Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN PENGUMPULAN DATA PERENCANAAN, IMPLEMENTASI

DAN EVALUASI PROGRAM GIZI

“Masalah Gizi Masa Covid-19”

Oleh :

Irma Dani Aisyah (0801172235)

DOSEN PENGAMPU : Dr. OSLIDA MARTONY.

FKM SEM. VI – PEMINATAN GIZI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

TA. 2018/2019
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan tidak lupa
pula saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Pengumpulan
Data Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Program Gizi yang membahas tentang “Masalah
Gizi Masa Covid-19“. Dan saya juga berterimakasih kepada Bapak Dr. Oslida Martony, selaku
dosen Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Program Gizi di Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara, yang telah memberikan tugas kepada saya.

Adapun Laporan Pengumpulan Data Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Program


Gizi ini telah saya usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai referensi
buku, jurnal dan website sehingga dapat memperlancar pembuatan Laporan Pengumpulan Data
Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Program Gizi ini. Untuk itu saya, tidak lupa
menyampaikan banyak terimakasih kepada seluruh referensi-referensi yang telah membantu saya
dalam pembuatan proposal penelitian surveilans epidemiologi ini.

Saya sangat berharap Laporan Pengumpulan Data Perencanaan, Implementasi dan


Evaluasi Program Gizi ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan
kita mengenai bagaimana Permasalahan Gizi pada Masa Pandemi Covid-19 khususnya bagi
penulis, pembaca maupun pendengar. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam Laporan
Pengumpulan Data Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Program Gizi ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saya berharap adanya kritik dan usulan
demi perbaikan Proposal Pengumpulan Data yang telah kami buat dimasa yang akan datang.

Semoga Laporan Pengumpulan Data Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Program


Gizi sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya Sebelumnya saya mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Medan, 23 June 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................... 5
1.3 Tujuan .................................................................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 6
2.1 Tinjauan Umum tentang Status Gizi ................................................................................. 6
2.1.1 Penilaian Status Gizi .................................................................................................... 6
2.2 Tinjauan Umum tentang Asupan Makanan ................................................................... 16
2.3 Tinjauan Umum tentang Pendidikan .............................................................................. 19
2.4 Tinjauan Umum tentang Pengetahuan ........................................................................... 19
2.5 Tinjauan Umum tentang Penyakit Infeksi...................................................................... 20
2.6 Tinjauan Umum tentang Tingkat Pendapatan .............................................................. 21
2.7 Tinjauan Umum tentang Covid-19 .................................................................................. 22
2.8 Kerangka Teoritis ............................................................................................................. 25
2.8.1 Definisi Operasional ................................................................................................... 27
2.8.2 Hipotesa ....................................................................................................................... 28
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................................ 29
3.1 Jenis Penelitian .................................................................................................................. 29
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................................... 29
3.3 Metode Pengumpulan Data .............................................................................................. 29
3.4 Analisis Data ...................................................................................................................... 29
BAB IV PEMBAHASAN ........................................................................................................... 31
4.1 Perencanaan Penanganan dan Pengendalian Masalah Covid-19.................................. 31
4.1.1 Penguatan Organisasi................................................................................................. 31
4.1.2 Kegiatan Surveilans.................................................................................................... 33
4.1.3 Deteksi Dini dan Respon ............................................................................................ 36
4.2 Intervensi untuk Masalah Covid-19 ................................................................................. 44
4.3 Evaluasi Program Perencanaan Dampak Masalah Covid-19 ........................................ 48
ii
4.4 Anggaran Penanganan Masalah Covid-19 ...................................................................... 51
BAB V PENUTUP....................................................................................................................... 53
5.1 Kesimpulan ........................................................................................................................ 53
5.2 Saran ................................................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 55

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masalah gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat, dimana pada periode dua tahun
pertama kehidupan seorang anak berada dalam masa kritis. Oleh karena itu, terjadinya gangguan
gizi di masa tersebut dapat bersifat permanen dan tidak dapat pulih walaupun kebutuhan gizi di
masa selanjutnya terpenuhi. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013),
prevalensi gizi buruk di Indonesia tahun 2007 (5,4%), tahun 2010 (4,9%), dan tahun 2014 sebesar
3,6%. Prevalensi gizi buruk dan kurang pada anak balita sebesar 19,6% sedangkan sasaran
Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2019 yaitu 17%. Oleh karena itu, prevalensi gizi
buruk dan kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 2,6% dalam periode 2015 sampai 2019
(Isnaini, 2016).

Wabah infeksi coronavirus (COVID-19 atau 2019-CoV) yang baru telah menimbulkan
ancaman signifikan terhadap kesehatan dan ekonomi internasional. Dengan tidak adanya
pengobatan untuk virus ini, ada kebutuhan medusa untuk menemukan metode alternatif untuk
mengendalikan penyebaran penyakit. Di sini, kami telah melakukan pencarian online untuk semua
pilihan pengobatan yang terkait dengan infeksi coronavirus serta beberapa infeksi virus RNA dan
kami telah menemukan bahwa perawatan umum, perawatan khusus coronavirus, dan perawatan
antivirus harus berguna dalam memerangi COVID-19.

Kami menyarankan bahwa status gizi dari setiap pasien yang terinfeksi harus dievaluasi
sebelum pfsemberian perawatan umum dan vaksin virus RNA anak-anak saat ini termasuk vaksin
influenza harus diimunisasi untuk orang yang tidak terinfeksi dan petugas perawatan kesehatan.
Sebagai tambahan, plasma konvalesen harus diberikan kepada pasien COVID-19 jika tersedia.
Sebagai kesimpulan, kami menyarankan bahwa semua intervensi potensial dilaksanakan untuk
mengendalikan COVID-19 yang muncul jika infeksi tidak terkendali (Zhang & Liu, 2020).

Meski belum ada penelitian tentang risiko COVID-19 terhadap anak-anak, namun data
kasus secara global menunjukkan rendahnya persentase anak-anak penderita COVID-19. Namun
demikian, bukan berarti dalam masa pandemi ini perhatian terhadap anak-anak, terutama
pemenuhan gizi jadi berkurang. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan

1
(Kemenkes) dr. Kirana Pritasari mengatakan pemenuhan gizi anak harus tetap diperhatikan untuk
menjaga imunitas, agar terhindar dari infeksi penyakit khususnya COVID-19. Imunitas tubuh erat
kaitannya dengan cukup atau tidaknya asupan makan anak, yang akan berpengaruh langsung
terhadap status gizi dan imunitasnya.

Dengan asupan makan yang cukup baik jumlah, jenis, dan frekuensinya maka imunitas
akan terjaga sehingga anak mampu menangkal penyakit infeksi, atau setidaknya bila terlanjur
terinfeksi maka dapat cepat sembuh kembali. Pada kondisi anak tertular COVID-19 akan menjadi
lebih berisiko ketika anak memiliki penyakit penyerta seperti pneumonia. Dengan demikian,
mempertahankan status gizi anak jangan sampai turun bagi yang normal, serta memperbaiki status
gizi pada anak-anak gizi kurang dan buruk menjadi sangat penting (Zuliansyah, 2020).

Kementrian Kesehatan (2016, dalam Nirmala, 2018), menetapkan tiga indikator status
gizi berat badan kurang atau gizi kurang (underweight), gizi kronis yang menyebabkan anak
sangat pendek (stunting), dan gizi akut yang menyebabkan anak sangat kurus (wasting).
Menurut standar yang di tetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2015,
menetapkan bahwa suatu wilayah bisa dikategorikan bebas masalah gizi apabila prevalensi
balita pendeknya kurang dari 20% dan balita kurusnya kurang dari 5%. Jika prevalensi
balita pendeknya kurang dari 20% namun pravalensi balita kurusnya 5% atau lebih, maka
wilayah itu masuk kategori akut. Sementara, untuk wilayah kronis prevalensi balita
pendeknya 20% atau lebih dan prevalensi balita kurusnya kurang dari 5%. Sebuah wilayah
juga bisa dikategorikan akut dan kronis bila prevalensi balita pendeknya 20% atau lebih
dan prevalensi balita kurusnya 5% atau lebih.

Gizi kurang merupakan suatu kondisi berat badan menurut umur (BB/U) yang tidak
sesuai dengan usia yang seharusnya. Kondisi gizi kurang akan rentan terjadi pada balita
usia 2-5 tahun karena balita sudah menerapkan pola makan seperti makanan keluarga serta
dengan tingkat aktivitas fisik yang tinggi. Kekurangan gizipada masa balita terkait dengan
perkembangan otak sehingga dapatmemengaruhi kecerdasan anak dan berdampak pada
pembentukan kualitassumberdaya manusia di masa mendatang (Diniyyah & Nindya, 2017).

Karbohidrat harus tersedia dalam jumlah yang cukup yaitu sekitar 55-60% dari total
kalori yang dibutuhkan, kekurangan karbohidrat sekitar 15% dari kalori yang ada dapat

2
menyebabkan terjadinya kelaparan dan berat badan menurun dan sebaliknya (Hidayat, 2008).
Konsumsi lemak yang dianjurkan pada balita adalah sekitar 15-20% dari energi total (Adriani
& Wirjatmadi, 2014). Protein sangat dibutuhkan untuk membangun dan memelihara seluruh
sel di dalam tubuh, serta selama pertumbuhan begitu banyak sel baru yang dibuat dan
diperlukan yaitu sekitar 1,5-29/kgBB.

Masalah gizi buruk memiliki dampak diantaranya adalah menghambat pertumbuhan


fisik maupun mental. Masalah lainnya adalah penurunan daya tahan tubuh, sehingga dapat
meningkatkan terjadinya infeksi. Kekurangan gizi akan menyebabkan hilangnya masa hidup
sehat balita.Dampak jangka pendeknya adalah meningkatkan angka morbiditas dan dampak
jangka panjang adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) mendatang yang
dilihat dari kecerdasan, kreativitas, dan produktivitasnya (Kemenkes, 2014).

Undang- Undang Kesehatan No.36 tahun 2009 Bab VIII pasal 141 menyatakan bahwa
upaya perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi perseorangan dan masyarakat,
peningkatan mutu gizi yang dimaksud dilakukan melalui perbaikan pola konsumsi makanan,
perbaikan perilaku sadar gizi, dan peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan kesehatan
sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Upaya perbaikan gizi telah dilaksanakan sejak
2007 (Departemen Kesehatan, 2007) secara bertahap dan berkesinambungan sesuai dengan
pentahapan dan prioritas pembangunan nasional (Direktorat Bina Gizi, 2013).

Kementerian kesehatan telah menetapkan kebijakan yang komprehensif, meliputi


pencegahan, promosi/ edukasi dan penanggulangan terhadap balita gizi buruk. Upaya
pencegahan dilaksanakan melalui pemantauan pertumbuhan di posyandu. Penanggulangan
balita gizi kurang dilakukan dengan pemberian makanan tambahan (PMT), sedangkan balita
gizi buruk harus mendapatkan perawatan sesuai Tatalaksana Balita Gizi Buruk yang ada.
Peningkatkan kualitas pelayanan gizi dalam penanganan anak gizi buruk dilakukan melalui
pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk bagi tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan (Kemenkes
RI, 2011). Hambatan yang dihadapi terkait masalah penanggulangan malnutrisi diantaranya
adalah kurangnya jumlah tenaga kesehatan, kesadaran dari orang tua dan letak demografis.

Pandemi COVID-19 adalah krisis kesehatan yang pertama dan terutama di dunia. Banyak
negara memutuskan untuk menutup sekolah, perguruan tinggi dan universitas. Perserikatan

3
Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi gusar dengan adanya fakta tersebut. Organisasi Internasional yang
bermarkas di New York, AS, itu menangkap bahwa pendidikan menjadi salah satu sektor yang
begitu terdampak oleh virus corona. Parahnya lagi, hal itu terjadi dalam tempo yang cepat dan
skala yang luas (Purwanto, et al., 2020).

Menurut Kepala Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo
saat rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kamis (2/4) mengatakan bahwa BIN meramal
kasus positif corona mencapai puncak pada akhir Juli dengan jumlah kasus positif 106.287 orang.
Menurutnya Doni skenario yang dihitung oleh BIN cukup akurat karena BIN sebelumnya
memprediksi kasus Covid 19 akhir Maret 1.577 orang, angka tersebut cukup dekat dengan realisasi
1.528 kasus per 31 Maret lalu.

Apabila pandemi covid 19 terus berlangsung, analisis ketersediaan sembako diragukan


efektif tersedia sampai bulan Juli 2020 karena sebagian besar para petani sejak bulan Maret 2020
banyak yang tidak ke sawah dan ke ladangnya karena takut adanya covid 19, hal tersebut
diperparah dengan berbagai prediksi para ahli dan lembaga riset bahwa ketersediaan energi dan
pangan dunia diragukan hanya mampu hingga Juli 2020 karena berbagai negara memprioritaskan
untuk kepentingan domestik negaranya. Oleh karena itu, diharapkan adanya rencana kontijensi
dalam menghadapi pandemi covid 19 dengan mengoptimalkan peran TNI-Polri. Hal ini justru akan
berdampak pada pemenuhan kebutuhan zat gizi pada seseorang yang secara signifikan akan
mengalami kekurangan (Pratama, 2020).

