Anda di halaman 1dari 25

Kasus pidana

Perawat National Hospital Surabaya Jadi Tersangka Pelecehan Seksual Kompas.com - 27/01/2018,
15:52 WIB BAGIKAN: Komentar JN (kiri) tersangka pelaku pelecehan seksual kepada pasien
National Hospital Surabaya(KOMPAS.com/Achmad Faizal) Penulis Kontributor Surabaya, Achmad
Faizal | EditorDian Maharani SURABAYA, KOMPAS.com –

JN, perawat rumah sakit National Hospital Surabaya akhirnya ditetapkan tersangka. Dia terancam
pasal 290 KUHP tentang pelecehan seksual kepada seseorang dalam keadaan tidak sadar.
"Ancaman hukumannya 7 tahun penjara," kata Kapolrestabes Surabaya, Kombes Rudi Setiawan,
kepada wartawan, Sabtu (27/1/2018). Penetapan tersangka kepada JN setelah kepolisian
melakukan serangkaian pemeriksaan dan melakukan gelar perkara pada Jumat malam. "Sesuai
aturan yang berlaku, pelaku ditetapkan tersangka setelah kami memiliki minimal 2 alat bukti yang
kuat," jelas Rudi. Baca juga : Pasien RS National Hospital Surabaya Dicabuli Seusai Operasi
Kandungan Pria 30 tahun warga Brebekan Jagalan Sidoarjo itu akan ditahan selama 40 hari ke
depan sambil polisi melengkapi barang bukti sebelum dilimpahkan ke kejaksaan. Kata Rudi, pelaku
terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap WD (32) di rumah sakit National Hospital Surabaya,
Selasa lalu. Korban dilecehkan usai menjalani operasi kandungan. "Pelaku saat itu bertugas
sebagai asisten dokter anestesi, terangsang melihat korban yang hanya mengenakan pakain
khusus pasca operasi," terang Rudi. Oleh manajemen rumah sakit, pelaku sudah dipecat dengan
cara tidak hormat.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perawat National Hospital Surabaya Jadi
Tersangka Pelecehan Seksual", https://regional.kompas.com/read/2018/01/27/15523481/perawat-
national-hospital-surabaya-jadi-tersangka-pelecehan-seksual.
Penulis : Kontributor Surabaya, Achmad Faizal
Pemalsu Vaksin Terancam Hukuman 15 Tahun Penjara Kompas.com - 15/07/2016, 07:46 WIB
BAGIKAN: Komentar Kepala Bareskrim Polri Irjen Pol Ari Dono Sukmanto(Ambaranie Nadia K.M)
Penulis Nabilla Tashandra | EditorSabrina Asril JAKARTA, KOMPAS.com —

Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto menuturkan, ancaman hukuman maksimal yang
mungkin dijatuhkan kepada pelaku pemalsuan vaksin palsu adalah 15 tahun penjara. Hal tersebut
diungkapkannya dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR bersama Kementerian Kesehatan, Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Bareskrim Polri, Biofarma, Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI), dan Satgas Penanganan Vaksin Palsu. "UU Kesehatan sudah pasti karena dia melakukan
perbuatan memproduksi tanpa izin. UU Konsumen sudah pasti. Pemalsuan? Jadi, kami lapis. Paling
tinggi dalam perbuatan ini 15 tahun," kata Ari Dono di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis
(14/7/2016). (Baca: Ada 20 Tersangka Kasus Vaksin Palsu, Termasuk Bidan, Dokter, dan Pemilik
Apotek) "Tetapi, ini hanya pasal-pasal yang kami terapkan yang faktanya masuk ke situ, putusannya
bukan bidang kami. Mudah-mudahan saja kalau hakim memutuskan yang tertinggi," kata dia.
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, kata dia, juga akan diterapkan. Ari Dono
menuturkan, kepolisian tengah menelusuri di mana para pelaku menyembunyikan uang hasil jual
beli vaksin palsu. (Baca: Delapan Bidan Juga Gunakan Vaksin Palsu, Ini Daftarnya...) "Termasuk
keluarganya. Kalau si pelaku secara sengaja menyembunyikan aliran dananya lewat orang lain,"
ujar dia. Menteri Kesehatan Nila F Moeloek sebelumnya mengungkap 14 nama rumah sakit dan
delapan bidan yang menggunakan vaksin palsu. Adapun daftar 14 rumah sakit tersebut adalah
sebagai berikut: 1. DR Sander, Cikarang 2. Bhakti Husada, Terminal Cikarang 3. Sentral Medika,
Jalan Industri Pasir Gombong 4. RSIA Puspa Husada 5. Karya Medika, Tambun 6. Kartika Husada
Jalan MT Haryono, Setu, Bekasi 7. Sayang Bunda, Pondok Ungu, Bekasi 8. Multazam, Bekasi 9.
Permata, Bekasi 10. RSIA Gizar, Villa Mutiara Cikarang 11. Harapan Bunda, Kramat Jati, Jakarta
Timur 12. Elisabeth, Narogong, Bekasi 13. Hosana, Lippo Cikarang 14. Hosana, Jalan Pramuka,
Bekasi

