Anda di halaman 1dari 20

3

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Infeksi Luka Operasi (CDC)
Infeksi luka pada umumnya ditandai dengan tanda-tanda klasik meliputi
kemerahan (rubor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), peningkatan suhu
(kalor) pada jaringan luka dan demam. Pada akhirnya, luka akan terisi oleh
jaringan nekrotik, neutrofil, bakteri dan cairan plasma yang secara bersama-sama
akan membentuk nanah (pus).
5

Pedoman CDC (Center for Disease Control and Prevention) dalam
mencegah terjadinya infeksi luka operasi, yang dipublikasikan pada tahun 1999,
merinci tentang kriteria untuk mendefinisikan ILO. Seperti tercantum pada
Gambar 1, ILO dibedakan menjadi 3, berdasarkan dalamnya infeksi berpenetrasi
pada luka, yaitu insisi dangkal (superficial), insisi dalam dan organ/rongga. Luka
yang mengalami infeksi dalam 30 hari setelah operasi harus diklasifikasikan
sebagai ILO. Namun jika tindakan operasi menyangkut pemasangan implan atau
prostesis, maka jangka waktu (window periode) terjadinya infeksi menjadi lebih
panjang, yaitu 1 tahun.
6

4


Gambar 1. Lapisan Daerah Insisi

B. Epidemiologi
Insidensi terjadinya ILO pasca operasi section caesarean yang dilaporkan
bervariasi, mulai dari 0,3% di Turki sampai 17% di Australia. Dari beberapa
rumah sakit yang dilaporkan oleh National Nosocomial Infections Surveillance
(NNIS), tingkat terjadinya ILO pasca operasi section caesarean berkisar dari
2,8% sampai 6,7%. Di Amerika Serikat, saat ini ada lebih dari 40 juta pasien
rawat inap dan 31 juta pasien rawat jalan yang menjalani operasi, dengan minimal
2% dari pasien, atau sekitar 1,4 juta, mengalami infeksi luka operasi (ILO) dengan
berbagai derajat keparahan.
7

Dari beberapa studi, dilaporkan ILO rata-rata ditemukan sekitar 10% pada
wanita pasca operasi section caesarean yang tidak mendapatkan terapi antibiotik
profilaksis. Insidensi ILO pasca operasi section caesarean ditemukan lebih tinggi
pada operasi emergensi dibandingkan operasi elektif. Insidensi ILO juga lebih
5

tinggi pada pasien dengan status sosioekonomi rendah dibandingkan dengan yang
berstatus sosioekonomi tinggi.
8

C. Klasifikasi Luka
Risiko terjadinya infeksi bervariasi, tergantung pada lokasi dilakukannya
operasi. Sebagai contoh, tindakan invasif yang menembus daerah tubuh yang
mengandung banyak koloni bakteri, seperti usus, akan lebih rentan untuk
mengalami infeksi. Klasifikasi luka menurut CDC dibagi menjadi 4 kelas
berdasarkan tingkat kontaminasinya, yaitu:
3

- Luka bersih
Luka dianggap bersih ketika tindakan operasi tidak masuk ke dalam lumen
tubuh yang mengandung koloni bakteri normal. Tingkat kemungkinan terjadinya
ILO pada kelas ini kurang dari 2%, tergantung pada berbagai variabel klinis.
Kontaminan sering berasal dari lingkungan kamar operasi, tim bedah, dan yang
paling umum adalah kontaminasi dari kulit.
- Luka bersih terkontaminasi
Luka dianggap bersih terkontaminasi ketika prosedur operasi masuk ke
dalam rongga tubuh dengan koloni bakteri, namun prosedur operasi masih dalam
situasi yang dapat dikontrol dan direncanakan (elektif). Tingkat kemungkinan
terjadinya ILO pada kelas ini berkisar dari 4% hingga 10%.
- Luka terkontaminasi
Ketika kontaminasi nyata didapatkan namun tidak ditemukan adanya
tanda-tanda infeksi yang jelas, maka luka dianggap terkontaminasi. Seperti halnya
pada luka bersih terkontaminasi, yang menjadi kontaminan adalah bakteri yang
6

