Anda di halaman 1dari 4

SOAL KASUS :

SOAL 1
Nah, Lho, Dokter dan Pasien pun sering Tidak Nyambung

Republika.co.id.
Komunikasi antara dokter dan pasiennya mutlak diperlukan dalam penanganan masalah
kesehatan. Komunikasi yang dimaksud tidak berupa istilah ilmiah melainkan lebih
bersifat informatif.
Sebuah survey yang digagas oleh Yale University School of Medicine
mengungkapkan bahwa adanya selip informasi antara dokter dan pasien. Riset yang
melibatkan 89 pasien disebuah rumah sakit ini menyatakan komunikasi antara dokter dan
pasien sering tidak dipahami dalam konteks yang sama ketika membahas diagnosis dan
pengobatan. Singkat cerita, apa yang dikatakan oleh dokter belum tentu sama dengan apa
yang ditangkap pasien.
Dalam sesi berbeda peneliti mencatat hanya 18 % pasien yang mengingat nama
dokter mereka. Sementara itu, hanya 57 % yang mengerti dan memahami diagnosis yang
diutarakan oleh dokter.
Berbanding terbalik dengan pasien mereka, 2/3 dokter justru menghafal nama
pasiennya dan 77 % dokter yakin bila pasien mereka memahami diagnosis yang
diberikan. “Apa yang baru dari riset ini adalah adanya informasi yang hilang antara
dokter dan pasien. Bahkan pasien benar-benar tidak memahaminya”, ungkap Dr. Douglas
P. Oslon kepada Reuters, Rabu (11/8).
Dia menambahkan hilangnya komunikasi sering terjadi pada nama dan diagnosis.
Kata dia, dari pasien yang diwawancara, ¼ mengatakan dokter tidak pernah
memberitahukan nama mereka. Selain itu, hanya 10 % dari pasien yang mengatakan
dokter memberitahukan potensi efek dari obat-obatan yang diberikan. Di pihak dokter,
ungkap Olson, justru sebaliknya, sebagian dokter mengaku telah memberitahu nama dan
81 % dokter juga mengaku telah menerangkan efek dari obat yang diberikan.
Dari sejumlah catatan riset itu, upaya untuk meningkatkan kualitas komunikasi
dokter dan pasien dalam beberapa tahun belakangan gagal total. Celakanya, gembar-
gembor peningkatan kualitas program melalui rangkaian program yang berlangsung di
Akademi Perawatan, pelatihan dan symposium terus dilakukan. “Tapi, tetap saja
komunikasi tidak terjalin baik”, imbuh Olson sembari menyatakan keberhasilan
komunikasi memperbesar pasien cepat mendapatkan penanganan yang tepat perihal
penyakitnya.
Olson berasumsi kualitas komunikasi dokter dan pasien ditenggarai adanya
persoalan medis yang kompleks. Kata dia, persoalan yang dimaksud bukan masalah 1
diagnosis, tetapi, melibatkan banyak diagnosis yang harus diberikan pasien. Diagnosis itu
yang dinilai Olson tidak dipahami dengan baik lantaran penggunaan bahasa yang
cenderung ilmiah.
“Berbeda dengan 30 atau 40 tahun lalu, pasien yang mengunjungi rumah sakit
jauh lebih sedikit. Dengan jumlah yang sedikit, pasien memiliki waktu yang cukup untuk
mengerti dan memahami informasi tentang kondisi kesehatan mereka dan cara untuk
mengobatinya”, paparnya.
Oleh karena itu, Olson menyarankan agar dokter memberikan informasi dalam
bentuk yang lebih konkrit seperti informasi tertulis dan lebih banyak menjelaskan.
“Sangat penting bagi kita untuk melirik ke belakang dan melihat perubahan dari sistem
yang ada demi meningkatkan kualitas komunikasi”, tegasnya.
Khusus pasien, Olson menyarankan kepada masyarakat untuk menyiapkan
rangkaian pertanyaan yang dibutuhkan sehingga tidak ada informasi yang ketinggalan.
Olson juga melihat peran keluarga sangat penting. “Bagaimana caranya agar saya
berubah saat meninggalkan rumah sakit? Pertanyaan itu adalah pertanyaan umum yang
baik dan dapat membantu pasien memulai diskusi tentang berbagai masalah, termasuk
penyesuaian gaya hidup dan perubahan pengobatan yang perlu dilakukan”, ujarnya.
Olson juga menyarankan jika pasien kesulitan mendapati dokter utama, sebaiknya
pasien memiliki dokter pengganti yang bisa dihubungi bila membutuhkan konsultasi.

Berdasarkan artikel tersebut, jawablah sejumlah soal berikut ini :


1. Bagaimanakah komunikasi dokter & pasien yang ada dalam artikel ini ?
2. Permasalahan apa saja yang muncul & apa yang menjadi faktor pemicunya ?
3. Bagaimana cara mengatasi permasalahan komunikasi tersebut ?