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemalsu Vaksin Terancam Hukuman 15 Tahun
Penjara", https://nasional.kompas.com/read/2016/07/15/07461361/pemalsu.vaksin.terancam.hukum
an.15.tahun.penjara.
Penulis : Nabilla Tashandra
Bunuh 97 Pasien karena Bosan,
Perawat Dipenjara Seumur Hidup
Sulung Lahitani
24 Jan 2018, 02:17 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Mungkin ini salah satu kasus pembunuhan berantai


terburuk dalam sejarah Jerman. Kisah yang satu ini seperti sesuatu yang Anda
tonton dalam film horor.

Seorang perawat membunuh pasiennya dengan cara menyuntik pasien dengan


obat-obatan terlarang. Lalu, ia akan mengawasi mereka sekarat sebelum
mencoba untuk menghidupkan kembali pasiennya (yang sayangnya, lebih
sering gagal). Pada tahun 2015, mantan perawat Niels Hoegel dijatuhi hukuman
penjara seumur hidup. Ia dinyatakan bersalah membunuh enam pasien rumah
sakit dengan menyuntikkan obat terlarang ke pasiennya. Yang lebih
mengerikan, Niels melakukannya dengan dalih "bosan." Kini, dia diadili atas
pembunuhan 97 pasien lainnya. Detail pembunuhan tersebut cukup
mengerikan. Tingkat kematian di klinik Delmenhorst meningkat dua kali lipat
selama Niels bekerja di sana. Diperkirakan, ia telah membunuh 62 orang di sana
dan 35 orang di sebuah klinik lain di Oldenburg. Aksinya terungkap pada tahun
2005, saat seorang perawat wanita menyaksikan Niels mencoba menyuntikkan
pasien di Rumah Sakit Delmenhorst. Niels ditangkap, untungnya pasien itu
selamat. Pada tahun 2008, ia dijatuhi hukuman 7,5 tahun penjara karena
beberapa kasus percobaan pembunuhan.
'Bored' German serial killer nurse charged with 97 more
murders. https://t.co/A28ugPO10H pic.twitter.com/0MjwNZ1Y5M
— The Straits Times (@STcom) January 22, 2018
MK Tentukan Nasib Misran, Mantri
Desa yang Dipenjara Meski Bantu
Warga
-