ada pada daerah operasi itu sendiri. Tingkat kemungkinan terjadinya ILO pada
kelas ini dapat melebihi 20%.
- Luka kotor
Jika tanda-tanda infeksi aktif telah didapatkan secara nyata pada daerah
operasi, maka luka dianggap sebagai luka kotor. Bakteri patogen terlibat dalam
terjadinya proses infeksi pada luka. Tingkat kemungkinan terjadinya ILO pada
kelas ini dapat melebihi 40%.
Menurut klasifikasi luka yang dimodifikasi, luka operasi section caesarean
diklasifikasikan sebagai berikut:
7
Kelas I: jika ketuban tidak pecah atau persalinan tidak memanjang
Kelas II: jika didapatkan pecah ketuban kurang dari 2 jam
Kelas III: jika pecah ketuban lebih dari 2 jam
Kelas IV: jika didapatkan cairan ketuban yang purulen

D. Faktor Risiko ILO
Berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi beragam. Yang
paling sering dikutip dalam literatur termasuk berat badan ibu yang ekstrim (kurus
atau obesitas), partus lama atau ketuban pecah dini, pemeriksaan panggul
berulang, durasi operasi yang lama, insisi kulit vertikal, kategori operasi, prosedur
multipel, manual plasenta, ibu usia muda, kondisi ibu preoperatif, kehilangan
darah yang terkait dengan prosedur operasi, dan tidak diberikannya antibiotik
profilaksis. Penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor ini untuk menentukan
pasien-pasien yang berisiko tinggi dan membutuhkan langkah-langkah
pencegahan yang spesifik.
7,8
7

Analisa mengenai efek gabungan dari faktor intrinsik (endogen) dan faktor
ekstrinsik (eksogen) sangat diperlukan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya
ILO. Faktor intrinsik adalah faktor yang berhubungan dengan pasien, sedangkan
faktor ekstrinsik adalah faktor yang berhubungan dengan manajemen dan
perawatan. Meskipun faktor intrinsik tidak dapat diubah, faktor ini dapat
diidentifikasi dan dikelola.
4
Sejumlah faktor potensial, seperti status gizi,
merokok, penggunaan antibiotik dan teknik intraoperatif yang tepat dapat
ditingkatkan guna diperolehnya hasil operasi yang positif.
3

Faktor risiko obstetri yang terkait untuk terjadinya ILO adalah lamanya
waktu selaput ketuban pecah sebelum operasi section caesarean. Ketika selaput
ketuban pecah, cairan amnion tidak lagi steril dan dapat berperan sebagai media
pertumbuhan bakteri yang berkontak dengan uterus dan kulit yang diinsisi.
Penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara pecahnya selaput ketuban
yang berkepanjangan dengan peningkatan risiko terjadinya ILO.
4
Terjadinya ILO terkait dengan faktor yang berhubungan dengan operasi
yang dapat berisiko infeksi. Centers for Disease Control and Preventions (CDC)
mengembangkan National Nosocomial Infection Surveillance System (NNIS) Risk
Index yang secara internasional telah diakui untuk menilai faktor risiko terjadinya
ILO. Faktor risiko terjadinya ILO diberi rentang nilai dari nol sampai tiga poin
untuk ada atau tidak adanya 3 variabel berikut:
3,4

- 1 poin jika pasien menjalani operasi yang diklasifikasikan sebagai luka
terkontaminasi atau luka kotor.
8

