Anda di halaman 1dari 27

1

PROPOSAL

A. Latar Belakang

Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang

digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,

preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. meliputi: a. pelayanan kesehatan tingkat

pertama; b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan c. pelayanan kesehatan

tingkat ketiga.1 Salah satu pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah klinik.

Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan pertama yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan

medis dasar dan/atau spesialistik. Berdasarkan jenis pelayanan, klinik dibagi

menjadi: a. Klinik pratama merupakan Klinik yang menyelenggarakan pelayanan

medik dasar baik umum maupun khusus; dan b. Klinik utama merupakan Klinik

yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar

dan spesialistik. Klinik juga dapat mengkhususkan pelayanan pada satu bidang

tertentu berdasarkan cabang/disiplin ilmu atau sistem organ. Kepemilikan klinik

dapat milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau masyarakat. Klinik yang

dimiliki oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus didirikan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan klinik yang dimiliki oleh

masyarakat yang menyelenggarakan rawat jalan dapat didirikan oleh perorangan

atau badan usaha. Klinik yang dimiliki oleh masyarakat yang menyelenggarakan

1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan


2

rawat inap harus didirikan oleh badan hukum.2 Tindakan kedokteran yang dapat

dilakukan di klinik salah satunya adalah Sunat atau khitan atau sirkumsisi.

Sunat atau khitan adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian

atau seluruh kulit penutup depan penis atau preputium. Dilakukan untuk

membersihkan dari berbagai kotoran penyebab penyakit yang mungkin melekat

pada ujung penis yang masih ada preputiumnya. Secara medis dikatakan bahwa

sunat sangat menguntungkan bagi kesehatan. Banyak penelitian kemudian

membuktikan (evidence based medicine) bahwa sunat dapat mengurangi risiko

kanker penis, infeksi saluran kemih, dan mencegah penularan berbagai penyakit

menular seksual, termasuk HIV/AIDS dan juga mencegah penularan human

papilloma virus.3 Data WHO tahun 2007 menyebutkan diperkirakan 30% laki-laki

diseluruh dunia telah melakukan khitan.

Dalam istilah medis, khitan disebut dengan sirkumsisi. Kata sirkumsisi

berasal dari bahasa Latin circum berarti “memutar” dan caedere berarti

“memotong”. Sirkumsisi (circumcision) adalah tindakan memotong atau

menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis pada pria.

Frenulum dari penis dapat juga dipotong secara bersamaan dalam prosedur yang

dinamakan frenektomi.4 Berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia

nomor 11 tahun 2012 tentang standar kompetensi dokter Indonesia khitan atau

sirkumsisi terdapat dalam daftar ketrampilan klinis sistem ginjal dan saluran

kemih dengan tingkat ketrampilan 4A (Keterampilan yang dicapai pada saat lulus

2
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2014 tentang klinik
3 Sumiardi 1994, Sirkumsisi, Hipocrates Jakarta
4 Manoaki adika, 2015. Ensiklopedi khitan,Yogyakarta
3

dokter),5 dan pada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 290/MENKES/PER/III

2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran pasal 1 angka 4 definisi dari

tindakan invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi

keutuhan jaringan tubuh pasien. Apabila melihat pasal tersebut tindakan khitan

dapat dikategorikan merubah bentuk alat kelamin laki-laki. Sehingga perlu adanya

pelayanan khitan yang professional.

Pelayanan khitan di Indonesia mengalami perkembangan pesat dengan

berbagai metode dan tehnik yang lebih inovatif dari yang sederhana yaitu tehnik
6
dorsumsisi, Guillotine, Electrocauter dan Flashcutter, Smart Clamp, Laser.

Berkembangnya tehnik khitan berpengaruh pada berdirinya fasilitas pelayanan

khitan dengan berbagai jenis nama diantaranya : istana khitan, pondok khitan,

khitan center, griya khitan dan lain-lain. Sebagai salah satu contoh adalah griya

khitan, pertama kali didirikan di Kota Cirebon Jawa Barat, menurut media

Cirebontrustcom :

