Anda di halaman 1dari 21

NAMA : LINDA WAHYU LISETYOWATI

NIM : P17210193078

NO : 29

PRODI : D-III KEPERAWATAN MALANG / 1B

ISSUE ETIK
Kasus 1 :

Hasan Kusuma – Indonesia


Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah
diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan
istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di
samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu
alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar
keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan
setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah
mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

TANGGAPAN 1 :

. Meskipun keluarga (suami) tidak tega meihat istrinya tergolek koma selama 2bulan,
suami tersebut tidak akan mudah melakukan tindakan euthanasia tersebut. Dikarenakan
Indonesia sendiri belum terdapat payung hukum yang mengatur secara khusus perihal
euthanasia. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan kode etik
kedokteran tidak mengatur perihal euthanasia. Sebagaimana sedikit diulas diatas, kajian
normatif euthanasia akan kembaliseputar sejauh mana keterlibatan dokter dalam rumusan
tindak pidana terutama
pasal 344 KUHP. Bahkan apabila dokter melakukan Euthanasia tanpa berhati-hati, maka
dapat dihubungkan pula secara tidak langsung dengan pasal 338, 340,345 maupun 359 KUHP
dan melanggar pasal pasal 7 huruf a, c, dan d Kode etik kedokteran.

Pihak pengadilanpun menolak adanya permohonan sang suami terhadap istrinya


untuk melakukan tindakan euthanasia ini, sebab bukan kemauan atau keinginan pasien.
Sebaiknya sang suami tetap melakukan tindakan pengobatan ataupun perawatan intensif
sebagaimana mestinya tanpa melanggar hukum, karena di Indonesia tidak diperbolehkan
melakukan euthanasia. Sebagai perawat juga harus melakukan edukasi kepada keluarga
pasien adalah perbuatan melanggar hukum, serta memberikan semangat.
Sumber : https://www.academia.edu/36417399/Etika_Keperawatan_Euthanasia

https://rusdihamid374.wordpress.com/2014/02/05/issue-etik-keperawatan/

Kasus 2 :

Pertama di Indonesia, Anak Ini Sukses Jalani Transplantasi Ginjal


Qalbinur Nawawi – Okezone Selasa, 16 April 2013 20:23 WIB
CLIFF Yehezkiel Mambo, begitu nama lengkap anak lelaki ini, akhirnya tersenyum
bahagia. Setelah lama bibir itu menahan sakit akibat penyakit gagal ginjal kronis stadium
lima, derita itu pun akhirnya sirna usai menjalani operasi transplantasi ginjal. Hal ini seperti
dijelaskan oleh ibundanya Serli Katili dan James Mambo. Ini adalah anugerah yang luar biasa
Cliff bisa sembuh setelah cuci darah selama tiga tahun sambil menahan rasa sakit.
“Awal diagnosis Cliff, kami sangat terpukul dan tidak menerima kondisi ini. Apalagi
saat mendengar ginjal dari Cliff tinggal 25 persen. Hingga kami langsung memutuskan pergi
ke salah satu daerah bagian Malaysia memastikan diagnosanya. Kami melakukan ini karena
kasus yang terjadi pada Cliff jarang terjadi di Indonesia,” kata Serli Katili Ibunda Cliff F.
Mambo dalam acara yang bertemakan Sukses Transplantasi Ginjal Anak Pertama di
Indonesia Lt. 6 auditorium RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, Senin, 15 April 2013.
Diceritakannya, setelah berbagai kendala dan pertimbangan akhirnya mereka
memutusukan pindah  ke Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Alasannya, karena
mengetahui pihak rumah sakit menyanggupi operasi transplantasi ginjal pada anak-anak.
Meskipun, operasi  ini sangat berisiko mengingat operasi transplantasi ginjal pada anak ialah
pertama kali di Indonesia, namun mereka tetap optimis menempuh cara tersebut.
Ia mengisahkan bahwa kesulitan mencari donor ginjal yang pas selama dua tahun
lebih juga menjadi kendala yang dilaluinya. Meski demikian, ia tak gentar berjuang untuk
anaknya. Baginya, ini bukan tentang lama menunggunya, tapi tidak kuatnya mendengar
keluhan anaknya kian hari mendorong dirinya mencari pengobatan terbaik. Makanya saat
mendapatkan donor yang pas mereka sangat senang sekali. Hingga akhirnya, operasi pada 13
maret 2013  dilakukan membuat kesehatan anaknya membaik.
“Kami sangat berterima kasih kepada pihak RSCM, khususnya tim dokter yang telah
mengembalikan kesehatan dan keceriaan anak kami. Keluhan yang ia rasakan perlahan
hilang, apalagi melihat Cliff bisa makan apa saja sekarang. Cliff senang sekali,” tutupnya. 

Tanggapan 2 :

Transplantasi adalah suatu rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau
jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka
pengobatan untukmengganti jaringan dan atau organ tubuh yang tidaak berfungsi dengan baik ata
mengalami suatu kerusakan. Dari segi etika keperawatan asalkan tidak melanggar prinsip-prinsip etik
seperti otonom (Autonomy), Tidak merugikan (Nonmaleficience), Berbuat baik(Beneficience),
Keadilan (Justice), Kejujuran (Veracity) dan Menepati janji (Fidelity)transplantasi organ
diperbolehkan.

Dalam hukum, transplantasi juga tidak ada larangan apabila dalam keadaan yang darurat
dan harus dengan alasan medis, tidak melakukannya secara ilegal, dilakukan oleh profesional dan
dilakukan secara sadar. Tindakan transplantasi diatas juga termasuk diperbolehkan karena atas dasar
medis dan mendapat persetujuan keluarga demi kesembuhan cliff yang menderita penyakit gagal
ginjal kronis stadium lima, menyebabkan cliff harus cuci darah selama 3tahun.

Sumber : http://chakuthainheart.blogspot.com/2013/09/transplantasi-organ.html

https://www.academia.edu/38820067/ETIKA_KEPERAWATAN_TRANSPLANTASI_ORGAN

Kasus 3 :
85 Persen Pasien Corona di China Sembuh karena Obat
Tradisional
TRIBUNNEWS.COM - Virus Corona telah mewabah di China sejak Januari
2020. Awalnya, Covid-19 berasal dari Kota Wuhan. Sebanyak 80.860
orang di China telah terinfeksi Corona, per Senin (16/3/2020).
Menurut thewuhanvirus.com, 3.213 orang telah meninggal dunia akibat
virus tersebut. Sementara itu, 67.752 warga China berhasil sembuh.
Tingkat kesembuhan pasien sebesar 83,79 persen.
CNN melaporkan, China memiliki metode pengobatan yang ampuh dalam
menyembuhkan pasien Corona. Ketika para ilmuwan berlomba untuk
menemukan obat dan vaksin, China beralih ke pengobatan tradisional.
China meyakini pengobatan kuno dapat membantu. "Dengan
menyesuaikan kesehatan tubuh dan meningkatkan kekebalan,
pengobatan tradisional China dapat membantu merangsang kemampuan
pasien untuk melawan dan pulih dari penyakit," kata Yu Yanhong, wakil
kepala China's National Administration of Traditional Chinese Medicine,
dalam konferensi pers minggu lalu .

