Oleh:
KELOMPOK VIII
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan tidak lupa
pula kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
Pembiayaan dan Penganggaran Kesehatan yang membahas tentang “Distribusi Biaya Kesehatan
Penyakit Tuberkulosis“. Dan kami juga berterimakasih kepada Bapak Edi Subroto, SKM., M.Kes.
selaku dosen Pembiayaan dan Penganggaran Kesehatan di Universitas Islam Negeri Sumatera
Utara, yang telah memberikan tugas kepada kami.
Adapun makalah Distribusi Biaya Kesehatan Penyakit Tuberkulosis ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai referensi buku, jurnal dan
website sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami, tidak lupa
menyampaikan banyak terimakasih kepada seluruh referensi-referensi yang telah membantu kami
dalam pembuatan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai bagaimana Distribusi Biaya Kesehatan Penyakit Tuberkulosis
khususnya bagi penulis, pembaca maupun pendengar. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
berharap adanya kritik dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia saat ini berada di urutan ketiga negara dengan beban tuberkulosis (TB) tertinggi
di dunia dengan estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 647/100.000 penduduk
(WHO, 2015). Berdasarkan perhitungan disability-adjusted life-year (DALY) WHO, kasus TB
menyumbang 6,3 persen dari total beban penyakit di Indonesia, dibandingkan dengan rata-rata di
kawasan Asia Tenggara sebesar 3,2 persen (USAID, 2008). Hingga saat ini, sebagian besar
pembiayaan AIDS, TB, dan malaria di Indonesia secara umum masih didukung oleh donor
internasional terutama Global Fund (GF). Namun demikian, peran donor Internasional dalam
beberapa tahun ke depan akan berakhir, termasuk yang bersumber dari GF (Global Fund, 2015).
Sehingga isu exit strategy pembiayaan program TB terhadap terminasi dukungan donor asing
menjadi sangat penting untuk keberlangsungan program (Setiawan, Sucahya, Thabrany, &
Komaryani, 2016).
Merujuk pada tabel di atas ditunjukkan bahwa pola anggaran yang bersumber pemerintah
telah mengalami peningkatan dari sekitar 11% pada tahun 2009 menjadi sekitar 30% pada tahun
2012. Komitmen tersebut direncanakan akan terus meningkat hingga 50% di tahun 2016
(Kemenkes, 2012). Namun demikian, sebagian besar peningkatan tersebut masih fokus pada
pengadaan obat dan bahan medis terkait pemeriksaan dan pengobatan TB (Setiawan et al., 2016).
1
Penyelenggaraan sistem kesehatan ke depan melalui program JKN akan lebih sistematik
dengan masuknya upaya pengobatan TB dalam paket manfaat jaminan. Namun demikian yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana pola pembiayaan untuk Upaya Kesehatan Masyarakat
(UKM) yang merupakan salah satu peran penting dari pemerintah, dalam hal ini adalah
Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan pada tingkat daerah dalam menurunkan angka
kesakitan TB. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk membangun political will dari para
pemangku kebijakan, dibutuhkan sebuah evidence based data terkait besaran kebutuhan biaya
program sebagai bahan dalam advokasi pembiayaan UKM. Kemudian, dilakukan analisis situasi
dengan membandingkan kebutuhan pembiayaan program tersebut dengan anggaran yang hingga
saat ini telah dialokasikan termasuk sumber pembiayaannya (Setiawan et al., 2016). Sehingga
dengan mengetahui kesenjangan tersebut, maka hasil analisis dalam makalah ini akan
menunjukkan seberapa besar pembiayaan dan penganggaran yang harus diupayakan pemerintah
untuk mengendalikan dampak dari penyakit TB di Indonesia.
1.2Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan inflasi biaya kesehatan pada penyakit Tuberkulosis?
2. Apa saja yang menjadi penyebab inflasi biaya kesehatan pada penyakit Tuberkulosis?
3. Bagaimana dampak dari inflasi biaya kesehatan pada penyakit Tuberkulosis?
4. Apa saja upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi inflasi biaya kesehatan pada
penyakit Tuberkulosis?
5. Bagaimana target capaian distribusi biaya kesehatan penyakit Tuberkulosis berdasarkan
indikator SDG’s?