Griya Khitan Indonesia merupakan klinik yang menyediakan layanan khitan


atau sunat untuk anak-anak dan dewasa. Hadir di Cirebon sejak 2014 lalu,
Griya Khitan Indonesia sudah mendapatkan respons positif dari masyarakat.
Dijelaskan dr. Rio Adhi Wicaksono selaku owner Griya Khitan, tujuan
pendirian Griya Khitan Indonesia ini adalah memberikan layanan khitan
yang profesional pada masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Sehingga
masyarakat tidak lagi menggunakan layanan khitan yang kurang memiliki
standarisasi keamanan medis yang berlaku dalam dunia kesehatan. “Dalam
melakukan teknis khitan di Griya Khitan Indonesia ada beberapa prosedur
yang sangat menjadi acuan. Diantaranya khitan harus dilakukan oleh
seorang dokter yang berpengalaman, kemudian juga dibantu oleh tenaga
anestesi dan perawat yang ramah dan berpengalaman,”7

5 Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012 hal 73


6 Manoaki adika, 2015. Ensiklopedi khitan,Yogyakarta
7 Griya khitan indonesia unggulkan kualitas pelayanan layaknya dirumah sendiri.
htmhttp://www.cirebontrust.com
4

Dari media tersebut griya khitan merupakan klinik yang menyediakan

pelayanan khitan kepada masyarakat dengan tehnik yang lazim digunakan di

dunia kedokteran yang dilakukan oleh tenaga profesional sesuai dengan bidang

keahliannya. Perkembangan griya khitan di Indonesia semakin meluas terutama

dikota-kota besar seperti Surabaya, semarang, solo Yogyakarta dan lain-lain yang

dilakukan hanya oleh seorang perawat. Pendiri griya khitan tersebut tidak

memiliki komitmen yang sama dengan griya khitan di Kabupaten Cirebon.

Sehingga menimbulkan kerawanan hukum dalam pelaksanaan pelayanan khitan

bagi masyarakat. Yang pada akhirnnya timbul sengketa akibat dari kegagalan

pelaksanaan tindakan khitan.

Kasus khitan di Indonesia ibarat fenomena gunung es hanya sedikit yang

tampak dipermukaan dan dalam penyelesaiannya lebih sering diambil langkah

mediasi diluar jalur hukum, sesuai dengan ketentuan Undang-undang nomor 36

tanun 2014 tentang tenaga kesehatan Pasal 78 “Dalam hal Tenaga Kesehatan

diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan

kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat

kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian

sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-

undangan.” Sebagian sengketa tentang khitan yang sempat muncul pada media

nasional antara lain:

FM, 15 tahun, berencana menggugat dugaan kasus malpraktek khitan yang


dialaminya ke Kepolisian Resor Banyumas. Khitan yang dilakukannya
empat tahun lalu oleh seorang perawat membuat alat kelaminnya harus
dipotong hingga bagian kepala. Kamis (12/9). FM bersama ibunya sudah
mendatangi Komisi Perlindungan Anak. “Mereka melaporkan insiden yang
5

terjadi empat tahun lalu yang hingga saat ini tidak dilaporkan ke polisi
karena tersandera surat pernyataan yang dibuat sepihak oleh pelaku,”.8

Anak S putra mata wayang putra bungsu Abdul Satar (63). Tampaknya,
pasrah tapi tak rela. Kepala kemaluan Syahirin terpotong, akibat, kelalaian
AP, Amk .Berprofesi sebagai perawat tetap di RS Umum lapangan
Payalaman. Status PNS sebagai tersangka. 9

Dua contoh kasus diatas merupakan sebagian kecil kasus sengketa medis

akibat dari khitan. Dampak dari kesalahan khitan seperti kasus diatas akan

dirasakan sepanjang hidup anak tersebut. Mulai saat remaja anak tersebut

menginjak masa akil balik, dimana bentuk alat reproduksi tidak sama seperti yang

lain, akan membuat menjadi minder jika alat kelaminya mengalami cacat, bahkan

trauma psikologi yang timbul akan bertambah saat mulai mengenal pasangan

hidup. Puncaknya akan terjadi permasalahan keharmonisan dalam rumah tangga.

Sehingga perlu adanya perlindungan hukum dan penataan sarana kesehatan pada

tindakan khitan untuk menghindari kasus gugatan tersebut.

Timbulnya gugatan kepada perawat tersebut bermuara pada kewenangan

yang diberikan kepada perawat baik secara atributif, delegatif, maupun mandat.

