NIM : P17210193078
NO : 29
ISSUE ETIK
Kasus 1 :
TANGGAPAN 1 :
. Meskipun keluarga (suami) tidak tega meihat istrinya tergolek koma selama 2bulan,
suami tersebut tidak akan mudah melakukan tindakan euthanasia tersebut. Dikarenakan
Indonesia sendiri belum terdapat payung hukum yang mengatur secara khusus perihal
euthanasia. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan kode etik
kedokteran tidak mengatur perihal euthanasia. Sebagaimana sedikit diulas diatas, kajian
normatif euthanasia akan kembaliseputar sejauh mana keterlibatan dokter dalam rumusan
tindak pidana terutama
pasal 344 KUHP. Bahkan apabila dokter melakukan Euthanasia tanpa berhati-hati, maka
dapat dihubungkan pula secara tidak langsung dengan pasal 338, 340,345 maupun 359 KUHP
dan melanggar pasal pasal 7 huruf a, c, dan d Kode etik kedokteran.
https://rusdihamid374.wordpress.com/2014/02/05/issue-etik-keperawatan/
Kasus 2 :
Tanggapan 2 :
Transplantasi adalah suatu rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau
jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka
pengobatan untukmengganti jaringan dan atau organ tubuh yang tidaak berfungsi dengan baik ata
mengalami suatu kerusakan. Dari segi etika keperawatan asalkan tidak melanggar prinsip-prinsip etik
seperti otonom (Autonomy), Tidak merugikan (Nonmaleficience), Berbuat baik(Beneficience),
Keadilan (Justice), Kejujuran (Veracity) dan Menepati janji (Fidelity)transplantasi organ
diperbolehkan.
Dalam hukum, transplantasi juga tidak ada larangan apabila dalam keadaan yang darurat
dan harus dengan alasan medis, tidak melakukannya secara ilegal, dilakukan oleh profesional dan
dilakukan secara sadar. Tindakan transplantasi diatas juga termasuk diperbolehkan karena atas dasar
medis dan mendapat persetujuan keluarga demi kesembuhan cliff yang menderita penyakit gagal
ginjal kronis stadium lima, menyebabkan cliff harus cuci darah selama 3tahun.
Sumber : http://chakuthainheart.blogspot.com/2013/09/transplantasi-organ.html
https://www.academia.edu/38820067/ETIKA_KEPERAWATAN_TRANSPLANTASI_ORGAN
Kasus 3 :
85 Persen Pasien Corona di China Sembuh karena Obat
Tradisional
TRIBUNNEWS.COM - Virus Corona telah mewabah di China sejak Januari
2020. Awalnya, Covid-19 berasal dari Kota Wuhan. Sebanyak 80.860
orang di China telah terinfeksi Corona, per Senin (16/3/2020).
Menurut thewuhanvirus.com, 3.213 orang telah meninggal dunia akibat
virus tersebut. Sementara itu, 67.752 warga China berhasil sembuh.
Tingkat kesembuhan pasien sebesar 83,79 persen.
CNN melaporkan, China memiliki metode pengobatan yang ampuh dalam
menyembuhkan pasien Corona. Ketika para ilmuwan berlomba untuk
menemukan obat dan vaksin, China beralih ke pengobatan tradisional.
China meyakini pengobatan kuno dapat membantu. "Dengan
menyesuaikan kesehatan tubuh dan meningkatkan kekebalan,
pengobatan tradisional China dapat membantu merangsang kemampuan
pasien untuk melawan dan pulih dari penyakit," kata Yu Yanhong, wakil
kepala China's National Administration of Traditional Chinese Medicine,
dalam konferensi pers minggu lalu .
TANGGAPAN 3 :
Kasus tersebut termasuk Issue Etik, karena masih belum ada bukti ilmiah
yang menjelaskan bahwa obat tradisional mampu menyembuhkan virus
covid-19. Para ahli medis Barat juga telah lama mempertanyakan
keamanan dan keefektivitasnya.