Permasalahan gizi memiliki dimensi luas, tidak hanya masalah kesehatan tetapi juga
masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan, dan lingkungan. Faktor pencetus
munculnya masalah gizi buruk dapat berbeda antar wilayah ataupun antar kelompok masyarakat,
bahkan akar masalahnya dapat berbeda antar kelompok usia balita (Sihadi, 2009). Kondisi
kemiskinan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan dalam keluarga (Almatsier, 2010).
Penyebab dasar lainnya yang berkontribusi dalam terjadinya masalah gizi buruk pada balita adalah
pendidikan (UNICEF, 2013).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti perlu melakukan
penelitian mengenai Masalah Gizi yang terjadi pada masa Wabah Pandemi Covid-19 pada tahun
2020 tersebut.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana dampak dan kendala dari wabah pandemic Covid-19 terhadap
Permasalahan Gizi yang terjadi pada masyarakat ?
2. Apa dampak dan kendala dari wabah pandemic Covid-19 terhadap Status Gizi
seseorang ?
3. Bagaimana dampak dan kendala dari wabah pandemic Covid-19 terhadap pemenuhan
zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh pada masyarakat ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui, menganalisis, dan mendapatkan informasi mengenai dampak dan
kendala dari wabah pandemic Covid-19 terhadap Permasalahan Gizi yang terjadi pada
masyarakat.
2. Untuk mengetahui, menganalisis, dan mendapatkan informasi mengenai dampak dan
kendala dari wabah pandemic Covid-19 terhadap Status Gizi seseorang.
3. Untuk mengetahui, menganalisis, dan mendapatkan informasi mengenai dampak dan
kendala dari wabah pandemic Covid-19 terhadap pemenuhan zat gizi yang dibutuhkan
oleh tubuh pada masyarakat.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum tentang Status Gizi


Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-
zat gizi. Status gizi dibedakan antara status gizi buruk, baik, dan lebih. Konsumsi makanan
berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila
tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada
tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau
lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam
jumlah yang berlebihan. Sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Gangguan gizi
terjadi baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih (Suwiji, 2006).

2.1.1 Penilaian Status Gizi


Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara tidak langsung dan penilaian secara
langsung. Adapun penilaian secara tidak langsung terbagi atas tiga yaitu survey konsumsi
makanan, statistic vital, dan faktor ekologi. Sedangkan penilaian status gizi secara langsung
dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, biofisik.

a. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung


1) Survei Konsumsi Makanan

Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi dengan melihat jumlah
dan jenis zat gizi yang dikomsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan
gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei
ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi (Supariasa, dkk., 2006).

2) Statistik Vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa
statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat
penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya

6
dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung penggukuran status gizi (Supariasa,
dkk., 2006)

3) Faktor Ekologi

Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil


interaksi beberapa faktor fisik, bilogis, dan lingkungan budaya. Jumlah makanan tersedia
sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, dan irigasi. Pengukuran faktor
ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat
sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi (Supariasa, dkk., 2006).

b. Penilaian Statu Gizi Secara Langsung


1) Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi
masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan
dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel sepeti kulit, mata,
rambut, dan mukosa oral atau pada organo-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti
kelenjar tirod. Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat. Survei ini
dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau
lebih zat gizi. Disamping itu digunakan mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan
melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda dan gejala atau riwayat penyakit (Yuliaty, 2008).

2) Pemeriksaan Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan yang diuji secara laboratoris
yang dilakukan pada berbagai jaringan tubuh. Jaringan tubuh dengan digunakan antara lain:
darah, urine, tinja, dan beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan
untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah
lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia dapat lebih banyak
menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik (Supariasa, dkk., 2006).

3) Biofisik

7
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan
melihat kemampuan fisik (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dan jaringan.
Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik. Cara yang
digunakan adalah tes adaptasi gelap (Supariasa, dkk., 2006).

4) Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Antropometri berhubungan


dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat
umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan
asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan
proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Pengukuran
antropometri banyak dianjurkan karena lebih praktis, cukup teliti, mudah dilakukan oleh siapapun
dengan bekal penelitian yang sederhana. Indikator antropometri yang umum digunakan untuk
melihat keadaan gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur
(TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan lingkar lengan atas (Suparisasa,
2001).

Status Gizi adalah satu aspek atau lebih dari nutriture seorang individu dalam suatu
variabel (Hadi, 2002). Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa,
2001). Sedangkan menurut Gibson (1990) status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan
hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk kedalam tubuh dan utilisasinya.

Depkes RI (2000), berdasarkan temu pakar gizi di Bogor tahun 2000, merekomendasikan
baku WHO, NCHS untuk digunakan sebagai baku antropometri di Indonesia. Indikator yang
dipakai adalah tinggi dan berat, sementara penyajian indeks digunakan simpangan baku. Indikator
antropometri yang umum digunakan untuk melihat keadaan gizi adalah berat badan menurut
umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) dan lingkar lengan atas (Suparisasa, 2001).

a) BB/U (Berat badan menurut umur)

8
Berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan gambaran
tentang massa tubuh (otot dan lemak) karena massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan
yang mendadak, seperti terserang penyakit, menurunya nafsu makan atau menurunya jumlah
makanan yang dikomsumsi, maka berat badan merupakan ukuran yang stabil. Dalam keadaan
normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat
gizi terjamin. Berat badan berkembang mengikuti petambahan umur. Sebaliknya dalam
keadaan abnormal ada kemungkina perkembangan badan dapat lebih cepat atau lebih lambat
dari keadaan norma berat. Karena sifat berat badan yang lebih, maka indeks ini lebih
menggambarkan status gizi seorang saat ini. Pengukuran berat badan menurut umur lebih
baik digunakan karena lebih mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum, sensitif
untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek dan dan mendeteksi kegemukan.
Sedangkan keterbatasan pengukuran berat badan menurut umur adalah dapat mengakibatkan
interpertasi status gizi yang keliru memerlukan data akurat kelompok umur balita, serta
terjadi kesalahan dalam pengukuran akibat pengaruh pakaian dan gerakan pada saat ditimbang.

b) TB/U (Tinggi badan menurut umur)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan.


Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan umur. Pertumbuhan
tinggi badan kurang sensitif terhadap masalah defisiensi gizi dalam waktu yang pendek.
Pengaruhnya baru terlihat dalam waktu yang pendek. Pengaruhnya baru terlihat dalam waktu
yang cukup lama sehingga pengukuran ini lebih menggambarkan status gizi masa lalu.

c) BB/TB (Berat badan menurut tinggi badan)

Berat badan memiliki hubungan linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal,
perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan. Indeks BB/TB
merupakan indikator status gizi yang baik untuk menyatakan keadaan status gizi yang baik
untuk menyatakan keadaan status gizi saat ini, terlebih lagi jika data umur yang akurat sulit
diperoleh. Selain itu, indeks BB/TB tidak bergantung pada data umur, dapat membedakan
keadaan anak dalam penilaian berat badan relatif terhadap tinggi badan. Sedangkan
keterbatasan indeks BB/TB adalah tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut

9
pendek, cukup tinggi atau kelebihan tinggi badan karena faktor umur tidak diperhatikan dalan
hal ini (Supariasa, 2001).

Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya
di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian, yakni gizi buruk
karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori
(disebut marasmus), dan kekurangan kedua-duanya. Gizi buruk ini biasanya terjadi pada
anak balita (bawah lima tahun) dan ditampakkan oleh membusungnya perut (busung lapar).

Gizi buruk adalah suatu kondisi dimana seseorang dinyatakan kekurangan zat gizi,
atau dengan ungkapan lain status gizinya berada di bawah standar rata rata. Zat gizi yang
dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat, dan kalori. Gizi buruk (severe malnutrition)
adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan
kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun
(Nency, 2005).

Klasifikasi Gizi Buruk Kementerian Kesehatan (2000) mengklasifikasi Gizi buruk menjadi
3 jenis menurut ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing klasifikasi. 3 klasifikasi tersebut
yaitu:

1. Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul
diantaranya muka seperti orang tua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di
bawah kulit (kelihatan tulang dibawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,
gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan
sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah
makan, karena masih merasa lapar. Gejala marasmus adalah:
a) Penderita tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-
ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit.
b) Wajah seperti orang tua.
c) Perut cekung.
d) Otot paha mengendor.
e) Cengeng dan rewel, setelah mendapat makanan anak masih terasa lapar.
2. Kwarshiorkhor

10
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk. Bilamana dietnya
mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun di bagian
tubuh lainnya terutama pada bagian pantat terlihat adanya atrofi. Tampak sangat
kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh. Berikut
ini merupakan ciri dari penderita kwarhiorkor yaitu:
a) Perubahan status mental; cengeng, rewel
b) Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada
penyakit kwashiorkhor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam
c) Wajah membulat dan sembab
d) Pandangan mata anak sayu
e) Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa
kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam
f) Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas.
3. Marasmic-Kwarshiorkhor atau Kekurangan Energi Protein (KEP)
Gambaran klinis dari Marasmic kwarsiorkhor merupakan campuran dari beberapa
gejala klinik kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal
memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan
kulit, sedangkan kelainan biokimiawi juga dapat diamati (Depkes RI, 2000).

Gizi buruk disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah faktor pengadaan makanan
yang kurang mencukupi suatu wilayah tertentu. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya
potensi alam atau kesalahan distribusi. Faktor kedua, adalah dari segi kesehatan sendiri, yakni
adanya penyakit kronis terutama gangguan pada metabolisme atau penerapan makanan. Selain
itu ada tiga hal yang sering saling kait mengkait dalam hal gizi buruk, yaitu kemiskinan,
pendidikan rendah, dan kesempatan kerja rendah. Ketiga hal itu mengakibatkan kurangnya
ketersediaan pangan di rumah tangga dan pola asuh anak keliru. Hal ini mengakibatkan
kurangnya asupan gizi dan balita juga sering terkena penyakit inveksi (Mardiansyah, 2008).

11
Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait
dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai
konsekuensi yang diterima oleh anak itu sendiri . Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi
banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi
(kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk
akan memporakporandak 38 sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun
pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi.

Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena
berberbagai disfungsi yang dialami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah
kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia ( kadar gula dalam darah yang
dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani
namun tidak difollowup dengan baik akibatnya anak tidak dapat “cath up” dan mengejar
ketinggalan maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan
maupun perkembangannya. Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan akibat
kondisi (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya. Yang lebih mempertahatinkan lagi,
perkembangan anakpun tergantung.

Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dengan derajat
beratnya, lemahnya, dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan
otak ini menjadi vital karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak. Beberapa
penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah
anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara. Dan gangguan perkembangan yang lain.
Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ , penurunan perkembangn
kognitif, penurunan integrasisensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa
percaya diri, dan tentu saja merosotnya prestasi anak ( Nency, 2005).

Pengendalian Gizi buruk dan gizi kurang melalui pemberian PMT siap saji 4 sehat
5 sempurna, tiga kali seminggu. Pemberian Vitamin untuk meningkatkan nafsu makan anak
dan pemberian meal time. Mealtime dibawa pulang ke rumah masing-masing untuk disajikan
kepada balita selama 4 hari kosong. Sehingga dalam 7 hari seminggu balita gizi kurang dan
gizi buruk betul-betul mendapat perhatian yang serius. Kegiatan PMT ini khusus untuk Balita

12
gizi kurang & gizi buruk, dengan tujuan untuk pemulihan status gizi balita (Khomsan, 2004).
Kegiatan penanganan kasus gizi buruk adalah sebagai berikut:

a. Penyuluhan kepada masyarakat tentang tanda-tanda gizi buruk dan cara merujuk sebagai
upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat.
b. Mendekatkan pelayanan dengan cara menyiapkan pos baru atau therapeutic feeding
centre (bila memungkinkan).
c. Melakukan pelayanan gizi dan pengobatan berdasarkan SOP (pedoman tata laksana
penanganan gizi buruk rawat inap atau rawat jalan).
d. Menyediakan sarana, suplementasi gizi dan makanan formula.

Upaya pencegahan meningkatnya jumlah kasus gizi buruk dengan meningkatkan daya
tahan tubuh dengan imunisasi, makanan tambahan, perbaikan kondisi lingkungan, dan lain-
lain (Khomsan, 2004). Upaya pencegahan gizi buruk dilakukan untuk melindungi penduduk yang
berisiko menderita gizi buruk, upaya ini dilakukan secara lintas program atau sektor seperti:

a) Pemberian Imunisasi
b) Peningkatan cakupan kapsul Vitamin A terutama pada daerah ada kasus campak
c) Penyuluhan kepada masyarakat dan konseling pada anak-anak yang mengalami gagal
tumbuh
d) Manajemen faktor risiko gizi buruk dan koordinasi dengan program terkait. Jika faktor
risikonya di luar kemampuan sektor, kesehatan maka dikoordinasikan dengan sektor
lain
e) Memperhatikan kondisi lingkungan, kondisi ekonomi

Merujuk pada konsep permasalahan gizi dari UNICEF (1988), diketahui bahwa status
gizi disebabkan oleh beberapa sebab yaitu penyebab langsung, tidak langsung, pokok masalah,
dan akar masalah. Penyebab langsung yaitu konsumsi makanan dan penyakit infeksi dimana
kedua hal tersebut saling mempengaruhi. Penyebab tidak langsung adalah ketersediaan makanan
dalam rumah, perawatan anak dan ibu hamil dan pelayanan kesehatan di puskesmas dan
posyandu. Adapun pokok masalah sumber daya yang meliputi pendidikan, penghasilan,
keterampilan, sedangkan akar masalah adalah keadaan politik, sosial, dan ekonomi. UNICEF

13
(1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro sebagai salah satu strategi untuk
menanggulangi masalah kurang gizi.