Berdasarkan Undang-undang nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan Pasal 30

ayat (1) Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di

bidang upaya kesehatan perorangan, Perawat berwenang:a. melakukan pengkajian

Keperawatan secara holistik; b. menetapkan diagnosis Keperawatan; c.

merencanakan tindakan Keperawatan;d. melaksanakan tindakan Keperawatan;e.

mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan;f. melakukan rujukan; g. memberikan

8
Korban salah khitan tempuh jalur hukum http://ajikotapurwokerto.or.id diakses tanggal 5 Pebruari 2016
pukul 17.00 WIB
9 Kasus dugaan malpraktek pihak keluarga http://www.radarnusantara.com/ diakses tanggal 16 Januari 2016

pukul 21.30 WIB


6

tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi; h. memberikan

konsultasi Keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter; i. melakukan

penyuluhan kesehatan dan konseling; dan j. melakukan penatalaksanaan

pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep tenaga medis atau obat bebas

dan obat bebas terbatas.10 Jika melihat kewenangan yang diberikan oleh undang-

undang tersebut tindakan khitan adalah bukan kompetensi perawat, sehingga

apabila dilakukan secara mandiri dapat dikatakan sebuah malpaktik dikarenakan

melakukan tindakan diluar kewenangannya, akan tetapi pada pasal 29 ayat (1)

huruf e dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai

pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang.11

Dalam melaksanakan tugas profesinya, seorang tenaga kesehatan perlu

berpegang pada kewenangan.12 Kewenangan dokter untuk melakukan tindakan

kedokteran disebutkan pada Pasal 35 UU No. 29 Tahun 2004, hanya dapat

dilaksanakan oleh dokter. Tetapi Pasal 23 Permenkes No. 2052/Menkes/

Per/X/2011, memberikan izin dokter untuk melimpahkan sebagian

kewenangannya kepada perawat, tetapi standar operasional prosedur pelimpahan

kewenangan dokter kepada perawat tidak dijelaskan lebih tegas dalam Peraturan

Menteri kesehatan tersebut. Tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh seorang

perawat apabila ada pelimpahan kewenangan dari dokter dan dalam keadaan

darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di

tempat kejadian. Berdasarkan Pasal 23 Permenkes No. 2052/Menkes/Per/X/2011,

dapat diketahui syarat-syarat untuk sahnya pelimpahan kewenangan tindakan

10
Undang-undang 38 tahun 2014 tentang Keperawatan pasal 30
11 Ibid pasal 29
12 Willa, (2001), Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung
7

kedokteran kepada perawat, yaitu antara lain: pelimpahan dilakukan secara

tertulis. Pasal 23 sangat jelas disebutkan bahwa bentuk pelimpahan wewenang

yang diberikan dokter kepada perawat harus dilakukan secara tertulis. Dari sini

pentingnya sebuah sarana pelayanan kesehatan yang mengkoordinir semua tenaga

kesehatan yang terlibat didalam pelayanan kesehatan terhadap masyarakat dalam

wadah yang bernama klinik untuk meminimalkan resiko baik dari perawat

maupun pasien.

Mengingat akan dampak dari tindakan khitan diperlukan pertanggungan

jawab dan penegakan hukum bidang kesehatan. Menurut Leenen, 1972 Hukum

kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan langsung dengan

pemberian pelayanan kesehatan dan penerapannya meliputi Hukum Perdata,

Hukum Pidana, serta Hukum Administrasi. Pengertian peraturan hukum tidak

hanya mencakup peraturan perundang-undangan dan peraturan internasional saja,

tetapi juga mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan, dan

yurisprudensi.

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas penulis tertarik untuk membuat

analisa tentang status Griya khitan berdasarkan regulasi yang dikeluarkan

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dan tindakan kedokteran yang

dilakukan oleh perawat berdasarkan Undang-undang nomor 38 tahun 2014

tentang Keperawatan agar dalam melaksanakan tindakan khitan tidak cacat

hukum.

B. Rumusan Masalah.
8

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka dalam

penelitian ini terdapat isu sentral, yaitu :

Analisa “Griya Khitan” dalam melakukan tindakan khitan ditinjau dari hukum

Keperawatan.

