Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai
tempat untuk menampung produksi urine dan sebagai fungsi ekskresi. Fungsi
kandung kencing normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistim
saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks
fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis
bagian sakral, sehingga penyebab neurogenik dari gangguan kandung kencing
dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat.
Retensi Urin merupakan suatu keadaan darurat urologi yang paling sering
ditemukan dan dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.Retensi Urin adalah
ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urin yang terkumpul di
dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui.
Salah satu penyebab retensi urine adalah BPH. Benign Prostat Hyperplasia
merupakan penyakit yang sering diderita pada pria. Di klinik 50 % dijumpai
penderita BPH berusia 60-69 tahun, yang menimbulkan gejala-gejala bladder
outlet obstruction. Pada wanita Salah satu komplikasi umum yang terjadi
setelah proses persalinan, baik persalinan pervaginam atau sectio caesarea
adalah retensi urin postpartum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari FKUI-
RSCM Jakarta melansir data bahwa terdapat 17,1% kejadian retensi urin pada
ibu melahirkan yang telah dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk
yang dipasang selama 24 jam pasca operasi sectio caesarea. Yip SK
(Hongkong, 1997) melaporkan terdapat angka 14,6% untuk kasus retensi urin
postpartum pervaginam.





B. TUJUAN
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memahami lebih dalam tentang
Retensi urine. Kita sebagai calon dokter harus bisa memahami cara yang baik
dalam penatalaksanaan retensi urine.










































BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Retensi Urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urin
yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli
terlampaui.

2.2. Anatomi Saluran Kemih

Alat-alat kemih terdiri dari : ginjal, pelvis renalis (pielum), ureter, buli-
buli (vesika urinaria), dan uretra. Dinding alat-alat saluran kemih mempunyai
lapisan otot yang mampu menghasilkan gerakan peristaltik. Gambaran anatomi
saluran kemih sebagai berikut :



Ginjal
Ginjal menghasilkan air seni dengan membuang air dan berbagai bahan
metabolik yang berbahaya yang mayoritas dihasilkan oleh alat-alat lain.





Pelvis Renalis (Pielum)
Mengumpulkan air seni yang datang dari apeks papilla. Mengecil menjadi
ureter yang dilalui air seni dalam porsi-porsi kecil sampai ke dalam kandung
kemih. Kapasitas rata-rata 3-8 ml. Air seni mula-mula terkumpul di kaliks, saat
sfingter kaliks berkontraksi. Kemudian, otot-otot dinding kaliks, sfingter
forniks, berkontraksi dan pada waktu yang bersamaan sfingter kaliks berelaksasi.
Lalu air seni terdorong ke dalam pelvis renalis. Air seni dibuang dengan cepat
oleh penutupan bergantian dari sfingter pelvis dan kaliks.

Ureter
Berbentuk seperti pipa yang sedikit memipih, berdiameter 4-7 mm. Panjang
bervariasi + 30 cm pada laki-laki dan + 1 cm lebih pendek dari wanita. Kedua
ureter menembus dinding kandung kemih pada fundusnya, terpisah dalam jarak
antara 4-5 cm, miring dari arah lateral, dari belakang atas ke medial depan bawah.
Ureter berjalan sepanjang 2 cm di dalam kandung kemih dan berakhir pada
suatu celah sempit (ostium ureter).

Kandung kemih (Buli-buli)
Pada dasar buli-buli, kedua muara ureter dan meatus uretra internum
membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Buli-buli berfungsi
Pandangan umum alat-alat
urogenital wanita
Penampang frontal melalui
kandung kemh pria
menampung urin dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam
mekanisme berkemih. Kapasitas maksimal (volume) untuk orang dewasa + 350-
450 ml; kapasitas buli-buli pada anak menurut Koff :
Kapasitas buli-buli = [ Umur (tahun) + 2] x 30 ml
Bila buli-buli terisi penuh, verteks dan dinding atas terangkat dan
membentuk suatu bantal yang lonjong dan pipih, yang dapat meluas sampai tepi
atas simfisis pubis. Selama kontraksi otot kandung kemih, ketika dikosongkan
selama berkemih, bentuknya menjadi bulat.
Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli
melalui proses miksi. Secara anatomis, uretra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
uretra posterior dan uretra anterior. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra
interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra
eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan uretra posterior.
Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh saraf simpatik
sehingga saat buli-buli penuh, sfingter terbuka. Sfingter ani eksterna terdiri atas
otot bergaris yang dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai
keinginan seseorang; pada saat kencing, sfingter ini terbuka dan tetap menutup
pada saat menahan kencing.
Panjang uretra wanita + 3-5 cm dengan diameter 8 mm, berada di bawah
simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. + 1/3 medial uretra
terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot sfingter
uretra eksterna dan tonus otot Levator ani berfungsi mempertahankan agar urin
tetap berada di dalam buli-buli pada saat perasaan ingin miksi. Miksi terjadi bila
tekanan intra vesika melebihi tekanan intrauretra akibat kontraksi otot detrusor,
dan relaksasi sfingter uretra eksterna.
Panjang uretra pria dewasa + 23-25 cm. Uretra posterior pria terdiri atas
uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat,
dan uretra pars membranasea. Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus
oleh korpus spongiosum penis; uretra anterior terdiri atas : (1) pars bulbosa, (2)
pars pendularis, (3) fossa navikularis, dan (4) meatus uretra eksterna.