Xiong Qingzhen, seorang insinyur yang menjadi pasien sembuh Corona,


membeberkan obat tradisional yang digunakan rumah sakit di China.
Pengobatan tradisional yang diterima adalah sup cokelat, obat
tradisional China yang merupakan campuran lebih dari 20 herbal, seperti
ephedra, ranting kayu manis, dan akar manis (licorice)
Selama itu, setiap pagi dan sore, pria 38 tahun tersebut menerima
sekantong sup cokelat dari paramedis. Sup cokelat adalah pengobatan
tradisional yang digaungkan pemerintah China sebagai obat untuk
memberantas wabah virus Corona. Sup tersebut dianggap sebagai
pembersih paru-paru dan detoksifikasi. Namun, dia menolak untuk
meminumnya. Tak seperti kebanyakan pasien lainya, Xiong skeptis akan
kemanjuran sup cokelat tersebut. "Menurut pendapat saya, itu adalah
plasebo belaka," kata Xiong. Xiong pun dinyatakan sembuh pada akhir
Februari. Sementara itu, di luar negeri, obat herbal juga diragukan oleh
para ahli media Barat. Para ahli telah lama mempertanyakan keamanan
dan efektivitasnya, termasuk Yanzhong Huang, ahli senior untuk
kesehatan global di Dewan Hubungan Luar Negeri yang berbasis di
Washington. "Anda harus sadar bahwa 80 persen (dari pasien
coronavirus) adalah kasus ringan." "Bahkan jika mereka tidak melakukan
apa-apa, pada akhirnya mereka akan pulih," katanya

TANGGAPAN 3 :

Kasus tersebut termasuk Issue Etik, karena masih belum ada bukti ilmiah
yang menjelaskan bahwa obat tradisional mampu menyembuhkan virus
covid-19. Para ahli medis Barat juga telah lama mempertanyakan
keamanan dan keefektivitasnya.

SUMBER : https://www.tribunnews.com/corona/2020/03/17/85-persen-
pasien-corona-di-china-sembuh-karena-obat-tradisional?page=3

Kasus 4 :

Jakarta - Klinik Caya, Depok, Jawa Barat didenda Rp 5 juta karena mengoperasikan alat kesehatan
sinar X tanpa izin. Klinik Caya dinyatakan melanggar UU Ketenaganukliran.

Kasus bermula saat 2 petugas Badan Pengawasan Tenaga Nuklir (Bapeten) melakukan inspeksi
mendadak ke klinik itu pada Juli 2013. Dalam temuannya, Bapeten menemukan laborat klinik itu
mengoperasikan 5 alat yang menggunakan sinar X yaitu di dua unit di ruang radiologi, 2 di ruang
radiologi gigi dan 1 unit di bus.

Selain itu, Klinik Caya juga mempekerjakan karyawan yang belum ahli di bidangnya. Yaitu Agus
Sahrodi dan Endah Octaningrum yang hanya berpendidikan DIII Teknik Radiodiagnostik. Adapun
untuk radioterapi, keduanya belum memiliki kompetensi mengoperasionalkan pesawat sinar X.

Lantas Bapeten menyegel alat tersebut. Tetapi sepekan kemudian, saat Bapeten mengecek lagi
ternyata masih beroperasi. Atas masih beroperasinya alat itu, dikhawatirkan dapat membahayakan
pasien tidak dalam waktu dekat tetapi beberapa tahun kemudian. Selain itu juga membahayakan bagi
pekerja radiasi karena tidak dapat mendeteksi berapa jumlah dosis radiasi yang diterima karyawan.
Negara juga kehilangan pendapatan negara bukan pajak dari sektor perizinan.

Kasus ini lalu bergulir ke pengadilan. Dirut Klinik Caya, Bambang Wahono harus
mempertanggungjawabkan hal tersebut. Bambang dijerat dengan pasal 43 jo pasal 17 ayat 1 UU No
10/1997 tentang Ketenaganukliran.

Pasal 17 ayat 1 menyebutkan: Setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin, kecuali dalam
hal-hal tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

"Menyatakan Bambang Wahono bersalah melakukan tindak pidana tanpa izin melakukan kegiatan
pemanfaatan tenaga nuklir. Menjatuhkan pidana denda Rp 5 juta. Jika tidak membayar denda maka
diganti 3 bulan kurungan," putus majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Depok seperti dilansir
website Mahkamah Agung (MA), Sabtu (28/6/2014).

Duduk sebagai ketua majelis Sabto Supriyono dengan anggota Nurhadi dan Eti Koerniati. Hal yang
meringankan terdakwa belum pernah dihukum dan tengah mengurus izin alat tersebut ke Bapeten.

"Hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa dapat meresahkan masyarakat dan membahayakan
kesehatan dan jiwa akibat radiasi," putus majelis pada 10 Maret 2014 lalu.

Tanggapan 4 :

Terlepas dari peranan Sinar X dalam menunjang informasi diagnosis klinis, Sinar X juga
memiliki sisi yang sangat perlu diperhatikan secara khusus, yaitu  berkaitan dengan efek negatif yang
ditimbulkan. Diketahui bahwa Sinar X dengan karakteristiknya memiliki energi minimal sebesar 1
KeV = 1000 eV. Energi sebesar ini jika berinteraksi dengan tubuh manusia tentunya dikhawatirkan
akan memberikan dampak negatif.

Diketahui juga pada klinik tersebut mempekerjakan karyawan yang belum ahli pada bidang
tersebut. Sehingga memungkinkan terjadinya kelalaian kerja ataupun membahayakan pasien
beberapa tahun kemudian.

Walaupun sinar X sangt berguna bagi manusia ,tetapi penggunaannya sangat meresahkan
masyarakat dan apabila digunakan secara berlebihan juga memberikan dampak negatif, seperti :

a. Pemusnahan sel-sel dlaam tubuh


b. Perubahan struktur genetik suatu sel
c. Penyakit kanker basah
d. Rambut rontok
e. Kulit memerah dan bisul
f. Leukimia
g. Kerusakan kulit
h. Epilasi
i. Kuku rapuh
j. Luka permukaan yang dangkal

Sumber :

https://news.detik.com/berita/d-2622129/langgar-uu-ketenaganukliran-klinik-di-depok-didenda-rp-
5-juta

https://www.academia.edu/12500941/SINAR_X_UNTUK_RONTGEN_RADIASI_DALAM_BIDANG_KES
EHATAN_
PROBLEM ETIK
Kasus 1 :