SUMBER : https://www.tribunnews.com/corona/2020/03/17/85-persen-
pasien-corona-di-china-sembuh-karena-obat-tradisional?page=3
Kasus 4 :
Jakarta - Klinik Caya, Depok, Jawa Barat didenda Rp 5 juta karena mengoperasikan alat kesehatan
sinar X tanpa izin. Klinik Caya dinyatakan melanggar UU Ketenaganukliran.
Kasus bermula saat 2 petugas Badan Pengawasan Tenaga Nuklir (Bapeten) melakukan inspeksi
mendadak ke klinik itu pada Juli 2013. Dalam temuannya, Bapeten menemukan laborat klinik itu
mengoperasikan 5 alat yang menggunakan sinar X yaitu di dua unit di ruang radiologi, 2 di ruang
radiologi gigi dan 1 unit di bus.
Selain itu, Klinik Caya juga mempekerjakan karyawan yang belum ahli di bidangnya. Yaitu Agus
Sahrodi dan Endah Octaningrum yang hanya berpendidikan DIII Teknik Radiodiagnostik. Adapun
untuk radioterapi, keduanya belum memiliki kompetensi mengoperasionalkan pesawat sinar X.
Lantas Bapeten menyegel alat tersebut. Tetapi sepekan kemudian, saat Bapeten mengecek lagi
ternyata masih beroperasi. Atas masih beroperasinya alat itu, dikhawatirkan dapat membahayakan
pasien tidak dalam waktu dekat tetapi beberapa tahun kemudian. Selain itu juga membahayakan bagi
pekerja radiasi karena tidak dapat mendeteksi berapa jumlah dosis radiasi yang diterima karyawan.
Negara juga kehilangan pendapatan negara bukan pajak dari sektor perizinan.
Kasus ini lalu bergulir ke pengadilan. Dirut Klinik Caya, Bambang Wahono harus
mempertanggungjawabkan hal tersebut. Bambang dijerat dengan pasal 43 jo pasal 17 ayat 1 UU No
10/1997 tentang Ketenaganukliran.
Pasal 17 ayat 1 menyebutkan: Setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin, kecuali dalam
hal-hal tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
"Menyatakan Bambang Wahono bersalah melakukan tindak pidana tanpa izin melakukan kegiatan
pemanfaatan tenaga nuklir. Menjatuhkan pidana denda Rp 5 juta. Jika tidak membayar denda maka
diganti 3 bulan kurungan," putus majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Depok seperti dilansir
website Mahkamah Agung (MA), Sabtu (28/6/2014).
Duduk sebagai ketua majelis Sabto Supriyono dengan anggota Nurhadi dan Eti Koerniati. Hal yang
meringankan terdakwa belum pernah dihukum dan tengah mengurus izin alat tersebut ke Bapeten.
"Hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa dapat meresahkan masyarakat dan membahayakan
kesehatan dan jiwa akibat radiasi," putus majelis pada 10 Maret 2014 lalu.
Tanggapan 4 :
Terlepas dari peranan Sinar X dalam menunjang informasi diagnosis klinis, Sinar X juga
memiliki sisi yang sangat perlu diperhatikan secara khusus, yaitu berkaitan dengan efek negatif yang
ditimbulkan. Diketahui bahwa Sinar X dengan karakteristiknya memiliki energi minimal sebesar 1
KeV = 1000 eV. Energi sebesar ini jika berinteraksi dengan tubuh manusia tentunya dikhawatirkan
akan memberikan dampak negatif.
Diketahui juga pada klinik tersebut mempekerjakan karyawan yang belum ahli pada bidang
tersebut. Sehingga memungkinkan terjadinya kelalaian kerja ataupun membahayakan pasien
beberapa tahun kemudian.
