Anda di halaman 1dari 15

TUGAS 2

ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN


“Mencari Studi Kasus Di Indonesia Dan Luar Negeri Tentang Euthanasia Dan
Menjelaskan Dari Perspektif Hukumnya”
Dosen Pengampu: Nur Inayah Rahmaniar, S.KM., M.Kes

Oleh:

PUTRI UTAMI
210304502055
ADMINISTRASI KESEHATAN (C)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2022/2023
A. KASUS EUTHANASIA DI INDONESIA DAN PERSPEKTIF HUKUMNYA
 Contoh Kasus:
1. Kasus Permohonan Euthanasia Dari Pihak Keluarga Agian Isna Nauli
Ny. Agian Isna Nauli tak sadarkan diri setelah melahirkan. Ia pada 20 Agustus
2004 lalu melahirkan anak melalui operasi caesar yang dipimpin oleh Dr.
Gunawan Muhammad, SpOG di RSI. Kondisi Agian yang koma dan menderita
kerusakan otak permanen ini diduga akibat terjadi malpraktek. Sehingga keluarga
Agian Isna Auli yaitu Hasan Kusuma mengajukan permohonan penetapan
Euthanasia atas istrinya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hasan Kusuma
mengajukan permohonan penetapan Euthanasia atau suntik mati ini didampingi
Ketua LBH Kesehatan Iskandar Sitorus. Permohonan diterima oleh Wakil Ketua
PN Jakarta Pusat.
Kondisi Ny. Agian Isna Nauli tidak mengalami kemajuan secara signifikan
dan sudah koma selama empat bulan pasca operasi caesar dan kini dirawat di
RSCM itu. Menurut Hasan, keadaan yang sangat mengguncang ini sudah
mempengaruhi kenormalan hidup dirinya dan kedua anaknya. Akibat harus
mengurus istrinya maka dua anaknya, Ditya Putra dan Raygie Attila menjadi
terlantar.
Permohonan ke pengadilan adalah upaya kedua yang ditempuh Hasan agar
istrinya disuntik mati. Sebelumnya, Hasan sudah menyampaikan permohonan ini
dihadapan pimpinan sementara DPRD Bogor. Permohonan Hasan tersebut
menyentakkan sejumlah anggota DPRD yang hadir pada rapat koordinasi yang
dipimpin oleh Tb. Tatang Muchtar diruang sidang DPRD setempat. Hasan dengan
terbata-bata dihadapan pimpinan DPRD setempat dan peserta mengatakan,
sebagai suami pada saat ini hanya ingin membagi perasaan yang dialaminya.
Hasan Kusuma mengaku sudah tidak berdaya menghadapi keadaan istrinya.
Menurut Menteri Kesehatan saat itu, Euthanasia itu tidak ada, kecuali atas
permintaan pihak pasien sendiri. Menteri juga mengatakan, upaya suami Ny.
Agian. Menurut Dr. Yusuf Musbach yang merupakan dokter kepala di paviliun
Suparjo Rustam yang menangani langsung kasus tersebut, kondisi Ny. Agian Isna
Auli berangsur-angsur membaik sejak dua bulan terakhir. Awalnya, katanya dia
bisa bicara sepatah dua patah kata, hingga mampu berkomunikasi lancar meskipun
kadang sedikit tersendat. Sebelumnya pihaknya memang telah memprediksi
bahwa koma Ny. Agian dapat disembuhkan. Sedangkan lumpuh kaki dan tangan
juga ada harapan bisa disembuhkan, meski tidak 100 persen. Ny Agian juga
sebenarnya sudah bisa dibawa pulang untuk dilakukan perawatan dirumah.
Permohonan Euthanasia yang diajukan ke Pengadilan Negeri oleh keluarga
besar dari Ny Agian ini akhirnya belum bisa dikabulkan oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan alasan lembaga Pengadilan menjelaskan bahwa lembaga
pengadilan tidak dapat begitu saja mengeluarkan penetapan tanpa melakukan
pemeriksaan terhadap suatu perkara yang diajukan oleh pencari keadilan
(pemohon) dengan segala alat bukti yang sudah disiapkan sebagai pendukung
dalil-dalil permohonannya sesuai hukum yang berlaku.