Jakarta - Masih ingat kisah Misran? Dialah mantri desa yang menolong warga Kuala
Samboja, Kalimantan Timur. Tidak hanya mengobati, tapi juga mengubah pola
kesehatan warga menjadi lebih baik. Namun bukannya air susu yang di dapat, tapi air
tuba yang dia peroleh.Air tuba tersebut berupa penjara karena dinilai hakim PN
Tenggarong tidak punya kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter. Dia
dituduh melanggar UU 36\/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63
(1) UU No 32\/1992 tentang Kesehatan yaitu Misran. Setelah setahun lebih meminta
keadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK), akhirnya sore ini akan diketok palu atas
nasib Misran. \\\"Sore ini, jam 16.00 WIB, MK akan memutus permohonan saya,\\\" kata
Misran dalam pesan pendeknya kepada detikcom, Senin (27\/6\/2011).putusan PN
Tenggarong ini lalu dikuatkan oleh PT Samarinda, beberapa bulan setelah itu. Merasa
dizalimi, 13 mantri pun memohon keadilan ke MK karena merasa dikriminalisasikan
oleh UU Kesehatan. Mereka meminta pasal yang menjadikan mereka di penjara
dicabut karena pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Namun, meski
nantinya permohonan Misran dikabulkan, ayah 4 anak tersebut tetap harus tetap
meringkuk di penjara. Meski demikian, jika MK memenangkan, maka putusan MK
akan menguntungkan mantri atau bidan desa di seluruh Indonesia. Pasalnya, MK
telah menghilangkan pasal yang mengkriminalkan petugas medis di pelosok
Nusantara.
\\\"Karena putusan MK tidak berlaku surut. Putusan MK atas kasus Misran hanya
berlaku ke depan, tidak berlaku ke belakang,\\\" kata pengacara publik LBH Jakarta,
Edy Halomoan Gurning beberapa waktu lalu.
Menanggapi anak buahnya dipenjara, Menteri Kesehatan Endang Rahayu
Sedyaningsih, menilai pemberian obat bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan jenis
apapun dalam kondisi tertentu.
\\\"Memang dikatakan bahwa dispensing obat itu adalah (tugasnya) tenaga farmasi.
Akan tetapi, di tempat di mana tidak ada tenaga farmasi, dapat dilakukan tenaga
kesehatan lainnya,\\\" ujar Endang.
Menkes memang tidak secara tegas membenarkan perbuatan Misran. Namun,
tenaga-tenaga kesehatan yang bertugas di pedalaman kadang-kadang harus
bertindak cepat untuk keselamatan nyawa pasien mereka.
\\\"Mereka para perawat, dokter, yang ada di ujung-ujung itu kadang-kadang harus
melakukan itu, karena pasien datang untuk minta tolong. Jadi kalau itu sifatnya
untuk menolong dan tidak ada tenaga lain tentu saja harusnya itu diperbolehkan,\\\"
katanya.

Lalu, ke arah manakah palu keadilan MK berbicara ?


dr Taufik dihukum
karena kain kasa ketinggalan
di perut pasien

Pada 2010 Mahkamah Agung (MA) memvonis dr


Taufik Wahyudi Mahady yang berpraktik di Rumah
Sakit Kesdam Iskandar Muda Tingkat III dengan
hukuman 6 bulan penjara.

Taufik terbukti bersalah melakukan tindak pidana


“karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka
sedemikian rupa sehingga berhalangan melakukan
pekerjaan untuk sementara waktu, yang di lakukan
dalam melakukan suatu jabatan atau pekerjaan”
sebagaimana diatur Pasal 360 ayat (1) KUHPidana
Jo Pasal 361 KUHPidana.

Perbuatan yang menyebabkan luka itu adalah


kealpaan Taufik dalam menangani operasi
persalinan (caesar) Rita Yanti. Saat penutupan
operasi, sang dokter lupa mengambil kasa yang
digunakan untuk menutup luka, sehingga benda
tersebut tertinggal di dalam perut.

Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kain kasa


sepanjang lebih kurang 20 x 10 cm yang sudah
sangat bau di perut Rita. Karena benda ini,
pemulihan Rita pasca-operasi tak kunjung datang,
bahkan dia harus berlarut-larut dalam kesakitan.
Perdata