Diduga Perawat Lalai karena Main Handphone, Pasien


Meninggal

Nyawa Rizki tak tertolong diduga karena perawat puskesmas asyik main
handphone. REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Kematian M. Rizki
Syahputra di Puskesmas Panjang, Bandar Lampung, membawa duka
panjang bagi keluarga korban, Kamis (4/4). Nyawa Rizki tak tertolong
diduga gara-gara perawat puskesmas lalai karena asyik
bermain handphone (HP).
Rizki yang baru berusia 14 tahun menjadi korban kecelakaan tunggal
pada Rabu (3/4). Ibu korban, Lisnawati, menyesalkan tindakan perawat
puskesmas yang lalai menangani korban kecelakaan yang sedang dalam
kondisi gawat darurat.
Rizki dibawa warga ke Puskesmas Panjang setelah terjadi kecelakaan
tunggal. Ia dibawa ke ruang gawat darurat sekitar pukul 15.30 WIB. Saat
sampai puskesmas, korban hanya diberikan infus dan obat luka. Setelah
itu Rizki dibiarkan hingga keluarga datang pada pukul 17.00. “Kalau
memang tidak sanggup segera dirujuk ke rumah sakit umum,” kata
Lisnawati.
Berdasarkan keterangan warga yang berobat di sana, Lisnawati mendapat
informasi selama anaknya di ruang gawat darurat puskesmas perawat
justru asyik bermain HP. Menurut Lisnawati seharusnya perawat langsung
mengambil tindakan dan penangan cepat langsung merujuk dan
membawa ke rumah sakit. Saat keluarga datang, korban sudah
meninggal.
Pelayanan Puskesmas Panjang, tutur dia, sudah sering dikeluhkan
masyarakat setempat. Perawat yang bertugas sering mengacuhkan
pasien yang datang berobat. Penanganan pasien yang sakit hanya
diberikan pengobatan seadanya padahal banyak pasien yang mengidap
penyakit parah.
Rizki mengalami kecelakaan di jalan raya saat mengendarai motor
supranya. Dalam perjalanan, menurut keterangan warga, sebelum jatuh di
aspal, ia terserempet mobil truk fuso. Saat terjatuh dari motor, kondisi
tubuhnya mengalami luka yang cukup parah. Warga yang menyaksikan
kecelakaan tersebut melarikan korban ke Puskesmas Panjang yang dinilai
terdekat.
Pihak Puskesmas Panjang Belum bisa dikonfirmasi karena tidak ada lagi
petugas yang berjaga di tempat itu. Kepala Dinas Kesehatan Bandar
Lampung Edwin Rusli menyatakan akan menindaklanjuti adanya keluhan
masyarakat terkait dengan pelayanan kesehatan yang diberikan petugas
di Puskesmas Panjang.

Ia berjanji jika keluhan masyarakat terbukti di lapangan, dinas akan


memberikan sanksi tegas kepada petugas yang bersangkutan. Kasus
tersebut akan dilaporkan kepada Wali Kota Bandar Lampung Herman HN.

TANGGAPAN 1 :

Kasus tersebut termasuk Problem Etik Keperawatan, karena perawat


mengacuhkan pasien gawat darurat. seharusnya perawat langsung
mengambil tindakan dan penangan cepat langsung merujuk dan
membawa ke rumah sakit. Sehingga pihak berwenang perlu menangani
masalah tersebut, agar tidak terulang lagi kejadian yang sama pada
Puskesmas itu.

SUMBER :
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/19/04/05/ppgp0n459-
diduga-perawat-lalai-karena-main-handphone-pasien-meninggal

Kasus 2 :

Salah Suntik Bikin Pasien Meninggal, 2 Perawat di Aceh


Dibui 2 Tahun
Banda Aceh - Dua perawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cut
Nyak Dhien Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, divonis masing-masing 2 tahun
penjara karena terbukti salah menyuntik pasien hingga meninggal dunia.
Keduanya ialah Erwanty dan Desri Amelia Zulkifli. Dikutip detikcom dari
situs resmi Pengadilan Meulaboh, Jumat (31/1/2020), kasus tersebut
bermula saat korban Alfa Reza dibawa ke rumah sakit karena karena
tertusuk kayu pada paha kiri sampai ke bokong. Dia masuk ke ruang IGD
pada Jumat, 19 Oktober 2018. Sejam berselang, tim dokter melakukan
tindakan operasi terhadap korban. Setelah selesai menjalani operasi,
korban dipindahkan ke ruang perawatan anak. Dokter kemudian
memerintahkan Erwanty, Desri, serta beberapa perawat yang bertugas
jaga untuk memberikan obat kepada korban.

Pada malam hari sekitar pukul 21.00 WIB, terdakwa Desri membuka buku
rekam medis untuk melihat obat yang harus disuntikkan ke Reza. Dia
melihat ketersediaan obat pada kotak obat Reza hanya satu. Desri
kemudian mengatakan kepada Erwanty ada beberapa obat yang harus
disuntikkan ke Reza. Erwanty selanjutnya memerintahkan Desri untuk
meresepkan obat ke dalam Kartu Obat Pasien (KOP) untuk digunakan
sebagai dasar pengambilan obat di depo. Tak lama berselang, Desri
meminta orang tua korban mengambil obat di depo obat. Petugas di sana
sempat menanyakan keberadaan pasien. Namun, karena ayah korban
tidak dapat berbicara, akhirnya diserahkan obat tersebut setelah petugas
melihat data korban. Saat itu, petugas mengira Reza masih berada di
dalam ruang operasi. Setelah obat dikantongi, terdakwa kemudian
memerintahkan untuk menyuntik ke korban. Reza mendapat suntikan
obat beberapa kali dalam beberapa menit. Sekitar pukul 00.05 WIB,
Sabtu, 20 Oktober 2018, Desri memanggil Erwanty, lalu mengabarkan
kondisi Reza melemah. Erwanty mengecek keadaan Reza dan
mendapatkan kondisi nadi serta pernapasan korban sudah melemah.
Seorang perawat di ruang anak memberi tahu kedua terdakwa bahwa
keduanya salah menyuntik obat ke tubuh Reza. Hal itu menyebabkan
Reza meninggal dunia. Kasus tersebut selanjutnya dilaporkan ke Polres
Aceh Barat. Polisi memeriksa sejumlah saksi tersebut kedua terdakwa.
Erwinty dan Desri selanjutnya dikirim ke pengadilan. Dalam persidangan
di PN Meulaboh, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut keduanya dengan
hukuman masing-masing 2 tahun 6 bulan penjara. Namun majelis hakim
memvonis keduanya lebih ringan. Majelis hakim yang diketuai Zulfadly
dengan hakim anggota Muhammad Al-Qudri dan Irwanto menyatakan
kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan kematian
bagi penerima pelayanan kesehatan. "Menjatuhkan pidana terhadap diri
para terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing
selama dua tahun," putus Zulfadly dalam persidangan yang digelar, Kamis
(30/1) kemarin.

TANGGAPAN 2 :

Kasus tersebut termasuk Problem Etik Keperawatan, karena perawat salah


menyuntikkan obat kepada pasien. Seharusnya perawat mengecek
terlebih dahulu, apakah obat tersebut benar sebelum diberikan kepada
pasien dan juga melakukan tindakan sesuai SOP. Perawat tersebut divonis
hukuman 2 tahun penjara akibat kelalaiannya.

SUMBER : https://news.detik.com/berita/d-4880701/salah-suntik-bikin-
pasien-meninggal-2-perawat-di-aceh-dibui-2-tahun

Kasus 3 :

Akibat Kelalaian Perawat, Bayi 10 Bulan Overdosis


Antibiotik saat Demam

Suara.com - Diane Giam, seorang ibu asal Singapura membawa


anaknya ke Rumah Sakit Mounth Elizabeth Novena karena anaknya
mengalami demam  tinggi yang tak kunjung mereda. Mulanya, bayi  Diane
Giam yang masih berusia 10 bulan mengalami demam hingga 41 derajat
karena infeksi di kedua telinganya. Sehingga anaknya harus menjalani
perawatan dan mendapat antibiotik  augmetin melalui infus untuk
mengatasi infeksinya.