Walaupun sinar X sangt berguna bagi manusia ,tetapi penggunaannya sangat meresahkan
masyarakat dan apabila digunakan secara berlebihan juga memberikan dampak negatif, seperti :
Sumber :
https://news.detik.com/berita/d-2622129/langgar-uu-ketenaganukliran-klinik-di-depok-didenda-rp-
5-juta
https://www.academia.edu/12500941/SINAR_X_UNTUK_RONTGEN_RADIASI_DALAM_BIDANG_KES
EHATAN_
PROBLEM ETIK
Kasus 1 :
Nyawa Rizki tak tertolong diduga karena perawat puskesmas asyik main
handphone. REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Kematian M. Rizki
Syahputra di Puskesmas Panjang, Bandar Lampung, membawa duka
panjang bagi keluarga korban, Kamis (4/4). Nyawa Rizki tak tertolong
diduga gara-gara perawat puskesmas lalai karena asyik
bermain handphone (HP).
Rizki yang baru berusia 14 tahun menjadi korban kecelakaan tunggal
pada Rabu (3/4). Ibu korban, Lisnawati, menyesalkan tindakan perawat
puskesmas yang lalai menangani korban kecelakaan yang sedang dalam
kondisi gawat darurat.
Rizki dibawa warga ke Puskesmas Panjang setelah terjadi kecelakaan
tunggal. Ia dibawa ke ruang gawat darurat sekitar pukul 15.30 WIB. Saat
sampai puskesmas, korban hanya diberikan infus dan obat luka. Setelah
itu Rizki dibiarkan hingga keluarga datang pada pukul 17.00. “Kalau
memang tidak sanggup segera dirujuk ke rumah sakit umum,” kata
Lisnawati.
Berdasarkan keterangan warga yang berobat di sana, Lisnawati mendapat
informasi selama anaknya di ruang gawat darurat puskesmas perawat
justru asyik bermain HP. Menurut Lisnawati seharusnya perawat langsung
mengambil tindakan dan penangan cepat langsung merujuk dan
membawa ke rumah sakit. Saat keluarga datang, korban sudah
meninggal.
Pelayanan Puskesmas Panjang, tutur dia, sudah sering dikeluhkan
masyarakat setempat. Perawat yang bertugas sering mengacuhkan
pasien yang datang berobat. Penanganan pasien yang sakit hanya
diberikan pengobatan seadanya padahal banyak pasien yang mengidap
penyakit parah.
Rizki mengalami kecelakaan di jalan raya saat mengendarai motor
supranya. Dalam perjalanan, menurut keterangan warga, sebelum jatuh di
aspal, ia terserempet mobil truk fuso. Saat terjatuh dari motor, kondisi
tubuhnya mengalami luka yang cukup parah. Warga yang menyaksikan
kecelakaan tersebut melarikan korban ke Puskesmas Panjang yang dinilai
terdekat.
Pihak Puskesmas Panjang Belum bisa dikonfirmasi karena tidak ada lagi
petugas yang berjaga di tempat itu. Kepala Dinas Kesehatan Bandar
Lampung Edwin Rusli menyatakan akan menindaklanjuti adanya keluhan
masyarakat terkait dengan pelayanan kesehatan yang diberikan petugas
di Puskesmas Panjang.
TANGGAPAN 1 :
SUMBER :
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/19/04/05/ppgp0n459-
diduga-perawat-lalai-karena-main-handphone-pasien-meninggal
Kasus 2 :
Pada malam hari sekitar pukul 21.00 WIB, terdakwa Desri membuka buku
rekam medis untuk melihat obat yang harus disuntikkan ke Reza. Dia
melihat ketersediaan obat pada kotak obat Reza hanya satu. Desri
kemudian mengatakan kepada Erwanty ada beberapa obat yang harus
disuntikkan ke Reza. Erwanty selanjutnya memerintahkan Desri untuk
meresepkan obat ke dalam Kartu Obat Pasien (KOP) untuk digunakan
sebagai dasar pengambilan obat di depo. Tak lama berselang, Desri
meminta orang tua korban mengambil obat di depo obat. Petugas di sana
sempat menanyakan keberadaan pasien. Namun, karena ayah korban
tidak dapat berbicara, akhirnya diserahkan obat tersebut setelah petugas
melihat data korban. Saat itu, petugas mengira Reza masih berada di
dalam ruang operasi. Setelah obat dikantongi, terdakwa kemudian
memerintahkan untuk menyuntik ke korban. Reza mendapat suntikan
obat beberapa kali dalam beberapa menit. Sekitar pukul 00.05 WIB,
Sabtu, 20 Oktober 2018, Desri memanggil Erwanty, lalu mengabarkan
kondisi Reza melemah. Erwanty mengecek keadaan Reza dan
mendapatkan kondisi nadi serta pernapasan korban sudah melemah.