Kasus Malpraktik, RS Awal Bros


Digugat di PN Bekasi

Bekasi - Keluarga korban dugaan malapraktek,


Falya Raafani Blegur (14 bulan) melayangkan
gugatan perdata terhadap Rumah Sakit Awal Bros
Bekasi, Bekasi Selatan, Kota Bekasi ke Pengadilan
Negeri (PN) Bekasi. Gugatan perdata itu telah
didaftarkan dengan Nomor 630/Pdt.G/2015/PN.Bks
Selasa (15/12), hari ini. "Kami masih berkeyakinan,
RS Awal Bros telah melakukan perbuatan melawan
hukum (PMH) sehingga anak kami, Falya,
meninggal dunia. Hal ini akan kami buktikan di
pengadilan nanti," ujar Kuasa Hukum Keluarga
Falya, M Ihsan, usai mendaftarkan gugatan di PN
Bekasi, Selasa (15/12). Dia menjelaskan, gugatan
perdata ini dilayangkan karena dianggap pihak RS
Awal Bros tidak ada niat baik terhadap kasus
kematian Falya Blegur. Bahkan, dalam pernyataan
resminya rumah sakit mengklaim, semua tindakan
medis yang dilakukan sudah sesuai dengan
"standard operating procedure" (SOP) RS Awal
Bros. "Terhitung sejak 1 November-15 Desember
2015 ini, tidak ada itikad baik dari rumah sakit.
Bahkan, rumah sakit memberikan keterangan pers,
(tindakan medis) sudah sesuai SOP, tidak ada
pelanggaran. Ini yang sangat kita sesalkan,"
katanya. Dia mengatakan, beberapa poin yang
akan dijadikan sebagai materi gugatan antara lain,
menjelaskan fakta bahwa korban meninggal di
rumah sakit, ada fakta kelalaian yang dilakukan
rumah sakit, nanti akan dijelaskan di persidangan.

"Intinya, ada perbuatan melawan hukum yang


dilakukan rumah sakit," ungkapnya.

Dia memperkirakan, dalam waktu sebulan ke


depan, kasusnya dapat dipersidangkan di PN
Bekasi.
Diketahui, Falya Blegur dirawat di RS Awal Bros
sejak 28 Oktober 2015. Dan meninggal pada
Minggu, 1 November 2015 lalu.

RS Awal Bros mendiagnosa penyebab kematian


Falya Blegur karena kegagalan fungsi multi organ.
Hal ini dikarenakan korban menderita sepsis berat
dengan asidosis metabolik, anemia infeksi berat,
hingga pendarahan saluran cerna. "Kita masih
meyakini, penyebab kematian anak saya setelah
pemberian antibiotik tanpa persetujuan dan
medical check up terlebih dahulu," sambung
ayahanda Falya, Ibrahim Blegur.

Fakta Baru

Ibrahim Blegur mengatakan pihaknya akan


menghadirkan adanya fakta baru dalam
persidangan nanti. Fakta baru tersebut adalah
kondisi pasien sebelum pemberian antibiotik dan
setelah pemberian antibiotik terhadap Falya, saat
dirawat di RS Awal Bros. Dia menjelaskan, ada
hasil laboratorium yang menunjukkan kondisi
kesehatan Falya sebelum dan sesudah pemberian
antibiotik. "Nanti kita akan sampaikan di
pangadilan," katanya. Dia menambahkan, terkait
ada upaya pemberian uang sebesar Rp 150 juta
dari pihak rumah sakit kepada keluarga korban, hal
ini dapat dibuktikan kebenarannya dan akan
diungkap dalam persidangan nanti, apabila
diperlukan.

Dia pun sangat menyayangkan pernyataan resmi


yang dikeluarkan oleh RS Awal Bros mengenai
anaknya yang menderita gizi buruk.

"Kita anggap pernyataan itu sebagai penghinaan


dan kita dapat buktikan adanya bantahan dengan
hasil dari Posyandu terkait tumbuh kembang anak
yang check up tiap bulan. Anak saya selalu diberi
asupan ASI, tidak pernah diberikan susu formula,"
imbuhnya. [160]

Sumber: Suara Pembaruan


Kasus Vaksin Palsu

RS St Elisabeth
Bekasi Digugat
Perdata
Kamis, 06 Oktober 2016 13:27 WIB

BEKASI (HN) -Polemik penggunaan vaksin


palsu belum berakhir. Sebanyak 12 keluarga
pasien Rumah Sakit St Elisabeth Bekasi
mengajukan ganti rugi materi dan imateri dengan
total Rp 50 miliar. Gugatan didasari atas kerugian
menggunakan vaksin palsu.

"Kami resmi mendaftarkan gugatan perdata kasus


penggunaan vaksin palsu RS St Elisabeth Bekasi
kepada Pengadilan Negeri Bekasi dengan tergugat
sebanyak delapan pihak," kata kuasa hukum
keluarga pasien, Hudson Markiano Hutapea,
Bekasi, Rabu (5/10).