Beberapa hari menjadi perawatan medis, bayi Diane Giam tetap tidak
menunjukkan tanda-tanda membaik. Diane Giam pun mulai mencurigai
ada sesuatu yang tidak beres pada anaknya. Saat itulah Diane menyadari
bahwa seorang perawat rumah sakit telah melakukan kelalaian yang
menyebabkan penyakit anaknya tak kunjung sembuh. Ia pun
menceritakan pengalamannya itu melalui Facebook sekaligus
memeringatkan orangtua lainnya. Melalui unggahannya, ia menceritakan
cara kerja seorang perawat di rumah sakit tersebut. Ternyata seorang
perawat itu telah melakukan kesalahan ketika mengganti infus bayinya
pada hari ketiga. Saat itu tangan bayinya membengkak, sehingga perawat
perlu melepas infusnya. Namun, perawat itu diduga salah dalam
mencabut infus anaknya sehingga menyebabkan banyak darah keluar.
Padahal bayinya sempat menerima 3 tabung darah sebelumnya. Pada hari
kelima, bayinya tidak hanya menderita demam 38 derajat. Tetapi juga
terinfeksi jenis bakteri lainnya yang ditemukan dalam usus. Artinya,
perawat harus memberikan antibiotik kedua untuk anaknya. Diane Giam
pun menduga kalau bakteri di dalam usus anaknya akibat pemberian
augmetin yang berlebihan dari perawat. Menurut studi medis, konsumsi
antibiotik menyebabkan hilangnya fauna usus yang terjadi secara alami,
yang meningkatkan jumlah ragi dan bakteri dalam usus. Dalam proses
pemberian obat baru melalui infus anaknya, perawat yang melakukannya
telah menyebabkan darah menyembur lagi. Dua hari kemudian, dokter
anak memberi tahu Giam bahwa anaknya telah diberikan antibiotik dalam
dosis tinggi, bahkan 5 kali lebih banyak dari yang ditakarkan. Meskipun
anaknya sekarang sudah membaik, Giam tetap khawatir akan risiko
komplikasi pada anaknya. Direktur keperawatan pun meminta maaf
kepada Giam bahwa pihaknya akan melakukan tindakan disipliner
terhadap perawat yang telah melakukan kesalahan. "Kami benar-benar
menyesal mendengar pengalaman ibu itu. Seperti yang dikatakan
sebelumnya, seorang anggota senior kami akan mengatasi masalah ini,"
kata seorang juru bicara Rumah Sakit Mount Elizabeth Novena. Pihak
rumah sakit pun masih melakukan investigasi atas insiden tersebut.
Sementara itu, rumah sakit juga tetap menjalin hubungan sekaligus
memberi dukungan kepada Giam.

TANGGAPAN 3 :
Kasus tersebut termasuk Problem Etik Keperawatan, karena kelalaian
perawat dalam memberikan obat yang dapat mengakibatkan kelebihan
antibiotik. Seharusnya sebelum meberikan obat, perawat mengecek,
mengkonfirmasi kepada dokter dan keluarga pasien, agar tidak terjadi
hal-hal yang diinginkan. Perawat juga harus bekerja sesuai SOP.

SUMBER : https://www.suara.com/health/2020/02/08/132130/akibat-
kelalaian-perawat-bayi-10-bulan-overdosis-antibiotik-saat-demam

Kasus 4 :

"Selfie" di Depan Pasien yang Sekarat, 2 Perawat Diberi


Sanksi

KOMPAS.com - Aksi tidak terpuji yang dilakukan dua perawat Puskesmas


Blega, Kabupaten Bangkalan, dengan berfoto selfie di depan pasien yang
sedang sekarat dengan luka berlumur darah.  Akhirnya Dinas Kesehatan
Bangkalan pun menjatuhkan sanksi kepada dua perawat itu, dengan
memindahkan mereka ke Dinas Kesehatan sebagai staf bagian umum dan
kepegawaian. Kepala Dinkes Bangkalan, Muzakki kepada Kompas.com
mengatakan, dua perawat tersebut sudah dimintai klarifikasi terkait
dengan aksi selfie di depan pasien sekarat. Mereka mengaku hal itu
dilakukan mereka secara spontan karena diajak oleh temannya yang
menemani pasien. "Perawat tersebut diajak temannya berfoto selfie, jadi
itu dilakukan tanpa sengaja," kata Muzakki. Dia menyebutkan, meski pun
tindakan perawat tersebut tanpa disengaja, sanksi tetap diberikan. Sanksi
tersebut untuk memberikan efek jera kepada Aparatur Sipil Negara (ASN)
maupun yang bukan ASN agar tidak melakukan tindakan serupa yang bisa
mencederai nama baik instansi pemerintah. Apalagi ASN yang bertugas di
pelayanan umum. "Secara moral tindakan perawat itu salah meskipun
tidak disengaja. Banyak tokoh masyarakat menyarankan agar di-nonjob-
kan dan diberi sanksi, dan sudah kami penuhi," ujar Muzakki. Kejadian
foto selfie tersebut pada Kamis (11/5/2017) lalu saat Kepala Desa Karang
Gayam, Kecamatan Blega, H. Dofir (43) mengalami luka berat setelah
terlibat carok dengan Muhammad Mahdi Muzakki (17). Dofir mengalami
luka sepanjang 20 sentimeter di kepala bagian depan hingga daun telinga
dan luka sayatan di lengan kanan. Dofir kemudian meninggal dunia di
Puskesmas. "Di samping karena pelanggaran etika, perawat kami pindah
ke Dinkes karena situasi di Karang Gayam dan Kecamatan Blega kurang
kondusif usai kejadian carok dua bulan lalu itu," kata dia. Muzakki sendiri
enggan menyebutkan identitas kedua perawat tersebut.

TANGGAPAN :

Kasus tersebut termasuk Problem Etik Keperawatan, karena perawat


melakukan foto selfie dengan pasien yang sedang sekarat dan
berlumuran darah. Seharusnya perawat fokus terhadap tindakannya.
Kepala Dinkes menjatuhkan sanksi kepada 2 perawat itu dengan
memindahkan mereka ke Dinas Kesehatan sebagai staf bagian umum dan
kepegawaian.
SUMBER : https://regional.kompas.com/read/2017/07/25/11244451/-
selfie-di-depan-pasien-yang-sekarat-2-perawat-diberi-sanksi

DILEMA ETIK
Kasus 1 :

Suatu hari ada seorang bapak-bapak dibawa oleh keluarganya ke salah satu Rumah
Sakit di kota Surakarta dengan gejala demam dan diare kurang lebih selama 6 hari. Selain itu
bapak-bapak tersebut (Tn. A) menderita sariawan sudah 3 bulan tidak sembuh-sembuh, dan
berat badannya turun secara berangsur-angsur. Semula Tn. A badannya gemuk tapi 3 bulan
terakhir ini badannya kurus dan telah turun 10 Kg dari berat badan semula. Tn. A ini
merupakan seorang sopir truk yang sering pergi keluar kota karena tuntutan kerjaan bahkan
jarang pulang, kadang-kadang 2 minggu sekali bahkan sebulan sekali.