Untuk menganalisis dan memecahkan problematika pada isu sentral diatas,

maka dalam penelitian ini diperinci lebih lanjut kedalam rumusan masalah hukum

sebagai berikut :

1. Aspek Legalitas pendirian Sarana Pelayanan Kesehatan “Griya khitan”

2. Pertanggung jawaban hukum tindakan khitan yang dilakukan perawat

3. Penegakan hukum terhadap perawat yang melakukan tindakan khitan.

a. Secara Hukum Administrasi

b. Secara Hukum Pidana

c. Secara Hukum Perdata

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini terkandung tujuan sebagai berikut :

1. Menganalisa dan menemukan jawaban tentang dasar hukum pendirian

sarana pelayanan kesehatan khususnya “griya khitan.”

2. Menganalisa dan menemukan jawaban atas Pertanggungjawaban hukum

terhadap perawat yang melakukan tindakan khitan.

3. Menganalisa dan menemukan jawaban atas penegakan hukum terhadap

perawat yang melakukan tindakan khitan

D. Manfaat Penelitian
9

Dalam penelitian ini ada 2 manfaat yang dapat diperoleh :

1. Dari sisi teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang jenis sarana

pelayanan kesehatan, serta memberikan pemahaman kepada tenaga

kesehatan khususnya perawat tentang tindakan yang sesuai dengan

kompetensinya.

2. Dari sisi praktis

Penelitian diharapkan dapat memberi masukan kepada klinik, tenaga

medis, tenaga keperawatan serta masyarakat umum tentang sarana

pelayanan kesehatan sehingga ada kepastian hukum bagi pasien dan tenaga

kesehatan

E. Kajian Pustaka

1. Konsep Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)

Klinik adalah 1) (bagian) rumah sakit atau lembaga kesehatan tempat orang

berobat dan memperoleh advis medis serta tempat mahasiswa kedokteran

melakukan pengamatan terhadap kasus penyakit yang diderita para pasien; 2)balai

pengobatan khusus: - keluarga berencana; - penyakit paru-paru; 3)organisasi

kesehatan yang bergerak dalam penyediaan pelayanan kesehatan kuratif

(diagnosis dan pengobatan), biasanya terhadap satu macam gangguan kesehatan.13

Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar

13
Kamus Besar Bahasa Indonesia
10

dan/atau spesialistik.14 Jenis klinik terdiri atas Klinik pratama merupakan Klinik

yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar baik umum maupun khusus dan

klinik utama merupakan Klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik

spesialistik atau pelayanan medik dasar dan spesialistik.15 Klinik dapat

mengkhususkan pelayanan pada satu bidang tertentu berdasarkan

cabang/disiplin ilmu atau sistem organ. Ketentuan lebih lanjut mengenai Klinik

dengan kekhususan pelayanan diatur oleh Menteri.

Pendirian klinik dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan

masyarakat.Klinik yang dimiliki oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus

didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Klinik yang

dimiliki oleh masyarakat yang menyelenggarakan rawat jalan dapat didirikan oleh

perorangan atau badan usaha. Sedangkan klinik yang dimiliki oleh masyarakat

yang menyelenggarakan rawat inap harus didirikan oleh badan hukum.16

Pemerintah daerah kabupaten/kota mengatur persebaran Klinik yang

diselenggarakan masyarakat di wilayahnya dengan memperhatikan kebutuhan

pelayanan berdasarkan rasio jumlah penduduk. Lokasi Klinik harus memenuhi

ketentuan mengenai persyaratan kesehatan lingkungan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Penanggung jawab teknis Klinik harus seorang

tenaga medis.17

Bangunan Klinik harus bersifat permanen dan tidak bergabung fisik

bangunannya dengan tempat tinggal perorangan. Bangunan Klinik harus

14
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9/2014 tentang klinik psl 1
15
Ibid Bab II Pasal 2
16
Ibid pasal 4
17
Ibid pasal 5
11

memperhatikan fungsi, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian

pelayanan serta perlindungan keselamatan dan kesehatan bagi semua orang

termasuk penyandang cacat, anak-anak dan orang usia lanjut. Jumlah tempat tidur

pasien pada Klinik rawat inap paling sedikit 5 (lima) buah dan paling banyak 10

(sepuluh) buah.18 Bangunan Klinik paling sedikit terdiri atas: 1) ruang

pendaftaran/ruang tunggu; 2) ruang konsultasi; 3) ruang administrasi; 4) ruang

obat dan bahan habis pakai untuk klinik yang melaksanakan pelayanan farmasi; 5)

ruang tindakan; 6) ruang/pojok ASI; 7) kamar mandi/wc; dan 8) ruangan lainnya

sesuai kebutuhan pelayanan.