Seorang perawat di ruang anak memberi tahu kedua terdakwa bahwa
keduanya salah menyuntik obat ke tubuh Reza. Hal itu menyebabkan
Reza meninggal dunia. Kasus tersebut selanjutnya dilaporkan ke Polres
Aceh Barat. Polisi memeriksa sejumlah saksi tersebut kedua terdakwa.
Erwinty dan Desri selanjutnya dikirim ke pengadilan. Dalam persidangan
di PN Meulaboh, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut keduanya dengan
hukuman masing-masing 2 tahun 6 bulan penjara. Namun majelis hakim
memvonis keduanya lebih ringan. Majelis hakim yang diketuai Zulfadly
dengan hakim anggota Muhammad Al-Qudri dan Irwanto menyatakan
kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan kematian
bagi penerima pelayanan kesehatan. "Menjatuhkan pidana terhadap diri
para terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing
selama dua tahun," putus Zulfadly dalam persidangan yang digelar, Kamis
(30/1) kemarin.
TANGGAPAN 2 :
SUMBER : https://news.detik.com/berita/d-4880701/salah-suntik-bikin-
pasien-meninggal-2-perawat-di-aceh-dibui-2-tahun
Kasus 3 :
Beberapa hari menjadi perawatan medis, bayi Diane Giam tetap tidak
menunjukkan tanda-tanda membaik. Diane Giam pun mulai mencurigai
ada sesuatu yang tidak beres pada anaknya. Saat itulah Diane menyadari
bahwa seorang perawat rumah sakit telah melakukan kelalaian yang
menyebabkan penyakit anaknya tak kunjung sembuh. Ia pun
menceritakan pengalamannya itu melalui Facebook sekaligus
memeringatkan orangtua lainnya. Melalui unggahannya, ia menceritakan
cara kerja seorang perawat di rumah sakit tersebut. Ternyata seorang
perawat itu telah melakukan kesalahan ketika mengganti infus bayinya
pada hari ketiga. Saat itu tangan bayinya membengkak, sehingga perawat
perlu melepas infusnya. Namun, perawat itu diduga salah dalam
mencabut infus anaknya sehingga menyebabkan banyak darah keluar.
Padahal bayinya sempat menerima 3 tabung darah sebelumnya. Pada hari
kelima, bayinya tidak hanya menderita demam 38 derajat. Tetapi juga
terinfeksi jenis bakteri lainnya yang ditemukan dalam usus. Artinya,
perawat harus memberikan antibiotik kedua untuk anaknya. Diane Giam
pun menduga kalau bakteri di dalam usus anaknya akibat pemberian
augmetin yang berlebihan dari perawat. Menurut studi medis, konsumsi
antibiotik menyebabkan hilangnya fauna usus yang terjadi secara alami,
yang meningkatkan jumlah ragi dan bakteri dalam usus. Dalam proses
pemberian obat baru melalui infus anaknya, perawat yang melakukannya
telah menyebabkan darah menyembur lagi. Dua hari kemudian, dokter
anak memberi tahu Giam bahwa anaknya telah diberikan antibiotik dalam
dosis tinggi, bahkan 5 kali lebih banyak dari yang ditakarkan. Meskipun
anaknya sekarang sudah membaik, Giam tetap khawatir akan risiko
komplikasi pada anaknya. Direktur keperawatan pun meminta maaf
kepada Giam bahwa pihaknya akan melakukan tindakan disipliner
terhadap perawat yang telah melakukan kesalahan. "Kami benar-benar
menyesal mendengar pengalaman ibu itu. Seperti yang dikatakan
sebelumnya, seorang anggota senior kami akan mengatasi masalah ini,"
kata seorang juru bicara Rumah Sakit Mount Elizabeth Novena. Pihak
rumah sakit pun masih melakukan investigasi atas insiden tersebut.