2. Kasus Keluarga Siti Julaeha Ajukan Euthanasia


Pada awalnya Siti Julaeha menjalani operasi di RSUD Pasar Rebo pada bulan
Oktober 2004 dengan diagnosa hamil diluar kandungan, namun setelah di operasi
ternyata ada cairan di sekitar rahim. Setelah diangkat, operasi tersebut
mengakibatkan Siti Julaeha mengalami koma dengan tingkat kesadaran dibawah
level. Tidak seorangpun dari dokter dan manajemen Rumah Sakit Umum Daerah
Pasar Rebo yang peduli dan bertanggung jawab menangani kasus tersebut. Dan
mereka menganggap sudah selesai dengan prosedur, padahal salah atau tidak,
sesuai dengan prosedur atau tidak, Siti Julaeha sudah menderita. Nilai
kemanusiaan seharusnya yang diutamakan.
Pada tanggal 20 Januari 2005 Rudi Hartono bersama rekan-rekan media dan
Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan (LBHK) memindahkan Siti Julaeha ke
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat. Kondisi Siti Julaeha
yang menjalani perawatan di RSCM sejak sebulan lampau, tidak juga membaikan
bahkan kondisinya semakin memburuk. Disamping itu, sempat dilakukan
pelubangan dengan bor di bagian dada dan iga sebelah kanan tubuh Siti Julaeha
untuk membantu pernafasan akibat paru-paru mengkerut dan rencananya akan
dilakukan operasi lagi di tenggorokan untuk membantu pernafasannya juga.
Pada bulan Februari 2005 keluarga Siti Julaeha, resmi mengajukan
permohonan penetapan Euthanasia kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di
jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Suami Siti Julaeha, Rudi Hartono
menyampaikan surat permohonan Euthanasia tersebut dan diterima oleh I Made
Karna, S.H. Dalam kesempatan itu, ia didampingi sejumlah kuasa hukum dari
Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan (LBHK) diantaranya Pundrat Adriansyah,
S.H.
Pengambilan keputusan Euthanasia ini merupakan keputusan seluruh keluarga
besarnya, dan merupakan keputusan keluarga besar. Keputusan itu semakin kuat
setelah dia mendengar pernyataan seorang dokter RSCM yang menyatakan
istrinya mengalami keadaan vegetative state dan menurut dokter, sudah tipis
kemungkinan sembuh bagi Siti Julaeha.
Permohonan Euthanasia yang diajukan ke Pengadilan Negeri oleh keluarga
besar dari Siti Julaeha ini belum bisa dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dengan alasan lembaga Pengadilan menjelaskan bahwa lembaga pengadilan
tidak dapat begitu saja mengeluarkan penetapan tanpa melakukan pemeriksaan
terhadap suatu perkara yang diajukan oleh pencari keadilan (pemohon) dengan
segala alat bukti yang sudah disiapkan sebagai pendukung dalil-dalil
permohonannya sesuai hukum yang berlaku, isi surat permohonan yang
didaftarkan melalui administrasi perkara pengadilan adalah terdiri dari alamat dan
pokok surat, identitas pemohon, dalil-dalil permohonan yang akan dibuktikan
serta diakhiri dengan petitum atau tuntutan pokok permohonan sebagai penutup,
selain itu surat permohonan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tersebut adalah merupakan surat perorangan biasa yang belum dapat
dikatakan sebagai surat permohonan yang pengajuannya harus melalui prosedur
administrasi peradilan yang berlaku Keluarga Siti Julaeha pun sudah membuat
surat tembusan untuk Presiden Republik Indonesia, Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Menteri Kesehatan, Ketua Pendiri LBH Kesehatan, Ketua
Umum Persaudaraan Sistem Kesehatan, dan Para Advokat dari Kantor LBH
Kesehatan.

 Perspektif Hukum
1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Jawa Barat yang diwakili oleh Dr. Tammy J
Siarif S.H., M.H. Kes.
Aturan Euthanasia menurut Dr. Tammy J Siarif S.H., M.H. Kes. sebetulnya
belum ada aturan yang jelas dan pasti mengenai perbuatan Euthanasia. Dalam
Pasal 344 KUHP pun sebetulnya menurut beliau tidak disebutkan dengan jelas
apakah pasal tersebut merupakan aturan Euthanasia atau bukan, begitu pula
dengan Permenkes No.37 tahun 2014 tidak menyebutkan aturan yang jelas
mengenai Euthanasia.
Dalam Kode Etik Kedokteran pun Dr. Tammy J Siarif S.H., M.H. Kes.
menyebutkan bahwa dalam Kode Etik Kedokteran tidak ada aturan mengenai
tindakan Euthanasia. Hanya saja dalam Kode Etik Kedokteran hanya
menyebutkan bahwa seorang dokter harus menghormati hak hidup seseorang.