1.3Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian tentang inflasi biaya kesehatan pada penyakit Tuberkulosis.
2. Agar dapat mengetahui penyebab inflasi biaya kesehatan pada penyakit Tuberkulosis.
3. Agar dapat mengetahui dampak dari inflasi biaya kesehatan pada penyakit Tuberkulosis.
4. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi inflasi biaya kesehatan
pada penyakit Tuberkulosis.
5. Untuk mengetahui target capaian distribusi biaya kesehatan penyakit Tuberkulosis
berdasarkan indikator SDG’s.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Inflasi Biaya Kesehatan
Secara umum, inflasi merupakan suatu keadaan perekonomian dimana harga-harga secara
umum mengalami kenaikan dalam waktu yang panjang. Kenaikan harga yang bersifat sementara
seperti kenaikan harga pada masa lebaran tidak dianggap sebagai inflasi, karena disaat setelah
masa lebaran, harga-harga dapat turun kembali. Inflasi secara umum dapat terjadi karena jumlah
uang beredar lebih banyak dari pada yang dibutuhkan. Inflasi merupakan suatu gejala ekonomi
yang tidak pernah dapat dihilangkan dengan tuntas. Usaha-usaha yang dilakukan biasanya hanya
sampai sebatas mengurangi dan mengendalikannya (Artikelsiana, 2015).
Dalam hal kesehatan, inflasi adalah suatu keadaan perekonomian dimana harga-harga
biaya kesehatan secara umum juga mengalami kenaikan dalam waktu yang panjang. Inflasi
kesehatan secara umum sering terjadi karena jumlah biaya kesehatan lebih banyak dari pada yang
dibutuhkan. Inflasi kesehatan juga merupakan suatu gejala ekonomi yang tidak pernah dapat
diselesaikan secara akurat dan tuntas. Umumnya, usaha-usaha yang dilakukan biasanya hanya
sebatas mengurangi dan juga mengendalikannya.
3
Gambar 1. Perbandingan Anggaran TB dan Anggaran Kesehatan (Belanja Langsung) Dinkes
Samarinda
4
Total kebutuhan anggaran program TB di kabupaten Garut berdasarkan Standar Pelayanan
Minimal sekitar 2,5 Milyar Rupiah, sedangkan total anggaran yang sudah dialokasikan hampir 2
Milyar Rupiah. Sehingga selisih antara kebutuhan dengan realisasi anggaran sekitar 535 Juta
Rupiah. Dari ketiga komponen biaya yang tercantum pada tabel, selisih paling besar terjadi pada
komponen alat dan bahan medis meskipun secara umum total realisasi anggaran sudah cukup ting-
gi yaitu hampir mencapai 1 Milyar Rupiah (Setiawan et al., 2016).
Sama halnya dengan Kabupaten Garut, perbandingan antara total kebutuhan anggaran
menurut SPM dengan anggaran yang telah dialokasikan di Kota Cirebon terjadi selisih yang cukup
signifikan yaitu sekitar 721 Juta Rupiah. Dari ketiga komponen biaya pada tabel di atas, selisih
anggaran yang paling tinggi adalah pada komponen alat dan bahan medis yaitu sekitar hampir 600
Juta Rupiah. Tingginya realisasi anggaran untuk komponen alat dan bahan medis baik di Garut
maupun Cirebon terkait dengan tingginya angka suspek TB di kedua daerah tersebut. Pada tahun
2013 tercatat angka suspek TB di Garut mencapai 13.898 kasus atau 560/100.000 penduduk
sementara di kota Cirebon sebanyak 5317 kasus atau 1778/100000 penduduk. Hal inilah yang juga
memicu tingginya kebutuhan anggaran program berdasarkan SPM, sebab basis data dalam
perhitungan SPM adalah angka kasus TB dan frekuensi kegiatan (Setiawan et al., 2016).
