PRODI D III KEBIDANAN SEMARANG JURUSAN KEBIDANAN POLTEKKES KEMENKES SEMARANG SEMARANG 2013
Dua Bidan Divonis Pidana Penjara Hakim: Terdakwa Lalai, Sehingga Bayi Meninggal Menurut hakim, putusan tersebut mengacu pada Pasal 361 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), tentang kelalaian atau kealpaan dalam menjalankan tugas menyebabkan orang lain meninggal dunia. Hakim mengenyampingkan Pasal 29 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang memungkinkan penyelesaian melalui mediasi di luar persidangan, bila ada tuntutan dari pasien yang merasa dirugikan.
Kedua undang undang (UU Kesehatan dan KUHP) itu jelas bertolak belakang. Namun demikian, kami berketetapan dua terdakwa, Desi Sarli dan Siska Malasari, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kelalaian dalam bertugas, kata Ketua Majelis Hakim, Nilni Eva Yusnita. Mesti sesama bidan, tapi keduanya punya peran berbeda, sehingga hukuman keduanya pun tak sama. Sementara itu, terdakwa III dalam kasus itu, Cici Kamiarsih, 28, asisten apoteker, divonis bebas oleh Majelis Hakim, karena dinilai tidak terbukti bersalah.
Usai menyampaikan putusan, majelis hakim bertanya kepada kedua terdakwa, apakah akan banding. Keduanya langsung menjawab, banding. Hakim Nilni pun menyatakan bahwa putusan Majelis Hakim PN Padang, belum berkekuatan hukum tetap. Hakim juga tak memerintahkan keduanya langsung ditahan.Vonis hakim ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Zulkardiman. JPU menuntut ketiga terdakwa dengan hukuman pidana penjara masing-masing 1 tahun 6 bulan.
Hakim Beda Pendapat Putusan hakim tersebut sebetulnya tak bulat. Salah satu hakim Yoserizal, berbeda pendapat dengan Nilni Eva Yusnita, dan Zulkifli. Nilni dan Zulkifli sepakat menghukum kedua terdakwa, karena melanggar Pasal 361 KUH Pidana. Namun Yoserizal berpendapat lain. Dalam dissenting opinion, Yoserizal menjelaskan, bahwa kasus yang diduga malapraktik itu tidak mesti masuk ranah pidana. Artinya, dua bidan yang jadi terdakwa tidak mesti dipenjara. Menurut Yoserizal, dalam kasus tersebut, semestinya digunakan UU Kesehatan, sehingga penyelesaiannya melalui mediasi.
Dalam putusan yang dibacakan secara bergantian, itu hakim menyebutkan beberapa kelalaian yang dilakukan bidan Desi dan Siska, sewaktu menolong proses kelahiran anak Chori, 3 Januari 2009. Desi dan Siska, menurut hakim, telah mengulur waktu ketika merujuk Chori ke rumah sakit. Padahal, ketika datang ke Klinik Fitria, tempat keduanya bekerja, Chori sudah dalam keadaan mau melahirkan. Bahkan, usia kandungannya sudah lewat sembilan bulan.
Kedua terdakwa memang telah membantu persalinan Chori. Tapi setelah dua jam, bayi Chori tak juga lahir. Chori pun letih, dan tidak bisa lagi mengejan. Saat itu air ketuban Chori sudah pecah. Menurut saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan sebelumnya, karena tempo waktu yang terlalu lama, Chori akhirnya mengalami infeksi saluran peranakan. Hal itu dibuktikan dengan hijaunya air ketuban. Normalnya, air ketuban berwarna bening. Semestinya, kedua bidan langsung merujuk ke rumah sakit. Tak usah lalai. Akibatnya fatal. Bayi Chori meninggal setelah 15 menit dilahirkan, kata Nilni.
Sementara itu, tentang peran Cici Kamiarsih, yang memberi Chori obat tablet gastrul yang diresepkan Desi, tidak dinilai hakim sebagai sebuah pelanggaran. Seorang saksi ahli, memang menyebutkan bahwa pemberian obat gastrul yang golongan G (berbahaya) semestinya diberikan atas resep dokter, bukan inisiatif bidan secara pribadi. Namun saksi ahli lainnya, dari RS M Djamil, Gustafianof menjelaskan, obat gastrul yang diberikan terdakwa Cici pada Chori bukanlah obat yang berbahaya. Obat itu sudah lazim digunakan dalam bidang obstetric dan gikenologi dengan tujuan untuk mempercepat proses persalinan. Dan, tak ada efek samping.
Obat gastrul merupakan obat yang biasa digunakan untuk ibu yang masa kehamilannya sudah 42 minggu atau sudah 38 minggu. Tujuannya untuk menimbulkan kontraksi rahim guna memperlancar proses kelahiran. Penggunaan obat gastrul oleh bidan di klinik-klinik bersalin pun sudah diatur dalam Kepmenkes 369/Menkes/SK/III/120/07 tentang standar profesi bidan. Hakim menggunakan pendapat Gustafianof. Dengan fakta persidangan itulah, kami menyatakan terdakwa Cici Kamiarsih bebas, dan dipulihkan kembali hak-haknya. Karena obat gastrul itu tidak berbahaya dan tidak berdampak pada kematian bayi, kata Nilni. Penjelasan ini mendapat aplaus dari ratusan bidan yang menghadiri sidang.