Perbuatan Euthanasia pun melanggar Kode Etik Kedokteran hal ini bertentangan
dengan Kode Etik Kedokteran yang menyebutkan seorang dokter harus
menghormati hak hidup seseorang. Berdasarkan UndangUndang No. 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran pun menurut Dr. Tammy J Siarif S.H., M.H.
Kes. tidak ada aturan mengenai perbuatan Euthanasia.
Pertanggung jawaban pidana mengenai tindakan Euthanasia menurut Dr.
Tammy J Siarif S.H., M.H. Kes. apabila mengacu kepada KUHP, Pasal 344 lah
yang paling mendekati unsur-unsur dari perbuatan Euthanasia walaupun pasal
tersebut tidak menyebutkan bahwa pasal tersebut merupakan aturan Euthanasia.
Tetapi seorang dokterpun bisa berlindung dalam pasal tersebut, artinya apabila
ada seorang pasien maupun keluarga pasien meminta dilakukannya perbuatan
Euthanasia terhadap dokter, seorang dokter pun dapat meminta permohonan
Euthanasia kepada pengadilan, apabila permohonan Euthanasia nya dikabulkan
maka pertanggung jawaban pidana atas perbuatan Euthanasia tersebut tidak ada.
Kode Etik Kedokteran menurut Dr. Tammy J Siarif S.H., M.H. Kes. pada
dasarnya tidak memberikan sanksi terhadap dokter yang melakukan perbuatan
Euthanasia. Karena didalam Kode Etik Kedokteran tidak ada aturan mengenai
perbuatan Euthanasia.
Permenkes No.37 Tahun 2014 yang dimaksud adalah sebuah peraturan yang
menjelaskan tentang penentuan kematian dan pemanfaatan organ donor. Dalam
Pasal 1 Permenkes No.37 Tahun 2014 ini menyebutkan bahwa penghentian terapi
bantuan hidup (with-drawing life supports) adalah menghentikan sebagian atau
semua terapi bantuan hidup yang sudah diberikan kepada pasien. Hal ini berbeda
dengan pengertian Euthanasia pasif, Euthanasia pasif adalah tindakan seorang
dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara
medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini
berarti mempercepat kematian pasien.
Berdasarkan Permenkes No.37 Tahun 2014, penentuan seseorang mati batang
otak hanya dapat dilakukan oleh tim dokter yang terdiri atas tiga orang dokter
yang berkompeten. Karena menurut Dr. Tammy J Siarif S.H., M.H. Kes.
Euthanasia dilakukan karena mati nya batang otak seseorang.

Euthanasia merupakan suatu istilah baru di Indonesia dan selama sejarah


berdirinya Negara ini belum pernah terdengar ada orang yang melaksanakannya.
Euthanasia sebenarnya telah ada dalam aturan hukum Negara kita yaitu terdapat
pada Pasal 344 KUHP tentang merampas nyawa seseorang atas permintaan
korban. Karena pasal tersebut adalah sebuah aturan yang paling mendekati unsur-
unsur perbuatan Euthanasia walaupun sebetulnya di Indonesia memang tidak ada
aturan tentang suntik mati untuk pasien yang tidak dapat disembuhkan.
2. M. Saptono, S.H., M.H. sebagai hakim di Pengadilan Negeri Kota Bandung
Bpk. M. Saptono, S.H., M.H. menyebutkan bahwa perbuatan Euthanasia di
mohonkan ke pengadilan karena pada dasarnya pengadilan mempunyai asas Ius
Curia Novit yang mempunyai pengertian bahwa hakim dianggap mengetahui
semua hukum sehingga pengadilan tidak boleh menolak, memeriksa dan
mengadili perkara. Tetapi beliau belum pernah menangani kasus Euthanasia di
perkara persidangan.
Bpk. M. Saptono, S.H., M.H. menyebutkan bahwa perbuatan Euthanasia
merupakan delik yang dikualifikasikan sebagai delik kejahatan, karena
menyangkut nyawa seseorang. Delik kejahatan atau Rechtdelichten adalah suatu
perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu
diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, seperti misalnya
pembunuhan ataupun perncurian. Delik perbuatan Euthanasia menurut Bpk. M.
Saptono, S.H., M.H. dikualifikasikan sebagai delik kejahatan, karena hal itu
didasarkan pada hukum positif yang berlaku bahwa menghilangkan nyawa
seseorang itu termasuk delik kejahatan. Bentuk kesalahan tindak pidana
menghilangkan nyawa orang lain ini dapat berupa sengaja atau tidak sengaja.