Prasarana Klinik meliputi: 1) instalasi sanitasi; 2) instalasi listrik; 3)

pencegahan dan penanggulangan kebakaran; 4) ambulans, khusus untuk Klinik

yang menyelenggarakan rawat inap; dan 5) sistem gas medis; 6) sistem tata udara;

7) sistem pencahayaan;

2. Konsep Pelimpahan Kewenangan

Pelayanan kesehatan sebagai perbuatan hukum menimbulkan akibat hukum,

baik bagi pemberi maupun penerima jasa layanan kesehatan. Akibat hukum

timbul karena adanya perbuatan hukum terkait dengan pelaksanaan tugas, fungsi,

dan wewenang dari tenaga kesehatan.19 Setidaknya terdapat dua standar umum

wewenang, yaitu: (1) penggunaan wewenang berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku; dan (2) penggunaan wewenang tidak boleh merugikan

pihak/orang lain.

18
Ibid Bab III Pasal 6
19
Triwibowo, Cecep, Hukum Keperawatan Panduan Hukum dan Etika bagi Perawat, Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2010.
12

Perbuatan hukum dalam pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui

pelimpahan wewenang dalam memberikan pelayanan kesehatan, baik antara

sesama tenaga kesehatan maupun dengan tenaga kesehatan lainnya. Pelimpahan

wewenang sering diartikan dengan delegasi wewenang, yang di dalamnya

mengandung unsur pelimpahan/delegasi dan wewenang.20

Pelimpahan wewenang mengandung dua kata, yaitu pelimpahan (delegasi)

dan wewenang. Ada beberapa definisi delegasi secara umum, antara lain:21

a. Encarta dictionary: delegation is giving of responbility to somebody else or

condition of being given responbility (delegasi adalah pemberian tanggung

jawab kepada pihak lain/orang lain atau kondisi atas tanggung jawab

tersebut diberikan);

b. Oxford dictionary: entrust a task or responbility to other person

(mempercayakan tugas atau tanggung jawab kepada orang lain/pihak lain);

c. Kamus Besar Bahasa Indonesia: delegasi diartikan pelimpahan wewenang.

Wewenang mempunyai hubungan sejajar dengan hak. Wewenang

digunakan untuk lingkup hukum publik yang berkaitan dengan kekuasaan,

sedangkan hak digunakan dalam lingkungan hukum privat, namun keduanya

mempunyai makna kebebasan untuk melakukan perbuatan hukum secara sah.

Menurut Henc van Maarseveen dalam buku Philipus M. Hadjon, sebagai konsep

hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu

pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Wewenang digunakan untuk

20
Santi dewi sartika, 2013 Pelimpahan wewenang dalam rancangan Undang-undang
Keperawatan.
21
Hadjon, Philipus M.. Kisi-kisi Hukum Admistrasi dalam Konteks Tindak Pidana Korupsi, dalam
buku Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Philipus M. Hadjon et.al, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011.
13

mengendalikan perilaku subjek hukum, yang harus selalu dapat ditunjukkan dasar

hukum dari wewenang tersebut. Konformitas hukum dalam wewenang berarti

adanya standar wewenang, baik standar umum untuk semua jenis wewenang

maupun standar khusus untuk jenis wewenang tertentu.22

Selain ketiga komponen tersebut, pelimpahan wewenang mengandung

makna tanggung jawab sebagai rasa tanggung jawab terhadap penerimaan tugas,

akuntabilitas sebagai kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas limpah,

dan wewenang sebagai pemberian hak dan kekuasaan penerima tugas limpah

untuk mengambil suatu keputusan terhadap tugas yang dilimpahkan. Tugas

limpah lahir akibat adanya pelimpahan wewenang.23 Pelimpahan wewenang

adalah proses pengalihan tugas kepada orang lain yang sah atau terlegitimasi

(menurut mekanisme tertentu dalam organisasi) dalam melakukan berbagai

aktivitas yang ditujukan untuk pencapaian tujuan organisasi yang jika tidak

dilimpahkan akan menghambat proses pencapaian tujuan tersebut. Pelimpahan

wewenang dari pihak yang berhak kepada pihak yang tidak berhak dilakukan

berdasarkan kesepakatan kedua pihak secara tertulis. 24

Cara memperoleh wewenang dalam bidang pemerintahan didapatkan

melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat, namun mandat bukan

pelimpahan wewenang seperti delegasi. Atribusi adalah pemberian wewenang

22
Ibid hal 165
23
Suryanti, Reny, Pelimpahan Wewenang Dokter Kepada Perawat Dalam Tindakan Medis Diruang
Rawat Inap Rsud Kabupaten Badung Sebagai Upaya Pencegahan Terjadinya Kelalaian, Tesis,
Universitas Gadjah Mada, 2011.
24
Ibid hal 134
14

pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.