1.) Penyebab Langsung


Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang.
Timbulnya gizi kurang tidak hanya disebabkan asupan makanan yang kurang
tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita
sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang
tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya melemah dan akan
mudah terserang penyakit (Suhardjo, 2005).
2.) Penyebab Tidak Langsung
a. Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan
mampu memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya baik dalam
jumlah yang cukup maupun mutu gizinya (Suhardjo, 2005).
b. Pola pengasuh anak setiap kelurga dan masyarakat diharapkan dapat menyediakan
waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang
dengan baik, baik fisik, mental dan sosial (Santoso dan Ranti, 2007).
c. Pelayanan kesehatan dan lingkunga kurang memadai. Sistem pelayanan
kesahatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan
sarana pelayanan kesahatan dasar yang membutuhkan. Pelayanan kesehatan
harus dapat menjamin pemberian imunisasi, penanganan diare dengan oralit,
tindakan cepat pada anak balita yang tidak naik berat badan, pendidikan dan
penyuluhan kesehatan dan gizi, pelayanan di posyandu (Soekirman, 2005). Ketiga
faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan
keterampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan
keterampilan makin baik pola pengasuhan maka makin banyak keluarga yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan.
3.) Pokok Masalah di Masyarakat
Kurangnya pemberdayaa wanita dan keluarga serta kurangnya pemanfaatan sumber
daya masyarakat terkait dengan pengangguran, inflasi dan kemiskinan yang
disebabkan oleh krisis ekonomi, politik, dan keresahan social. Keadaan tersebut
telah memicu munculnya kasus-kasus gizi buruk akibat kemiskinan keluarga dan

14
ketahanan pangan yang tidak memadai. Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya
adalah taraf ekonomi keluarga dan ukuran yang dipakai adalah garis kemiskianan.
Anak balita gizi buruk datang dari keluarga yang berpenghasilan rendah. Pendapatan
yang kurang menyebabkan tidak sanggupnya menyediakan makanan bergizi. Hasil
penelitian Savitri dan corrie (1993) di Kelurahan Utan Kayu Jakarta Timur,
mendapatkan dari 63% masyarakat golongan ekonomi rendah terdapat 11% balita
gizi buruk dan 30% gizi kurang. Sedangkan penelitian Khaeriyah (2000)
menemukan bahwa didaerah pesisir di kecamatan Maros Baru, kabupaten Maros
ssekitar 58,1% status gizi yang rendah pada balita karena lokasi pengeluaran
untuk makanan keluarga yang rendah. Dari beberapa hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa factor yang berperan dalam terjadinya gizi buruk.

Kemiskinan merupakan penghambat keluarga untuk memperoleh akses terhadap


pendidikan dan pendapat makanan bergizi. Data dari Indonesia dan di Negara lain menunjukkan
adanya hubungan antara kurang gizi dan kemiskinan.

Proporsi anak yang gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin tinggi
pendapatan, makin kecil persentasenya. Kemiskinan dan pendidikan rendah membuat anak
tidak memperoleh pengasuhan yang baik sehingga anak tidak memperoleh makanan yang
bergizi. Kemiskinan juga menghambat pelayanan kesehatan yang memadai (Soekirman, 2005).
Data empirik menunjukkan bahwa sebagaian besar permasalahan sosial bersumber dari
kemiskinan. Kemiskinan menunjuk pada rendahnya tingkat ekonomi seseorang, sehingga
mereka tidak mampu memenuhi kebutuhanan yang paling dasar (Sander D Zulkarnaen, 2007).

Masalah gizi buruk merupakan dampak dari problem multi sektor yang terjadi di
Indonesia. Kegagalan Negara untuk mengatasi kemiskinan merupakan penyebab pokok. Sejumlah
104 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu hidup dengan biaya
kurang dari 2 dollar AS per hari (Ascobat Gani, 2007).

Faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi. Unsur-unsur
budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang-kadang bertentangan
dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Pola pengasuhan adalah perawatan yang diberikan oleh sang ibu
kepada bayinya. Perawatan tersebut adalah berupa pemberian makanan dan pelayanan

15
kesahatan kepada balita yang meliputi hal-hal mendidik, menjaga, merawat dan membimbing
anak-anak dalam keluarga (Almatsir S., 2002).

Dalam hal ini pengasuhan anak meliputi pemberian ASI, Pemberian MP-ASI,
pemberian makanan tambahan dan perawatan kebutuhan dasar anak seperti mandi dan
menyediakan serta memakaikan pakaian buat anak termasuk di dalamnya adalah memonitoring
kesehatan anak. Interaksi antara ibu dan anak berhubungan positif dengan keadaan gizi anak.
Anak yang mendapatkan perhatian lebih baik secara fisik maupun emosional misalnya selalu
mendapatkan senyuman, mendapat respon ketika berceloteh dan mendapatkan makanan yang
seimbang maka keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebayanya yang
kurang mendapat perhatian orang tua (Depkes RI, 2004).

ASI adalah satu-satunya makanan yang sesuai untuk bayi sehingga harus diberikan
kepada bayi dari beberapa saat setelah lahir sampai berumur 4-6 bulan. Pemberian ASI saja
tanpa bantuan makanan atau minuman lainnya disebut ASI eksklusif. Sejak umur 4-6 bulan,
pada saat kebutuhan bayi sudah tidak cukup lagi dengan sejumlah ASI yang tersedia atau
yang dikonsumsi maka bayi memerlukan makanan tambahan. Makanan yang diberikan untuk
mencukupi kebutuhan seluruh zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
ini disebut dengan MP-ASI (Veny hadju, 2000).

2.2 Tinjauan Umum tentang Asupan Makanan


Kata gizi berasal dari bahas arab, yaitu gizzah yang artinya zat makanan sehat. Dalam
bahasa inggris dikenal dengan istilah nutrition yang berarti bahan makanan atau zat gizi
atau sering diartikan sebagai ilmu gizi. Menurut Sunita Almatsier (2004), zat gizi adalah ikatan
kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi,
membangun, dan memelihara jaringan serta mengatur proses-proses kehidupan.

Adapun asupan zat gizi yang diperlukan dan sangat penting untuk pemenuhan gizi
yaitu:

1. Energi

Energi diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan kerja. Satuan besaran energi
adalah kilo kalori (pada umumnya disebut kalori saja). Dalam tubuh kita bekerja dua jenis

16
energi, yakni energi kimia yang berupa metabolisme makanan dan energi mekanik berupa
kontraksi otot untuk melakukan gerak (Irianto 2006).

Umumnya di Indonesia 70%-80% dari keseluruhan energi untuk tubuh berasal dari
karbohidrat, 1 gram karbohidrat menghasilkan 4 kalori. Fungsi karbohidrat terutama adalah
sebagai sumber utama energi yang murah. Selain karbohidrat memiliki fungsi untuk
memberikan volume kepada lambung dan usus sehingga menimbulkan rasa kenyang,
memberikan rangsangan mekanik dan melancarkan gerakan peristaltik (Santoso dan Ranti
2004).

Kelebihan karbohidrat dalam tubuh akan disimpan dalam bentuk lemak sebagai
cadangan sumber energi yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan (Irianto 2006). Dampak
yang ditimbulkan apabila kekurangan karbohidrat sebagai sumber energi dan kekurangan
protein adalah KEP (kurang energi protein).

Kekurangan energi yang kronis pada anak-anak balita lemah, pertumbuhannya jasmaninya
terlambat, dan perkembangan selanjutnya terganggu. Pada orang dewasa ditandai dengan
menurunnya berat badan dan menurunnya produktifitas kerja. Kekurangan gizi pada semua
umur dapat menyebabkan mudahnya terkena serangan infeksi dan penyakit lainnya serta
lambatnya proses regenerasi sel tubuh (Suhardjo, 2003).

2. Protein

Setiap sel yang hidup tersusun dari protein. Protein merupakan bahan pembangun tubuh
yang utama. Protein adalah zat yang tersusun dari berbagai asam amino. Asam amino dalam
tubuh diedarkan melalui pembuluh darah dan jantung. Dari 26 macam asam amino, tubuh
kita memmbutuhkan 10 macam asam amino yang tidak dapat di buat oleh tubuh kita jika
1 saja yang tidak ada dalam tubuh kita, maka tubuh kita akan mengalami gangguan seperti
HO (hongeroedema) atau biasa dikenal dengan busung lapar, yaitu tertimbunnya cairan dalam
jaringan tubuh, sedangkan kekurangan protein yang di derita oleh bayi disebut khwashiorkor
(Irianto dan Waluyo, 2007).

Defesiensi zat gizi yang paling berat dan meluas terutama di kalangan anak-anak
ialah akibat kekurangan zat gizi sebagai akibat kekurangan konsumsi makanan dan hambatan

17
mengabsorbsi zat gizi. Zat energi digunakan oleh tubuh sebagai sumber tenaga yang tersedia
pada makanan yang mengandung karbohidrat, protein yang digunakan oleh tubuh sebagai
pembangun dan berfungsi memperbaiki sel-sel tubuh. Kekurangan gizi pada anak disebabkan
karena anak mendapatkan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan badan
anak atau adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat gizi dari segi kuantitatif maupun
kualitatif.

3. Lemak

Lemak adalah senyawa organik yang terdiri dari atom karbon, hidrogen dan oksigen.
Lemak bersifat larut dalam pelarut lemak, seperti benzen, eter, petroleum, dan sebagainya.
Suhu kamar disebut lemak, sedangkan yang mempunyai titik lebur rendah berbentuk cair
disebut minyak. Berdasarkan struktur kimia lemak diklasifikasi menjadi:

a. Lemak Sederhana
Lemak jika dihidrolisis akan menghasilkan satu molekul gliserol dan tiga
molekul asam lemak. Bila asam lemak yang berkaitan dengan gliserol merupakan
asam lemak sejenis, lemaknya disebut trigliserida campuran.
b. Lemak Majemuk
Posfolipid dapat disintesis dari komponen asam lemak, asam fosfat, gliserol,
dan nitrogen di hati. Senyawa posfolid dapat ditemui pada setia sel hidup.
Sterol bermacam-macam dengan fungsi berbeda. Jenis Sterol yang banyak
dimanfaatkan dalam gizi adalah ergosterol yang berasal dari bahan nabati dan
kolesterol serta 7-dehidrokolesterol merupakan bentuk provitamin.
c. Kebutuhan Lemak
WHO menganjurkan konsumsi lemak berkisar 15-30 persen dari total kebutuhan
energi. Jumlah tersebut dianggap memenuhi kebutuhan asam lemak esensial
dan membantu penyerapan vitamin larut lemak. Dari kebutuhan tersebut paling
banyak 10 persen berasal dari lemak jenuh dan 3-7 persen lemak tidak jenuh
dan konsumsi kolesterol dianjurkan kurang dari 300 mg sehari (Guhrie, H.A ,
1989).
d. Sumber Lemak

18
Minyak nabati seperti minyak kelapa sawit, kelapa, kacang tanah, kacang
keledai, jagung, margarin, mentega, lemak daging hewan, dan ayam merupakan
sumber lemak. Selain itu, kacang-kacangan, krim, susu, keju, dan kuning telur
serta makanan yang berlemak atau bersantan juga sebagai sumber lemak. Sayur
dan buah umumnya sedikit mengandung lemak, kecuali kelapa dan alpukat.

2.3 Tinjauan Umum tentang Pendidikan


Untuk mengetahui definisi pendidikan dalam perspektif kebijakan, kita telah memiliki
rumusan formal dan operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003
Tentang SISDIKNAS, yakni: “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”.

Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan dalam bidang


kesehatan. Seseorang dapat dikatakan belajar apabila dalam dirinya terjadi perubahan. Bertitik
tolak dari konsep pendidikan kesehatan itu juga proses pendidikan dan proses belajar pada
individu, kelompok, atau masyarakat dari tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu
dan mampu mengatasi masalah-masalah kesehatannya sendiri (Notoatmodjo, 2003:121).

Dengan demikian pemahaman seseorang terhadap suatu masalah dipengaruhi oleh


tingkat pendidikan seseorang. Artinya semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin kecil
kemungkinan balitanya menderita gizi buruk (Tarwota & Wartonah, 2006).