Tn. A masuk UGD kemudian dari dokter untuk diopname di ruang penyakit dalam
karena kondisi Tn. A yang sudah sangat lemas. Keesokan harinya dokter yang menangani Tn.
A melakukan visit kepada Tn. A, dan memberikan advice kepada perawatnya untuk
dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan mengambil sampel darahnya. Tn. A yang ingin
tahu sekali tentang penyakitnya meminta perawat tersebut untuk segera memberi tahu
penyakitnya setelah didapatkan hasil pemeriksaan. Sore harinya pukul 16.00 WIB hasil
pemeriksaan telah diterima oleh perawat tersebut dan telah dibaca oleh dokternya. Hasilnya
mengatakan bahwa Tn. A positif terjangkit penyakit HIV/AIDS. Kemudian perawat tersebut
memanggil keluarga Tn. A untuk menghadap dokter yang menangani Tn. A. Bersama dokter
dan seijin dokter tersebut, perawat menjelaskan tentang kondisi pasien dan penyakitnya.
Keluarga terlihat kaget dan bingung. Keluarga meminta kepada dokter terutama perawat
untuk tidak memberitahukan penyakitnya ini kepada Tn. A. Keluarga takut Tn. A akan
frustasi, tidak mau menerima kondisinya dan dikucilkan dari masyarakat. Perawat tersebut
mengalami dilema etik dimana satu sisi dia harus memenuhi permintaan keluarga namun di
sisi lain perawat tersebut harus memberitahukan kondisi yang dialami oleh Tn. A karena itu
merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi.

Tanggapan 1 :

Kasus diatas menjadi suatu dilema etik bagi perawat dimana dilema etik itu
didefinisikan sebagai suatu masalah yang melibatkan dua ( atau lebih ) landasan moral suatu
tindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan suatu kondisi dimana setiap
alternatif tindakan memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar untuk
menentukan yang benar atau salah dan dapat menimbulkan kebingungan pada tim medis yang
dalam konteks kasus ini khususnya pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan,
tetapi banyak rintangan untuk melakukannya. Menurut Thompson & Thompson (1981)
dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan
atau situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Untuk
membuat keputusan yang etis, seorang perawat harus bisa berpikir rasional dan bukan
emosional.

Perawat tersebut berusaha untuk memberikan pelayanan keperawatan yang sesuai dengan
etika dan legal yaitu dia menghargai keputusan yang dibuat oleh pasien dan keluarga. Selain
itu dia juga harus melaksanakan kewajibannya sebagai perawat dalam memenuhi hak-hak
pasien salah satunya adalah memberikan informasi yang dibutuhkan pasien atau informasi
tentang kondisi dan penyakitnya.

Sumber : https://www.academia.edu/31793152/Dilema_etik

Kasus 2 :

Seorang wanita berumur 50tahun menderita penyakit kanker payudara terminal dengan
metastase yang telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi. Wanita tersebut
mengalami nyeri tulang yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan pemberian
dosis morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika istirahat dan
nyeri bertambah hebat saat wanita tersebut mengubah posisi tidurnya. Klien bisa tidur namun
ia sering meminta diberkan analgesik, dan keluarganya pun meminta untuk dilakukannya
penambahan dosis pemberian analgesik. Saat dilakukan diskusi dengan perawat disimpulkan
bahwa penambahan obat analgesik dapat mempercepat kematian pada klien.

Tanggapan 2 :

Kasus di atas merupakan kasus dilema etik, karena jika pasien diberi obat analgesik
terus menerus akan menyebabkan kematian pada pasien, jika perawat memberikan obat yang
diminta maka perawat melakukan pelanggaran kode etik.

Sumber : https://www.academia.edu/25100595/KASUS_DILEMA_ETIK_KLMPK

Kasus 3 :

RSHS Bandung Alami Dilema Tangani Bayi Kembar


Siam
BANDUNG - Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung sedang
merawat bayi kembar siam asal Padalarang, Kabupaten Bandung, sejak
11 November 2017. Tim dokter RSHS pun mengalami dilema untuk
menangani bayi kembar siam berjenis kelamin laki-laki tersebut.
Itu dikarenakan kondisi bayi kembar anak pasangan Agus Priyanto (47)
dan Mariah (37) tersebut memiliki kondisi berbeda. Satu bayi memiliki
organ-organ tubuh yang berfungsi sempurna.
Sedangkan satu bayi lagi yang berukuran lebih kecil organ-organ
tubuhnya tidak berfungsi sempurna, misalnya jantung dan paru-paru. Bayi
itu juga tidak memiliki anus dan beberapa organ lainnya. Ketua Tim
Dokter Penanganan Bayi Kembar Siam RSHS Sjarif Hidayat mengatakan,
kondisi bayi yang berukuran lebih kecil itu masuk kategori kritis.
Sementara bayi lainnya dalam kondisi stabil. "Bayi yang satu stabil, tapi
bayi yang satu lagi masih belum baik," ujar Sjarif di RSHS, Selasa
(14/11/2017). Secara umum, kondisi bayi yang berukuran lebih kecil,
peluang hidupnya lebih kecil daripada kembarannya. Jika bayi berukuran
kecil meninggal, maka hal itu akan berdampak negatif pada
kembarannya. Dalam kondisi parah, kedua bayi itu justru bisa meninggal.
"Kemarin kita sudah konsultasikan dengan bagian bedah anak, ternyata
mereka berpendapat kalau bayi satu meninggal, kemungkinan akan
mempengaruhi bayi yang satu lagi," jelasnya. Hal itu yang kemudian
menjadi dilema tim dokter RSHS. Sebab, bayi yang kondisinya kritis harus
'dikorbankan' jika ingin menyelamatkan kembarannya. Tapi, hal itu tidak
boleh dilakukan di Indonesia.
Dalam istilah medis, menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja
demi menyelematkan nyawa disebut euthanasia. Persoalannya, di
Indonesia tidak mengatur hal itu. Yang ada, dokter harus berupaya untuk
menyelamatkan nyawa pasien. Jika bayi yang kritis 'dikorbankan', hal itu
akan melanggar kode etik kedokteran. Tapi, jika dibiarkan dengan kondisi
saat ini, maka nyawa kedua bayi itu akan terancam. Untuk mengatasinya,
tim dokter akan segera berkonsultasi dengan Komite Etik RSHS dan Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) demi mencari solusi atas persoalan itu. Sehingga
saat penanganan medis dilakukan, tim dokter tidak melanggar kode etik
kedokteran. "Tentu ini terbentuk kepada masalah etik. Bayi yang kecil ini
akan dibagaimanakan? Ini sangat bersentuhan dengan etik karena
euthanasia belum pernah dilakukan untuk yang (kembar siam) yang
hidup," papar Sjarif. Selain dari segi etika kedokteran, tim dokter juga
akan berkonsultasi dengan ahli agama. Sehingga, tim dokter akan
memiliki pandangan jelas dari berbagai sudut pandang untuk
dipertimbangkan sebelum mengambil tindakan. Pihak keluarga pun tentu
akan dilibatkan untuk mengambil keputusan. Direktur Medik dan
Keperawatan RSHS Nucki Nursjamsi mengatakan, kondisi bayi kembar
siam yang ditangani saat ini beda dengan kembar siam yang salah
satunya parasit atau sudah meninggal. Untuk kasus bayi kembar dengan
salah satunya parasit, tim dokter bisa langsung melakukan operasi
pemisahan.
Sementara untuk bayi kembar siam dengan kondisi stabil, tim dokter juga
bisa melakukan pemisahan. Tapi, untuk 'mengorbankan' salah satu bayi
demi kembarannya, hal itu tidak pernah dilakukan RSHS. "Karena itu tidak
mudah untuk memutuskan. Maka dari itu, kita akan ada tim khusus yang
membicarakan soal itu," tutur Nucki. Jika bayi kembar itu menjalani
operasi pemisahan dan berjalan sukses, maka, masing-masing hanya
akan memiliki satu kaki. Sebab, saat ini di tubuh bayi kembar tersebut
hanya menempel dua kaki. Itu karena jaringan kedua kaki itu berbeda,
alias satu kaki milik bayi berukuran besar, satu lagi milik bayi berukuran
lebih kecil. Kendalanya, bayi berukuran lebih kecil tidak memiliki kelamin,
anus, dan beberapa organ tubuhnya juga tidak berfungsi normal. Seperti
diberitakan, bayi kembar siam tersebut lahir melalui proses persalinan
normal dengan dibantu bidan setempat pada 10 November 2017. Karena
kondisinya, bayi itu kemudian dirujuk ke RSHS. Secara keseluruhan, bayi
itu memiliki bobot 3,75 kilogram dan panjang 47 centimeter. Bayi itu
memiliki dua kepala, dua badan, dua lengan, tapi hanya memiliki dua
kaki. Bayi itu merupakan anak ketiga dan keempat dari pasangan Agus
dan Mariah.
TANGGAPAN :
Kasus tersebut termasuk Dilema etik, karena tenaga dokter dan
perawat mengalami dilemma, Sebab, bayi yang kondisinya kritis harus
'dikorbankan' jika ingin menyelamatkan kembarannya. Tapi, hal itu tidak
boleh dilakukan di Indonesia. Namun dokter berusaha untuk tetap
menyelamatkan bayi tersebut dan telah berkoordinasi dengan Komite Etik
RSHS dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) demi mencari solusi atas
persoalan itu. Sehingga saat penanganan medis dilakukan, tim dokter
tidak melanggar kode etik kedokteran.
SUMBER : https://news.okezone.com/read/2017/11/15/525/1814199/rshs-
bandung-alami-dilema-tangani-bayi-kembar-siam