2.3 Fisiologi
1. Pengisian urine
Pada pengisian kandung kencing, distensi yang timbul ditandai dengan adanya
aktivitas sensor regang pada dinding kandung kencing. Pada kandung kencing
normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab terdapat
inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari kandung kencing.
Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh antara pusat
miksi pons dengan medula spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance
kandung kencing kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi
yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks s2-S4. Selain
akomodasi kandung kencing, kontinens selama pengisian memerlukan fasilitasi
aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi
dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir keluar
2. Pengaliran urine
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari distensi
kandung kencing yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif
terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunter tidak diketahui dengan
jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis
yang diikuti dengan kontraksi kandung kencing. Inhibisi tonus simpatis pada leher
kandung kencing juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi
tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung kemih yang
lengkap tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan
mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi.

2.4. Etiologi
Penyebab retensi urin :
1. Kelemahan otot detrusor :
- Kelainan medulla spinalis.
- Kelainan saraf perifer.
2. Hambatan / obstruksi uretra :
- Batu uretra.
- Klep uretra.
- Striktura uretra.
- Stenosis meatus uretra.
- Tumor uretra.
- Fimosis.
- Parafimosis.
- Gumpalan darah.
- Hiperplasia prostat.
- Karsinoma prostat.
- Sklerosis leher buli-buli.
3. Inkoordinasi antara Detrusor-Uretra :
Cedera kauda ekuina.

Menurut lokasi, penyebab retensi urin :
a. Supravesikal :
Kerusakan terjadi pada pusat miksi di Medula Spinalis setinggi Th12-L1;
kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis, baik sebagian atau seluruhnya.

b. Vesikal :
Berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni pada pasien
DM atau penyakit neurologis.
c. Infravesikal (distal kandung kemih) :
Berupa pembesaran prostat (kanker, prostatitis), tumor pada leher vesika,
fimosis, stenosis meatus uretra, tumor penis, striktur uretra, trauma uretra, batu
uretra, sklerosis leher kandung kemih (bladder neck sclerosis).
Pada retensi urin kronik, disebabkan oleh : obstruksi uretra yang
semakin hebat, sehingga akhirnya kandung kemih mengalami dilatasi. Pada
keadaan ini, urin keluar terus menerus karena kapasitas kandung kemih
terlampaui. Penderita tidak mampu berkemih lagi, tetapi urin keluar terus tanpa
kendali.

2.5. Klasifikasi
Retensi urin dapat terjadi secara akut, yaitu : penderita secara tiba-tiba
tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit yang hebat di daerah
suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan, seringkali urin
belum menetes atau sedikit-sedikit; dapat pula terjadi secara kronis, yaitu
penderita secara perlahan-lahan dan dalam waktu yang lama tidak dapat miksi,
merasakan nyeri di daerah suprapubik hanya sedikit / tidak ada sama sekali
walaupun buli-buli penuh.
Retensi urin dapat terjadi sebagian, yaitu penderita masih bisa
mengeluarkan urin, tetapi terdapat sisa kencing yang cukup banyak di kandung
kemih ; pada retensi urin total, penderita sama sekali tidak dapat mengeluarkan
urin.