2.4 Tinjauan Umum tentang Pengetahuan


Pengetahuan Adalah merupakan hasil "tahu" dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek. Pengetahuan adalah gejala yang ditemui dan diperoleh
manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan
indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah
dilihat atau dirasakan sebelumnya. Menurut kamus bahasa Indonesia Poerwadarminta,
dijelaskan bahwa tahu adalah segala sesuatu yang diketahui sesudah melihat atau
menyaksikan, mengalami atau diajarkan. Jadi, pengetahuan adalah apa yang telah diketahui

19
dan mampu diingat oleh setiap orang setelah melihat, mengalami, sesuatu sejak lahir sampai
dewasa.

Pengetahuan oleh Bloom merupakan bagian kognitif yang tingkat-tingkatnya, yakni:

1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai pengikat suatu materi yang dipelajari sebelumnya. Tahu ini
merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah (Soekidjo Natoatmojo,
1997:128).
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi secara wajar
(Soekidjo Natoatmojo, 1997:129).
3. Aplikasi (aplication)
Aplikasi dapat diartikan sebagi kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada suatu kondisi real (sebenarnya) (Natoatmojo, 1997:129).
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan yang menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan
masih ada kaitannya satu sama lain (Natoatmojo, 1997).
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan suatu hubungan
bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru (Natoatmojo, 1997).
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu
materi atau objek berdasarkan dengan kriteria yang telah ditentukan (Natoatmodjo,
1997).

2.5 Tinjauan Umum tentang Penyakit Infeksi


Infeksi adalah masuknya, bertumbuh dan berkembangnya agent penyakit menular
dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidaklah sama dengan penyakit menular karena
akibatnya mungkin tidak kelihatan atau nyata. Adanya kehidupan agent menular pada

20
permukaan luar tubuh, atau pada barang, pakaian atau barang-barang lainnya, bukanlah infeksi,
tetapi merupakan kontaminasi pada permukaan tubuh atau benda (Noor, 1997).

Ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan
malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit
infeksi, dan juga infeksi akan mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi.
Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam baik secara sendiri maupun bersamaan, yaitu:

a. Penurunan asupan zat gizi akibat kumacam, baik rangnya nafsu makan, menurunnya
absorpsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit.
b. Peningkatan kehilangan cairan/zat akibat diare, mual/muntah dan pendarahan yang terus
menerus.
c. Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit (human host)
dan parasit yang terdapat dalam tubuh.

Terjadinya hubungan timbal balik antara kejadian infeksi penyakit dan gizi kurang
maupun gizi buruk. Anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk akan mengalami
penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap penyakit infeksi. Di sisi lain anak yang
menderita sakit infeksi akan cenderung menderita gizi buruk (Depkes dalam Yuliaty, 2008).

2.6 Tinjauan Umum tentang Tingkat Pendapatan


Tingkat pendapatan adalah total jumlah pendapatan dari semua anggota keluarga,
termasuk semua jenis pemasukan yang diterima oleh keluarga dalam bentuk uang, hasil
menjual barang, pinjaman dan lain-lain (Thaha, 1996 dalam Rasifa 2006). Rendahnya tingkat
pendapatan keluarga, akan sangat berdampak rendahnya daya beli keluarga tersebut. Pada
masyarakat nelayan, rendah tingkat pendapatan keluarga, sangat berdampak terhadap
rendahnya rata-rata tingkat pendidikan, yang pada gilirannya akan berimplikasi terhadap
rendahnya tingkat pengetahuan gizi dan perilaku (khususnya pengetahuan dan perilaku gizi).
Rendahnya pengetahuan gizi dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, yang
selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Rendahnya kualitas dan
kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak
balita (Suhardjo, 2003).

21
Kehidupan di kota-kota pada dewasa ini, terutama dalam pemberian atau penyajian
makanan keluarga pada kebanyakan penduduk dapat dikatakan masih kurang mencukupi yang
dibutuhkan oleh tubuh masing-masing. Kebanyakan keluarga telah merasa lega kalau mereka
telah dapat mengkonsumsi makanan pokok (nasi, jagung) dua kali dalam sehari dengan lauk
pauknya kerupuk dan ikan asin, bahkan tidak jarang mereka juga telah merasa lega kalau
mereka telah dapat mengkonsumsi nasi atau jagung cukup dengan sambal dan garam.
Menurut penelitian, keadaan yang umum ini dikarenakan rendahnya pendapatan yang mereka
peroleh dan banyaknya anggota keluarga yang harus di beri makan dengan jumlah pendapatan
yang rendah.

Penduduk kota dan penduduk pedesaan yang kebanyakan berpenghasilan rendah,


selain memanfaatkan penghasilannya itu untuk keperluan makan keluarga, juga harus
membagi keperluan lainnya (pendidikan, transportasi, dan lain-lain), sehingga tidak jarang
persentase penghasilan untuk keperluan penyediaan makanan hanya kecil saja. Mereka pada
umumnya hidup dengan makanan yang kurang bergizi (Kartasapoetra, 2002).

Tingkat pendapatan keluarga akan mempengaruhi mutu fasilitas perumahan,


penyediaan air bersih dan sanitasi yang pada dasarnya sangat berperan terhadap timbulnya
penyakit infeksi. Selain itu, penghasilan keluarga akan menentukan daya beli keluarga termasuk
makanan, sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan yang tersedia dalam rumah
tangga dan pada akhirnya mempengaruhi asupan zat gizi (Suhardjo dalam Yuliati, 2008).

2.7 Tinjauan Umum tentang Covid-19


Coronaviruses (CoVs) milik subfamily Orthocoronavirinae dalam keluarga Coronaviridae
dalam urutan Nidovirales, dan subfamili ini termasuk alphacoronavirus, beta-coronavirus,
gamma-coronavirus, dan delta-coronavirus. Virus corona terutama menyebabkan infeksi enzootic
pada burung dan mamalia dan, dalam beberapa dekade terakhir, telah terbukti mampu menginfeksi
manusia juga. Wabah SARS pada tahun 2002 dan MERS pada tahun 2012 telah menunjukkan
kematian virus corona ketika mereka melintasi penghalang spesies dan menginfeksi manusia
(Zhang & Liu, 2020).

SARS-CoV dan MERS-CoV semuanya milik keluarga beta-coronavirus. Baru-baru ini,


coronavirus mirip flu baru (COVID-19) yang terkait dengan coronavirus MERS dan SARS

22
ditemukan pada akhir 2019 di Cina, dan bukti penularan dari manusia ke manusia dikonfirmasi di
antara kontak dekat. Genom COVID-19 adalah RNA indra positif beruntai tunggal. Analisis
urutan menunjukkan bahwa COVID-19 memiliki struktur genom khas coronavirus dan termasuk
dalam kelompok beta-coronavirus termasuk SARS-CoV dan MERS-CoV.

COVID-19 lebih dari 82% identik dengan SARS-CoV. COVID-19 dapat menyebar ke
seluruh seluruh dunia dengan pandemi. Saat ini, tidak ada pengobatan atau vaksin terdaftar untuk
penyakit ini. Dengan tidak adanya pengobatan khusus untuk virus baru ini, ada kebutuhan
mendesak untuk menemukan solusi alternatif untuk mencegah dan mengendalikan replikasi dan
penyebaran virus. Kami telah melakukan pencarian online di PubMed dan Web of Science dengan
kata-kata kunci SARS, MERS, dan coronavirus (Zhang & Liu, 2020).

Istilah virus corona merujuk pada virus yang sering ditemukan menginfeksi binatang dan
bisa menyebar ke manusia. Virus corona yang saat ini mewabah (SARS-CoV-2) dan menyebabkan
penyakit COVID-19 merupakan jenis virus corona ke-7 yang menginfeksi manusia. Dalam kasus
MERS, virus ditularkan dari unta ke manusia. Dalam kasus SARS, virus ditularkan dari musang
ke manusia. Dalam kasus COVID-19, diduga ditularkan dari ular dan kelelawar. Penularan dari
manusia ke manusia lewat droplet (partikel air liur) ketika penderita bersin atau batuk.

Dalam kasus MERS, ditularkan dari unta ke manusia. Dalam kasus SARS, ditularkan dari
musang ke manusia. Dalam kasus COVID-19, diduga ditularkan dari ular dan kelelawar. Catatan:
Penularan dari manusia ke manusia lewat droplet (partikel air liur) ketika penderita bersin atau
batuk. Masa inkubasi virus corona adalah 2-14 hari. Masa inkubasi adalah saat pasien pertama kali
tertular/terpapar virus, hingga menunjukkan gejala awal.

Hingga awal Maret, lebih dari 68 ribu orang dari total 126 ribu lebih penderita, sudah
dinyatakan sembuh. Jumlah pasien sembuh bertambah setiap harinya. WHO menyatakan 80 persen
pasien sembuh tanpa membutuhkan perawatan khusus. Belum ada vaksin atau pengobatan
spesifik. Namun, gejala yang disebabkan virus dapat diobati. Pengobatan harus didasarkan pada
kondisi klinis pasien. Pada Kamis (12/3), WHO menyatakan Covid-19 sebagai pandemi atau
wabah yang meluas ke berbagai negara. Kriteria umum penetapan pandemi adalah: Virus
menyebabkan kematian. Penularan virus dari orang ke orang terus berlanjut tak terkendali. Virus
telah menyebar ke hampir seluruh dunia (https://www.ui.ac.id/pengenalan.html).

23
24
2.8 Kerangka Teoritis

GIZI BURUK DAN


GIZI KURANG

ASUPAN ZAT GIZI PENYAKIT


INFEKSI
1

PERSEDIAAN POLA ASUH SANITASI DAN PELAYANAN


MAKANAN DI PERSONAL KESEHATAN
ANAK
RUMAH HYGIENE DASAR 2

KEMISKINAN, KURANG
PENDIDIKAN, DAN
KETERAMPILAN

3
EKONOMI, POLITIK, SOSIAL

PANDEMI COVID-19 4

Keterangan:
1. Penyebab Langsung Variabel diteliti
2. Penyebab Tidak Langsung
3. Penyebab Mendasar Variabel tidak diteliti
4. Akar Masalah

Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian (Modifikasi teori UNICEF, 1998)

25
Berdasarkan uraian kerangka teori diatas dapat disimpulkan bahwa masalah gizi
(malnutrisi) pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, dan penyebabnya
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terkait antara satu dengan yang lainnya. Dimana diketahui
bahwa pada penelitian ini yang menjadi akar masalah yaitu adanya kejadian Pandemi Covid-19
yang terjadi pada tahun ini, dan secara signifikan akan mempengaruhi tingkat Ekonomi, Politik,
dan Sosial sebagai penyebab mendasar. Tingkat Ekonomi, Politik, dan Sosial tersebut kemudian
dapat mempengaruhi Angka Kemiskinan, Kurangnya Pendidikan, dan juga Keterampilan. Adapun
penyebab tidak langsung pada penelitian ini yaitu Persediaan Makanan di rumah yang akan
berpengaruh pada Pola Asuh Anak, Sanitasi dan Personal Hygiene, dan juga Pelayanan Kesehatan
Dasar. Dan dapat diketahui bahwa penyebab langsung pada penelitian ini adalah Asupan Zat Gizi
dan juga Penyakit Infeksi. Dimana kedua variabel tersebut saling mempengaruhi satu sama lain
sebagai akibat terjadinya masalah gizi yaitu Gizi Buruk dan Gizi Kurang.

26
2.8.1 Definisi Operasional

No. Variabel Defenisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Skala


Ukur

1. Status Gizi Adalah ekspresi dari Antropometri Timbangan Ordinal


keadaan keseimbangan BB dan TB dan Alat ukur
nutrisi yang dapat dinilai tinggi badan
dengan suatu standar
berdasarkan hasil
penimbangan berat
badan oleh peneliti pada
saat penelitian
dilaksanakan.

2. Asupan Susunan makanan yang Metode food Kuesioner Ordinal


Makanan dikonsumsi setiap hari recall
untuk memenuhi
kebutuhan tubuh baik
kualitas dan kuantitas.

3. Penyakit Suatu penyakit yang Wawancara Kuesioner Nominal


Infeksi diderita oleh seseorang
selama berada pada
wilayah lokasi
penelitian.

4. Pendapatan Jumlah pendapatan Wawancara Kuesioner Ordinal


Keluarga perkapita yang diperoleh
oleh kepala keluarga atau
istri tersebut yang dinilai
dalam bentuk uang dan

27
barang yang dinilai
dengan uang (rupiah).

5. Pandemic Suatu wabah yang Wawancara Kuesioner Nominal


Covid-19 disebabkan oleh Corona
Viruses yang berjangkit
serempak dimana-mana,
meliputi daerah geografi
yang sangat luas.

2.8.2 Hipotesa

Hipotesis dari penelitian yang akan dilakukan menggunakan hipotesis alternative (Ha)
sebagai berikut:

1. Ada hubungan antara keadaan malnutrisi dengan kejadian pada masa Pandemi Covid-19.
2. Ada hubungan antara Status gizi seseorang dengan kejadian pada masa Pandemi Covid-
19.
3. Ada hubungan antara Persediaan makanan di rumah dengan kejadian pada masa Pandemi
Covid-19.