SOAL 2
Lecet Berbuntut Amputasi

Pemicunya adalah diabetes. Sudargo memang penderita kencing manis. Namun, bintara
pensiunan angkatan udara itu mungkin tak perlu kehilangan kaki kirinya bila dokter
tangkas menangani penyakitnya. Kini hidup pria berusia 68 tahun itu sangat bergantung
pada kursi roda.
Sudargo sadar, bagi penderita penyakit gula, luka sekecil apapun harus mendapat
penanganan secepatnya. Oleh karena itu, saat kakinya lecet Mei lalu, ia langsung datang
ke Klinik Specialist Kulit di bilangan Kramat Jati. Belum habis obat yang diberikan
klinik, lukanya makin parah. Pihak klinik segera merujuknya berobat ke salahsatu rumah
sakit pemerintah.
Sudargo masih ingat betul. Saat masuk rumah sakit yang dirujuk, dia masih bisa
tegak berjalan, tak terganggu oleh luka di kelingking kakinya. Oleh dokter jaga yang
menerimanya, luka itu hanya disumpal dengan tampon. Berbekal surat asuran kesehatan
(Askes)nya, Sudargo dirawat dikelas III.
Makin lama, luka bernanah itu menyebarkan bau busuk. Perawat hanya
mengganti perban dan mengguyur dengan rivanol, sementara tampon yang dipasang tak
pernah diutak-atik. Baru 3 hari kemudian, dokter datang dan membuka tampon yang
berwarna kehijauan - tindakan yang ternyata sudah sangat terlambat. Saat itu, dokter
mengambil contoh nanah dan menyuruh anak Sudargo memeriksakan ke laboratorium
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Meski hasil laboratorium sudah ditangan, Sudargo tak juga ditangani. “Mereka
masih akan memastikan hasil pemeriksaan nanah, 3 hari lagi”, kata Tri Sutarmi, istri
Sudargo. Tak sabar melihat luka yang sudah menyebar ke pergelangan kaki, keluarga
Sudargo memutuskan untuk memindahkannya ke rumah sakit swasta yang dinilai lebih
baik dalam menangani pasien. Namun, upaya tersebut dicegah dan pihak rumah sakit
pemerintah itu segera menurunkan 3 orang dokter untuk menangani kasus ini. Keputusan
2 hari kemudian: sebagian kaki kiri Sudargo dipotong.
Paca-operasi, Sudargo datang ke RS St. Carolus. Ketika mendengar ada YPKKI
di rumah sakit itu, keluarganya melaporkan celaka yang dialaminya. Sekitar Juli tahun
lalu, mereka mendatangi rumah sakit pemerintah tempat pertama kali Sudargo dirawat
untuk meminta pertanggung-jawaban atas pelayanan sekenanya. Aneh. Dari rumah sakit
pemerintah itu, Sudargo menerima jawaban: medical record Sudargo lengah entah
kemana. Lho?
Diskusi pun digelar. “Sekarang maunya apa?” tantang sang dokter, seperti
ditirukan Tri Sutarmi, dengan nada tinggi dalam diskusi yang emosional itu. “Kami cuma
ingin biaya pengobatan diganti”, kata Tri Sutarmi. Dari lecet kecil, mereka sudah
mengeluarkan biaya sekitar Rp. 1 Juta di rumah sakit celaka itu dan sekitar Rp. 30 Juta
di RS St. Carolus. Diakhir pembicaraan, kepala rumah sakit pemerintah itu berjanji akan
mempertimbangkan nasib mereka, termasuk memberikan ganti rugi biaya pengobatan.
Ternyata, ini cuma janji kosong.
“Sampai sekarang, kami tak menerima sepersen pun. Dihubungi pun tidak”, kata
Tri. Kini Sudargo cuma bisa pasrah menjalani hidupnya dalam kondisi cacat. Kursi
rodanya pun tak bisa mengantarnya melihat kibaran spanduk raksasa bertuliskan
“Indonesia Sehat 2010 dan Sehat itu Hak Asasi Manusia (HAM)” di Monas, Jakarta,
pada Hari Kesehatan Nasional tahun ini.

[Penggalan dari artikel “Dokter Tak Pernah Salah?” oleh Mardiyah Chamim, Agung
Rulianto, Gita Widya Laksmini (Jakarta), Bandelan Amarudin (Semarang)].

Berdasarkan artikel tersebut diatas, jawablah sejumlah pertanyaan berikut dibawah ini :
1. Bagaimanakah pelaksanaan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung RI) No. 1 Tahun
2008 dalam penyelesaian sengketa kesehatan diatas ?
2. Apakah kasus tersebut diselesaikan melalui Mediasi ?
3. Adakah kesepakatan yang dicapai diantara pihak-pihak yang bersengketa didalam
kasus ini ?
4. Bagaimanakah akhir penyelesaian kasus ini ?

Note.
Untuk soal kasus ini, silahkan download dulu PERMA No. 1 Tahun 2008 di Google.

------``SELAMAT UJIAN & SEMOGA BERHASIL``------

Anda mungkin juga menyukai