Delapan pihak yang digugat yakni Yayasan RS St


Elisabeth, CV Azka Medical selaku distributor
vaksin palsu, Direktur Utama RS St Elisabeth
Antonius Yudianto, dokter St Elisabeth Bekasi
Fianna Heronique, Dokter St Elisabeth Bekasi
Abdul Haris Thayeb, Kementerian Kesehatan,
Kepala Badan Pemeriksa Obat dan Makanan
(BPOM), dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Menurut Hudson, total ganti rugi yang diajukan


dengan rincian kerugian imateri Rp 50 miliar
sebagai kompensasi asuransi kesehatan selama
pasien hidup, dan tambahan kerugian materi Rp
50 juta berdasarkan biaya pelayanan vaksinasi
yang ditanggung orangtua.

"Kami sudah cek laboratorium bahwa ke-12 anak


yang kami advokasi tidak memiliki kekebalan
tubuh akibat vaksin pendiacel yang disuntikkan
RS St Elisabeth Bekasi ternyata palsu. Otomatis
harus ada kompensasi asuransi selama anak itu
hidup dari efek samping vaksin palsu yang
sewaktu-waktu muncul," ujarnya.

Selama menjalani pelayanan vaksin di rumah sakit


tersebut, kata Hudson, rata-rata orangtua
menghabiskan uang ratusan ribu bahkan jutaan
rupiah, jika ditotal mencapai Rp 50 juta.

Menurut Hudson, dari total 125 pasien yang


terkontaminasi vaksin palsu di RS St Elisabeth
Bekasi, hanya 10 yang mengajukan gugatan, di
tambah dua keluarga pasien dari rumah sakit lain.

"Sebagain besar memilih untuk tidak menggugat


dengan beragam alasan, hanya 12 saja yang kami
advokasi," ungkapnya.

Ihwal alasan pengajuan gugatan perdata baru 2,5


bulan pascamerebaknya kasus vaksin palsu, tutur
Hudson, karena pihaknya masih fokus pada
gugatan pidana di Polda Metro Jaya. "Gugatan
pidananya masih berjalan di Direktorat Kriminal
Khusus Polda Metro Jaya, kami fokus dulu di
sana," katanya.
Hasil Medis Erwiana untuk Ajukan Kasus Perdata
Selasa, 25 Februari 2014 20:00

KOMPAS.COM/ M Wismabrata
Erwiana (tengah) saat jumpa pers di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo, Selasa (25/2/2014).