28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif, dengan metode yang digunakan
adalah metode kualitatif, yaitu proses pengumpulan data atau informasi yang bersifat sewajarnya
dengan tidak merubah pada obyeknya serta informasi dapat digali sebanyak mungkin dari suatu
responden dengan lebih mendalam dan terperinci.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli
Serdang. Penelitian ini dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 12 Oktober 2019. Dengan menempuh
jarak ke lokasi penelitian memakan waktu sekitar 1 jam. Dan kemudian pada minggu selanjutnya
tim peneliti memulai menyusun laporan mini riset dari penelitian yang telah dilakukan.

3.3 Metode Pengumpulan Data


1. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner
dan recall 24 jam.
2. Data sekunder diperoleh dari website, jurnal-jurnal, dan instansi yang terkait dengan
judul pada penelitian ini.
3.4 Analisis Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif yang bermaksud
untuk memaparkan atau menggambarkan situasi-situasi atau kejadian-kejadian yang terjadi dalam
lokasi penelitian tersebut. Pengumpulan data yang penulis masukan kedalam laporan bersumber
dari masyarakat lansia yang ada di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli
Serdang.

Metode Deskriptif Analisis akan digunakan dalam usaha mencari dan mengumpulkan data,
menyusun, mengguanakan serta menafsirkan data yang sudah ada. Untuk menguraikan secara
lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu obyek penelitian. Menurut Nazir (2003), adalah Penelitian
deskriptif suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu
sistem pemikiran maupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode deskriptif

29
ini adalah untuk membuat suatu deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan fenomena yang di selidiki.

Sanapiah Faisal mengartikan metode deskriptif adalah berusaha mendeskripsikan dan


menginterpretasikan apa yang ada, baik kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang
tumbuh, proses yang telah berlangsung dan berkembang. Dengan kata lain metode deskriptif
adalah memberikan gambaran yang jelas dan akurat tentang material/fenomena yang diselidiki.
(Rusiadi, Metode Penelitian, 2017).

30
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Perencanaan Penanganan dan Pengendalian Masalah Covid-19

COVID-19 merupakan genus coronavirus β dan memiliki karakteristik genetik yang


berbeda dari SARSr- CoV dan MERSr-CoV. Coronavirus sensitif terhadap sinar ultraviolet dan
panas, dan dapat dinonaktifkan secara efektif ketika suhu lingkungan 56 oC selama 30 menit,
pelarut lemak seperti ether, 75% ethanol, disinfektan yang mengandung klorin, asam pyroxyacetic
dan kloroform kecuali chlorhexidine. Berdasarkan investigasi epidemiologi saat ini, masa inkubasi
COVID-19 adalah 1-14 hari, dan umumnya dalam 3 hingga 7 hari. Saat ini, sumber utama infeksi
adalah pasien COVID-19 dan pembawa (carrier) COVID-19 yang tanpa gejala juga dapat menjadi
sumber infeksi. Rute penularan utama adalah droplets pernapasan dan kontak dekat, sementara
rute penularan aerosol dan fecal-oral belum diverifkasi. Manusia pada semua golongan umur pada
umumnya rentan.

Salah satu karakterisitik penyakit Covid-19 ini adalah mudah menular, sehingga dengan
cepat bisa menjangkiti banyak orang. Penyebaran yang cepat ini bisa digambarkan dengan kurva
warna merah pada grafk dibawah ini. Kurva akan mencapai puncak dengan melampaui kapasitas
sistem kesehatan untuk menanganinya.

Para ahli mengatakan melandaikan kurvai atau memperlambat penyebaran virus corona
(COVID-19) adalah jalan keluar mengakhiri pandemi. Menurut mereka intinya adalah
melandaikan kurva, mencegah kurva membentuk puncak yang tajam. Melandaikan kurva bisa
dicapai dengan memperlambat penyebaran sehingga jumlah kasus infeksi di satu waktu masih bisa
ditangani sarana kesehatan yang tersedia. Dengan demikian, orang-orang berisiko yang menjadi
prioritas dapat memperoleh layanan yang memadai
(https://www.kemendagri.go.id/documents/covid-19/BUKU_PEDOMAN_COVID-19_KEMENDAGRI.pdf).

4.1.1 Penguatan Organisasi

Pencegahan dan pengendalian COVID-19 harus ditempatkan pada prioritas yang paling
utama dalam segala kebijakan pemerintahan. Institusi kesehatan pada semua tingkatan/ level harus
mengikuti petunjuk pemerintah pusat/ daerah setempat dan memperkuat pedoman kerja

31
pencegahan dan pengendalian epidemi local dan membentuk kelompok ahli pencegahan dan
pengendalian COVID-19 yang melibatkan para ahli dan pemangku kepentingan terkait.

Sejalan dengan prinsip kerja “pencegahan pada tingkat pertama”, integrasi pencegahan dan
pengendalian, pedoman ilmiah, pegobatan tepat waktu, prinsip kerja, institusi-institusi terkait
harus diorganisasikan untuk merumuskan dan meningkatkan kerja dan solusi teknologi dan
menstandarisasi pencegahan dan pengendalian COVID-19. Penguatan tindakan pencegahan dan
pengendalian bersama, meningkatkan komunikasi dan kerjasama inter dan antar departemen,
melakukan konsultasi rutin untuk menganalisis perkembangan epidemi dan mendiskusikan
kebijakan pencegahan dan pengendalian.

Pada epidemi yang terjadi di China, tanggung jawab Pusat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada semua tingkatan termasuk
mengatur, koordinasi, supervisi, dan evaluasi surveilans untuk pengumpulan, analisis, laporan, dan
memberikan umpan balik terhadap data monitoring, melakukan pelatihan investigasi lapangan,
pemeriksaan laboratorium dan pengetahuan profesional lainnya, memberikan pendidikan
kesehatan pada masyarakat dan evaluasi risiko, menyiapkan pedoman metode perlindungan
pribadi/ individu untuk masyarakat umum dan orang-orang khusus dan petunjuk disinfeksi tempat-
tempat khusus.

Dengan mempertimbangkan penyebaran Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) di


dunia yang cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu, menimbulkan korban jiwa dan
kerugian material yang lebih besar, dan telah berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, di Indonesia perlu percepatan penanganan COVID-19
dengan langkah- langkah cepat, tepat, fokus, terpadu, dan sinergis antar kementerian/ lembaga dan
pemerintah daerah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Presiden Joko Widodo menetapkan
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden, bertujuan:

1. Meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan;

32
2. Mempercepat penanganan COVID-19 melalui sinergi antar kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah;
3. Meningkatkan antisipasi perkembangan eskalasi penyebaran COVID-19;
4. Meningkatkan sinergi pengambilan kebijakan operasional; dan
5. Meningkatkan kesiapan dan kemampuan dalam mencegah, mendeteksi, dan meresponss
terhadap COVID-19.

Menurut Keppres ini Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 memiliki struktur
Pengarah, yang memiliki tugas: memberikan arahan kepada Pelaksana dalam melaksanakan
percepatan penanganan COVID-19; dan melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
percepatan penanganan COVID-19.

Struktur Pelaksana dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 memiliki


tugas:

a) Menetapkan dan melaksanakan rencana operasional percepatan penanganan COVID-19;


b) Mengoordinasikan dan mengendalikan pelaksanaan kegiatan percepatan penanganan
COVID-19;
c) Melakukan pengawasan pelaksanaan percepatan penanganan COVID-19;
d) Mengerahkan sumber daya untuk pelaksanaan kegiatan percepatan penanganan COVID-
19; dan
e) Melaporkan pelaksanaan percepatan penanganan COVID-19 kepada Presiden dan
Pengarah.

Dalam melaksanakan tugas, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dibantu oleh
Sekretariat yang berkedudukan di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sekretariat,
sebagaimana dimaksud, mempunyai tugas memberikan dukungan teknis dan administrasi kepada
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.

4.1.2 Kegiatan Surveilans

Jika ditemukan kasus pasien dalam pengawasan, kegiatan surveilans dilakukan terhadap
kontak erat termasuk keluarga maupun petugas kesehatan yang merawat pasien. Berikut kegiatan
yang dilakukan terhadap kontak erat:

33
1) Kontak erat risiko rendah

Kegiatan surveilans dan pemantauan kontak erat ini dilakukan selama 14 hari sejak kontak
terakhir dengan pasien dalam pengawasan. Kontak erat ini wajib melakukan observasi. Observasi
yang dimaksud dalam pedoman ini adalah karantina. Kontak erat risiko rendah tidak memerlukan
pengambilan spesimen.

 Apabila pasien dalam pengawasan dinyatakan negatif COVID-19 maka kegiatan


surveilans dan pemantauan terhadap kontak erat dihentikan.
 Apabila pasien dalam pengawasan dinyatakan probabel/positif COVID- 19 (konfirmasi)
maka pemantauan dilanjutkan menjadi kontak erat risiko tinggi.

2) Kontak erat risiko tinggi

Kegiatan surveilans terhadap kontak erat ini dilakukan selama 14 hari sejak kontak terakhir
dengan probabel/ konfirmasi. Kontak erat ini wajib dilakukan observasi dan dilakukan
pengambilan spesimen (hari ke-1 dan hari ke-14). Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas
laboratorium setempat yang berkompeten dan berpengalaman di lokasi observasi. Jenis spesimen
dapat dilihat pada BAB 5. Pengiriman spesimen disertai salinan formulir pemantauan harian
kontak erat (lampiran 2). Bila hasil pemeriksaan laboratorium positif maka pasien dirujuk ke
rumah sakit rujukan.

Apabila kontak erat menunjukkan gejala demam (≥380C) atau batuk/pilek/nyeri


tenggorokan dalam 14 hari terakhir maka dilakukan isolasi rumah dan pengambilan spesimen pada
hari ke-1 dan ke-2 oleh petugas kesehatan setempat yang berkompeten dan berpengalaman baik di
fasyankes atau lokasi pemantauan. Apabila hasil laboratorium positif, maka dilakukan rujukan ke
RS rujukan untuk isolasi di Rumah sakit. Petugas kesehatan melakukan pemantauan melalui
telepon, namun idealnya dengan melakukan kunjungan secara berkala (harian). Pemantauan
dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian. Pemantauan
dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dengan berkoordinasi dengan dinas kesehatan
setempat. Jika pemantauan terhadap kontak erat sudah selesai maka dapat diberikan surat
pernyataan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan (lampiran 9).

34
a. Orang dalam Pemantauan

Orang dalam pemantauan wajib melakukan isolasi diri di rumah dan dilakukan
pengambilan spesimen (hari ke-1 dan hari ke-2). Kegiatan surveilans terhadap orang dalam
pemantauan dilakukan berkala untuk mengevaluasi adanya perburukan gejala selama 14 hari.
Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat yang berkompeten dan
berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi pemantauan. Jenis spesimen dapat dilihat pada BAB
5. Pengiriman spesimen disertai formulir pemeriksaan ODP/PDP (lampiran 6). Bila hasil
pemeriksaan menunjukkan positif maka pasien di rujuk ke RS Rujukan. Begitu pula bila apabila
orang dalam pemantauan berkembang memenuhi kriteria pasien dalam pengawasan dalam 14 hari
terakhir maka segera rujuk ke RS rujukan untuk tatalaksana lebih lanjut.

Petugas kesehatan dapat melakukan pemantauan melalui telepon namun idealnya


melakukan kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat pada formulir pemantauan harian
(lampiran 2). Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala
harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dan berkoordinasi dengan
dinas kesehatan setempat. Orang dalam pemantauan yang sudah dinyatakan sehat dan tidak
bergejala, ditetapkan melalui surat pernyataan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan (lampiran 9).

b. Pelaku Perjalanan dari Negara/Area Terjangkit

Pelaku perjalanan dari negara/area transmisi lokal yang tidak bergejala wajib melakukan
monitoring mandiri terhadap kemungkinan munculnya gejala selama 14 hari sejak kepulangan.
Setelah kembali dari negara/area transmisi lokal sebaiknya mengurangi aktivitas yang tidak perlu
dan menjaga jarak kontak (≥ 1 meter) dengan orang lain. Jika dalam 14 hari timbul gejala, maka
segera datangi fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dan membawa HAC.

Kegiatan surveilans terhadap pelaku perjalanan dari negara terjangkit yang tidak berisiko
dan tidak bergejala dilakukan melalui pemantauan HAC yang diberikan di pintu masuk negara.
Petugas pintu masuk negara diharapkan melakukan notifikasi ke Dinas Kesehatan setempat sesuai
dengan alamat yang tertera di HAC. Dinas Kesehatan yang menerima notifikasi dapat
meningkatkan kewaspadaan dan diharapkan melakukan komunikasi risiko kepada pelaku
perjalanan dengan memanfaatkan teknologi seperti telepon, pesan singkat, dll

35
(https://www.jogloabang.com/komunitas/pedoman-pencegahan-pengendalian-coronavirus-disease-
covid-19).