2.6. Patofisiologi
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian
dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih
dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom
dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap
kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi
saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis
dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan
otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra. Pengeluaran urine secara
normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot detrusor dan relaksasi
saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang
mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik.
Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung
ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls
saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral
spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan
aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra
trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk
merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya
urine dengan resistensi saluran yang minimal. Retensi postpartum paling sering
terjadi. Setelah terjadi kelahiran pervaginam spontan, disfungsi kandung kemih
terjadi 9-14 % pasien; setelah kelahiran menggunakan forcep, angka ini
meningkat menjadi 38 %. Retensi ini biasanya terjadi akibat dari dissinergis
antara otot detrusor-sphincter dengan relaksasi uretra yang tidak sempurna yang
kemudian menyebabkan nyeri dan edema. Sebaliknya pasien yang tidak dapat
mengosongkan kandung kemihnya setelah sectio cesaria biasanya akibat dari
tidak berkontraksi dan kurang aktifnya otot detrusor

2.7. Diagnosis
Gambaran Klinis
- Rasa tidak nyaman hingga rasa nyeri yang hebat pada perut bagian
bawah hingga daerah genital.
- Tumor pada perut bagian bawah.
- Tidak dapat kencing.
- Kadang-kadang urin keluar sedikit-sedikit, sering, tanpa disadari, tanpa
bisa ditahan
(inkontinensi paradoksa).
Pada retensi urin akut, penderita akan merasa nyeri yang hebat di daerah
suprapubik, dan bila penderita tidak terlalu gemuk, akan terlihat / teraba benjolan
di daerah suprapubik.
Pada retensi urin totalis, penderita sama sekali tidak bisa miksi, gelisah,
mengedan bila ingin miksi, dan terjadi inkontinensia paradoksal.
Pada anamnesa, pasien akan mengeluh sulit buang air kecil. Pada inspeksi,
palpasi dan perkusi, akan didapatkan buli-buli yang mengembang. Pada perkusi
akan terdengar pekak, yang menentukan adanya buli-buli yang penuh pada
penderita yang gemuk.
Pada pemeriksaan bimanual : 1 tangan di atas suprapubik dan jari telunjuk
tangan lainnya melakukan colok dubur.



Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 20
2.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos abdomen menunjukkan bayangan buli-buli penuh,
mungkin terlihat bayangan batu opak pada uretra atau pada buli-buli.
b. Uretrografi akan tampak adanya striktur uretra.
c. Pemeriksaan darah rutin : Hb, leukosit, LED, Trombosit.
d. Pemeriksaan Faal Ginjal : kreatinin, ureum, klirens kreatinin.
e. Pemeriksaan urinalisa : warna, berat jenis, pH.

2.9 Komplikasi
- Buli-buli akan mengembang melebihi kapasitas maksimal sehingga tekanan
didalam lumennya dan tegangan dari dindingnya akan meningkat.
- Bila keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat didalam
lumen akan menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga terjadi
hidroureter dan hidronefrosis dan lambat laun terjadi gagal ginjal.
- Bila tekanan didalam buli-buli meningkat dan melebihi besarnya hambatan
di daerah uretra, urin akan memancar berulang-ulang (dalam jumlah sedikit)
tanpa bisa ditahan oleh penderita, sementara itu buli-buli tetap penuh dengan
Pemeriksaan colok dubur
urin. Keadaan ini disebut : inkontinensi paradoksa atau "overflow
incontinence"
- Tegangan dari dinding buli-buli terns meningkat sampai tercapai batas
toleransi dan setelah batas ini dilewati, otot buli-buli akan mengalami dilatasi
sehingga kapasitas buli-buli melebihi kapasitas maksimumnya, dengan akibat
kekuatan kontraksi otot buli-buli akan menyusut.
- Retensi urin merupakan predileksi untuk terjadinya infeksi saluran kemih
(ISK) dan bila ini terjadi, dapat menimbulkan keadaan gawat yang serius
seperti pielonefritis, urosepsis, khususnya pada penderita usia lanjut.
Urin yang tertahan lama di dalam buli-buli, secepatnya harus dikeluarkan, karena
jika dibiarkan, akan menimbulkan masalah, seperti : mudah terjadi infeksi saluran
kemih, kontraksi otot buli-buli menjadi lemah, timbul hidroureter dan
hidronefrosis yang selanjutnya akan dapat menimbulkan gagal ginjal.
Akibat retensi urin kronis dapat terjadi : trabekulasi (serat-serat otot
detrusor menebal), sacculae (tekanan intravesika meningkat, selaput lendir
diantara otot-otot membesar), divertikel, infeksi, fistula, pembentukan batu,
overflow incontinence.