Kesengajaan adalah suatu perbuatan yang dapat terjadi dengan direncanakan
terlebih dahulu. Tetapi yang penting dari suatu peristiwa pembunuhan adalah
adanya niat atau Mens Rea yang diwujudkan melalui perbuatan yang dilakukan
sampai selesai.
Aturan Euthanasia menurut Bpk. M. Saptono, S.H., M.H. yang paling
mendekati unsur-unsur perbuatan Euthanasia adalah Pasal 344 KUHP, karena
pasal tersebut menyebutkan bahwa barang siapa yang merampas nyawa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri diancam dengan pidana paling lama 12 tahun
penjara. Jika melihat dari undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya
melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama perbuatan Euthanasia, khususnya
Euthanasia aktif, perbuatan Euthanasia aktif tersebut pula bisa dikatakan sebagai
pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang.
Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam
tindakanEuthanasia.
Tidak ada aturan yang pasti tentang perbuatan Euthanasia karena hanya Pasal
344 KUHP saja lah yang dianggap paling mendekati unsur perbuatan Euthanasia
atas dasar merampas nyawa seseorang dengan persetujuan, walaupun didalam
Pasal 344 KUHP tersebut tidak disebutkan bahwa pasal tersebut merupakan dasar
hukum dari perbuatan Euthanasia.
Pertanggungjawaban pidana bagi dokter yang melakukan perbuatan
Euthanasia pada dasarnya menurut Bpk. M. Saptono, S.H., M.H. seorang dokter
bisa dipertanggungjawabkan secara pidana ataupun perdata, tergantung dari aspek
mana yang paling memenuhi unsur delik yang dilakukannya. Apabila
pertanggungjawaban pidana maka dokter tersebut bisa dikenakan Pasal 344
KUHP yang mana akan diancam dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun
penjara, apabila pertanggungjawaban dari sisi perdata nya bisa dilihat dari
informed consent atau persetujuan dari pihak pasien dan dokter yang
menanganinya.
Bpk. M. Saptono, S.H., M.H. menyebutkan bahwa proses hukum dalam
perbuatan Euthanasia ini biasa nya keluarga pasien dengan dokter sebelum
mengajukan permohonan Euthanasia kepada pengadilan, bisa diajukan terlebih
dahulu ke Ikatan Dokter Indonesia atau IDI untuk bisa di proses lebih lanjut
sebelum diajukan ke pengadilan.
Pertanggungjawaban pidana bagi seorang dokter yang melakukan Euthanasia
bisa dihapuskan apabila permohonan Euthanasia yang diajukan ke pengadilan
dikabulkan oleh hakim yang menangani kasus Euthanasia tersebut.
Bpk. M. Saptono, S.H., M.H. menambahkan mengenai pertimbangan hakim
menolak permohonan Euthanasia yang diajukan ke pengadilan yaitu berdasarkan
pada hak hidup yang terdapat pada Hak Asasi Manusia setiap insan, walaupun
beliau belum menangani kasus Euthanasia tetapi beliau menyebutkan bahwa
pertimbangan hakim dalam menolak permohonan Euthanasia didasarkan pada hak
hidup tersebut. Hak hidup adalah suatu prinsip moral yang didasarkan pada
keyakinan bahwa seorang manusia memiliki hak untuk hidup dan terutama tidak
seharusnya dibunuh oleh manusia lainnya. Konsep mengenai hak untuk hidup
timbul dalam pembahasan tentang hukuman mati, perang, aborsi, euthanasia, dan
meluas hingga perawatan kesehatan publik. Walaupun pada kenyataannya
keputusan untuk mengakhiri hidupnya sendiri melalui Euthanasia sering disebut
“hak untuk memilih”.

B. KASUS EUTHANASIA DI LUAR NEGERI


 Negara yang melegalkan kasus euthanasia
Dikutip dari The Week, negara-negara yang melegalkan praktik ini misalnya yaitu:
1. Swiss
 Contoh kasus:
Ilmuwan Australia berusia 104 tahun yang melakukan perjalanan ke Swiss
untuk mati.
Seorang pakar ekologi dan botani asal Australia mengaku segera
mengakhiri hidupnya karena tak lagi bahagia pada usia 104 tahun. David
Goodall dengan berat hati meninggalkan kampung halamannya untuk terbang
ke Swiss, Rabu (03/05), dan akan dirawat di klinik di Swiss yang
memungkinkannya untuk menghembuskan nafas terakhir lebih cepat.