Sementara itu, rumah sakit juga tetap menjalin hubungan sekaligus
memberi dukungan kepada Giam.
TANGGAPAN 3 :
Kasus tersebut termasuk Problem Etik Keperawatan, karena kelalaian
perawat dalam memberikan obat yang dapat mengakibatkan kelebihan
antibiotik. Seharusnya sebelum meberikan obat, perawat mengecek,
mengkonfirmasi kepada dokter dan keluarga pasien, agar tidak terjadi
hal-hal yang diinginkan. Perawat juga harus bekerja sesuai SOP.
SUMBER : https://www.suara.com/health/2020/02/08/132130/akibat-
kelalaian-perawat-bayi-10-bulan-overdosis-antibiotik-saat-demam
Kasus 4 :
TANGGAPAN :
DILEMA ETIK
Kasus 1 :
Suatu hari ada seorang bapak-bapak dibawa oleh keluarganya ke salah satu Rumah
Sakit di kota Surakarta dengan gejala demam dan diare kurang lebih selama 6 hari. Selain itu
bapak-bapak tersebut (Tn. A) menderita sariawan sudah 3 bulan tidak sembuh-sembuh, dan
berat badannya turun secara berangsur-angsur. Semula Tn. A badannya gemuk tapi 3 bulan
terakhir ini badannya kurus dan telah turun 10 Kg dari berat badan semula. Tn. A ini
merupakan seorang sopir truk yang sering pergi keluar kota karena tuntutan kerjaan bahkan
jarang pulang, kadang-kadang 2 minggu sekali bahkan sebulan sekali.
Tn. A masuk UGD kemudian dari dokter untuk diopname di ruang penyakit dalam
karena kondisi Tn. A yang sudah sangat lemas. Keesokan harinya dokter yang menangani Tn.
A melakukan visit kepada Tn. A, dan memberikan advice kepada perawatnya untuk
dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan mengambil sampel darahnya. Tn. A yang ingin
tahu sekali tentang penyakitnya meminta perawat tersebut untuk segera memberi tahu
penyakitnya setelah didapatkan hasil pemeriksaan. Sore harinya pukul 16.00 WIB hasil
pemeriksaan telah diterima oleh perawat tersebut dan telah dibaca oleh dokternya. Hasilnya
mengatakan bahwa Tn. A positif terjangkit penyakit HIV/AIDS. Kemudian perawat tersebut
memanggil keluarga Tn. A untuk menghadap dokter yang menangani Tn. A. Bersama dokter
dan seijin dokter tersebut, perawat menjelaskan tentang kondisi pasien dan penyakitnya.
Keluarga terlihat kaget dan bingung. Keluarga meminta kepada dokter terutama perawat
untuk tidak memberitahukan penyakitnya ini kepada Tn. A. Keluarga takut Tn. A akan
frustasi, tidak mau menerima kondisinya dan dikucilkan dari masyarakat. Perawat tersebut
mengalami dilema etik dimana satu sisi dia harus memenuhi permintaan keluarga namun di
sisi lain perawat tersebut harus memberitahukan kondisi yang dialami oleh Tn. A karena itu
merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi.
Tanggapan 1 :
Kasus diatas menjadi suatu dilema etik bagi perawat dimana dilema etik itu
didefinisikan sebagai suatu masalah yang melibatkan dua ( atau lebih ) landasan moral suatu
tindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan suatu kondisi dimana setiap
alternatif tindakan memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar untuk
menentukan yang benar atau salah dan dapat menimbulkan kebingungan pada tim medis yang
dalam konteks kasus ini khususnya pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan,
tetapi banyak rintangan untuk melakukannya. Menurut Thompson & Thompson (1981)
dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan
atau situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Untuk
membuat keputusan yang etis, seorang perawat harus bisa berpikir rasional dan bukan
emosional.