- 1 poin jika status fisik pasien berdasarkan penilaian ASA (American Society
of Anesthesiologists) preoperatif adalah kelas III, IV, atau V. Lihat Tabel 1
untuk deskripsi dari ASA Skor.
- 1 poin jika lama operasi melebihi persentil ke-75 berdasarkan waktu operasi
yang ditentukan dari database NNIS (T point). Lihat Tabel 2 untuk lama
operasi dalam jam yang mewakili persentil ke-75 untuk beberapa prosedur
bedah yang umum dilakukan.
ASA skor mencerminkan status kesehatan pasien sebelum operasi.
Klasifikasi luka mencerminkan tingkat kontaminasi luka. Durasi operasi
mencerminkan aspek teknis operasi. Semakin tinggi nilai NNIS Risk Index, maka
semakin tinggi pula kemungkinan untuk terjadinya ILO.
4

Tabel 1. Status Fisik ASA
3

Kelas Status Fisik
I Pasien normal yang sehat diluar kelainan yang akan dioperasi
II Pasien dengan penyakit sistemik ringan
III Pasien dengan penyakit sistemik berat yang tidak mengancam jiwa
IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam jiwa
V Pasien sekarat yang diperkirakan tidak bertahan hidup dalam 24
jam dengan atau tanpa operasi
E Kasus-kasus emergensi diberi tambahan huruf E di belakang
angka








9

Tabel 2. T Point Beberapa Prosedur Operasi
3
Operasi T Point (jam)
Coronary artery bypass graft 5
Operasi kantong empedu, hati, atau pankreas 4
Kraniotomi 4
Operasi kepala dan leher 4
Operasi kolon 3
Operasi joint prosthesis 3
Operasi vascular 3
Abdominal atau vaginal hysterectomy 2
Ventricular shunt 2
Herniorrhaphy 2
Appendectomy 1
Amputasi anggota gerak 1
Cesarean section 1

Faktor risiko lain yang diduga berperan dalam terjadinya ILO adalah setiap
benda asing yang ada di daerah tubuh yang dioperasi dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Secara umum, penggunaan benang monofilamen
menurunkan risiko terjadinya infeksi dibandingkan penggunaan benang jenis lain.
Jahitan subkutikuler menggunakan benang yang dapat diserap juga menurunkan
risiko infeksi.
4

Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM), khususnya DM tipe 2, prevalensinya semakin
meningkat di Amerika, dengan perkiraan sekitar 7%, atau 20 juta orang menderita
penyakit ini, dengan sepertiga dari mereka tidak menyadari bahwa mereka
10

menderita penyakit DM.

Persentase pasien dengan DM yang menjalani operasi
tinggi pada beberapa jenis operasi. Satu studi mencatat bahwa 44% dari
pasien yang menjalani bedah jantung menderita DM, dimana 48% dari penderita
tidak terdiagnosis DM pada saat preoperatif.

Diketahui bahwa 25% sampai 30%
pasien yang menjalani operasi CABG (coronary artery bypass graft) menderita
DM. DM merupakan prediktor utama yang menentukan morbiditas dan mortalitas
pasien post operasi CABG, dimana sekitar 35% sampai 50% komplikasi terjadi
pada pasien dengan DM.
9
Hasil yang buruk pasca operasi pada pasien dengan DM
diyakini terkait dengan komplikasi yang sudah ada akibat adanya hiperglikemia
kronis, yang meliputi penyakit aterosklerosis pada pembuluh darah
dan autonomik neuropati perifer. Sangat penting untuk melakukan evaluasi
preoperatif pada semua pasien yang akan menjalani operasi agar tidak terjadi
kasus DM yang tidak terdiagnosis dan/atau DM yang tidak terkontrol. Pasien yang
akan menjalani operasi harus dilakukan pemeriksaan kadar gula darah puasa
(GDP) dan juga sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar Hemoglobin A1c
(HbA1c) untuk mengevaluasi apakah pasien memiliki penyakit DM sebelumnya.
Jika hasil dari salah satu atau kedua tes ini menunjukkan adanya diabetes yang
tidak terkontrol (GDP > 110 mg/dL atau HbA1c 7% ), maka kadar glukosa
pasien harus dikontrol terlebih dahulu sebelum dilakukan operasi.
10,11