Sebenarnya negara bagian Victoria sejak November lalu sudah menjadi satu-
satunya daerah yang melegalkan bantuan bunuh diri di Australia.
Namun dengan syarat bahwa pemohon bantuan bunuh diri itu
diharuskan mengidap penyakit parah, yang tak dialami Goodall, yang
memutuskan terbang ke Swiss, salah satu negara yang melegalkan bantuan
medis untuk kematian. "Saya sangat menyesal mencapai usia ini," ujar
Goodall pada perayaan hari ulang tahunnya, April lalu, dalam sesi wawancara
dengan Australian Broadcasting Corporation (ABC).
 Perspektif Hukum
Mungkin negara pertama yang terlintas dalam pikiran sehubungan
dengan kematian yang dibantu, Swiss mengizinkan euthanaisa yang dibantu
dokter tanpa persyaratan usia minimum, diagnosis, atau keadaan gejala.
Namun, bunuh diri dengan bantuan dianggap ilegal jika motivasinya "egois" -
misalnya, jika seseorang yang membantu kematian akan mewarisi lebih awal,
atau jika mereka tidak ingin beban merawat orang yang sakit.
Pada tahun 2018, 221 orang melakukan perjalanan ke klinik Swiss
Dignitas untuk bunuh diri dengan bantuan. Dari jumlah tersebut, 87 berasal
dari Jerman, 31 dari Prancis dan 24 dari Inggris. Sekitar 1,5 persen kematian
Swiss adalah akibat bunuh diri yang dibantu.
2. Belanda
 Contoh Kasus:
Trauma Diperkosa, Permohonan Suntik Mati Gadis Belanda Dikabulkan
Noa Pothoven, seorang gadis berusia 17 tahunn asal Arnhem, Belanda,
telah di-eutanasia atau disuntik mati secara legal hari Minggu lalu. Suntik
mati itu permohonan dirinya setelah merasa tak bisa terus hidup akibat trauma
diperkosa ketika masih kecil. Jasad Noa telah ditidurkan di rumahnya. Sehari
sebelum disuntik mati secara legal, Noa mengatakan dalam sebuah posting di
media sosial bahwa dia "bernafas tetapi tidak lagi hidup".
Noa menulis otobiografi yang dinamai "Winning or Learning". Dalam
otobiografi itu, dia menceritakan setelah kekerasan seksual dan pemerkosaan
ketika menjadi gadis kecil telah menuntunnya untuk mengembangkan
gangguan stres pasca-trauma, depresi dan anoreksia.
Dia diserang tiga kali ketika masih kecil. Dua insiden pertama adalah
penganiayaan ketika dia menghadiri pesta anak-anak berusia 11 dan 12 tahun
sebelum dia diperkosa oleh dua pria ketika dia berusia 14 tahun di lingkungan
Elderveld. Selama bertahun-tahun dia tidak pernah mengungkapkan
pelecehan mengerikan itu karena itu membuatnya merasa malu.
"Saya berunding untuk sementara waktu apakah saya harus
membagikan ini atau tidak, tetapi memutuskan untuk tetap melakukannya,"
tulis dia. “Mungkin ini mengejutkan bagi beberapa orang, mengingat posting
saya tentang rawat inap, tetapi rencana saya telah ada di sana untuk waktu
yang lama dan tidak impulsif." “Saya akan langsung ke intinya; dalam
maksimal 10 hari saya akan mati. Setelah bertahun-tahun berjuang dan
bertarung, saya kehabisan tenaga. Saya sudah berhenti makan dan minum
untuk sementara waktu sekarang, dan setelah banyak diskusi dan evaluasi,
diputuskan untuk membiarkan saya pergi karena penderitaan saya tidak
tertahankan," paparnya. "Karena takut dan malu, saya menghidupkan kembali
rasa takut, rasa sakit itu setiap hari. Selalu takut, selalu berjaga-jaga. Dan
sampai hari ini tubuh saya masih terasa kotor," sambung tulisan Noa, seperti
dikutip news.com.au, Rabu (5/6/2019)."Rumah saya telah dibobol, tubuh
saya, yang tidak pernah bisa dibatalkan." Noa menghabiskan jam-jam
terakhirnya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman dan
keluarganya yang patah hati. Dia meminta mereka untuk “tidak meyakinkan
saya bahwa ini tidak baik, ini adalah keputusan saya dan sudah final.”