Kasus 4 :

Dilema Perawat di Pedalaman, Selamatkan Nyawa


Berujung Pidana
Jakarta - Misran, seorang perawat di Kuala Samboja, Kutai Kertanegara,
Kalimantan Timur, dipidana 3 bulan penjara. Kesalahannya adalah, dia
memberikan resep obat untuk pasien. Misran melawan dilema antara
minimnya dokter di pedalaman dan kerasnya UU no 36/2009 tentang
Kesehatan. Di luar Jawa termasuk Kaltim, dokter tentu tidak sebanyak di
Jawa. Perawat pun harus melakukan peran ganda.
"Saya sudah seperti dokter dan apoteker. Saya juga diberikan tugas
memimpin puskesmas pembantu oleh Bupati. Semata-mata karena lokasi
geografis yang sulit terjangkau," kisahnya kepada detikcom, Selasa,
(6/4/2010).
Tanggung jawab Misran tidaklah ringan. Dia harus memberikan pelayanan
kesehatan kepada 9 ribu warga di tiga desa. Tapi akibat terbentur UU
Kesehatan, Misran tidak bisa berbuat banyak.
"Contohnya nelayan yang kejang-kejang setelah terluka kena ikan. Karena
UU ini, saya tidak bisa memberikan pertolongan pertama," jelasnya.
Sesuai UU Kesehatan, perawat tidak boleh memberikan obat-obat daftar G
(gevaarlijk/berbahaya). Padahal menurut Misran, obat-obat dalam daftar G
ini adalah obat-obat yang dibutuhkan dan penting, misalnya antibiotik,
analgetik, obat bius, dan lainnya.
"Seperti ibu yang melahirkan atau proses sunatan yang membutuhkan
obat bius. Sebagai perawat saya tidak bisa memberikan obat," kisah
warga asal Tulungagung, Jawa Timur ini.
Akibatnya UU Kesehatan, tugas perawat tidak bisa maksimal untuk
menolong masyarakat. Bahkan sebagian pasien ada yang meninggal
karena tidak bisa segera diberikan bantuan darurat.
"Beberapa pasien ada yang meninggal dunia, karena kita tidak punya
wewenang memberikan pertolongan. Kalau kami memberikan
pertolongan, nanti dipenjara. Posisi kami dilematis. Sementara untuk
merujuk ke dokter, jaraknya sangat jauh," pungkasnya.
(Ari/fay)

TANGGAPAN 4 :

Kasus tersebut termasuk dilema etik, karena perawat ingin menolong


orang pedalaman yang minim dengan dokter. Namun, perawat ini juga
harus masuk kedalam penjara karena telah meresepkan obat berbahaya
secara illegal. Seharusnya pemerintah lebih tegas dalam menugaskan
tenaga kesehatan di desa pedalaman. Agar tidak terjadi dilemma etik
seperti kasus ini.

SUMBER : https://news.detik.com/berita/d-1333165/dilema-perawat-di-
pedalaman-selamatkan-nyawa-berujung-pidana

BIOETIK
Kasus 1 :

Fk Undiskha Lirik Pemanfaatan Teknologi Nuklir Untuk


Kesehatan

SINGARAJA, NusaBali. Fakultas Kedokteran Universitas Pendidikan


Ganesha (Undiksha) melirik pemanfaatan teknologi nuklir di bidang
kesehatan. Sejumlah pengetahuan awal pun dikenalkan dalam seminar
internasional yang membahas tentang pengenalan dan pengaplikasian
teknologi nuklir  hingga perhitungan aplikasi dosis, pada Senin
(18/11/2019).
Deputi Pemberdayaan Teknologi Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional
(Batan), Hendik Winarno sebagai salah satu pemateri mengatakan
teknologi nuklir saat ini memang belum begitu memasyarakat.
Kebanyakan masih beranggapan jika teknologi nuklir itu hanya untuk
teknologi penghancur seperti bom dan senjata. Padahal iptek nuklir di sisi
lain sangat bermanfaat untuk berbagai macam hal, mulai dari bidang
pertanian, indukstri, hingga kebermanfaatnya untuk kesehatan
masyarakat. “Undiksha punya banyak fakultas, profesor dan mahasiswa,
dalam hal kami membumikan nuklir dan pemanfaatannya lebih luas
Undiksha merupakan mitra potensi, sehingga banyak hal yang bisa
dikerjasamakan,” ucap Hendik Winarno. Wakil Rektor III Undiksha, Prof Dr
I Wayan Suastra MPd, mengatakan Fakultas Kedokteran (FK) Undiksha
yang terkonsentrasi pada medical tourism sejauh ini mencoba
menyesuaikan kompetensi untuk memenuhi tuntutan output. Dokter
lulusan Undiksha yang diarahkan menjamah pariwisata yang bertalian
dengan dunia internasional memiliki tantangan lebih. Sehingga Undiksha
saat ini juga didukung oleh Batan dan juga Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI untuk mewujudkan SDM unggul
dalam medical tourism.
“Kami akan duduk kembali dengan Batan dan Kemenparekraf untuk
menandatangani MoU dan bicara kerjasama selanjutnya termasuk soal
teknologi nuklir ini. Undiksha sejauh ini welcome karena ini juga akan
berdampak pada masyarakat di Buleleng dan Bali pada umumnya,” jelas
Suastra.
Sementara itu perwakilan Kemenparekraf, I Gusti Hendriyani,
menambahkan Bali khususnya Buleleng dengan pariwisata minat
khususnya dilirik mengedepankan kepercayaan wisatawan melalui SDM
yang mumpuni, kompeten dan didukung juga dengan infrastruktur.
Sehingga calon dokter lulusan Undiksha yang akan bergerak di bidang
medical tourism sangat berkepentingan untuk mengetahui pemanfaatan
teknologi nuklir dalam bidang kesehatan.
Wakil Bupati Buleleng, dr I Nyoman Sutjidra SpOG, yang berkesempatan
hadir mengatakan penerapan teknologi nuklir dalam bidang kesehatan
masih jarang diketahui masyarakat. Bahkan di Indonesia menurutnya baru
17 institusi saja yang mengimplementasikan teknologi nuklir di bidang
kesehatan. Baik dalam deteksi, diagnosis dan penerepan rehabilitas.
“Energi nuklir tidak seperti yang kita takutkan. Kalau tenaga nuklir
dimanfaatkan sebaik-baiknya sangat bermanfaat sekali. Pariwisata
berkaitan dengan industri pariwisata dan medical tourism didalamnya,
sehingga sangat berkepentingan sekali untuk diketahui,” ucap Wabup
Sutjidra. Dalam seminar internasional itu juga menghadirkan narasumber
dari industri asal Jepang yang mengimplementasikan teknologi nuklir
dalam industrinya.