Usai hakim mengetok palu, para bidan yang berada di luar ruang sidang langsung merangsek ke dalam. Termasuk Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Sumbar Mulyati Usman. Bidan Desi sempat dipeluk dan meraung di pangkuan Mulyati. Pengacara kedua bidan, Rimaison Syarif, menyatakan segera mengajukan banding. Kita langsung banding. Vonis hakim tidak berdasarkan keadilan, tutur Rimaison usai persidangan.
Dugaan malapraktik tersebut terjadi pada tanggal 3 Januari 2009 silam. Ketika itu, sekitar pukul 13.00 Desi yang bertugas sebagai bidan di Klinik Fitria kedatangan seorang pasien bernama Chori yang sedang hamil tua. Chori memang ingin memeriksakan kehamilannya, dan sekaligus ingin melahirkan di klinik tersebut.
Ketika itu Chori diberi obat gastrul diizinkan pulang. Di rumah, Chori mengalami sakit perut setelah minum obat gastrul. Ia kemudian dibawa lagi ke Klinik Fitria. Di klinik, Chori dibawa ke ruang bersalin, Desi dan Siska langsung mempersiapkan persalinan. Namun kepala bayi masih dalam keadaan keluar masuk. Saat itu Desi dan Siska memberitahukan kepada dokter. Atas rekomendasi dokter, Desi bertanya kepada keluarga Chori ke mana akan dirujuk. Sebab Chori tak bisa lagi ditangani di klinik. Dengan alasan asuransi, akhirnya atas persetujuan Asnimar (ibu Chori), dan suami Chori, akhirnya Chori dibawa ke RS Marnaini Asri di Jalan M. Hatta Padang.
Akibat usia kehamilan yang telah melebihi batas, akhirnya bayi Chori dilahirkan juga, sekitar pukul 20.30 WIB. Waktu itu, bayi Chori mengalami sesak, nafas. Sekitar 15 menit kemudian bayi yang baru saja dilahirkan ini pun menghembuskan napas terakhirnya. Keluarga Chori menuduh bidan Klinik Fitria telah lalai. Mereka mengadu ke polisi.
Dukungan Moral
Di persidangan ini, ketiga bidan mendapat dukungan moral dari ratusan bidan yang tergabung dalam IBI se-Sumbar. Sejak pukul 08.00 WIB, ratusan bidan sudah memadati PN Padang. Para bidan sempat kecewa dan menggerutu, karena sidang yang sedianya digelar pukul 09.00 WIB, diundur hingga pukul 14.00 WIB. Padahal, mereka sudah masuk ke dalam ruang sidang. Meski sempat diundur, para bidan yang dikoordinir Ketua IBI Sumbar Mulyati Usman tidak meninggalkan pengadilan sampai sidang selesai. Usai pembacaan vonis Desi memeluk suaminya, Imam Gunawan. Ungkapan Desi yang diiringi isak tangi kontan membuat haru ruang siding. Rekan-rekannya nampak sedih. Desi ndak basalah do, Bang. Desi ndak basalah doh (Desi tidak bersalah bang), kata-kata itu terus menerus diucapkan oleh Desi sembari memeluk erat suaminya.
Siska bahkan nyaris pingsan ketika hakim menyatakan ia bersalah. Didampingi sang Ibunda tercinta, Siska yang sedang berbadan dua juga meraung-raung. Ika ndak basalah doh. Jan tahan Ika. Ika ndak nio masuak penjaro doh, Ma. Tolong Ika, jan salahan Ika (Ika sebutan ke dirinyatidak bersalah. Jangan tahan Ika. Ikan tidak mau masuk penjara. Jangan salahkan Ika), ucap Siska sambil terus memegang perutnya yang mulai membuncit.
Sementara, Cici Kamiarsih, mengatakan walaupun bebas tapi ia masih tetap prihatin terhadap nasib temannya. Tak tahu saya mau bilang apa sekarang. Saya memikirkan nasib Desi dan Siska. Saya berharap ia juga dibebaskan bersama saya, ujarnya.
Mulyati Usman dihadapan ratusan bidan se-Sumbar yang ikut memberikan dukungan moril di persidangan, berjanji akan tetap mendampingi Desi dan Siska sampai kasus tersebut selesai. Kita akan dampingi Desi dan Siska dalam menghadapi kasus ini, kalau perlu IBI Sumbar akan mencarikan pengacara khusus untuk rekan kami ini, tegas Mulyati Usman. Sesekali terdengar teriakan beberapa orang bidan yang mengajak teman-temannya mogok kerja. Besok kita tidak usah kerja, katanya.
Dugaan malapraktik ini memang baru kali ini masuk persidangan. Oleh sebab itu para tenaga kesehatan tersebut pantas saja cemas. Sebab, bila kasus tersebut sampai dinyatakan melanggar hukum melalui putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, para tenaga kesehatan tersebut tentu akan merasa terancam ketika menjalankan tugas. Sewaktu-waktu bisa mereka yang diseret ke pengadilan.