"Cinta adalah melepaskan, dalam hal ini," imbuh dia. Dia mengatakan
ibunya, Lisette, "selalu ada untuk saya”, namun menurut hukum Belanda,
ibunya benar-benar memiliki suara dalam keputusan putrinya. Tahun lalu, dia
mengungkapkan bahwa dia telah dirawat di rumah sakit dalam kondisi kritis
setelah anoreksia meninggalkan organ-organnya di ambang kegagalan. Dokter
menempatkan dia dalam koma yang diinduksi secara medis untuk
memberinya makan melalui tabung.
Menteri Belanda; Lisa Westerveld, adalah yang pertama kali
melakukan kontak dengan Noa pada bulan Desember setelah wawancara di
surat kabar. Dia mengunjungi remaja berusia 17 tahun itu sebelum ia di-
eutanasia. "Senang melihatnya lagi. Ini juga sangat tidak nyata. Noa sangat
kuat dan sangat terbuka. Saya tidak akan pernah melupakannya. Kami akan
melanjutkan perjuangannya," kata menteri tersebut. Anak-anak seusia 12
tahun dapat memilih untuk eutanasia di Belanda tetapi hanya setelah dokter
menentukan bahwa rasa sakit pasien tidak tertahankan.
 Perspektif hukumnya:
Eutanasia dan bunuh diri dengan bantuan adalah legal di Belanda jika
seseorang mengalami penderitaan yang tak tertahankan dan tidak ada
kemungkinan untuk sembuh. Tidak ada persyaratan untuk sakit parah, dan
tidak ada masa tunggu wajib. Anak-anak berusia 12 tahun dapat meminta
bantuan untuk meninggal, tetapi persetujuan orang tua diperlukan untuk
mereka yang berusia di bawah 16 tahun.
Ada berbagai pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum kematian
yang dibantu dapat disetujui. Dokter yang mempertimbangkan untuk
mengizinkan kematian yang dibantu harus berkonsultasi dengan setidaknya
satu dokter independen lainnya untuk memastikan bahwa pasien memenuhi
kriteria yang diperlukan.
3. Belgium
 Contoh kasus:
Dua anak berusia 11 tahun dan 17 tahun telah menjalankan euthanasia
pada 2016 dan 2017, menurut laporan dari Komite Euthanasia Belgia.
Untuk mengajukan euthanasia, seorang anak harus menuliskan permohonan
dan menjelaskan kasusnya dengan tulisan tangan. "Saya melihat gangguan
mental dan fisik yang tak tertahankan sehingga saya percaya kami melakukan
hal yang benar," kata Luc Proot, seorang anggota Komisi Belgia kepada The
Washington Post.
Setelah aplikasi permohonan tertulis diserahkan, dokter memverifikasi
permohonan tersebut dan hanya bisa mengizinkan permintaan praktik ini jika
pasien berada pada kondisi 'sakit konstan yang tidak bisa diobati, karenanya
akan meninggal dalam waktu dekat. "Kemudian, sang anak yang mengajukan
permohonan euthanasia harus menjalani beberapa ujian yang melihat tingkat
kecerdasan untuk memastikan bahwa keputusan mereka tidak dipengaruhi
pihak-pihak lain. Setelah prosedur euthanasia, panitia yang terdiri atas enam
akan mengevaluasi dan meneliti berkas-berkas dari kasus tersebut, dimana
nama pasien dan doktor tidak tercantum dalam dokumen, untuk memastikan
proses telah dilaksanakan dengan benar.
Euthanasia pada seorang anak sebelumnya, yang berusia 11 tahun
dikabulkan karena dia menderita fibrosis sistik, yaitu penyakit yang tidak bisa
disembuhkan dan dapat berakibat fatal. Dalam beberapa kasus, sebagian besar
pasien hidup sampai umur 30 tahun. Anak tersebut berjuang melawani distrofi
otot, yang menyebabkan hilangnya berat otot secara progresif dan kehilangan
kekuatan. Perkembangan penyakit ditandai dengan kesulitan bernafas dan pola
makan yang rendah. Namun, obat untuk dapat menyembuhkan distrofi otot
belum ditemukan.
Tiga kasus euthanasia anak di Belgia berlaku sejak negeri itu
mengesahkan yang mengizinkan dokter mengakhiri hidup pasien berusia di
bawah 12 tahun yang sakit parah, jika mereka memintanya, pada 2014.