BAB III
PENANGANAN RETENSI URIN

Urin dapat dikeluarkan dengan cara Kateterisasi atau Sistostomi.
Penanganan pada retensi urin akut berupa : kateterisasi bila gagal dilakukan
Sistostomi.

3.1. Kateterisasi
Kateterisasi Uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli melalui
uretra.
Tujuan Kateterisasi
Tindakan ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun untuk tujuan
terapi.
Tindakan diagnosis antara lain adalah :
1. Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urin guna
pemeriksaan kultur urin.
2. Mengukur residu (sisa) urin yang dikerjakan sesaat setelah pasien selesai
miksi.
3. Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi, antara lain :
Sistografi atau pemeriksaan adanya refluks vesiko-ureter melalui pemeriksaan
voiding cysto-urethrography (VCUG).
4. Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika.
5. Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar.
Indikasi kateterisasi :
1. Mengeluarkan urin dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal, baik
yang disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun oleh benda asing (bekuan
darah) yang menyumbat uretra.
2. Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli.
3. Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah, yaitu pada
operasi prostatektomi, vesikolitektomi.
4. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi uretra.
5. Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik
untuk buli-buli.
Kontraindikasi kateterisasi :
Ruptur uretra, ruptur buli-buli, bekuan darah pada buli-buli.
Macam-macam Kateter
Kateter dibedakan menurut ukuran, bentuk, bahan, sifat, pemakaian,
sistem retaining (pengunci), dan jumlah percabangan. Ukuran Kateter Ukuran
kateter dinyatakan dalam skala Cherieres (French). Ukuran ini merupakan ukuran
diameter luar kateter.
1 Cheriere (Ch) atau 1 French (Fr) = 0,33 milimeter atau
1 milimeter = 3 Fr
Jadi, kateter yang berukuran 18 Fr artinya diameter luar kateter itu adalah 6 mm.
Kateter yang mempunyai ukuran yang sama belum tentu mempunyai diameter
lumen yang sama karena adanya perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter
itu.
Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless), karet (lateks), lateks
dengan lapisan silikon (siliconized) dan silikon.
Bentuk Kateter
Straight catheter merupakan kateter yang terbuat dari karet (lateks),
bentuknya lurus dan tanpa ada percabangan. Contoh kateter jenis ini adalah
kateter Robinson dan kateter Nelaton.


Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 230
Coude catheter yaitu kateter dengan ujung lengkung dan ramping. Kateter
ini dipakai jika usaha kateterisasi dengan memakai kateter berujung lurus
mengalami hambatan yaitu pada saat kateter masuk ke uretra pars bulbosa yang
berbentuk huruf S, adanya hiperplasia prostat yang sangat besar, atau hambatan
akibat sklerosis leher buli-buli. Contoh jenis kateter ini adalah kateter Tiemann.

Tindakan Kateterisasi
Pada wanita
Pemasangan kateter pada wanita jarang menjumpai kesulitan karena uretra
wanita lebih pendek. Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari
muara uretra karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara uretra
oleh tumor uretra / tumor vaginalis / serviks. Untuk itu mungkin perlu dilakukan
dilatasi dengan busi a boule terlebih dahulu.
Pada pria
Teknik kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :
1. Setelah dilakukan desinfeksi pada penis dan daerah sekitarnya, daerah genitalia
dipersempit dengan kain steril.
2. Kateter yang telah diolesi dengan pelicin / jelly dimasukkan ke dalam orifisium
uretra eksterna.
3. Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah daerah sfingter
uretra eksterna akan terasa tahanan; pasien diperintahkan untuk mengambil
nafas dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi lebih relaks. Kateter terus
didorong hingga masuk ke buli-buli yang ditandai dengan keluarnya urin dari
lubang kateter.
4. Kateter terus didorong masuk ke buli-buli hingga percabangan kateter
menyentuh meatus uretra eksterna.
5. Balon kateter dikembangkan dengan 5-10 ml air steril.
6. Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa penampung
(urinbag).
7. Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha bagian proksimal.