4.1.3 Deteksi Dini dan Respon


Kegiatan deteksi dini dan respon dilakukan di pintu masuk dan wilayah untuk
mengidentifikasi ada atau tidaknya pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan, kasus
probabel maupun kasus konfimasi COVID-19 dan melakukan respon adekuat. Upaya deteksi dini
dan respon dilakukan sesuai perkembangan situasi COVID-19 dunia yang dipantau dari situs resmi
WHO atau melalui situs lain:

 Situs resmi WHO (https://www.who.int/) untuk mengetahui negara terjangkit dan wilayah
yang sedang terjadi KLB COVID-19.
 Peta penyebaran COVID-19 yang mendekati realtime oleh Johns Hopkins University -
Center for Systems Science and Engineering (JHU CSSE), dapat diakses pada
link https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html#/bda759… 02994
23467b48e9ecf6.
 Sumber lain yang terpercaya dari pemerintah/ kementerian kesehatan dari negara terjangkit
(dapat diakses di www.infeksiemerging.kemkes.go.id)
 Sumber media cetak atau elektronik nasional untuk mewaspadai rumor atau berita yang
berkembang terkait dengan COVID-19.
1. Deteksi Dini dan Respon di Pintu Masuk Negara

Dalam rangka implementasi International Health Regulation/ IHR (2005), pelabuhan,


bandara, dan Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN) melakukan kegiatan karantina, pemeriksaan
alat angkut, pengendalian vektor serta tindakan penyehatan. Implementasi IHR (2005) di pintu
masuk negara adalah tanggung jawab Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) beserta segenap instansi
di pintu masuk negara. Kemampuan utama untuk pintu masuk negara sesuai amanah IHR (2005)
adalah kapasitas dalam kondisi rutin dan kapasitas dalam kondisi Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD).

Kegiatan di pintu masuk negara meliputi upaya detect, prevent, dan respond terhadap
COVID-19 di pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN. Upaya tersebut dilaksanakan melalui
pengawasan alat angkut, orang, barang, dan lingkungan yang datang dari wilayah/ negara

36
terjangkit COVID-19 yang dilaksanakan oleh KKP dan berkoordinasi dengan lintas sektor terkait.
Deteksi dini dan respon dilakukan untuk memastikan wilayah bandara, pelabuhan dan PLBDN
dalam keadaan tidak ada transmisi. Berikut upaya deteksi dan respon yang dilakukan di pintu
masuk negara:

a) Pengawasan Kedatangan Alat Angkut


1. Meningkatkan pengawasan alat angkut khususnya yang berasal dari wilayah/negara
terjangkit, melalui pemeriksaan dokumen kesehatan alat angkut dan pemeriksaan
faktor risiko kesehatan pada alat angkut.
2. Memastikan alat angkut tersebut terbebas dari faktor risiko penularan COVID-19.
3. Jika dokumen lengkap dan/atau tidak ditemukan penyakit dan/ atau faktor risiko
kesehatan, terhadap alat angkut dapat diberikan persetujuan bebas karantina.
4. Jika dokumen tidak lengkap dan/ atau ditemukan penyakit dan/ atau faktor risiko
kesehatan, terhadap alat angkut diberikan persetujuan karantina terbatas, dan
selanjutnya dilakukan tindakan kekarantinaan kesehatan yang diperlukan (seperti
disinfeksi, deratisasi, dsb).
5. Dalam melaksanakan upaya deteksi dan respon, KKP berkoordinasi dengan lintas
sektor terkait lainnya, seperti Dinkes, RS rujukan, Kantor Imigrasi, dsb.
b) Pengawasan Kedatangan Barang

Meningkatkan pengawasan barang (baik barang bawaan maupun barang komoditi),


khususnya yang berasal dari negara-negara terjangkit, terhadap penyakit maupun faktor risiko
kesehatan, melalui pemeriksaan dokumen kesehatan dan pemeriksaan faktor risiko kesehatan pada
barang (pengamatan visual maupun menggunakan alat deteksi).

c) Pengawasan Lingkungan

Meningkatkan pengawasan lingkungan pelabuhan, bandar udara, PLBDN, dan terbebas


dari faktor risiko penularan COVID-19.

d) Komunikasi risiko

37
Melakukan penyebarluasan informasi dan edukasi kepada pelaku perjalanan dan
masyarakat di lingkungan pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN. Dalam melaksanakan upaya
deteksi dan respon, KKP berkoordinasi dengan lintas sektor terkait lainnya, seperti Dinkes di
wilayah, RS rujukan, Kantor Imigrasi, Kantor Bea dan Cukai, maupun pihak terkait lainnya, serta
menyampaikan laporan kepada Dirjen P2P , melalui PHEOC apabila menemukan pasien dalam
pengawasan dan upaya-upaya yang dilakukan.

e) Pengawasan Kedatangan Orang

Secara umum kegiatan penemuan kasus COVID-19 di pintu masuk negara diawali dengan
penemuan pasien demam disertai gangguan pernanapasan yang berasal dari negara/wilayah
terjangkit. Berikut kegiatan pengawasan kedatangan orang:

1. Meningkatkan pengawasan terhadap pelaku perjalanan (awak/personel, penumpang)


khususnya yang berasal dari wilayah/negara terjangkit, melalui pengamatan suhu
dengan thermal scanner maupun thermometer infrared, dan pengamatan visual.
2. Melakukan pemeriksaan dokumen kesehatan pada orang.
3. Jika ditemukan pelaku perjalanan yang terdeteksi demam dan menunjukkan gejala-
gejala pneumonia di atas alat angkut, petugas KKP melakukan pemeriksaan dan
penanganan ke atas alat angkut dengan menggunakan APD yang sesuai (lampiran 11).
4. Pengawasan kedatangan orang dilakukan melalui pengamatan suhu tubuh dengan
menggunakan alat pemindai suhu massal (thermal scanner) ataupun thermometer
infrared, serta melalui pengamatan visual terhadap pelaku perjalanan yang
menunjukkan ciri-ciri penderita COVID-19.
5. Jika ditemukan pelaku perjalanan yang terdeteksi demam melalui thermal
scanner/thermometer infrared maka pisahkan dan lakukan wawancara dan evaluasi
lebih lanjut.

Jika memenuhi kriteria pasien dalam pengawasan maka dilakukan:

1. Tatalaksana sesuai kondisi pasien termasuk disinfeksi pasien dan merujuk ke RS


rujukan (lihat Kepmenkes Nomor 414/Menkes/SK/IV/2007 tentang Penetapan RS
Rujukan Penanggulangan Flu Burung/Avian Influenza) dengan menggunakan

38
ambulans penyakit infeksi dengan menerapkan Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi (PPI) berbasis kontak, droplet, dan airborne.
2. Melakukan tindakan penyehatan terhadap barang dan alat angkut.
3. Mengidentifikasi penumpang lain yang berisiko (kontak erat).
4. Terhadap kontak erat (dua baris depan belakang kanan kiri) dilakukan observasi
menggunakan formulir (lampiran 2).
5. Melakukan pemantauan terhadap petugas yang kontak dengan pasien. Pencacatan
pemantauan menggunakan formulir terlampir (lampiran 3).
6. Pemberian HAC dan komunikasi risiko.
7. Notifikasi ≤ 24 jam ke Ditjen P2P melalui PHEOC ditembuskan ke Dinas
Kesehatan Provinsi dan dilakukan pencatatan menggunakan formulir notifikasi
(lampiran 1). Notifikasi ke Dinas Kesehatan dimaksudkan untuk koordinasi
pemantauan kontak erat.

Bila memenuhi kriteria orang dalam pemantauan maka dilakukan:

a) Tatalaksana sesuai diagnosis yang ditetapkan.


b) Orang tersebut dapat dinyatakan laik/tidak laik melanjutkan perjalanan dengan suatu
alat angkut sesuai dengan kondisi hasil pemeriksaan.
c) Pemberian HAC dan komunikasi risiko mengenai infeksi COVID-19, informasi bila
selama masa inkubasi mengalami gejala perburukan maka segera memeriksakan ke
fasyankes dengan menunjukkan HAC kepada petugas kesehatan. Selain itu pasien
diberikan edukasi untuk isolasi diri (membatasi lingkungan di rumah) dan akan
dilakukan pemantauan dan pengambilan spesimen oleh petugas kesehatan.
d) KKP mengidentifikasi daftar penumpang pesawat. Hal ini dimaksudkan bila pasien
tersebut mengalami perubahan manifestasi klinis sesuai definisi operasional pasien
dalam pengawasan maka dapat dilakukan pemantauan terhadap kontak erat.
e) Notifikasi ≤ 24 jam ke Dinkes Prov dan Kab/Kota (lampiran 1) untuk dilakukan
pemantauan di tempat tinggal.
f) Pengambilan spesimen oleh tenaga kesehatan terlatih dan berkompeten di klinik pintu
masuk atau tempat pelaksanaan pemantauan. Pengambilan dan pengiriman specimen
berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat.

39
Pada penumpang dan kru lainnya yang tidak berisiko dan tidak bergejala juga dilakukan
pemeriksaan suhu menggunakan thermal scanner, pemberian HAC, notifikasi ke wilayah dan
komunikasi risiko. Kegiatan surveilans merujuk pada kegiatan surveilans bagi pelaku perjalanan
dari area/negara terjangkit.

2. Deteksi Dini dan Respon di Wilayah

Kegiatan penemuan kasus COVID-19 wilayah dilakukan melalui penemuan orang sesuai
definisi operasional. Penemuan kasus dapat dilakukan di puskesmas dan fasilitas pelayanan
kesehatan (fasyankes) lain. Bila fasyankes menemukan orang yang memenuhi kriteria pasien
dalam pengawasan maka perlu melakukan kegiatan sebagai berikut:

1) Tatalaksana sesuai kondisi pasien dan rujuk ke RS rujukan menggunakan mobil ambulans
2) Memberikan komunikasi risiko mengenai penyakit COVID-19
3) Fasyankes segera melaporkan dalam waktu ≤ 24 jam ke Dinkes Kab/Kota setempat.
Selanjutnya Dinkes Kab/Kota melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi yang kemudian
diteruskan ke Ditjen P2P melalui PHEOC dan KKP setempat. Menggunakan form
notifikasi (lampiran 4)
4) Melakukan penyelidikan epidemiologi selanjutnya, mengidentifikasi dan pemantauan
kontak erat
5) Pengambilan spesimen dilakukan di RS rujukan yang selanjutnya RS berkoordinasi dengan
Dinkes setempat untuk pengiriman sampel dengan menyertakan formulir penyelidikan
epidemiologi (lampiran 5), formulir pengiriman specimen (lampiran 6).

Bila memenuhi kriteria orang dalam pemantauan maka dilakukan:

a) Tatalaksana sesuai kondisi pasien


b) Komunikasi risiko mengenai penyakit COVID-19
c) Pasien melakukan isolasi diri di rumah tetapi tetap dalam pemantauan petugas
kesehatan puskesmas berkoordinasi dengan Dinkes setempat
d) Fasyankes segera melaporkan secara berjenjang dalam waktu ≤ 24 jam ke Dinkes
Kabupaten/Kota/Provinsi.
e) Pengambilan spesimen di fasyankes atau lokasi pemantauan

40
Bila kasus tidak memenuhi kriteria definisi operasional maka dilakukan:

1) Tatalaksana sesuai kondisi pasien


2) Komunikasi risiko kepada pasien

Deteksi di wilayah juga perlu memperhatikan adanya kasus kluster yaitu bila terdapat dua
orang atau lebih memiliki penyakit yang sama, dan mempunyai riwayat kontak yang sama dalam
jangka waktu 14 hari. Kontak dapat terjadi pada keluarga atau rumah tangga, rumah sakit, ruang
kelas, tempat kerja dan sebagainya. Jika dilaporkan kasus notifikasi dari IHR National Focal Point
negara lain maka informasi awal yang diterima oleh Dirjen P2P akan diteruskan ke PHEOC untuk
dilakukan pelacakan.

1. Bila data yang diterima meliputi: nama, nomor paspor, dan angkutan keberangkatan dr
negara asal menuju pintuk masuk negara (bandara, pelabuhan, dan PLBDN) maka dilakukan:

o PHEOC meminta KKP melacak melalui HAC atau jejaring yg dimiliki KKP tentang
identitas orang tersebut sampai didapatkan alamat dan no. telpon/HP.
o Bila orang yang dinotifikasi belum tiba di pintu masuk negara maka KKP segera menemui
orang tersebut kemudian melakukan tindakan sesuai SOP.
o Bila orang tersebut sudah melewati pintu masuk negara maka KKP melaporkan ke PHEOC
perihal identitas dan alamat serta no. telpon/HP yang dapat dihubungi.
o PHEOC meneruskan informasi tersebut ke wilayah (Dinkes) dan KKP setempat untuk
dilakukan pelacakan dan tindakan sesuai SOP.

2. Bila data yang diterima hanya berupa nama dan nomor paspor maka dilakukan:
o PHEOC menghubungi contact person (CP) di Direktorat Sistem Informasi dan Teknologi
Keimigrasian (dapat langsung menghubungi direktur atau eselon dibawahnya yang telah
diberi wewenang) untuk meminta data identitas lengkap dan riwayat perjalanan.
o Setelah PHEOC mendapatkan data lengkap, PHEOC meneruskan ke wilayah (Dinkes)dan
KKP setempat untuk melacak dan melakukan tindakan sesuai SOP.