TANGGAPAN 1 :

Kasus tersebut termasuk bioetik, karena memanfaatkan teknologi


nuklir untuk kesehatan. Kebanyakan masih beranggapan jika teknologi
nuklir itu hanya untuk teknologi penghancur seperti bom dan senjata.
Contoh implementasi teknologi nuklir dibidang kesehatan yaitu dapat
mendeteksi, mendiagnosis, dan penerapan rehabilitasi. Namun, teknologi
ini masih perlu dikaji dan dikembangkan ulang. Agar sesuai dengan SOP
dan kode etik yang berlaku.

Sumber : https://www.nusabali.com/berita/63516/fk-undiksha-lirik-pemanfaatan-teknologi-
nuklir-untuk-kesehatan

Kasus 2 :

Bagaimana Perkembangan Terapi Sel Punca di Indonesia?

JAKARTA, KOMPAS.com –- Terobosan teknologi kedokteran berupa sel


punca (stem cell) digadang mampu mengobati penyakit yang tidak
mendapat kesempatan sembuh, misalnya penyakit jantung yang tak
kunjung sembuh setelah menjalani serangkaian pengobatan. Sel punca
yang diambil dari darah tali pusat, jaringan tali pusat, sumsum tulang
belakang, dan lemak manusia memiliki kemampuan istimewa. Ia bisa
memperbaharui atau meregenerasi diri dan mampu berdiferensiasi
menjadi sel lain. Sayangnya, perkembangan sel punca hingga kini belum
dapat digunakan sebagai standar pelayanan untuk berbagai penyakit. Tak
hanya di Indonesia, perkembangan secara global pun belum menunjukkan
kemajuan pesat. Oleh karena itu, tidak heran bila berbagai pengobatan
sel punca yang ditawarkan pada saat ini menggunakan ekstrak tanaman
dan sel hewan. Fenomena ini terjadi baik di Indonesia maupun di luar
negeri. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 32
tahun 2014 tentang Penetapan Rumah Sakit Pusat Pengembangan
Pelayanan Medis Penelitian dan Pendidikan Bank Jaringan dan Sel Punca,
ada 11 rumah sakit yang diberi izin terapi sel punca. Di antara lain adalah
Rumah Sakit Cipta Mangun Kusumo, RS Sutomo, RS M Djamil, RS
Persahabatan, RS Fatmawati, RS Dharmais, RS Harapan Kita, RS Hasan
Sadikin, RS Kariadi, RS Sardjito dan RS Sanglah. Kepala UPT Cell Punca
RSCM Dr. dr. Ismail HD, Sp.OT (K) mengatakan, perkembangan sel punca
didasari oleh perkembangan bukti penelitian. Uji klinis menjadi penting
mengingat sel punca merupakan bagian dari pengembangan teknologi
kedokteran. Ismail mengatakan, fase pertama dilakukan pengujian pada
manusia sehat. Hal ini bertujuan untuk mencari efek samping dari
pengguna stem cell. Fase kedua, stem cell diujikan kepada orang yang
mengalami penyakit tertentu, di mana tak pilihan pengobatan lain. Untuk
melakukan ini, pasien juga akan menjalani serangkain tahap tertentu.
(Baca juga: Pada Sel Punca Otak, Ilmuwan Temukan Kunci Umur Panjang)
“Ketiga, dibandingkan bagaimana pengobatan standar dengan sel punca.
Keempat, fase post-marketing atau dipasarkan," kata Ismail di RSCM,
Jakarta, Rabu (11/10/2017).

TANGGAPAN 2 :

Kasus tersebut termasuk bioetika, karena mampu memanfaatkan


ilmu biologi untuk mempertahankan hidup seseorang. perkembangan sel
punca didasari oleh perkembangan bukti penelitian. Uji klinis menjadi
penting mengingat sel punca merupakan bagian dari pengembangan
teknologi kedokteran. Namun diharuskan untuk tetap mempertahankan
kode etik dalam melakukan tindakan.

SUMBER :
https://sains.kompas.com/read/2017/10/12/160700523/bagaimana-
perkembangan-terapi-sel-punca-di-indonesia-

Kasus 3 :

Dijalankan Sesuai Etika, Prosedur Bayi Tabung Legal di Indonesia


Suara.com - Apa yang terpikirkan jika mendengar istilah 'mandul'? Yang
terbersit pastilah tidak punya anak, tidak mampu melahirkan bayi, hingga
ejakulasi dini. Padahal istilah itu kini sudah tidak lagi relevan, karena
peluang memiliki keturunan akan selalu ada, terlebih dengan adanya
praktik teknologi bayi tabung legal di Indonesia. Sayangnya, masih
banyak masyarakat Indonesia yang menganggap praktik bayi tabung
sebagai hal yang tabu, terutama di daerah pelosok Indonesia. Hal ini
diakui oleh CEO sekaligus direktur klinik bayi tabung pertama di
Indonesia, Morula IVF Indonesia, dr. Ivan Sini, SpOG.

CEO sekaligus Direktur klinik bayi tabung pertama di Indonesia Morula IVF
Indonesia, dr. Ivan Sini, SpOG. (Suara.com/Dini Afriani Efendi). "Rata-rata
di Indonesia masih perlu edukasi soal bayi tabung, terutama di Indonesia
Timur, masih perlu edukasi besar," ujar dr. Ivan dalam acara Gathering
Media di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2019). Meski begitu, Morula
IVF sudah membuka pelayanan di kota Makassar, Sulawesi, untuk
menjangkau masyarakat dengan edukasi dan menjawab masalah
kesuburan di daerah-daerah terdekat. Alhasil, Makassar jadi tempat yang
cukup sibuk mengobati, mengingat posisinya sebagai klinik bayi tabung
pertama di Indonesia bagian timur. "Begitu kita buka di Makassar, di sana
jadi salah satu klinik yang paling sibuk, dari seluruh klinikr kami, itu
karena masyarakat sudah teredukasi bahwa bayi tabung itu merupakan
opsi, dan (pasien) datang dari Papua, Ambon, Kendari," lanjut dr. Ivan. Dr.
Ivan mengatakan, ada perbedaan dengan kota besar, di mana informasi
sangat mudah diakses sehingga edukasi mudah tersampaikan.
Kekurangan informasi ini bisa terjadi bias informasi, khususnya seputar
bayi tabung. "Pasangan yang dibilang mandul, orang saat ini tidak melihat
itu sebagai satu masalah. Tapi itu memang perlu edukasi, dan harus
diakui edukasi di kota besar seperti Jakarta Surabaya, Medan, itu sudah
terpapar dengan banyak sekali infomasi," tutur dr. Ivan.