Pelimpahan wewenang dengan cara atribusi mempunyai kriteria sebagai berikut:25

a. wewenang berasal dari peraturan perundang-undangan;

b. wewenang tetap melekat sampai dengan peraturan perundang-undangan

yang menjadi dasar wewenangnya berubah;

c. penerima wewenang bertanggung jawab mutlak atas akibat yang timbul dari

wewenang tersebut.

Adanya wewenang atribusi menyebabkan organ pemerintahan sebagai

penerima wewenang menjadi berwenang untuk membuat keputusan (besluit) yang

langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Sumber utama

pembentukan dan distribusi wewenang atribusi adalah UUD 1945, yang

ditetapkan lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan. Pemberian wewenang

melalui atribusi dapat dilakukan pembentukan wewenang tertentu oleh pembuat

peraturan perundang-undangan dan diberikan kepada organ-organ tertentu sebagai

bagian dari organ pemerintahan. Organ yang berwenang membentuk wewenang

adalah organ yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan sebagai badan

yang mempunyai wewenang.

Delegasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ

pemerintah kepada organ pemerintahan lainnya. Dalam konteks pelayanan

kesehatan, wewenang melakukan tugas medis dari dokter dilimpahkan kepada

perawat. Pelimpahan wewenang dengan cara delegasi merupakan pelimpahan

25
Hadjon, Philipus M.. Kisi-kisi Hukum Admistrasi dalam Konteks Tindak Pidana Korupsi, dalam
buku Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Philipus M. Hadjon et.al, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011.
15

wewenang yang berasal dari pelimpahan satu orang/organ/badan kepada

orang/organ/badan lain, dengan syarat:

a. harus definitif, pemberi wewenang tidak dapat menggunakan lagi

wewenang/tugas yang telah dilimpahkan;

b. harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, wewenang/tugas hanya

mungkin dilimpahkan jika ada ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan;

c. delegasi tidak kepada bawahan sehingga dalam hubungan kepegawaian

tidak diperlukan lagi adanya delegasi;

d. pemberi wewenang wajib untuk memberikan penjelasan/keterangan dan

penerima wewenang berwenang untuk meminta penjelasan tentang

pelaksanaan wewenang tersebut; dan

e. peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), pemberi wewenang memberi

instruksi/petunjuk tentang penggunaan wewenang

Delegasi bukanlah suatu sistem untuk mengurangi tanggung jawab,

melainkan cara membuat tanggung jawab tersebut menjadi bermakna. Wewenang

yang diberikan secara delegasi dapat dicabut atau ditarik kembali jika terjadi

pertentangan atau penyimpangan (contrarzus actus) dalam menjalankan

wewenang. Pemberi wewenang (delegens) melimpahkan tanggung jawab dan

tanggung gugat kepada penerima wewenang (delegaris). Hubungan hukum antara

delegens dengan delegaris berdasarkan atas wewenang atribusi yang dilimpahkan

kepada delegaris. 26

26
Praptiningsih, Sri, Delegasi Wewenang dalam Pelayanan Kesehatan 2012
16

Mandat merupakan wewenang yang berasal dari pelimpahan secara vertikal

dari orang yang berkedudukan lebih tinggi kepada orang yang berkedudukan lebih

rendah (atasan kepada bawahan/manager kepada staf).27 Pelimpahan wewenang

secara mandat dapat diartikan bahwa pemilik wewenang, baik berdasarkan

atribusi maupun delegasi mengijinkan wewenangnya dijalankan oleh orang

lain/pihak lain. Wewenang tersebut dapat ditarik atau digunakan kembali

sewaktu-waktu oleh pemberi wewenang (mandans). Pelimpahan wewenang ini

mempunyai tanggung jawab dan tanggung gugat yang berada pada pemberi

mandat. Cara pelimpahan wewenang ini menciptakan hubungan hukum yang

bersifat hubungan intern-hierarkis antara atasan dengan bawahan dan tunduk pada

norma hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga tidak perlu diatur dengan

peraturan perundang-undangan.