41
3. Kesiapsiagaan

Dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi ancaman COVID-19 maupun penyakit dan


faktor risiko kesehatan yang berpotensi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) lainnya di
pintu masuk (pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN), diperlukan adanya dokumen rencana
kontinjensi dalam rangka menghadapi penyakit dan faktor risiko kesehatan berpotensi KKM.
Rencana Kontinjensi tersebut dapat diaktifkan ketika ancaman kesehatan yang berpotensi KKM
terjadi. Rencana kontinjensi disusun atas dasar koordinasi dan kesepakatan bersama antara seluruh
pihak terkait di lingkungan bandar udara, pelabuhan, dan PLBDN.

Dalam rangka kesiapsiagaan tersebut perlu dipersiapkan beberapa hal meliputi norma,
standar, prosedur, kriteria (NSPK), kebijakan dan strategi, Tim Gerak Cepat (TGC), sarana
prasarana dan logistik, serta pembiayaan. Secara umum kesiapsiagaan tersebut meliputi:

a. Sumber Daya Manusia (SDM)


 Membentuk atau mengaktifkan TGC di wilayah otoritas pintu masuk negara di bandara/
pelabuhan/ PLBDN. Tim dapat terdiri atas petugas KKP, Imigrasi, Bea Cukai, Karantina
Hewan dan unit lain yang relevan di wilayah otoritas pintu masuk negara yang memiliki
kompetensi yang diperlukan dalam pencegahan importasi penyakit.
 Peningkatan kapasitas SDM yang bertugas di pintu masuk negara dalam kesiapsiagaan
menghadapi COVID-19 dengan melakukan pelatihan/drill, table top exercise, dan simulasi
penanggulangan COVID-19.
 Meningkatkan kemampuan jejaring kerja lintas program dan lintas sektor dengan semua
unit otoritas di bandara/ pelabuhan/ PLBDN.
b. Sarana dan Prasarana
 Tersedianya ruang wawancara, ruang observasi, dan ruang karantina untuk tatalaksana
penumpang. Jika tidak tersedia maka menyiapkan ruang yang dapat dimodifikasi dengan
cepat untuk melakukan tatalaksana penumpang sakit yang sifatnya sementara.
 Memastikan alat transportasi (ambulans) penyakit menular ataupun peralatan khusus utk
merujuk penyakit menular yang dapat difungsikan setiap saat untuk mengangkut ke RS
rujukan. Apabila tidak tersedia ambulans khusus penyakit menular, perujukan dapat

42
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pencegahan infeksi (menggunakan Alat Pelindung
Diri/ APD lengkap dan penerapan disinfeksi)
 Memastikan fungsi alat deteksi dini (thermal scanner) dan alat penyehatan serta
ketersediaan bahan pendukung.
 Memastikan ketersediaan dan fungsi alat komunikasi untuk koordinasi dengan unit-unit
terkait.
 Menyiapkan logistik penunjang pelayanan kesehatan yang dibutuhkan antara lain obat-
obat suportif (life-saving), alat kesehatan, APD, Health Alert Card (HAC), dan melengkapi
logistik lain, jika masih ada kekurangan.
 Menyiapkan media komunikasi risiko atau bahan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
(KIE) dan menempatkan bahan KIE tersebut di lokasi yang tepat.
 Ketersediaan pedoman kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 untuk petugas kesehatan,
termasuk mekanisme atau prosedur tata laksana dan rujukan pasien.

Dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi infeksi COVID-19 di wilayah maka Pusat dan
Dinkes melakukan kesiapan sumber daya sebagai berikut:

a. Sumber Daya Manusia (SDM)


 Mengaktifkan TGC yang sudah ada baik di tingkat Pusat, Provinsi dan Kab/Kota.
 Meningkatkan kapasitas SDM dalam kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 dengan
melakukan sosialisasi, table top exercises/drilling dan simulasi COVID-19.
 Meningkatkan jejaring kerja surveilans dengan lintas program dan lintas sektor terkait.
b. Sarana dan Prasarana
 Kesiapan alat transportasi (ambulans) dan memastikan dapat berfungsi dengan baik untuk
merujuk kasus.
 Kesiapan sarana pelayanan kesehatan antara lain meliputi tersedianya ruang isolasi untuk
melakukan tatalaksana, alat-alat kesehatan dan sebagainya.
 Kesiapan ketersediaan dan fungsi alat komunikasi untuk koordinasi dengan unit-unit
terkait.
 Kesiapan logistik penunjang pelayanan kesehatan yang dibutuhkan antara lain obat-obat
suportif (life saving), alat-alat kesehatan, APD serta melengkapi logistik lainnya.

43
 Kesiapan bahan-bahan KIE antara lain brosur, banner, leaflet serta media untuk melakukan
komunikasi risiko terhadap masyarakat.
 Kesiapan pedoman kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 untuk petugas kesehatan,
termasuk mekanisme atau prosedur tata laksana dan rujukan RS.
c. Pembiayaan

Bagi pasien dalam pengawasan yang dirawat di RS rujukan maka pembiayaan perawatan
RS ditanggung oleh Kementerian Kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini sebagaimana diatur dalam Permenkes Nomor 59 tahun 2016 tentang Pembebasan
Biaya Pasien Penyakit Infeksi Emerging Tertentu dan Kepmenkes Nomor:
HK.01.07/MENKES/104/2020 tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus (2019-nCoV)
Sebagai Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya.

4.2 Intervensi untuk Masalah Covid-19


1. Vitamin A

Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak pertama yang diakui dan beta-karoten
adalah prekursor yang berasal dari tumbuhan. Ada tiga bentuk aktif vitamin A dalam tubuh, retinol,
retinal, dan asam retinoat. Vitamin A juga disebut vitamin "anti-infeksi" dan banyak pertahanan
tubuh melawan infeksi bergantung pada persediaan yang memadai. Para peneliti percaya bahwa
gangguan respon imun disebabkan oleh kekurangan unsur gizi tertentu. Kekurangan vitamin A
sangat terlibat dalam campak dan diare dan campak bisa menjadi parah pada anak-anak yang
kekurangan vitamin A. Selain itu, Semba et al. telah melaporkan bahwa suplemen vitamin A
mengurangi morbiditas dan mortalitas pada berbagai penyakit menular, seperti campak, penyakit
diare, pneumonia terkait campak, infeksi human immunodeficiency virus (HIV), dan malaria.

Suplemen vitamin A juga menawarkan perlindungan terhadap komplikasi infeksi yang


mengancam jiwa lainnya, termasuk malaria, penyakit paru-paru, dan HIV. Telah dilaporkan bahwa
diet rendah vitamin A dapat membahayakan efektivitas vaksin bovine coronavirus yang tidak aktif
dan membuat anak sapi lebih rentan terhadap penyakit menular. Efek infeksi dengan virus
bronkitis infeksi (IBV), sejenis coronavirus, lebih jelas pada ayam yang diberi diet yang sedikit
kekurangan vitamin A daripada pada mereka yang diberi diet yang cukup vitamin A. Mekanisme
di mana vitamin A dan retinoid menghambat replikasi campak meningkatkan unsur-unsur respon

44
imun bawaan dalam sel pengamat yang tidak terinfeksi, menjadikannya refrakter terhadap infeksi
produktif selama putaran virus berikutnya. Karena itu, vitamin A bisa menjadi pilihan yang
menjanjikan untuk pengobatan virus corona baru ini dan pencegahan infeksi paru-paru.

2. Vitamin B

Vitamin B adalah vitamin yang larut dalam air dan bekerja sebagai bagian dari koenzim.
Setiap vitamin B memiliki fungsi khusus. Misalnya, vitamin B2 (riboflavin) berperan dalam
metabolisme energi semua sel. Kekurangan vitamin B2 telah diduga terjadi pada orang tua AS.
Keil et al. telah melaporkan bahwa vitamin B2 dan sinar UV secara efektif mengurangi titer
MERS-CoV dalam produk plasma manusia. Vitamin B3, juga disebut nicotinamide, dapat
meningkatkan pembunuhan Staphylococcus aureus melalui faktor transkripsi spesifik myeloid dan
vitamin B3 berkhasiat dalam pengaturan profilaksis dan terapi. Selain itu, pengobatan vitamin B3
secara signifikan menghambat infiltrasi neutrofil ke dalam paru-paru dengan efek antiinflamasi
yang kuat selama cedera paru yang disebabkan oleh ventilator.

Namun, itu juga secara paradoks mengarah pada perkembangan hipoksemia yang
signifikan. Vitamin B6 juga dibutuhkan dalam metabolisme protein dan berperan dalam lebih dari
100 reaksi dalam jaringan tubuh. Selain itu, ia juga memainkan peran penting dalam fungsi
kekebalan tubuh juga. Karena kekurangan vitamin B dapat melemahkan respon imun inang,
mereka harus ditambahkan ke pasien yang terinfeksi virus untuk meningkatkan sistem kekebalan
mereka. Oleh karena itu, vitamin B dapat dipilih sebagai pilihan dasar untuk pengobatan COVID-
19.

3. Vitamin C

Vitamin C adalah vitamin lain yang larut dalam air dan juga disebut asam askorbat, yang
berarti "asam tidak-scurvy". Vitamin C terkenal karena perannya dalam sintesis kolagen dalam
jaringan ikat dan bertindak sebagai antioksidan. Vitamin C juga mendukung fungsi kekebalan
tubuh dan melindungi terhadap infeksi yang disebabkan oleh coronavirus. Misalnya, Atherton et
al. melaporkan bahwa vitamin C meningkatkan daya tahan kultur organ embrio trakea ayam
terhadap infeksi avian coronavirus. Vitamin C juga dapat berfungsi sebagai agen antihistamin yang
lemah untuk meredakan gejala seperti flu seperti bersin, hidung yang tersumbat atau tersumbat,
dan sinus yang bengkak. Tiga uji coba terkontrol manusia telah melaporkan bahwa ada insiden

45
pneumonia yang secara signifikan lebih rendah pada kelompok suplemen vitamin C, menunjukkan
bahwa vitamin C dapat mencegah kerentanan untuk menurunkan infeksi saluran pernapasan dalam
kondisi tertentu. COVID-19 telah dilaporkan menyebabkan infeksi saluran pernapasan yang lebih
rendah, sehingga vitamin C bisa menjadi salah satu pilihan efektif untuk pengobatan COVID-19.

4. Vitamin D

Vitamin D tidak hanya nutrisi tetapi juga hormon, yang dapat disintesis dalam tubuh kita
dengan bantuan sinar matahari. Selain perannya dalam menjaga integritas tulang, itu juga
merangsang pematangan banyak sel termasuk sel kekebalan tubuh. Sejumlah besar orang dewasa
yang sehat telah dilaporkan memiliki kadar vitamin D rendah, sebagian besar pada akhir musim
dingin. Selain itu, orang yang tinggal di rumah, atau dilembagakan dan mereka yang bekerja di
malam hari mungkin memiliki kekurangan vitamin D, seperti halnya banyak orang lanjut usia,
yang memiliki paparan sinar matahari terbatas. COVID-19 pertama kali diidentifikasi pada Musim
Dingin 2019 dan sebagian besar mempengaruhi orang paruh baya hingga lanjut usia. Orang yang
terinfeksi virus mungkin kekurangan vitamin D. Selain itu, penurunan status vitamin D pada anak
sapi telah dilaporkan menyebabkan infeksi bovine coronavirus. Oleh karena itu, vitamin D bisa
berfungsi sebagai pilihan terapi antera untuk pengobatan virus baru ini.

5. Vitamin E

Vitamin E adalah vitamin yang larut dalam lemak dan termasuk tokoferol dan tokotrienol.
Vitamin E berperan penting dalam mengurangi stres oksidatif melalui pengikatan radikal bebas
sebagai antioksidan. Kekurangan vitamin E telah dilaporkan untuk mengintensifkan cedera
miokard infeksi coxsackievirus B3 (sejenis virus RNA) pada tikus dan meningkatkan virulensi
coxsackievirus B3 pada tikus karena kekurangan vitamin E atau selenium. Selain itu, penurunan
status vitamin E dan D pada anak sapi juga menyebabkan infeksi bovine coronavirus.

6. Asam lemak tak jenuh ganda Omega-3 (PUFA)

PUFA rantai panjang adalah mediator penting peradangan dan respons imun adaptif.
Omega-3 dan omega-6 PUFAs terutama mempromosikan efek anti-inflamasi dan pro-inflamasi.
Mereka adalah prekursor dari resolvins / protectins dan prostaglandin / leukotrien, masing-masing.
Mulai et al. telah mempelajari kadar lipid plasma pada pasien dengan AIDS dan telah menemukan
bahwa kurangnya selektif dan spesifik rantai panjang PUFA seri omega-3, yang ditemukan dalam

46
konsentrasi tinggi dalam minyak ikan. Selain itu, protectin D1, mediator lipid yang diturunkan
omega-3 PUFA, dapat secara nyata mengurangi replikasi virus influenza melalui mesin ekspor
RNA. Selain itu, pengobatan protectin D1 dengan peramivir dapat sepenuhnya menyelamatkan
tikus dari kematian akibat flu. Leu et al. telah menemukan bahwa beberapa PUFA juga memiliki
kegiatan anti-hepatitis C virus (HCV). Oleh karena itu, Omega-3 termasuk protectin D1, yang
berfungsi sebagai obat antivirus baru, dapat dipertimbangkan untuk salah satu intervensi potensial
dari virus baru ini, COVID-19.

