Anda di halaman 1dari 2

Dari sekian banyak kasus malpraktik dan penelantaraan pasien oleh pihak rumah

sakit, kasus yang menimpa Ayu Tria (7) yang harus mendapat perhatian penuh para
pihak medis. Pada akhir tahun 2012 lalu, Ayu dilaporkan meninggal dunia setelah
dilarikan ke RSAB Harapan Kita karena kondisinya yang tiba-tiba drop. Setelah tiba
di rumah skait, Ayu langsung di bawa ke ruang Unit Gawat Darurat (UGT) untuk
ditangani pihak RS. Ia kemudian dipindahkan ke ruang ICU atas saran dokter.

Proses pemindahan sempat terhambat sekitar 15 menit karena jalan dari UGD menuju
ICU ternyata terganggu oleh peralatan syuting sebuah film layar lebar. Ayu Tria
langsung diinfus dan dipasangi alat pacu jantung ketika memasuki ruang ICU. Namun
sayangnya, beberapa jam kemudian, dokter menyatakan bahwa Ayu telah meninggal
dunia. Menurut Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI),
Tulus Abadi, kasus penelentaraan ini bisa masuk dalam kategori malpraktik.

“Kasus ini harus diusut oleh Kemkes untuk mencari tahu apakah korban meninggal
karena ruang ICU di pakai untuk syuting atau ada faktor lain. Kalau benar karena
syuting, jelas ini bisa masuk dalam kategori malpraktik,” kata tulus kepada Okezone,
Jumat 28 Desember 2012.

Peristiwa nahas menimpa seorang bocah laki-laki berinisial MI (9). Ujung alat
vitalnya tak sengaja terpotong dan tidak bisa disambung lagi saat sedang menjalani
proses khitan. Kejadian ini berlangsung di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.
Menurut laporan penyidik, kala itu pelaku menggunakan ala khitan laser dan mengaku
idak memiliki izin resmi sebagai perawat medis, termasuk sebagai juru khitan.

Tak terima dengan nasib malang yang menimpa sang anak, pihak keluarga langsung
melaporkan seorang tersangka berinisial B atas dugaan malpraktik. Pihak kepolisian
menjelaskan, selama ini tersangka tidak pernah memasan papan praktik khitan di
kediamannya. Kendati demikian, nama B cukup populer di kalangan warga sebagai
juru khitan. Ia juga kerap terlibat dalam acara sunatan massal.

Dalam beberapa minggu ini dunia profesi dokter di Indonesia merasa “galau” dengan
putusan Mahkamah Agung (MA) no 365.K/pid/2012 yang memberi hukuman 10
bulan penjara tiga dokter ahli kandungan di Manado dengan alasan melakukan
malpraktek, keputusan MA tersebut sekaligus menggugurkan keputusan pengadilan
tinggi Manado sebelumnya yang menyatakan ketiga dokter bebas dari tuntutan
malpraktek. Walaupun terpidana berencana akan melakukan peninjauan kembali (PK)
akan tetapi kejaksaan Manado telah mengeksekusi mereka ke dalam penjara.

Menilik kasus dokter kandungan di Manado didapatkan miskomunikasi dokter-pasien


dimana keluarga pasien tidak mendapat informasi tentang lengkap resiko terjelek dari
tindakan operasi. Dan dalam kenyataannya pasien meninggal akibat komplikasi
operasi yang bisa terjadi siapapun (emboli paru). Menurut penjelasan majelis
kehormatan kedokteran indonesia (MKKI) para dokter tersebut hanya lalai dalam hal
komunikasi dengan keluarga pasien.
Para dokter tersebut tidak melakukan malpraktek kriminal dan malpraktek
administrtif, dan terbukti melakukan malpraktek sipil, jadi seharusnya MA
menggunakan UU kesehatan dan UU praktek kedokteran dalam memutus kasus ini
dengan hukuman perdata, bilamana menggunakan KUHP maka yang dipakai adalah
pasal 359 yang berisi kelalaian yang menyebabkan kematian orang lain.
Padahal para dokter tersebut justru berusaha menyelamatkan 2 nyawa dalam kondisi
kritis hanya saja ada beberapa prosedur yang tidak dilakukan, termasuk pemeriksaan
rekam jantung dan rongsen dada, hal tersebut bisa terjadi karena kondisi pasien gawat
dan operasi segera dilakukan secepatnya apalagi umur pasien dibawah 40 tahun
sehingga pemeriksaan tersebut bukan sesuatu yang wajib.

Anda mungkin juga menyukai