Total perhitungan pembiayaan program TB pada tabel di atas tidak termasuk komponen
biaya obat, sebab komponen tersebut tidak tercantum dalam item Standar Pelayanan Minimum
(SPM). Namun demikian, pada proses perhitungan realisasi anggaran didapatkan bahwa total
pengeluaran biaya obat untuk penatalaksanaan program TB di Garut sekitar 1,5 Milyar. Dari total
pembiayaan obat tersebut, sekitar 94% bersumber dari pemerintah sedangkan sisanya merupakan
support dari Global Fund. Berbeda dengan pola pembiayaan obat di kabupaten garut, pembiayaan
obat di Kota Cirebon sepenuhnya di supply oleh pemerintah (Setiawan et al., 2016).
Pembiayaan yang bersumber dari biaya pemerintah adalah semua bentuk pembiayaan yang
dialokasikan oleh pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten-kota) untuk pembangunan kesehatan,
baik upaya kesehatan yang bersifat langsung untuk pelayanan kesehatan maupun secara tidak
langsung. Pada pembiayaan tuberkulosis di Samarinda, terjadi kesenjangan atau gap pada
pembiayaan program TB bila dibandingkan dengan anggaran kesehatan dinas kesehatan kota
Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kasus TB tinggi tetapi jumlah anggaran
programnya kecil. Adanya masalah kesenjangan pembiayaan program TB juga terdapat dalam
5
penelitian mengenai pembiayaan HIV/AIDS dan Tuberkulosis yang dilakukan di Estonia oleh
(Politi & Torvand, 2007) menunjukkan bahwa terdapat adanya fragmentasi dalam pembiayaan
antara strategi dan program kesehatan (Purwaningsih et al., 2018).
Kebutuhan anggaran upaya kesehatan masyarakat (UKM) untuk program TB akan terus
meningkat dari tahun ke tahun. Di proyeksikan akan terjadi peningkatan biaya program TB dari
Rp449,1 milyar (2014) menjadi Rp654,8 milyar di tahun 2020 (harga berlaku) (CHEPS
Universitas Indonesia, 2013).
Hampir tiga per empat sumber pendanaan program TB berasal dari donor, terutama global
fund (GF). Dana GF tidak hanya diberikan melalui kemenkes saja, tetapi juga melalui organisasi
kemasyarakatan dan universitas, yang secara tidak langsung menunjang program TB. Melihat pola
seperti ini, maka keberlangsungan program TB amat rentan karena tergantung donor. Atas dasar
itu, dalam upaya exitstrategy mulai terlihat komitmen pemerintah atas program TB yang semakin
positif. Indikasi ini terlihat dari proporsi anggaran yang bersumber pemerintah semakin meningkat
dari 11% (2009) menjadi 30% (2012). Komitmen tersebut rencananya akan terus ditingkatkan
sampai dengan 50% di tahun 2016 (Kemenkes, 2012).
Inflasi seperti ini terjadi karena adanya kenaikan permintaaan untuk beberapa jenis barang.
Dalam hal ini, permintaan mastarakat meningkat secara agreat (aggregate demand). Peningkatan
permintaan ini dapat terjadi karena peningkatan belanja pada pemerintah, peningkatan permintaan
akan barang untung diekspor, dan peningkatan permintaan barang bagi kebutuhan swasta.
Kenaikan permintaan masyarakat (aggregate demand) ini mengakibatkan harga-harga naik karena
penawaran tetap.
6
Inflasi seperti ini terjadi karena adanya kenaikan biaya produksi. Kenaikan pada biaya
produksi terjadi akibat karena kenaikan harga-harga bahan baku, misalnya karena keberhasilan
serikat buruh dalam menaikkan upah atau karena kenaikan harga bahan bakar minyak. Kenaikan
biaya produksi mengakibatkan harga naik dan terjadilah inflasi.
Teori ini diajukan oleh kaum klasik yang mengatakan bahwa ada hubungan antara jumlah
uang yang beredar dan harga-harga. Bila jumlah barang itu tetap, sedangkan uang beredar
bertambah dua kali lipat maka harga akan naik dua kali lipat. Penambahan jumlah uang yang
beredar dapat terjadi misalnya kalau pemerintah memakai system anggaran deficit. Kekurangan
anggaran ditutup dengan melakukan pencetakan uang baru yang mengakibatkan harga-harga naik.
7
program TB di daerah masih terbuka lebar. Peningkatan komitmen daerah harus terus diupayakan
dalam kerangka desentralisasi kesehatan (Kemenkumham, 2019).