11


Hiperglikemia perioperatif
Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar pasien yang menjalani operasi
mayor mengalami keadaan hiperglikemia pada saat perioperatif. Tidak seperti
DM, beberapa ilmuwan masih mempertanyakan apakah hiperglikemia perioperatif
merupakan faktor risiko yang signifikan untuk terjadinya efek samping yang
merugikan pasca operasi. Perioperatif hiperglikemia pada pasien non diabetes
baru-baru ini diketahui sebagai faktor risiko potensial untuk hasil yang merugikan
post operasi besar.
12
Namun hal ini masih belum diketahui secara pasti apakah
orang tersebut sebenarnya merupakan penderita diabetes namun tidak terdiagnosis
atau memang orang tersebut bukan penderita diabetes dan mengalami
hiperglikemia perioperatif sebagai respon terhadap stres operasi. Juga tidak
diketahui secara pasti apakah hiperglikemia merupakan penyebab terjadinya hasil
operasi yang buruk ataukah hiperglikemia memperburuk efek samping yang telah
terjadi, karena selama ini kadar glukosa serum sering diukur ketika hasil operasi
yang buruk telah terjadi. Studi lain berusaha untuk mengklarifikasi masalah ini
dengan secara khusus mengamati penderita hiperglikemia perioperatif yang
mengalami infeksi pasca operasi. Para peneliti ini beranggapan bahwa sewaktu
terjadinya peningkatan kadar glukosa serum perioperatif menunjukkan bahwa ini
merupakan faktor risiko terjadinya infeksi pasca operasi atau pertanda
dari suatu proses infeksi. Para penulis mengamati bahwa periode awal pasca
operasi, dimana pasien berada pada fase stres fisiologis terbesar, merupakan
waktu dengan risiko tertinggi untuk terjadinya ILO. Periode waktu ini juga
merupakan periode dimana kadar glukosa serum mencapai kadar tertinggi, baik
12

pada pasien diabetes maupun pada pasien non-diabetes. Mereka menyimpulkan
bahwa tingkat terjadinya infeksi nosokomial akan lebih tinggi ketika
hiperglikemia ditemukan pada dua hari pertama pasca operasi, terlepas dari
diabetes yang sudah ada sebelumnya.
3

Ada dua mekanisme utama yang menempatkan pasien pada keadaan
hiperglikemia akut perioperatif yang berakibat meningkatnya risiko terjadinya
ILO. Mekanisme pertama adalah menurunnya sirkulasi di pembuluh darah, yang
berakibat berkurangnya perfusi jaringan dan terganggunya fungsi sel.
13

Mekanisme kedua adalah menurunnya aktivitas dari imunitas seluler dalam fungsi
kemotaksis, fagositosis dan membunuh pada sel polimorfonuklear serta
monosit/makrofag yang telah terbukti terjadi pada kondisi hiperglikemia akut.
Kedua gangguan pertahanan host alami ini meningkatkan risiko terjadinya infeksi
jaringan pada pasien bedah dengan atau tanpa diabetes.
14

Mengontrol hiperglikemia perioperatif membutuhkan koordinasi terpadu
oleh bagian anestesi, bedah, keperawatan dan farmasi. Bagian anestesi harus siap
untuk memeriksa GDS pasien preoperatif dan menerapkan terapi insulin sedini
mungkin bila diindikasikan. Dokter bedah harus bersiap untuk melanjutkan
kontrol glukosa darah sampai minimal 48 jam pasca operasi. Staf perawat harus
memantau, mengkalibrasi dan harus mengontrol agar normoglikemia tetap
bertahan selama pasien menjalani rawat inap. Perawat juga perlu memberikan
edukasi kepada pasien mengenai cara mengontrol kadar glukosa ketika pasien
akan dipulangkan, terutama pada pasien yang baru saja diketahui mengalami
13

hiperglikemia preoperatif. Pengobatan penting untuk pasien diabetes selama fase
perawatan, dengan peran serta apoteker di lini depan dalam upaya ini.
3