Teknologi kedokteran bayi tabung di Indonesia saat ini sudah sangat


maju, termasuk teknologi simpan beku sel telur, sperma, hingga embrio.
Sayangnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak tahu dan
lebih memilih berobat keluar negeri."Kalau bicara total bayi tabung
potensial di Indonesia, bisa ada sekitar 200 ribu jumlah pasien yang bisa
melakukan (bayi tabung). Tapi di Indonesia baru 10 ribu pasien, terus
yang 190 ribu kemana?," tanggap dr. Ivan heran."Tentu tidak semua
berhasil (bayi tabung), ada fase berikan edukasi ulang sebelum
melakukan bayi tabung. Biasanya peluang keberhasilan kumulatif, dan
prosesnya harus berulang," sambungnya. Praktik bayi tabung di Indonesia
sendiri adalah sesuatu yang legal, selama sperma dan sel telur yang
dipersatukan berasal dari pasangan suami istri yang sah. Dan embrio
janin yang sudah jadi dimasukkan kembali ke rahim istri. Sperma dan sel
telur tidak boleh ditukar atau bahkan mendapat sumbangan dari pihak
manapun. Bahkan, meskipun bisa, pasangan suami istri tidak boleh
memilih jenis kelamin anak pertama yang akan lahir. Beberapa masalah
etis lainnya juga diperketat, seperti bayi tabung pada perempuan yang
ditinggal suami wafat, dan sebagainya. Klinik bayi tabung harus patut dan
tegas terhadap aturan yang ada. Sementarara itu, Morula IVF sendiri
memiliki sumberdaya mumpuni, yakni 42 dokter dan 3 orang professor
ahli. Kemampuan medis dalam negeri juga terjamin karena klinik ini
menjalani proses akreditasi setiap tahunnya. Sebanyak 10 cabang telah di
miliki Morula IVF, yaitu 7 cabang di pulau Jawa dan 3 cabang lainnya di
luar pulau Jawa.

TANGGAPAN 3 :

Kasus tersebut termasuk Bioetik keperawatn, karena menerapkan ilmu


biologis untuk memperbaiki kualitas hidup, dan dalam penerapannya
sudah sesuai dengan kode etik dengan menggunakan sperma
pasangannya sendiri.

SUMBER : https://amp.suara.com/health/2019/10/09/163919/dijalankan-
sesuai-etika-prosedur-bayi-tabung-legal-di-indonesia

Kasus 4 :

RSUP Sanglah Target Dua Pasien Cangkok Ginjal dalam Sebulan

DENPASAR, NusaBali. Sejak program operasi transplantasi (cangkok)


ginjal pertama yang dilakukan pada Januari 2016, tim medis RSUP
Sanglah telah sukses melakukan transplantasi ginjal, setidaknya terhadap
10 pasien dalam kurun waktu 2016-2018.  Setelah awalnya dibantu tim
dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), kini RSUP Sanglah sudah
bisa mandiri melakukan operasi tersebut.
Program transplantasi ginjal sejalan dengan upaya pemerintah dalam
penanggulangan penyakit ginjal terminal. Program transplantasi ginjal
sebagai pengganti hemodialisa (cuci darah). Transplantasi dinilai menjadi
salah satu pilihan yang lebih murah dibandingkan dengan cuci darah.
Dalam hal ini, yang ditunjuk untuk melaksanakan program ini adalah
beberapa rumah sakit tipe A.
Keberhasilan operasi cangkok ginjal, menurut Direktur Medik dan
Keperawatan RSUP Sanglah, Dr dr I Ketut Sudartana SpB-KBD, tidak lepas
dari komitmem rumah sakit dalam mengoptimalkan pelayanan operasi
cangkok ginjal yang digadang-gadang akan menjadi layanan unggulan.
Karena itu, mulai operasi kelima mereka sudah mandiri melayani
transplantasi ginjal.
Meski transplantasi ginjal menyedot biaya yang tidak sedikit, namun dr
Sudartana menyebut, biaya transplantasi ditanggung oleh BPJS
Kesehatan, baik pendonor maupun pasien. “Ini semua ditanggung BPJS.
Jadi, meskipun kelas tiga tetap kami berikan ruang VIP karena perlu
monitoring khusus. Untuk pendonor biaya yang dicover BPJS itu sekitar Rp
250 juta sedangkan pasien sekitar Rp 425 juta,” ungkapnya.
Target ke depan, kata dr Sudartana, ada dua pasien yang dilakukan
cangkok ginjal dalam waktu sebulan. Pihaknya juga berharap dengan
adanya layanan unggulan ini, RSUP Sanglah bisa menjadi rumah sakit
unggulan tidak hanya di kancah Indonesia Timur saja, namun juga
nasional.
Salah satu yang bahagia dengan adanya program transplantasi ginjal ini
adalah Ken Wiriati, 43. Suaminya, Wayan Eka, 43, didiagnosis mengalami
gagal ginjal sejak 2014 lalu. Namun berkat transplantasi ginjal, suaminya
sembuh dan bahkan bisa beraktivitas seperti biasa.
Awalnya, Wayan Eka sempat menjalani hemodialisis (cuci darah) selama 4
tahun lamanya. Berbagai upaya pun dilakukan oleh Ken Wiriati dan
keluarga untuk mencarikan solusi kesembuhan bagi kepala keluarga
mereka. Sebab selama menjalani cuci darah, suaminya mengaku
kesakitan setiap menjalani proses cuci darah. "Suami saya harus cuci
darah rutin 2 sampai 3 kali dalam seminggu. Saya sedih, karena dia selalu
merasa kesakitan,” katanya.
Akhirnya, sekitar awal Januari 2018, RSUP Sanglah mengabarkan
kesiapannya dalam melakukan operasi cangkok ginjal kepada Wayan Eka.
Sejumlah mekanisme pra-operasi seperti pemantauan kondisi, mental dan
psikis pasien sangat diperlukan dalam menjalani proses cangkok ginjal ini.
Teknis serupa juga diperlakukan terhadap pendonor, dalam hal ini adalah
ibu keluarga sendiri, Nyoman Wartini, 58. Jangka waktu persiapan operasi
ini memakan waktu setahun hingga benar-benar siap.
Sementara itu saat operasi, memakan waktu hingga 6 jam. Pasca operasi,
Wayan Eka lalu dirawat secara intens dalam rangka pemulihan kondisi
dan keamanan pencangkokan di ruang ICU selama dua minggu.

TANGGAPAN 4 :

Kasus tersebut termasuk bioetik, karena menerapkan ilmu biologis untuk


memprtahankan hidup. Program transplantasi ginjal sebagai pengganti
hemodialisa (cuci darah). Transplantasi dinilai menjadi salah satu pilihan
yang lebih murah dibandingkan dengan cuci darah.

SUMBER : https://www.nusabali.com/berita/33713/sukses-transplantasi-
ginjal-ke-10

Anda mungkin juga menyukai