Indonesia saat ini berada di urutan kelima negara dengan beban tuberkulosis (TB) tertinggi
di dunia. Hingga saat ini, pembiayaan TB di Indonesia secara umum masih sangat tergantung
kontribusi donor internasional, termasuk Global Fund (GF) di mana peran donor dalam beberapa
tahun ke depan akan berakhir. Dibutuhkan evidence based data sebagai bahan advokasi untuk
mendapatkan besaran biaya satuan dan total biaya program TB yang ke arah UKM (CHEPS
Universitas Indonesia, 2013).
Kebutuhan anggaran upaya kesehatan masyarakat (UKM) untuk program TB akan terus
meningkat dari tahun ke tahun. Di proyeksikan akan terjadi peningkatan biaya program TB dari
Rp449,1 milyar (2014) menjadi Rp654,8 milyar di tahun 2020 (harga berlaku). Peningkatan
anggaran ini dipicu oleh faktor inflasi harga dan kenaikan temuan kasus atau kinerja program,
dengan komponen biaya terbesar untuk penyediaan obat TB (CHEPS Universitas Indonesia,
2013).
8
menghasilkan bunga sebesar, misalnya, 15% per tahun, katakanlah 11% maka pendapatan
dari uang yang didepositokan tinggal 4%. Minat orang untuk menabung akan berkurang.
Dampak inflasi terhadap kalkulasi harga pokok: keadaan inflasi menyebablan perhitungan
untuk menetapkan harga pokok dapat terlalu kecil atau bahkan terlalu besar. Oleh karena
persentase dari inflasi untuk masa tertentu. Akibatnya, penetapan harga pokok dan harga
jual sering tidak tepat. Keadaan inflasi ini dapat mengacaukan perekonomian, terutama
untuk produsen.
Berdasarkan hasil cross check dengan Kepala BP4 Kota Tegal mengatakan pembiayaan
pengobatan TB di BP4 Tegal ada 3 macam yaitu pengobatan gratis dengan obat paket FDC,
pengobatan gratis dengan Askes atau Jamkesmas, dan pengobatan mandiri. Sedangkan menurut
Petugas Bagian Administrasi BP4 Tegal, untuk pemakaian obat paket FDC, pasien harus dapat
menyelasaikan pengobatan selama 6 bulan, jika pasien tidak dapat menyelesaikan pengobatan atau
berhenti dari pengobatan maka pasien harus mengembalikan dana dari obat FDC tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diasumsikan bahwa pembiayaan pengobatan seluruh
narasumber dengan mandiri.
Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada karena tidak mempunyai
cukup uang untuk membeli obat, membayar transportasi, dan sebagainya. Penyebaran masalah
kesehatan pada umumnya dipengaruhi oleh terdapatnya perbedaan ekonomi dalam mencegah atau
mengobati penyakit. Bagi mereka yang mempunyai keadaan ekonomi yang baik tentu tidak sulit
melakukan pencegahan dan pengobatan penyakit, tetapi bagi mereka yang mempunyai keadaan
ekonomi yang kurang baik akan sulit untuk melakukan pencegahan dan pengobatan (Currie, 2005).
Tidak adanya aturan yang mengikat dari pemerintah tentang sistem rujukan untuk pasien
mandiri memberikan peluang bagi mereka untuk tidak mengikuti alur rujukan. Pada Pasal 5 PMK
No. 001 Tahun 2012, tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan dinyatakan bahwa
9
sistem rujukan diwajibkan bagi peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan juga
pemberi pelayanan kesehatan, sedangkan untuk peserta asuransi kesehatan komersial mengikuti
aturan yang berlaku sesuai dengan ketentuan dalam polis asuransi dengan tetap mengikuti
pelayanan kesehatan berjenjang, dan untuk setiap orang yang bukan peserta jaminan kesehatan
atau asuransi kesehatan sosial dapat mengikuti sistem rujukan (Kemenkes RI, 2012).
Rujukan balik merupakan hal penting dalam suatu sistem rujukan. Hal ini juga ditegaskan
dalam pedoman sistem rujukan nasional tahun 2012 dan BPJS kesehatan tahun 2014, dimana
semua kasus kesehatan yang telah ditangani di RS rujukan harus dilakukan rujuk balik. Laporan
kasus yang dilakukan di Namibia menyatakan bahwa sebagian besar kasus rujukan tidak dilakukan
rujuk balik ke fasilitas perujuk (Purwaningsih et al., 2018).