3. Konsep Tanggung Jawab Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah

kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut,

dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah

suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan

kepadanya.28 Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas

konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika

atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.29 Selanjutnya menurut Titik

Triwulan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang

menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain
27
Ibid hal 46
28
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia,2005
29
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010
17

sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk

memberi pertanggungjawabannya.30

Menurut hukum perdata dasar pertanggungjawaban dibagi menjadi dua

macam, yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal dengan

pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (lilability without based on fault) dan

pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dikenal (lilability without fault) yang

dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strick

liabiliy).31 Prinsip dasar pertanggung jawaban atas dasar kesalahan mengandung

arti bahwa seseorang harus bertanggung jawab karena ia melakukan kesalahan

karena merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah

bahwa konsumen penggugat tidak diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat

langsung bertanggung jawab sebagai risiko usahanya.

Teori Tanggung Jawab Hukum

Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan

melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :32

a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan

sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan

sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa

yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena

kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan

30
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta,
2010, hlm 48
31
Ibid. hlm. 49
32
Abdul kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010
18

(concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah

bercampur baur (interminglend).

c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa

mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya

baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan

kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat

perbuatannya.

4. Konsep Penegakan Hukum.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam

lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara.33 Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum pada hakikatnya

merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan , kebenaran,

kemamfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi Penegakan hukum merupakan usaha

untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tadi menjadi kenyataan. Hakikatnya

penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang memuat

keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para

penegak hukum yang sudah di kenal secara konvensional , tetapi menjadi tugas

dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik

pemerintahlah yang bertanggung jawab.

Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:34

a. Ditinjau dari sudut subyeknya:

33
Dellyana,Shant.1988,Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty hal 32
34
Ibid hal.34
19

Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua subjek hukum

dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan

normative atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan

mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia

menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit,

penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan

hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum

berjalan sebagaimana seharusnya.

b. Ditinjau dari sudut obyeknya,

yaitu dari segi hukumnya: Dalam arti luas, penegakkan hukum yang

mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi

aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam bermasyarakat.

Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut penegakkan

peraturan yang formal dan tertulis.

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan

perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat

terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga

keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan

oleh nilai-nilai actual di dalam masyarakat beradab. Sebagai proses kegiatan yang

meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan

adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem

peradilan pidana.
20

Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian

yaitu:35

a. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana

sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law

of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan

sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana

yang antara lain mencakup aturan aturan penangkapan, penahanan,

penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu

mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-

batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat

penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang

dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.

b. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang

bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan

hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara

maksimal.

c. Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini

dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan

dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya,

yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan

sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.

35
Ibid hlm 39
21

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana

menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application)

yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk didalamnya tentu saja

lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang

dari 3 dimensi:

a. penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system)

yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai

sosial yang didukung oleh sanksi pidana.

b. penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative

system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum

yang merupakan sub sistem peradilan diatas.

c. penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam

arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan

pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.

Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang

yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya

melalui proses hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak

pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana

larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu

sebagai pertanggungjawabannya. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas

legalitas, yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur

dalam undangundang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut
22

dan larangan tersebut sudah di atur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku

dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan

kepada orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula.36

Sejalan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia

adalah Negara Hukum. Dengan demikian pembangunan nasional dibidang hukum

ditujukan agar masyarakat memperoleh kepastian, ketertiban dan perlindungan

hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan serta memberikan rasa aman dan

tentram.

Moeljatno menyatakan bahwa hukum pidana adalah bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar

dan aturan-aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,

dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang

siapa yang melanggar larangan tersebut;

b. Menentukan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar

laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang

telah diancamkan;

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan

tersebut.37

36
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 15
37
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara,
Yogyakarta, 2002, hlm. 1
23

Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono

Soekanto adalah :38

a. Faktor Hukum

Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh

konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan

kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara

normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar

hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau

tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya

penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement, namun juga

peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan

proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan

untuk mencapai kedamaian.

b. Faktor Penegakan Hukum

Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum

memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas

kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam

penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan

perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan

38
Soerjono Soekanto. 2004,Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum Cetakan
Kelima.Jakarta : Raja Grafindo Persada hal 42
24

yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis

konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam

tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam

tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa,

hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum

siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu

luas dan banyak.

d. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit

banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf

kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang.

Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah

satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

e. Faktor Kebudayaan

Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering

membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto,

mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu

mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat,

dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan

demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang

menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

F. Metode Penelitian
25

1. Tipe Penelitian

Sebagaimana yang diketahui bahwa Ilmu Hukum mengenal dua jenis

penelitian, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.

Menurut Peter Mahmud Marzuki39, bahwa penelitian hukum normatif adalah

”suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,

maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”.

Mukti Fajar dan Yulianto Acmad40 ”penelitian hukum sosiologis atau

empiris, yang mencakup, penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian

terhadap efektifitas hukum”.

Pada penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dimana hukum

dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan

(Law in book) atau hukum yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang

merupakan patokan berperilaku masyarakat apa yang dianggap pantas. Namun

sesungguhnya hukum juga dapat dikonsepkan sebagai apa yang ada dalam

tindakan (Law in Action).

2. Pendekatan

Dalam penelitian hukum diperlukan metode pendekatan yang dimaksud

untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang

sedang dicoba untuk dicari jawabannya. oleh karena itu, pendekatan yang

digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini adalah

pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan perbandingan

(comparative approach).
39
Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. hlm 35
40
Mukti Fajar dan Yulianto Achnmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum. Normatif dan Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm 153
26

Pendekatan undang-undang (statute approach) difokuskan pada ketentuan

undang-undang yang mengatur tentang kesehatan terdiri dari hukum administrasi,

hukum perdata, dan hukum pidana dan regulasi yang berlaku di Indonesia.

3. Sumber Bahan Hukum

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Menurut Peter

Mahmud Marzuki ”dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan

informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari

jawabnya”.

Penelitian hukum tidak dimaksudkan untuk melakukan verifikasi menguji

hipotesis. Sehingga dalam penelitian hukum ini tidak dikenal adanya hipotesis.

Bahan hukum yang dipergunakan adalah

a. Bahan Hukum Primer

Undang-undang Kesehatan, Undang-undang tenaga kesehatan, Undang-

Undang Keperawatan Peraturan Menteri Kesehatan, Keputusan Menteri

Kesehatan,

b. Bahan Hukum Sekunder

Doktrin, jurnal, majalah, serta sumber lain yang berkaitan dengan hukum

kesehatan

4. Pertanggungjawaban sistimatika

Sistematika penulisan tesis ini disusun dalam empat bab, dimulai Bab I Bab

ini menjelaskan secara umum mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan
27

dan manfaat penelitian, serta metode penelitian. Uraian dalam bab I merupakan

dasar bagi peneliti dan sekaligus pengantar dalam pembahasan bab berikutnya.

Selanjutnya Bab II mengupas tentang aspek legalitas pendirian sarana

pelayanan kesehatan “Griya Khitan”. Akan dibahas tentang sejarah khitan, dasar

hukum khitan, perkembangan pelayanan khitan di Indonesia, peraturan tentang

Fasilitas kesehatan tingkat pertama, sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan

kementrian kesehatan Republik Indonesia. Serta pelaksanaan pelayanan kesehatan

di fasilitas kesehatan tingkat pertama.

Bab III akan mengupas tentang pertanggung jawaban hukum tindakan

khitan yang dilakukan oleh perawat, akan dibahas tentang kompetensi kedokteran

Indonesia, kompetensi keperawatan di Indonesia, kolaborasi antara dokter dan

perawat dalam sarana pelayanan kesehatan, Pelimpahan wewenang tindakan

kedokteran dan tanggung jawab hukum perawat dalam melaksanakan khitan

ditinjau dengan hukum Keperawatan.

Bab IV akan mengupas penegakan hukum terhadap perawat yang

melakukan tindakan khitan, akan dibahas sanksi – sanksi yang berdasarkan

hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana yang berlaku di Indonesia.

Bab V merupakan penutup rangkaian telaah dalam tesis ini. Bab ini berisi

simpulan dan saran terhadap hasil analisis yang dilakukan. Simpulan merupakan

intisari dari pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam tesis,

sedangkan saran merupakan bentuk kristalisasi pemikiran sebagai usulan terhadap

simpulan.

Anda mungkin juga menyukai