Kegemukan
Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana indeks massa tubuh
seseorang lebih dari atau sama dengan 30 kg/m
2
. Telah dilaporkan tingkat
terjadinya infeksi pasca operasi section caesarean lebih besar kemungkinannya
pada wanita dengan obesitas. Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya ILO
yang terbukti sulit untuk ditekan.
4
Seringkali tidak ada cukup waktu sebelum
operasi untuk secara signifikan menurunkan tingkat obesitas pasien. Namun,
evaluasi mengenai adanya diabetes dan pengontrolan kadar glukosa serum, akan
meminimalkan risiko terjadinya ILO pada pasien dengan obesitas. Selain itu,
operasi besar sering dipandang sebagai peristiwa yang mengubah hidup dan
mungkin dapat memotivasi pasien agar menerapkan pola makan dan gaya hidup
positif lainnya. Edukasi secara perorangan dan pengaturan diet dari ahli gizi, serta
dukungan dari komunitas yang berusaha untuk menurunkan berat badan juga
menunjukkan efek positif jangka panjang.
15


Malnutrisi
Malnutrisi telah lama diidentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya infeksi
nosokomial, termasuk ILO, pada pasien yang menjalani operasi. Pasien yang
kekurangan gizi diketahui memiliki respon imun yang lebih rendah terhadap
infeksi. Pengukuran level albumin serum paling umum digunakan sebagai
14

penanda untuk mengidentifikasi status gizi seseorang, dengan kisaran normal 3,4 -
5,4 g/dL.
3

Ketika pasien didiagnosis dengan malnutrisi, penting untuk
mengidentifikasi etiologi dari keadaan ini. Pada umumnya pasien tua dengan
kekurangan energi-protein disebabkan oleh berbagai alasan, antara lain
kemiskinan dan mobilitas yang terbatas, isolasi sosial dan depresi, kondisi gigi
geligi yang buruk, anoreksia, serta penurunan kognitif dan status fungsional.
Intervensi yang mungkin dilakukan mencakup diskusi terhadap keluarga,
konsultasi dengan ahli gigi, konseling diet dan pelayanan sosial. Tergantung pada
tingkat urgensi operasi, penundaan pembedahan sampai status gizi pasien
membaik mungkin dapat dilakukan. Puasa preoperatif dan postoperatif harus
dilakukan seminimal mungkin pada kelompok pasien ini.
16


Merokok
Tak disangka, malnutrisi dan merokok menunjukkan bukti adanya
interaksi. Merokok dikaitkan dengan terhambatnya penyembuhan luka dan
penurunan sirkulasi ke kulit akibat obstruksi mikrovaskuler oleh agregasi platelet
dan menurunnya fungsi hemoglobin. Selain itu, merokok telah diketahui
menurunkan sistem imun dan sistem respirasi. Merokok sebagai faktor risiko pada
host banyak dilaporkan dengan pendapat yang saling bertentangan. Hal ini
mungkin disebabkan oleh karena beberapa studi yang mengevaluasi faktor ini
hanya mempertimbangkan kondisi merokok saat ini yang meningkatkan risiko
terjadiya ILO. Beberapa pasien berhenti merokok segera sebelum operasi, yang
mungkin dilakukan dalam beberapa hari atau minggu sebelum operasi, dan
15

kemudian menganggap diri mereka sebagai bukan perokok di saat operasi. Hasil
yang bertentangan ini mungkin dikarenakan belum adanya perbedaan yang
signifikan antara kelompok perokok dan bukan perokok.
3

Merokok yang mungkin menjadi salah satu faktor risiko yang sudah ada
sebelumnya pada pasien, dapat diintervensi dengan penggunaan penghenti
merokok yang saat ini tersedia seperti patch nikotin atau bupropion hidroklotida.
Setidaknya satu bulan sebelum operasi, pasien harus didorong untuk
menghentikan penggunaan tembakau. Pasien juga harus memperbaiki status gizi
dan status fisik dengan cara mengkonsumsi seperti vitamin A, B, C, D, E dan K
dan suplemen zinc, magnesium, kuprum dan besi.
3