Komunikasi dan regulasi menjadi penyebab dari lemahnya koordinasi antara dokter
praktek swasta, puskesmas dan rumah sakit dalam melakukan rujukan pasien TB. Hal tersebut
turut berkontribusi pada tingginya jumlah pembiayaan pengobatan klaim rawat jalan pasien TB di
rumah sakit. Sehingga muncul asumsi jika rumah sakit mencari keuntungan dari tingginya jumlah
kunjungan RJTL pasien TB di Kota Samarinda. Hal ini menimbulkan masalah baru seperti
memberi celah terhadap potensi fraud (Purwaningsih et al., 2018).
1. Kebijakan Moneter
10
Kebijakan penetapan persediaan kas: Bank sentral dapat mengambil kebijakan untuk
mengurangi uang yang beredar dengan jalan menetapkan persediaan uang yang beredar
dengan jalan menetapkan persediaan uang kas pada bank-bank. Dengan mewajibkan bank-
bank umum dapat diedarkan oleh bank-bank umum menjadi sedikit. Degan mengurangi
jumlah uang beredar, inflasi dapat ditekan.
Kebijakan diskonto: untuk mengatasi inflasi, bank sentral dapat menerapkan kebijakan
diskonto dengan cara mengikatkan nilai suku bunga, tujuannya adalah agar masyarakat
terdorong menabung. Dengan demikian, diharapkan jumlah uang yang beredar dapat
berkurang sehingga tingkat inflasi dapat ditekan.
2. Kebijakan Fiskal
Untuk memperbaiki dampak yang diakibatkan inflasi, pemerintah menerapkan kebijakan moneter
dan kebijakan fiskal. Tetapi selain kebijakan mneter dan fiskal, pemerintah masih mempunyai cara
lain. Cara-cara dalam mengendalikan inflasi adalah sebagai berikut.
11
dengan memberi premi atau subsidi pada perusahaan yang dapat memenuhi target tertentu.
Selain itu, untuk menambah jumlah barang yang beredar, pemerintah juga dapat
melonggarkan keran impor. Misalnya, dengan menurunkan bea masuk barang impor.
Menetapkan harga maksimum untuk beberapa jenis barang: penetapan harga tersebut akan
mengendalikan harga yang ada sehingga inflasi dapat dikendalikan. Tetapi penetapan itu
harus realistis. Kalau penetapan itu tidak realistis, dapat berakibat terjadi pasar gelap (black
market).
Oleh karena itu, implementasi UU Praktik Kedokteran dan UU Rumah Sakit akan sangat
bermanfaat bagi penguatan aspek regulasi dalam pengendalian TB, khususnya penerapan strategi
DOTS di rumah sakit dan praktik swasta serta implementasi ISTC. Pada tahun 2007, organisasi-
organisasi profesi secara resmi sudah mengesahkan ISTC sebagai standar pelayanan TB. UU
Nomor 4/1984 mewajibkan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan umum dan swasta untuk
12
melaporkan kejadian penyakit menular prioritas kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini dinas
kesehatan setempat (Kemenkumham, 2019).
Tantangan baru yang harus dihadapi oleh program TB meningkatkan kebutuhan akan
pelatihan strategi DOTS maupun kebutuhan akan pelatihan dengan topik baru seperti halnya tata
laksana MDR-TB, PAL, PPI TB, dan lainnya. Pelatihan strategi DOTS tetap dibutuhkan
mengingat ekspansi strategi DOTS dengan perluasan jenis dan jumlah fasilitas pelayanan
kesehatan serta berbagai inovasi untuk memperkuat penerapan strategi DOTS (misalnya alat
diagnostik yang baru, TB elektronik, ACSM, manajemen logistik). Selain itu, faktor keterbatasan
jumlah staf, rotasi staf di fasilitas pelayanan kesehatan dan dinas kesehatan serta kesinambungan
antar pelatihan juga menjadi tantangan dalam pengembangan sumber daya manusia di era
desentralisasi. Konsekuensi dari kebutuhan pelatihan yang tinggi adalah kebutuhan ketersediaan
fasilitator tambahan dengan jumlah, keterampilan dan keahlian spesifik yang memadai.