3.2 Kateterisasi Suprapubik
Kateterisasi Suprapubik adalah memasukkan kateter dengan membuat lubang
pada buli-buli melalui insisi suprapubik dengan tujuan mengeluarkan urin.
Kateterisasi suprapubik ini biasanya dikerjakan pada :
1. Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra.
2. Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra, misalkan pada
ruptur uretra atau dugaan adanya ruptur uretra.
3. Untuk mengukur tekanan intravesikal pada studi sistotonometri.
4. Mengurangi penyulit timbulnya sindroma intoksikasi air pada saat TUR
Prostat.
Pemasangan kateter sistostomi dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka
atau dengan perkutan (trokar) sistostomi.

Sistostomi Trokar
Kontraindikasi Sistostomi Trokar : tumor buli-buli, hematuria yang belum
jelas penyebabnya, riwayat pernah menjalani operasi daerah abdomen / pelvis,
buli-buli yang ukurannya kecil (contracted bladder), atau pasien yang
mempergunakan alat prostesis pada abdomen sebelah bawah.
Tindakan ini dikerjakan dengan anestesi lokal dan mempergunakan alat
trokar.






Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 239
Alat-alat dan bahan yang digunakan :
1. Kain kasa steril.
2. Alat dan obat untuk desinfeksi (yodium povidon).
3. Kain steril untuk mempersempit lapangan operasi.
4. Semprit beserta jarum suntik untuk pembiusan lokal dan jarum yang telah diisi
dengan aquadest steril untuk fiksasi balon kateter.
5. Obat anestesi lokal.
6. Alat pembedahan minor, antara lain : pisau, jarum jahit kulit, benang sutra
(zeyde).
7. Alat trokar dari Campbel atau trokar konvensional.
8. Kateter Foley (ukuran tergantung alat trokar yang digunakan). Jika
mempergunakan alat trokar konvensional, harus disediakan kateter Naso-
gastrik(NG tube) no. 12.
9. Kantong penampung urine (urinebag).
Langkah-langkah Sistostomi Trokar :
1. Desinfeksi lapangan operasi.
2. Mempersempit lapangan operasi dengan kain steril.
3. Injeksi (infiltrasi) anestesi lokal dengan Lidokain 2% mulai dari kulit,
subkutis hingga ke fasia.
4. Insisi kulit suprapubik di garis tengah pada tempat yang paling cembung + 1
cm, kemudian diperdalam sampai ke fasia.
5. Dilakukan pungsi percobaan melalui tempat insisi dengan semprit 10 cc untuk
memastikan tempat kedudukan buli-buli.
6. Alat trokar ditusukkan melalui luka operasi hingga terasa hilangnya tahanan
dari fasia dan otot-otot detrusor.
7. Alat obturator dibuka dan jika alat itu sudah masuk ke dalam buli-buli akan
keluar urine memancar melalui sheath trokar.
8. Selanjutnya bagian alat trokar yang berfungsi sebagai obturator (penusuk) dan
sheath dikeluarkan melalui buli-buli sedangkan bagian slot kateter setengah
lingkaran tetap ditinggalkan.
9. Kateter Foley dimasukkan melalui penuntun slot kateter setengah lingkaran,
kemudian balon dikembangkan dengan memakai aquadest 10 cc. Setelah
balon dipastikan berada di buli-buli, slot kateter setengah lingkaran
dikeluarkan dari buli-buli dan kateter dihubungkan dengan kantong
penampung urin (urinbag).
10. Kateter difiksasikan pada kulit dengan benang sutra dan luka operasi ditutup
dengan kain kasa steril.




Menusukkan alat trokar ke dalam buli-buli

Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 241


Setelah yakin trokar masuk ke buli-buli, obturator dilepas dan hanya
slot kateter setengah lingkaran ditinggalkan

Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 241
Jika tidak tersedia alat trokar dari Campbell, dapat pula digunakan alat
trokar konvensional, hanya saja pada langkah ke-8, karena alat ini tidak
dilengkapi dengan slot kateter setengah lingkaran maka kateter yang digunakan
adalah NG tube nomer 12 F. Kateter ini setelah dimasukkan ke dalam buli-buli
pangkalnya harus dipotong untuk mengeluarkan alat trokar dari buli-buli.
Penyulit
Beberapa penyulit yang mungkin terjadi pada saat tindakan maupun setelah
pemasangan kateter sistotomi adalah :
1. Bila tusukan terlalu mengarah ke kaudal dapat mencederai prostat.
2. Mencederai rongga / organ peritoneum.
3. Menimbulkan perdarahan.
4. Pemakaian kateter yang terlalu lama dan perawatan yang kurang baik akan
menimbulkan infeksi, ekskrutasi kateter, timbul batu saluran kemih, degenerasi
maligna mukosa buli-buli, dan terjadi refluks vesiko-ureter.