Perawat tersebut berusaha untuk memberikan pelayanan keperawatan yang sesuai dengan
etika dan legal yaitu dia menghargai keputusan yang dibuat oleh pasien dan keluarga. Selain
itu dia juga harus melaksanakan kewajibannya sebagai perawat dalam memenuhi hak-hak
pasien salah satunya adalah memberikan informasi yang dibutuhkan pasien atau informasi
tentang kondisi dan penyakitnya.
Sumber : https://www.academia.edu/31793152/Dilema_etik
Kasus 2 :
Seorang wanita berumur 50tahun menderita penyakit kanker payudara terminal dengan
metastase yang telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi. Wanita tersebut
mengalami nyeri tulang yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan pemberian
dosis morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika istirahat dan
nyeri bertambah hebat saat wanita tersebut mengubah posisi tidurnya. Klien bisa tidur namun
ia sering meminta diberkan analgesik, dan keluarganya pun meminta untuk dilakukannya
penambahan dosis pemberian analgesik. Saat dilakukan diskusi dengan perawat disimpulkan
bahwa penambahan obat analgesik dapat mempercepat kematian pada klien.
Tanggapan 2 :
Kasus di atas merupakan kasus dilema etik, karena jika pasien diberi obat analgesik
terus menerus akan menyebabkan kematian pada pasien, jika perawat memberikan obat yang
diminta maka perawat melakukan pelanggaran kode etik.
Sumber : https://www.academia.edu/25100595/KASUS_DILEMA_ETIK_KLMPK
Kasus 3 :
Kasus 4 :
TANGGAPAN 4 :
SUMBER : https://news.detik.com/berita/d-1333165/dilema-perawat-di-
pedalaman-selamatkan-nyawa-berujung-pidana
BIOETIK
Kasus 1 :
TANGGAPAN 1 :
Sumber : https://www.nusabali.com/berita/63516/fk-undiksha-lirik-pemanfaatan-teknologi-
nuklir-untuk-kesehatan
Kasus 2 :
TANGGAPAN 2 :
SUMBER :
https://sains.kompas.com/read/2017/10/12/160700523/bagaimana-
perkembangan-terapi-sel-punca-di-indonesia-
Kasus 3 :
CEO sekaligus Direktur klinik bayi tabung pertama di Indonesia Morula IVF
Indonesia, dr. Ivan Sini, SpOG. (Suara.com/Dini Afriani Efendi). "Rata-rata
di Indonesia masih perlu edukasi soal bayi tabung, terutama di Indonesia
Timur, masih perlu edukasi besar," ujar dr. Ivan dalam acara Gathering
Media di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2019). Meski begitu, Morula
IVF sudah membuka pelayanan di kota Makassar, Sulawesi, untuk
menjangkau masyarakat dengan edukasi dan menjawab masalah
kesuburan di daerah-daerah terdekat. Alhasil, Makassar jadi tempat yang
cukup sibuk mengobati, mengingat posisinya sebagai klinik bayi tabung
pertama di Indonesia bagian timur. "Begitu kita buka di Makassar, di sana
jadi salah satu klinik yang paling sibuk, dari seluruh klinikr kami, itu
karena masyarakat sudah teredukasi bahwa bayi tabung itu merupakan
opsi, dan (pasien) datang dari Papua, Ambon, Kendari," lanjut dr. Ivan. Dr.
Ivan mengatakan, ada perbedaan dengan kota besar, di mana informasi
sangat mudah diakses sehingga edukasi mudah tersampaikan.
Kekurangan informasi ini bisa terjadi bias informasi, khususnya seputar
bayi tabung. "Pasangan yang dibilang mandul, orang saat ini tidak melihat
itu sebagai satu masalah. Tapi itu memang perlu edukasi, dan harus
diakui edukasi di kota besar seperti Jakarta Surabaya, Medan, itu sudah
terpapar dengan banyak sekali infomasi," tutur dr. Ivan.
TANGGAPAN 3 :
SUMBER : https://amp.suara.com/health/2019/10/09/163919/dijalankan-
sesuai-etika-prosedur-bayi-tabung-legal-di-indonesia
Kasus 4 :
TANGGAPAN 4 :
SUMBER : https://www.nusabali.com/berita/33713/sukses-transplantasi-
ginjal-ke-10