Monitoring dan evaluasi seharusnya dilakukan melalui kegiatan supervisi (on the job
training) dan pertemuan triwulanan di berbagai tingkat. Akibat kekurangan sumber daya (SDM,
dana dan logistik) supervisi di provinsi dan kabupaten/kota tidak dilaksanakan secara rutin,
sementara tantangan dalam program TB semakin kompleks. Pengembangan sistem informasi
elektronik dan sistem informasi geografis direncanakan untuk meningkatkan kualitas perencanaan
dan penanganan penderita yang lebih baik. Selain itu, pertemuan monitoring dan evaluasi
triwulanan juga dilaksanakan di tingkat Puskesmas, sebagai upaya untuk meningkatkan mutu
laboratorium, memvalidasi data dan mengoptimalkan jejaring TB.
Selain melalui pelatihan, pengembangan sumber daya manusia juga dapat dilakukan
melalui on the job training dan supervisi. Meskipun supervisi merupakan bagian integral dalam
13
setiap program, akan tetapi paradigma yang digunakan dalam supervisi program pengendalian TB
masih menitikberatkan pada pengumpulan data. Supervisi sebagai salah satu metode untuk
peningkatan kinerja sumber daya manusia belum dioptimalkan. Dengan lemahnya sistem
informasi sumber daya manusia dalam program pengendalian TB serta praktik supervisi pada saat
ini, maka ketergantungan program pada pelatihan tetap tinggi. Konsekuensi yang ditimbulkan
adalah penilaian kebutuhan pelatihan, pengembangan metode pelatihan yang tepat, serta evaluasi
efektivitas dan efektivitas biaya pelatihan merupakan prioritas untuk riset operasional
(Kemenkumham, 2019).
Komitmen daerah sangat tergantung dari pemahaman para pemangku kebijakan terkait,
seperti kepala daerah, DPRD, dan Bappeda, terhadap program TB. Komitmen daerah juga
tergantung ketersediaan alokasi dana APBD dan mempertimbangkan ketersediaan anggaran yang
berasal dari pusat. Komitmen para pengambil kebijakan melalui ucapan seringkali bertolak
belakang dengan realisasi anggarannya. Indikasi ini terlihat dari semakin meningkatnya anggaran
pemda, tetapi justru anggaran untuk dinas kesehatan semakin menurun, seperti di kota Cirebon
dan kota Pare-pare. Komitmen pihak Dinas Kesehatan terhadap anggaran TB juga ada yang belum
menunjukan respon yang positif dimana anggaran TB terlihat menurun atau fluktuatif. Di sisi lain,
masih banyak tantangan yang perlu diselesaikan dari sisi eksternal dan internal baik dari sisi
masyarakat, pemerintah maupun penyedia layanan kesehatan (CHEPS Universitas Indonesia,
2013).
Berdasarkan target capaian untuk bidang kesehatan yang terdapat dalam salah satu indikator
SDG’s (Sustainable Development Goals) nomor 3 yaitu ‘Menjamin kehidupan yang sehat dan
meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk di semua usia’, yang dimana pada kesejatan dan
kesejahteraan yang baik dampak yang diinginkan atau ang diharapkan oleh SDG’s ini adalah salah
satunya peningkatan akses kesehatan yang merata terhadap pelayanan kesehatan dan jaminan
social bagi seluruh masyarakat. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pelayanan kesehatan
yang baik, pendidikan yang berkualitas, sarana air bersih, serta sanitasi yang baik.
14
Kesehatan yang baik tidak hanya sebatas terbebas dari berbagai penyakit, atau mendapatkan
pelayanan kesehatan yang baik. Kesehatan yang baik sesungguhnya yaitu menjamin kehidupan
yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang disegala usia (dalam Sistem Kesehatan
Nasional), serta mengakhiri endemic AIDS, Tuberkulosis, Malaria dan Penyakit Tropis yang
terabaikan, serta memerangi Hepatitis, Penyakit yang Bersumber pada air, dan penyakit menular
lainnya. Dimana dalam indikator SDG’s (17 indikator) indikator nomor 3 harus mencakup seluruh
isu kesehatan yang diintegrasikan dalam satu tujuan, serta upaya pencapaiannya harus
terintegrasikan.