Infeksi yang Telah ada di Lokasi Tubuh yang Jauh dari Lokasi Operasi
Tak jarang, pasien memiliki infeksi pada gigi, saluran kemih atau jaringan
longgar pada kulit pada saat dilakukan operasi. Masalah utama yang menjadi
perhatian tentang adanya infeksi yang sudah ada sebelumnya adalah infeksi
tersebut mungkin dapat:
3
1. menjadi sumber penyebaran infeksi secara hematogen, menyebabkan infeksi
lambat pada kasus-kasus operasi prostesis persendian atau katup jantung
2. menjadi lokasi yang kontagius untuk terjadinya transfer bakteri
Infeksi yang jauh dari luka operasi dikaitkan dengan peningkatan
kemungkinan terjadinya ILO menjadi 3 - 5 kali lipat. Setiap infeksi yang jauh dari
lokasi operasi harus diidentifikasi dan diterapi sebelum operasi. Tidak jarang
dilakukan ekstraksi gigi multipel preoperatif dalam rangka mengeleminasi infeksi
16

rongga mulut. Beberapa kasus bedah tertentu, terutama yang berhubungan dengan
pemasangan implan, operasi mungkin ditunda sampai infeksi telah teratasi.
2


Kolonisasi Mikroorganisme
Sumber infeksi utama pada sebagian besar kejadian ILO adalah
mikroorganisme endogen yang ada pada pasien itu sendiri. Semua pasien
memiliki koloni bakteri, jamur dan virus sampai dengan 3 juta kuman per
sentimeter persegi kulit. Namun, tidak semua pasien memiliki koloni bakteri,
jamur dan virus dalam jumlah berimbang. Pasien dengan riwayat DM, penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) yang mengharuskan penggunaan steroid jangka
panjang, atau penyakit kronis lainnya yang mengharuskan pasien untuk dilakukan
rawat inap dan/atau penggunaan antibiotik berulang cenderung akan mengalami
kolonisasi bakteri yang lebih berat, terutama dengan bakteri yang resisten
terhadap antibiotik seperti methicillin-resisten Staphylococcus aureus (MRSA).
Setiap luka operasi akan terkontaminasi dengan bakteri selama operasi, tetapi
hanya sebagian kecil yang akan mengalami infeksi. Hal ini dikarenakan sebagian
besar pasien memiliki pertahanan dalam mengendalikan dan mengeleminasi
organisme penyebab infeksi.
5

Staphylococcus aureus tercatat ditemukan pada 30% populasi sehat, dan
terutama methicillin-resisten Staphylococcus aureus (MRSA), merupakan
predisposisi pasien berisiko lebih tinggi mengalami ILO.
5
Adanya sumber bakteri
endogen yang mungkin bertanggung jawab dalam menimbulkan kemungkinan
terjadinya infeksi 10 kali lipat pada satu dari tiga luka operasi.
3

17

Bagaimanapun intervensi yang dilakukan, kulit pasien tidak akan pernah
steril, namun banyak cara dapat dilakukan untuk menurunkan jumlah bakteri
tersebut. Pasien harus berendam atau mandi dengan larutan antiseptik seperti
chlorhexidine setidaknya satu kali sebelum dilakukan operasi. Rambut di daerah
tubuh yang akan dioperasi harus dibiarkan kecuali diperlukan karena mengganggu
prosedur operasi. Jika rambut harus dihilangkan, maka pengasuh harus
melakukannya dengan gunting segera sebelum operasi. Strategi tambahan yang
digunakan untuk mengurangi migrasi bakteri ke daerah insisi termasuk
penggunaan perekat yang mengandung antiseptik dan/atau yang berbahan dasar
cyanoacrylate yang digunakan pada kulit untuk melumpuhkan flora normal kulit,
termasuk yang tertanam di folikel rambut.
6