Laporan Wartawan Tribun Jateng, Galih Permadi


TRIBUNJATENG.COM, SOLO - Erwiana Sulistyaningsih menjalani pemeriksaan kesehatan di
RS Kasih Ibu, Solo, Selasa (25/2/2014). Hasil pemeriksaan kesehatan tersebut akan digunakan
sebagai dokumen dalam pengajuan kasus perdata.
Kuasa hukum Erwiana asal Hong Kong, Chynthia Tellez mengatakan hukum di Hong Kong
memperbolehkan kasus pidana dan perdata bisa diajukan bersamaan. Erwiana merupakan korban
sekaligus saksi dalam kasus pidana penganiayaan yang dilakukan majikannya Law Wan Tung.
Sementara itu, kasus perdata digunakan untuk menuntut hak gaji, libur mingguan, dan nasional,
serta cuti tahunan yang semestinya di terima oleh Erwiana.
“Jadi pengajuan tidak satu-satu, pidana dan perdata bisa diajukan dalam waktu yang sama. Luka
yang diderita Erwiana bisa digunakan untuk mengajukan perdata,” kata Chyntia usai
mendampingi Erwiana cek kesehatan.
Kedatangannya ke Indonesia, kata Chyntia, untuk bertemu langsung dengan Erwiana dan
keluarga. “Selama ini kami sudah berkomunikasi dengan Erwiana dan keluarga lewat pertukaran
dokumen, namun kami harus bertemu secara langsung untuk meyakinkan dan menjelaskan
kepada keluarga tentang proses hukum sedang berjalan," ujar Direktur Mission For Migrant
Workers (MFMW).
Chyntia mengatakan persidangan kasus Erwiana akan digelar 25 Maret mendatang di Hong
Kong dengan agenda mempertemukan jaksa dengan pengacara majikannya. “Apakah Erwiana
akan datang dalam sidang tersebut, itu tergantung polisi ingin mendatangkan Erwiana atau
belum,” ujarnya.
Jika Erwiana memang dibutuhkan untuk datang, lanjut Chyntia, pemerintah Hong Kong melalui
Departemen Tenaga Kerja akan menanggung seluruh biaya keberangkatan dan selama tinggal di
Hong Kong. “Kepolisian akan menjamin keselamatan Erwiana selama di Hong Kong,” ujarnya.
Namun Chyntia belum bisa memastikan tuntutan ganti rugi yang akan diajukan dalam
persidangan. Prioritas dia saat ini yakni Erwiana mendapatkan keadilan. Besaran tuntutan
berdasarkan laporan polisi dan medis. Kedua dokumen akan menentukan luka-luka yang dialami
dan akibat kemungkinan adanya luka tersebut. “Jumlah resminya belum ada. Tapi Erwiana akan
diberikan bantuan hukum jika kasus yang dialami mengakibatkan kerugian di atas Rp 70 juta,”
ujarnya.
Sementara itu, Erwiana mengaku hasil pemeriksaan dirinya mengalami pada mata silinder ¼ dan
ada semacam bayangan hitam yang mengharuskannya pakai kacamata. “Diperiksa THT ada
tulang hidung patah sehingga ada infeksi. Ini membuat ingus tidak bisa keluar sehingga mampet.
Kalau diperiksa bagian syaraf masih ada masalah otak, ada pembengkakkan seperti pemeriksaan
sebelumnya belum sembuh,” ujarnya.

Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Hasil Medis Erwiana untuk Ajukan
Kasus Perdata, https://jateng.tribunnews.com/2014/02/25/hasil-medis-erwiana-untuk-ajukan-
kasus-perdata.
Penulis: galih permadi
Editor: rustam aji
Dituduh Malpraktik,
Dua Rumah Sakit di
Medan Dilaporkan
Polisi
Rabu, 21 Maret 2007 05:29Reporter :
Kapanlagi.com - Diduga melakukan tindakan
malpraktik, rumah sakit (RS) Haji Medan dan RS
Sufina Aziz dilaporkan ke kepolisian oleh keluarga
pasien. Orang tua korban, Khairuddin, yang
anaknya meninggal di RS Haji Medan di Mapolda
Sumatera Utara, Selasa mengatakan, menyesalkan
sikap RS yang dinilai tidak serius dalam merawat
anaknya.
Merdeka.com - Menurut dia, walaupun telah
melakukan rongent dan pemeriksaan darah, pihak
RS tidak pernah mau memberi tahu penyakit apa
yang diderita anaknya.
Ia menambahkan, pihak RS juga tidak memiliki
kesamaan konsep dalam penanganan penyakit
anaknya, karena pernah ada dokter yang
mengizinkan untuk melepaskan infus, namun
dimarahi oleh dokter yang lain ketika akan
melepaskannya.

Parahnya lagi, pihak RS sudah memberikan surat


kematian kepada saya pada hal anak saya masih
hidup, katanya.

Pelapor lain, Yapip Hakim Lubis yang anaknya


dikatakan meninggal akibat malpraktik di RS Sufina
Aziz, Medan, juga menyesalkan tindakan medis
yang dilakukan oleh dr. Nasrun yang bertugas RS
tersebut.

Menurut Lubis, pihaknya mempertanyakan


keputusan dokter yang akan mengamputasi
(memotong) kaki anaknya pada hal lukanya hanya
disebabkan lecet sewaktu main bola.

Ia juga mempersoalkan tindakan dokter yang


memasang selang pada paru-paru anaknya, pada
hal anaknya tidak punya riwayat penyakit paru-paru.