Belgia adalah negara pertama yang mengizinkan euthanasia bagi anak-
anak. Di Belanda, hanya memperbolehkan pasien yang berumur di atas 12
tahun yang boleh mengajukan permohonan suntik mati itu. Pada November
tahun lalu, Victoria menjadi wilayah pertama Australia yang melegalkan
kematian dengan bantuan bagi para pasien yang menderita sakit parah. Mulai
pertengahan 2019, pasien berhak meminta obat demi mengakhiri hidup. Awal
tahun ini, seorang dokter asal Australia, David Goodall memutuskan untuk
pergi ke Swiss dengan tujuan untuk mengakhiri hidupnya secara legal.
 Perspektif Hukum:
Belgia mengizinkan eutanasia dan bantuan bunuh diri bagi mereka
yang menderita tak tertahankan dan tidak ada prospek perbaikan. Jika pasien
tidak sakit parah, ada masa tunggu satu bulan sebelum eutanasia dapat
dilakukan. Belgia tidak memiliki batasan usia untuk anak-anak, tetapi mereka
harus menderita penyakit mematikan untuk memenuhi kriteria persetujuan.
4. Australia
 Contoh kasus:
Banyak pasien kanker tulang beralih ke perawatan paliatif untuk
meningkatkan kualitas hidup mereka dan meringankan gejala yang dialami.
Tapi menurut Liz, anaknya "tidak merasa hal itu adalah pilihan baginya".
Malam sebelum Rhys meninggal, Brett sempat mengambil foto matahari
terbenam dari atap rumah keluarga. Beberapa jam kemudian, Rhys
menyampaikan pesan terakhir dalam sebuah video yang direkam oleh ibunya.
Niatnya bukan sekadar pamit. Dia ingin melindungi orang yang
dicintainya, dengan menjelaskan bahwa keputusan ada di tangannya sendiri.
"Saya percaya pada hak saya untuk mati atas pilihan saya sendiri. Ini sulit bagi
semua orang, tapi saya menolak menjalani perawatan paliatif, setelah sempat
menjalaninya minggu lalu," katanya. "Ini lebih menyakitkan dari yang pernah
kubayangkan."
Rhys menghabiskan 10 menit berikutnya memeluk dan memberikan
ciuman perpisahan untuk saudaranya Lewis, ayahnya, dan ibunya. "Saya akan
beri kalian masing-masing satu pelukan lagi," ujar Rhys. "Sampai jumpa di
kehidupan selanjutnya, ya?" ayahnya berbisik saat memeluk Rhys. "Terima
kasih telah membantuku melewati satu setengah tahun yang sulit ini," kata
Rhys, sambil memegangi ibunya, Liz.
Orang tua Rhys tidak merasa nyaman bila seluruh anggota keluarga
hadir di rumah pada malam itu. Penyelidikan polisi juga membuat saudara
kandungnya yang lain tak dapat melihat jasad Rhys. "Kami tidak tahu
menyadari seberapa besar pengaruhnya pada Jorja sampai dua tahun kemudian
ketika dia menyampaikan, saya seharusnya perlu melihatnya (saat Rhys
meninggal)," kata Brett.
Keputusan Rhys untuk merekam kematiannya terbukti sangat penting
dalam membebaskan keluarga Habermann dari tuntutan hukum. "Video itu
ternyata sangat penting. Tanpa itu, hanya Tuhan yang tahu apa yang akan
terjadi dengan kami," kata Liz. Dia mengatakan kematian putranya akan jauh
lebih ringan sekiranya eutanasia sukarela diperbolehkan.
"Jika pilihan itu tersedia untuk Rhys, anak-anak kami bisa berada di
sana jika mereka mau," katanya. "Setidaknya kami bisa saling mendukung,
dan tak perlu mengirim anak-anak kami yang lain ke rumah teman,
menyembunyikan apa yang sedang terjadi."
"Perjuangan mental yang kami semua alami akan berkurang sekiranya
kami tidak menghadapi pemeriksaan polisi."
"Anak-anak yang lain tidak pernah mengucapkan selamat tinggal
untuk Rhys."
"Melihat mereka harus menderita atas semua ini, sangatlah berat."
Beberapa hari setelah kematiannya, Rhys dilepas oleh masyarakat
setempat, yang berkumpul di lapangan Wudinna untuk mengenang hidupnya.
Teman-teman Rhys menyampaikan kesan saat-saat indah mereka dan berbagai
komentar iseng yang dia lontarkan saat masih hidup.
Peninggalan Rhys Keluarga Rhys sekarang ambil bagian dalam
kampanye mendukung UU Eutanasia Sukarela di Australia Selatan.