Hipotermia perioperatif
Penurunan suhu tubuh di bawah 36C atau 96,8F, merupakan salah satu
faktor risiko yang paling umum untuk terjadinya ILO.
17
Setiap satu dari dua
pasien bedah tercatat memiliki suhu tubuh di bawah 36C, dan satu dari tiga
pasien bedah memiliki suhu tubuh inti di bawah 35C atau 95F selama interval
perioperatif. Ketika suhu tubuh 1,5C di bawah normal, dapat mengakibatkan
terjadinya peningkatan risiko ILO, penurunan tekanan oksigen dalam jaringan,
disfungsi jantung, koagulopati, perubahan metabolisme obat, pemulihan
normotermia yang lambat dan peningkatan mortalitas. Hilangnya panas tubuh
adalah hasil dari kombinasi banyak faktor dan sering terjadi pada saat perioperatif.
Faktor risiko pasien yang terkait meliputi kakeksia atau kesehatan umum yang
buruk, jenis kelamin perempuan, usia ekstrim, jenis anestesi, dan lama operasi.
3

18

Faktor yang turut berkontribusi dalam terjadinya hipotermia antara lain
puasa preoperatif, suhu yang rendah di ruang operasi, penggunaan solusio dingin
pada kulit, meja operasi yang dingin, dan cairan IV yang dingin. Anestesi umum
menyebabkan terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi redistribusi cepat darah
hangat dari pusat tubuh menuju ke daerah ekstremitas yang dingin, penurunan
metabolisme yang memproduksi panas dan hilangnya respon menggigil. Operasi
mayor seperti bedah thorax dan/atau abdominal juga terjadi kehilangan panas
tubuh inti yang besar.
3

Cara terbaik untuk mengatasi hipotermia adalah dengan mencegah
terjadinya kehilangan panas. Strategi noninvasif yang terbukti secara efektif dapat
mengatasi hipotermia antara lain dengan menggunakan cairan IV yang
dihangatkan, selimut penghangat, lampu termal, matras air berpenghangat, sistem
penghangat udara dan bantalan konduksi termal.
3


E. Pencegahan ILO
Beberapa langkah yang terkait dalam menurunkan kemungkinan terjadinya
ILO berdasarkan pedoman dari NICE (National Institute for Health and Clinical
Excellence), antara lain:
18
1. Insisi dinding abdomen
Section caesarean harus dilakukan dengan menggunakan sayatan perut
melintang karena cara ini menimbulkan nyeri pasca operasi yang lebih minimal
dan efek kosmetik yang lebih baik dibandingkan dengan insisi garis tengah. Insisi
melintang menurut Joel Cohen (insisi lurus, 3 cm di atas simfisis pubis, lapis demi
lapis jaringan berikutnya dibuka dan diperluas dengan gunting, bukan pisau)
19

merupakan pilihan karena terkait dengan waktu operasi yang lebih pendek dan
mengurangi morbiditas demam pasca operasi.
18
2. Instrumen untuk insisi kulit
Penggunaan pisau bedah yang berbeda untuk menginsisi kulit dan jaringan
yang lebih dalam tidak dianjurkan karena terbukti tidak menurunkan
kemungkinan terjadinya ILO.
18


3. Penutupan dinding perut
Penutupan dinding perut pada insisi garis tengah dilakukan dengan cara
jahitan kontinu menggunakan benang yang lambat diserap karena dengan cara ini
insidensi terjadinya hernia insisional dan wound dehiscence lebih rendah
dibandingkan dengan cara penutupan berlapis.
18
4. Penutupan jaringan subkutan
Penutupan jaringan subkutan tidak rutin dilakukan, kecuali pada wanita
yang memiliki tebal lemak subkutan lebih dari 2 cm, karena penutupan jaringan
subkutan tidak menurunkan insidensi terjadinya ILO.
18
5. Penggunaan drain superficial
Penggunaan drain superficial tidak boleh digunakan pada operasi section
caesarean. Penggunaan drain superficial terbukti tidak menurunkan kemungkinan
terjadinya ILO.
18
6. Pemberian antibiotik
20