Pembiayaan yang bersumber dari biaya pemerintah adalah semua bentuk pembiayaan yang
dialokasikan oleh pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten-kota) untuk pembangunan kesehatan,
baik upaya kesehatan yang bersifat langsung untuk pelayanan kesehatan maupun secara tidak
langsung. Pada pembiayaan tuberkulosis di beberapa daerah, masih sering terjadi kesenjangan atau
gap pada pembiayaan program TB bila dibandingkan dengan anggaran kesehatan dinas kesehatan
kota yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kasus TB tinggi tetapi jumlah anggaran
programnya kecil. Adanya masalah kesenjangan pembiayaan program TB juga terdapat dalam
penelitian mengenai pembiayaan HIV/AIDS dan Tuberkulosis yang dilakukan di Estonia oleh
(Politi & Torvand, 2007) menunjukkan bahwa terdapat adanya fragmentasi dalam pembiayaan
antara strategi dan program kesehatan (Purwaningsih et al., 2018).
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam hal kesehatan, inflasi adalah suatu keadaan perekonomian dimana harga-harga
biaya kesehatan secara umum juga mengalami kenaikan dalam waktu yang panjang. Inflasi
kesehatan secara umum sering terjadi karena jumlah biaya kesehatan lebih banyak dari pada yang
dibutuhkan. Inflasi kesehatan juga merupakan suatu gejala ekonomi yang tidak pernah dapat
diselesaikan secara akurat dan tuntas. Umumnya, usaha-usaha yang dilakukan biasanya hanya
sebatas mengurangi dan juga mengendalikannya.
Pembiayaan yang bersumber dari biaya pemerintah adalah semua bentuk pembiayaan yang
dialokasikan oleh pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten-kota) untuk pembangunan kesehatan,
baik upaya kesehatan yang bersifat langsung untuk pelayanan kesehatan maupun secara tidak
langsung. Pada pembiayaan tuberkulosis di Samarinda, terjadi kesenjangan atau gap pada
pembiayaan program TB bila dibandingkan dengan anggaran kesehatan dinas kesehatan kota
Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kasus TB tinggi tetapi jumlah anggaran
programnya kecil. Adanya masalah kesenjangan pembiayaan program TB juga terdapat dalam
penelitian mengenai pembiayaan HIV/AIDS dan Tuberkulosis yang dilakukan di Estonia oleh
(Politi & Torvand, 2007) menunjukkan bahwa terdapat adanya fragmentasi dalam pembiayaan
antara strategi dan program kesehatan.
Kebutuhan anggaran upaya kesehatan masyarakat (UKM) untuk program TB akan terus
meningkat dari tahun ke tahun. Di proyeksikan akan terjadi peningkatan biaya program TB dari
Rp449,1 milyar (2014) menjadi Rp654,8 milyar di tahun 2020 (harga berlaku).
B. Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
Artikelsiana. (2015). Pengertian, Dampak, Jenis, dan Penyebab Inflasi. Retrieved December 3,
2019, from https://www.artikelsiana.com
Kemenkumham. (2019). Pembiayaan dan Regulasi dalam Pengendalian TB. Retrieved December
3, 2019, from http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/
Nugroho, R. A. (2011). Jurnal Kesehatan Masyarakat. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1), 83–
90.
Purwaningsih, E., Trisnantoro, L., & Kurniawan, F. (2018). Analisis kebijakan pembiayaan tb di
fasilitas kesehatan milik pemerintah era jkn di kota samarinda. Jurnal Kebijakan Kesehatan
Indonesia : Jkki Volume, 07(02), 74–78.
Setiawan, E., Sucahya, P. K., Thabrany, H., & Komaryani, K. (2016). A Comparative Budget
Requirements for TB program based on Minimum standard of Services (SPM) and Budget
Realization: an Exit Strategy Before Termination of GF ATM. Jurnal Ekonomi Kesehatan
Indonesia, 1(1), 12–22. https://doi.org/10.7454/eki.v1i1.1761
18