 Perspektif Hukum
Rancangan Undang-Undang (RUU) ini masalah yang sudah berlarut-
larut bagi Parlemen Australia Selatan. Sebanyak 17 RUU berbeda telah
diajukan sebanyak 22 kali sejak 1995. Belum ada yang lolos jadi Undang-
Undang (UU).
RUU terbaru yang diusulkan politisi Partai Buruh Kyam Maher, telah
lolos di majelis rendah pekan ini. Namun masih harus menunggu persetujuan
majelis tinggi. RUU ini akan memungkinkan pasien sakit parah yang
memenuhi kriteria tertentu untuk mengakses obat secara legal untuk
mengakhiri hidup mereka.
Anggota parlemen menyebut RUU ini merujuk ke UU yang telah
berlaku di negara bagian Victoria, dan UU serupa yang juga telah disahkan
oleh parlemen Australia Barat dan Tasmania.
"Orang itu harus berusia minimal 18 tahun, perlu tanda tangan dokter
pertama untuk kelayakan orang tersebut, kemudian perlu tanda tangan dokter
kedua untuk lebih memastikan," katanya.
Anggota parlemen diberikan kebebasan oleh partainya dalam
pengambilan suara RUU ini.
"Di banyak wilayah hukum lainnya di seluruh dunia di mana eutanasia
telah menjadi UU, kelompok masyarakat yang menjadi sasaran UU itu
berkembang secara substansial," kata Dennis Hood dari Partai Liberal.
"Di Belanda dan Belgia sekarang, sudah sah secara hukum untuk
eutanasia anak-anak."
"Ahli onkologi senior di Australia Selatan meyakinkan saya bahwa
mereka dapat mengobati rasa sakit jika mereka diberi alat untuk
melakukannya. Sayangnya, kita tidak mendanai perawatan paliatif
sebagaimana harusnya."
Mantan hakim Mahkamah Agung Betty King mengawasi penerapan
UU Euthanasia di Victoria, yang telah berlaku selama hampir dua tahun.
"Kami meninjau setiap kasus kematian eutanasia secara sukarela,"
katanya.
"Sejauh ini saya belum melihat satu contoh pun orang yang didorong,
dipaksa, atau ditipu dengan cara apa pun untuk meminum obat mematikan."
Negara bagian Victoria, Australia kembali melegalkan eutanasia pada
Rabu (19/6/2019), setelah 20 tahun mencabut undang-undang pertama
pencabutan nyawa tanpa rasa sakit. Proses kematian bunuh diri secara sukarela
dilakukan dengan pendekatan dan bantuan dokter, setidaknya proses ini
memakan waktu 10 hari, sehingga pasien pertama dijadwalkan dapat mati
pada tanggal 29 Juni dengan menelan koktail dari bahan kimia yang
mematikan.
Menteri Kesehatan Jenny Mikakos berharap setidaknya satu pasien per
bulan akan terbantu untuk mati pada tahun pertama pelegalan Eutanasia.
“Kami mengantisipasi, begitu skema telah ada untuk beberapa waktu, kami
akan melihat antara 100 dan 150 pasien mengakses skema ini setiap tahun,”
Mikakos mengatakan kepada Australian Broadcasting Corp. "Pada tahun
pertama, kami berharap jumlahnya cukup sederhana-mungkin hanya selusin
orang," tambahnya, seperti dikutip Associated Press News (AP News). Empat
Uskup Katolik Roma Victoria telah menandatangani surat terbuka pada Rabu
(19/6/2019) yang menyatakan hal ini sebagai "bab baru dan bermasalah dari
perawatan kesehatan di Victoria." "Kami tidak bisa bekerja sama dengan
fasilitasi bunuh diri, bahkan ketika itu tampaknya didorong oleh empati atau
kebaikan," tulis surat itu. Praktisi kesehatan mana pun dapat dengan sengaja
menolak untuk mengambil bagian dalam proses eutanasia.
Pasien yang menginginkan eutanasia harus memenuhi syarat, yaitu
didiagnosis dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau kondisi yang
menyebabkan penderitaan yang tak tertahankan, dan tidak dapat dielakkan.
Prediksi umur hidup pasien juga setidaknya enam bulan lagi, atau dua belas
bulan untuk kondisi neeurodegeneratif. Mereka juga harus tinggal di Victoria
selama setidaknya satu tahun, atau warga negara Australia, atau penduduk
tetap, sebelum mengajukan permintaan eutanasia. Sistem eutanasia telah
diterapkan selama 18 bulan sejak parlemen negara mengeluarkan undang-
undang pada tahun 2017.

Anda mungkin juga menyukai