Berikan antibiotik profilaksis sebelum dilakukan insisi kulit pada operasi
section caesarean. Hal ini akan lebih menurunkan risiko terjadinya infeksi
maternal pasca operasi jika dibandingkan bila antibiotik profilaksis diberikan
setelah insisi kulit, dan terbukti tidak menimbulkan adanya efek pada bayi.
18
Pemberian antibiotik profilaksis direkomendasikan untuk diberikan pada
semua operasi yang melibatkan organ berongga. Pemberian antibiotik profilaksis
diketahui merupakan faktor protektif yang paling signifikan dalam menurunkan
kejadian ILO pasca operasi section caesarean. Antibiotik harus diberikan sebelum
operasi, idealnya dalam waktu 30 menit dari induksi anestesi. Konsentrasi
antibiotik yang adekuat dalam serum dan jaringan akan menurunkan risiko
berkembangnya bakteri selama periode post operatif. Namun, pemberian
antibiotic profilaksis tidak akan mencegah kontaminasi yang terjadi selama
operasi karena teknik operasi yang buruk.
4,8
Dalam praktiknya, ditemukan variasi yang beragam mengenai cara
pemberian antibiotik profilaksis. Classen dkk membuktikan bahwa waktu
diberikannya antibiotik profilaksis sangat penting dalam mencegah ILO pasca
operasi. Antibiotik profilaksis preoperatif sering tidak diberikan pada waktu yang
optimal sehingga konsentrasi obat selama periode operasi tidak menimbulkan
hasil yang efektif. Pedoman yang dipublikasikan dalam Surgical Infection
Prevention Guideline mengusulkan antibiotik profilaksis harus diberikan 60 menit
sebelum dilakukannya insisi dan dihentikan dalam waktu 24 jam setelah operasi.
19
Redisinfeksi kulit di sekitar daerah insisi sebelum penutupan kulit telah
dilaporkan dapat mengurangi kejadian ILO pasca operasi. Telah dilaporkan pula
21

bahwa irigasi dengan larutan antibiotik pada daerah insisi aman untuk dilakukan,
tidak menunjukkan adanya efek samping, dan merupakan metode yang efektif
dalam menurunkan morbiditas infeksi dan ILO pasca bedah section caesarean.
8
7. Perawatan luka
Perawatan luka pada operasi section caesarean meliputi:
18
Dressing luka 24 jam setelah operasi
monitoring adanya demam
nilai tanda-tanda infeksi pada luka (seperti rasa sakit yang meningkat,
kemerahan atau keluarnya discharge) dan tanda-tanda luka yang tidak
menutup (dehiscence)
beritahukan pada pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar, nyaman,
dan berbahan katun agar mudah menyerap keringat
bersihkan luka secara lembut dan keringkan luka setiap hari
jika diperlukan, rencanakan untuk melepas jahitan
Risiko infeksi berlanjut bahkan setelah pasien keluar dari rumah sakit.
Tenaga medis harus memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya
mengenai cara merawat luka bekas operasi, bagaimana mengenali tanda-tanda
terjadinya ILO dan pentingnya melaporkan gejala tersebut ke dokter bedah
mereka sebagai penyedia perawatan primer.
3




22


F. Prognosis
Dibandingkan dengan pasien yang tidak terinfeksi, pasien dengan ILO
cenderung:
20
dirawat 7 hari lebih lama
60% lebih mungkin untuk dirawat di ICU
5 kali lebih mungkin untuk dirawat kembali dalam waktu 30 hari setelah
dipulangkan
2 kali lebih mungkin untuk meninggal.

Anda mungkin juga menyukai