Sistostomi Terbuka
Sistostomi terbuka dikerjakan bila terdapat kontraindikasi pada tindakan
sistostomi trokar atau bila tidak tersedia alat trokar. Dianjurkan untuk melakukan
sistostomi terbuka jika terdapat jaringan sikatriks / bekas operasi di daerah
suprasimfisis, sehabis mengalami trauma di daerah panggul yang mencederai
uretra atau buli-buli, dan adanya bekuan darah pada buli-buli yang tidak mungkin
dilakukan tindakan per uretram. Tindakan ini sebaiknya dikerjakan dengan
memakai anestesi umum.
Tindakan
1. Desinfeksi seluruh lapangan operasi.
2. Mempersempit daerah operasi dengan kain steril.
3. Injeksi anestesi lokal, jika tidak mempergunakan anestesi umum.
4. Insisi vertikal pada garis tengah + 3-5 cm diantara pertengahan simfisis dan
umbilicus.
5. Insisi diperdalam sampai lemak subkutan hingga terlihat linea alba yang
merupakan pertemuan fasia yang membungkus muskulus rektus kiri dan
kanan. Muskulus rektus kiri dan kanan dipisahkan sehingga terlihat jaringan
lemak, buli-buli dan peritoneum. Buli-buli dapat dikenali karena warnanya
putih dan banyak terdapat pembuluh darah.
6. Jaringan lemak dan peritoneum disisihkan ke kranial untuk memudahkan
memegang buli-buli.
7. Dilakukan fiksasi pada buli-buli dengan benang pada 2 tempat.
8. Dilakukan pungsi percobaan pada buli-buli diantara 2 tempat yang telah
difiksasi.
9. Dilakukan pungsi dan sekaligus insisi dinding buli-buli dengan pisau tajam
hingga keluar urin, yang kemudian (jika perlu) diperlebar dengan klem. Urin
yang keluar dihisap dengan mesin penghisap.
10. Eksplorasi dinding buli-buli untuk melihat adanya : tumor, batu, adanya
perdarahan, muara ureter atau penyempitan leher buli-buli.
11. Pasang kateter Foley ukuran 20F-24F pada lokasi yang berbeda dengan luka
operasi.
12. Buli-buli dijahit 2 lapis yaitu muskularis-mukosa dan sero-muskularis.
13. Ditinggalkan drain redon kemudian luka operasi dijahit lapis demi lapis.
Balon kateter dikembangkan dengan aquadest 10 cc dan difiksasikan ke kulit
dengan benang sutra.

3.3. Prognosis
Prognosis pada penderita dengan retensi urin akut akan bonam jika retensi
urin ditangani secara cepat.









BAB IV
RINGKASAN

Retensi Urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urin
yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli
terlampaui.
Menurut lokasi, penyebab retensi urin :
a.Supravesikal :
Kerusakan terjadi pada pusat miksi di Medula Spinalis setinggi
Th12-L1.
b. Vesikal :
Berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni pada
pasien DM atau penyakit neurologis.
c. Infravesikal (distal kandung kemih)
Penanganan retensio urin dengan mengevakuasi urin dari kandung kemih.
Urin dapat dikeluarkan dengan cara Kateterisasi atau Sistostomi. Penanganan
pada retensi urin akut berupa : kateterisasi bila gagal dilakukan Sistostomi.





















Daftar Pustaka


Retensi Urin Permasalahan dan Penatalaksanaan Widjoseno Gardjito Lab/UPF
Ilmu Bedah FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Manifestasi Neurologis Gangguan Miksi. Iskandar Japardi. Fakultas Kedokteran
Bagian Bedah. Universitas Sumatera Utara

Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter Menetap
Pertama Kali dan Berulang.Bagian Bedah. Universitas Sumatera Utara


Anatomi dan Fisiologi Saluran Kemih.http//
www.scribd.com/doc/38991454/Anatomi-Fisiologi-Ginjal

Purnomo B.B . 2003. Dasar-dasar Urologi. SMF Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya. CV.Infomedika : Jakarta. 227-233.

Anda mungkin juga menyukai