Tiga hari setelah selang tersebut dicabut, muncul


bengkok di dada anak saya, yang makin lama makin
besar, ketika ditanya ke dr. Nasrun dan pihak RS,
keluarga tidak mendapat jawaban yang pasti
tentang pembengkakan tersebut walau pun mereka
sudah memiliki hasil rontgennya, katanya.

Ia menambahkan, setelah hampir satu bulan


anaknya menderita baru pihak RS memberi tahu
kalau di paru-paru anaknya ada tumor, dan harus
dibawa ke RS besar (RS Adam Malik). Disebabkan
sudah kronis, pertolongan tim dokter RS Adam Malik
tidak membawa perubahan, sehingga anaknya
meninggal dunia.

Ketua LBH Kesehatan, Iskandar Sitorus, yang


mendampingi kedua keluarga korban dalam
membuat pengaduan ke Polda ketika dikonfirmasi
ANTARA mengatakan, selain membuat pengaduan,
mereka juga akan melakukan unjuk rasa menuntut
agar izin operasi dan izin prinsip kedua RS tersebut
dicabut.

Ia menambahkan, mereka akan unjuk rasa ke Dinas


Kesehatan Medan dan Ikatan Dokter Sumatera
Utara, serta Mabes Polri apabila Polda Sumatera
Utara tidak menggubris pengaduan ini.
Ini adalah proses edukasi bagi pihak RS agar tidak
main-main dalam penanganan pasien, katanya.
Rabu 01 Agustus 2018, 15:40 WIB

Korban dari Kesalahan Prosedur


Dokter di RSUD Sangatta
Meminta Keadilan
Indriyani Astuti | Humaniora

MUH. Eza Syahputra, 6, anak kecil asal Kalimantan Timur


yang menjadi korban kesalahan prosedur yang dilakukan oleh
dokter spesialis mata di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur pada 2013 lalu.

Karena dugaan kesalahan tersebut, mata Eza menjadi rusak


dan mengalami gangguan penglihatan. Ia pun hingga kini
harus menjalani operasi mata berkali-kali di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Kasus Eza telah disidangkan dan diputus oleh Majelis


Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) pada
tanggal 6 Februari 2018 lalu. Adapun hasil putusannya dokter
'Z' telah melakukan pelanggaran profesi dengan kesalahan
karena tidak mengangkat lensa yang miring. Ia juga diberi
sanksi pencabutan surat tanda registrasi (STR) selama 2 bulan.

Kini pascaputusan tersebut, pihak korban ingin meminta


pertanggungjawaban dari dokter tersebut namun tidak ada
itikad baik dari pihak dokter tersebut. Padahal, korban
merupakan tergolong dari keluarga miskin dan hanya ingin
mendapatkan keadilan atas kelalaian dari dokter tersebut.

Dengan advokasi dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen


Kesehatan Indonesia (YKPKI) dan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (LBHI), korban akan melayangkan somasi terhadap
RSUD Sangatta dan dokter 'Z'.

"Kami akan tunggu jawaban dari somasi hingga 14 hari. Kalau


dari rumah sakit tidak ada jawaban kami akan layangkan
somasi kedua dan menempuh langkah hukum perdata atau
pidana," ujar pengacara dari Herawan and Partners, Wahyu
Nandang, di Jakarta, Rabu (1/8).

Menurut Wahyu langkah hukum dimungkinkan walaupun


MKDKI telah menjatuhkan putusan atas pelanggaran disiplin
yang dilakukan dokter Z. Wahyu menekankan akibat kelalaian
dokter tersebut, Eza kehilangan hak-haknya untuk
mendapatkan pendidikan dan hidup layaknya anak-anak lain.

Ibu dari Eza, Riayanti, 30, menuturkan selama ini ia


mengandalkan bantuan dari program JKN-KIS untuk
pengobatan putranya, tetapi belum semua biaya dijamin. Ia
harus membeli obat seharga ratusan ribu untuk mata Eza. Obat
tersebut harus digunakan setiap hari seumur hidup agar
tekanan mata Eza tidak tinggi.

"Kalau tekananan bola matanya terlalu tinggi, kata dokter


matanya akan pecah," kata Ria.

Ria menuturkan ia hanya ingin keadilan bagi anaknya.

Anda mungkin juga menyukai