningkat
dengan disertai bertambah-nya umur.
Ada dua bentuk emfisema yaitu :
1) Sentrilobular
2) Panlobular.
Emfisema sentrilobular ditandai oleh kerusakan padasaluran napas bronkhial
yaitu pembengkakan, peradangan danpenebalan dinding bronkhioli. Perubahan ini
umumnya ter-dapat pada bagian paru atas.Emfisema jenis ini biasanya bersama-sama
dengan pe-nyakit bronkhitis menahun, sehingga fungsi paru hilangperlahan-lahan atau
cepat tetapi progresif dan banyak meng-hasilkan sekret yang kental.
Emfisema panlobular berupa pembesaran yang bersifatmerusak dari distal alveoli
ke terminal bronkhiale. Pembendungan jalan udara secara individual disebabkan oleh
hilangnya elastisitas recoil dari paru atau radial traction dari bronkioli. Ketika
menghirup udara (inhale) jalan udara terulur membuka, maka kedua paru yang elastis
itu membesar dan selama menghembuskan udara (ekshalasi) jalan udara menyempit
karena turunnya daya penguluran dari kedua paru itu. Pada penderita emfisema
panlobular, elastisitas parunyatelah menurun karena robekan dan kerusakan dinding
se-keliling alveoli sehingga pada waktu menghembuskan udarakeluar, bronkhiolus
mudah kolaps. Akibatnya fungsi pertukar-an gas pada kedua paru tidak efektif.
Empysema juga dapat menimbulkan kompliasi dekompensasi kordis kanan.
Hubungan antara emphysema dengan decompensasi kordis kanan yaitu pada
emphysema terjadi peningkatan tekanan sirkulasi paru, akibat tekanan ini meningkat
maka jantung akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan kerja jantung kanan
untuk memompa darah menuju aru-paru. Akibat dari kompensasi ini maka jatung
akan menjadi lemah dan melebar atau hipertrofi ventrikel.
3


Dagnosis Banding:
Insufisiensi katub pulmonal
Katub pulmonal memiliki daun trikuspid yang berfungsi mencegah aliran
balik dari arteri pulmonalis ke ventrikel kanan.Namun pada katub yang insufisiensi
tidak dapat menjalankan fungsi dengan normal sehingga akan terjadi aliran balik
tersebut. Kondisi patologis dari insufisiensi katub pulmonal dapat menyebabkan
gangguan fungsi ventrikel kanan dan pembesaran ventrikel kanan yang berlebihan.
Insufisiensi pulmonal biasanya tidak menunjukan gejal klinis yang bermakna
tetapi gejala gagal jantung kanan akan muncul pada fase dekompensasi dilatasi
ventrikel kanan
Pada insufisiensi berat akan menimbulkan gejala gagal jantung kanan seperti
edema perifer, nafas cepat, kenaikan tekanan vena jugularis, hepatosplenomegali, dan
bahkan ascites. Pada pasien dengan insufisiensi sedang-berat didapatkan penonjolan
ventrikel kanan ditepi bawah strernum.
4

V. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis,
yaitu:
a. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru terlihat gambar
gambar radioplaks. Pada emfisema terlihat diafragma yang mendatar atau terkadang
konkaf. Toraks terlihat membesar seperti gentong.
b. Tes fungsi paru
Tes ini dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah
fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi
dan untuk mengevaluasi efek terapi, seperti bronkodilator.
c. Pemeriksaan Elektrokardiografi
EKG (Elektrokardiografi) yaitu deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P
(asma berat), disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF
(bronkitis, emifisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
5
d. Pemeriksaan Darah Rutin
Memeriksa darah pasien apabila kadar hemoglobin meningkat menunjukkan
adanya emfisema yang luas. Apabila kadar eusinofilnya yang naik maka orang tersebut
terkena asma.
e. Uji Kimia Darah
Uji kimia darah dapat digunakan untuk memastikan diagnosis emfisema.
Mekanismenya dengan cara memeriksa enzim dalam darah. Apabila terdapat defisiensi
alfa -1-antitripsin maka cenderung orang tersebut menderita penyakit emfisema.
6
































BAB IV
KESIMPULAN

Dengan data-data yang diperoleh dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pak
Ahmad, didapatkan diagnosis kerja yaitu emfisema dan diagnosis banding decompensasi
cordis kanan. Untuk menegakkan diagnosis pasti, perlu dilakukan anamnesis tambahan dan
pemeriksaan lebih lanjut, antara lain pemeriksaan radiologis, tes fungsi paru, EKG,
pemeriksaan darah rutin, dan uji kimia darah. Dengan hasil yang didapatkan dari anamnesis
tambahan dan pemeriksaan lebih lanjut, diharapkan diagnosis pasti dapat ditegakkan
sehingga terapi yang tepat untuk pasien dapat dilaksanakan.
























BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Natadidjaja H. In: Saputra L, editor. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Penyakit
Dalam. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher; 2012.
2. Dimandi Alifa, Hartono Adry, Nugroho A W, Pendit B U, Susanto Diana, Dany
Frans, at all.In: Arfan Ahmad, Mahode A A, Intansari D M, Dorothy, Velyani D P,
Sagala F S P. Kamus Kedokteran Dorland . Jakarta: EGC. Ed 3;2010.p.713
3. Fisioterapi pada emfisema. Available at :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09FisioterapipadaEmfisema128.pdf/09Fisiotera
pipadaEmfisema128.html. Accessed april 9 2012.
4. Wahab A S. Kardiologi anak. Jakata: EGC;2006.p.180-181.
5. Doenges M, moorhouse M, Geissler A. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta : EGC
; 2000.p.154-155.
6. Emfisema. Available at : http://medlinux.blogspot.com/2007/09/emfisema.html.
Accessed april 9 2012.

Anda mungkin juga menyukai