7. Selenium

Selenium adalah elemen jejak penting untuk biologi redoks mamalia. Status gizi inang
memainkan peran yang sangat penting dalam pertahanan terhadap penyakit menular. Kekurangan
gizi berdampak tidak hanya pada respon imun tetapi juga patogen virus itu sendiri. Kekurangan
selenium diet yang menyebabkan stres oksidatif pada inang dapat mengubah genom virus,
sehingga virus patogen yang biasanya jinak atau ringan dapat menjadi sangat ganas di host yang
kekurangan di bawah tekanan oksidatif. Kekurangan selenium juga menginduksi tidak hanya
gangguan sistem kekebalan tubuh inang, tetapi juga mutasi cepat varian jinak dari virus RNA
menjadi virulensi. Beck et al. telah melaporkan bahwa kekurangan selenium tidak hanya dapat
meningkatkan patologi infeksi virus influenza, tetapi juga mendorong perubahan genom
coxsackievirus, memungkinkan virus avirulent untuk mendapatkan virulensi karena mutasi
genetik. Itu karena selenium itu dapat membantu sekelompok enzim yang, bersamaan dengan
vitamin E, bekerja untuk mencegah pembentukan radikal bebas dan mencegah kerusakan oksidatif
pada sel dan jaringan. Dilaporkan bahwa efek sinergis dari selenium dengan saponin batang-daun
ginseng dapat menginduksi respons imun terhadap vaksin bronkitis coronavirus infeksi virus
bivalen hidup pada ayam. Oleh karena itu, suplementasi selenium dapat menjadi pilihan yang
efektif untuk pengobatan virus COVID-19 yang baru ini.

8. Seng

Seng adalah mineral jejak makanan dan penting untuk pemeliharaan dan pengembangan
sel-sel kekebalan baik dari sistem kekebalan tubuh bawaan dan adaptif. Kekurangan seng
menyebabkan disfungsi humoral dan sel - kekebalan yang dimediasi dan meningkatkan kerentanan
terhadap penyakit menular. Suplemen zinc yang diberikan kepada anak-anak yang kekurangan
zinc dapat mengurangi morbiditas dan kematian terkait campak yang disebabkan oleh penurunan

47
infeksi saluran pernapasan. Meningkatkan konsentrasi seng intraseluler dengan seng-ionofor
seperti pyrithione secara efisien dapat merusak replikasi berbagai virus RNA. Selain itu, kombinasi
seng dan pyrithione pada konsentrasi rendah menghambat replikasi virus corona-SARS (SARS-
CoV). Oleh karena itu, suplemen seng mungkin memiliki efek tidak hanya pada gejala terkait
COVID-19 seperti diare dan infeksi saluran pernapasan yang lebih rendah, tetapi juga pada
COVID-19 itu sendiri.

9. Besi

Zat besi diperlukan untuk inang dan patogen serta defisiensi besi dapat mengganggu
imunitas inang, sementara kelebihan zat besi dapat menyebabkan stres oksidatif untuk
menyebarkan mutasi virus yang berbahaya. Kekurangan zat besi telah dilaporkan sebagai faktor
risiko untuk pengembangan infeksi saluran pernapasan akut berulang.

4.3 Evaluasi Program Perencanaan Dampak Masalah Covid-19

Berbeda dengan Jepang dan Vietnam yang merespon cepat dan membuat kebijakan yang
fokus pada mitigasi dan pencegahan penyebaran COVID-19, respon Indonesia justru sebaliknya.
Saat pandemi COVID-19 merebak di Wuhan, respon pertama yang dilakukan pemerintah
Indonesia melalui Menteri Kesehatan adalah meminta masyarakat untuk melakukan shalat
istigasah dalam menghadapi pandemi COVID-19. Tidak ada upaya untuk melakukan deteksi dini
maupun kebijakan-kebijakan yang mengarah pada upaya mitigasi dan pencegahan. Pemerintah
malah lebih banyak bicara dampak ekonomi. Hal ini terlihat dari pernyataan Presiden Joko Widodo
yang meminta jajarannya untuk menyiapkan instrumen moneter dan fiskal untuk memperkuat daya
tahan dan daya saing negara.

Presiden Jokowi juga menekankan untuk memaksimalkan kegiatan konferensi dalam


negeri, Meeting, Incentive, Convention dan Exhibition (MICE), serta meningkatkan promosi untuk
wisatawan yang mencari alternatif destinasi karena pembatalan kunjungan ke negara-negara yang
terkontaminasi COVID-19 saat itu, seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea. Jika dalam masa
pandemi banyak negara melakukan penutupan lalu lintas manusia, Pemerintah Indonesia justru
menggelontorkan anggaran sebesar 103 miliar rupiah untuk promosi wisata, 25 miliar rupiah untuk
mengembangkan destinasi pariwisata, dan 72 miliar rupiah untuk influencer dalam rangka
mendorong peningkatan wisatawan ke Indonesia pada saat itu.

48
Instrumen moneter dan fiskal tersebut pada akhirnya disahkan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Keberadaan Perppu itu sendiri
menuai kontroversi di kalangan masyarakat dan anggota DPR, terutama pasal 27 ayat (1) dan ayat
(2).

Pasal 27 ayat (1) menyebutkan bahwa kebijakan bidang perpajakan, keuangan daerah,
bagian pemulihan ekonomi nasional biaya penanganan pandemi COVID-19 dan penyelamatan
perekonomian bukan merupakan kerugian negara. Sedangkan pasal 27 ayat (2) menyebutkan
bahwa pejabat yang melaksanakan Perppu tersebut tidak dapat dituntut baik secara perdata
maupun pidana asalkan dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hingga kini, Perppu tersebut
masih dalam proses judicial review meskipun telah disahkan menjadi Undang-Undang pada
tanggal 12 Mei 2020 oleh DPR-RI.

Satu-satunya kebijakan yang terkait mitigasi dan penanganan COVID-19 dalam aspek
kesehatan adalah dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes)
tentang penetapan infeksi virus corona sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah dan
penanggulangannya. Setidaknya terdapat lima poin yang disebutkan dalam Kepmenkes tersebut,
yaitu (1) Infeksi COVID-19 ditetapkan sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah; (2)
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Pusat dan Daerah dalam kesiapsiagaan, deteksi, edukasi,
dan peningkatan informasi terkait COVID-19; (3) Pentingnya komunikasi intensif seluruh
pemangku kepentingan dalam pencegahan COVID-19; (5) Pembiayaan penanggulangan COVID-
19 yang dibebankan pada Kementerian Kesehatan. Kepkemenkes tersebut berlaku sejak tanggal 2
Maret 2020.

Seiring dengan naiknya jumlah penderita COVID-19, pemerintah mulai menerapkan


kebijakan yang lebih ketat sebagai upaya pencegahan penularan virus tersebut, yang dikenal
dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Isi kebijakan ini pada dasarnya adalah upaya
pembatasan lalu lintas manusia untuk mengurangi penyebaran COVID-19 terutama yang
diakibatkan transmisi (penularan) local. Sebelum kebijakan PSBB diputuskan, ada wacana di

49
kalangan elite maupun public untuk menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan dan juga Penerapan Keadaan Darurat sebagai strategi manajemen krisis
yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, wacana kedua kebijakan tersebut lagi-lagi menimbulkan
perdebatan, baik terkait konsekuensi hukum, ekonomi, social, dan politik atas masing-masing
regulasi tersebut jika diimplementasikan. Meskipun PSBB telah diberlakukan, penerapan strategi
manajemen krisis yang dilakukan pemerintah dalam penanganan COVID-19 dapat dikatakan
kurang efektif. Hal ini terlihat dari masih banyaknya kontroversi yang terjadi baik antara
pemangku kepentingan maupun public dalam penerapan berbagai kebijakan.

Kurang efektifnya penerapan strategi manajemen krisis yang dilakukan oleh pemerintah
sebagimana diuraikan diatas pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa factor. Pertama, buruknya
komunikasi public yang dilakukan pemangku kepentingan atas pandemic yang sedang
berlangsung serta kebijakan-kebijakan yang menyertainya. Kedua, perbedaan persepsi dalam
menerjemahkan kebijakan-kebijakan terkait penanganan COVID-19 baik oleh para pemangku
kepentingan di pusat maupun daerah. Ketiga, perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang diakibatkan oleh perbedaan kepentingan dan factor politik maupun
ketidakjelasan arahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
(http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1402-evaluasi-manajemen-krisis-
negara-dalam-penanganan-pandemi-covid-19).

 Strategi Manajemen Krisis ke Depan:

Ke depan, untuk lebih mengefektifkan strategi manajemen krisis setidaknya ada beberapa
langkah yang perlu dilakukan:

a. Melakukan penilaian risiko sebagai langkah awal dalam menyusun kebijakan;


b. Menyiapkan struktur kelembagaan yang tepat, mandat yang jelas didukung oleh kebijakan
yang komprehensif dan undang-undang, serta alokasi sumber daya untuk semua kapasitas
ini melalui anggaran reguler juga instrumental untuk kesiapan menyeluruh terhadap krisis;
c. Membangun sistem deteksi krisis dapat dilakukan melalui berbagai sumber, seperti
jaringan pemantauan dan sistem peringatan dini, otoritas publik, media komunitas, sosial
media, dan sektor swasta;
d. Memantau perkembangan krisis untuk memahami karakteristik krisis yang terjadi dan
memastikan operasional kebijakan yang terukur. Dalam hal ini seringkali dibutuhkan

50
organisasi intelijen yang tepat untuk membangun rencana kontingensi yang tepat pada
situasi tanggap darurat;
e. Regulasi dan kebijakan dalam situasi krisis juga perlu dikoordinasikan, dipantau, dan
diadaptasi saat krisis berkembang. Oleh karenanya, mekanisme pengawasan taktis dan
strategis perlu dibangun hingga tingkat terendah dalam struktur birokrasi yang ada; serta
f. Membuat prosedur operasi standar (SOP) dengan mengatur operasi dan mengoordinasikan
berbagai informasi dan protokol komunikasi serta mekanisme implementasinya, termasuk
di dalamnya melakukan mobilisasi sarana tanggap darurat tambahan jika diperlukan.

Selain memastikan kerja sama dan mengerahkan pengambilan keputusan, kepemimpinan


memainkan peran kunci komunikasi pada masa krisis. Respon pemerintah yang cepat dalam waktu
yang tepat serta kapasitas aktor dan kelembagaan yang memadai menjadi faktor penting bagi
keberhasilan strategi negara dalam masa krisis. Pada akhirnya, mekanisme umpan balik untuk
mengevaluasi semua kebijakan dan tindakan yang telah diambil pada masa krisis juga harus
dilakukan secara reguler. Hal ini selain untuk menarik pelajaran juga membantu meningkatkan
kesiapsiagaan dan proses tanggap darurat jika krisis yang sama terjadi.

4.4 Anggaran Penanganan Masalah Covid-19

Pemerintah menaikkan anggaran penanganan COVID-19 dari Rp. 405,1 triliun menjadi
Rp. 677,2 triliun. Dengan demikian, anggarannya membengkak Rp. 272,1 triliun atau sebesar 67%.
Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani usai rapat bersama Presiden
Joko Widodo melalui video conference. Beliau memaparkan besaran anggaran itu terdiri dari
berbagai hal. Pertama, anggaran sebesar Rp. 87,55 triliun diperuntukkan bagi bidang kesehatan.
Rincian anggaran itu diperuntukkan bagi belanja penanganan COVID-19, tenaga medis, santunan
kematian, bantuan iuran untuk jaminan kesehatan nasional, pembiayaan gugus tugas, dan insentif
perpajakan di bidang kesehatan.

Kedua, diperuntukkan bagi perlindungan social masyarakat yang terdampak COVID-19


sebesar Rp. 203,9 triliun. Anggaran sebesar itu nantinya berupa pembiayaan Program Keluarga
Harapan (PKH), bantuan sembako, Bantuan Sosial (Bansos) untuk masyarakat, Kartu Prakerja,
diskon tariff listrik, bantuan langsung tunai (BLT), dan dana desa.

51
Ketiga, ialah diperuntukkan bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang
terdampak COVID-19 sebesar 123,46 triliun. Anggaran sebesar itu digunakan untuk membiayai
subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi dan mendukung modal kerja bagi UMKM
yang pinjamannya sampai 10 miliar, serta belanja untuk penjaminan terhadap kredit modal kerja
darurat.

Keempat, diluncurkan anggaran sebesar Rp. 120,61 triliun untuk insentif dunia usaha agar
mereka mampu bertahan dengan melakukan relaksasi di bidang perpajakan dan stimulus lainnya.
Kelima, pemerintah juga menganggarkan Rp. 44,57 triliun bagi pendanaan korporasi yang terdiri
dari BUMN dan korporasi padat karya. Terakhir, dukungan untuk sectoral maupun kementerian
dan lembaga serta Pemda yang mencapai Rp. 97,11 triliun. Jadi total anggaran penanganan
COVID-19 adalah Rp. 677,2 triliun.

52
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Coronaviruses (CoVs) milik subfamily Orthocoronavirinae dalam keluarga Coronaviridae


dalam urutan Nidovirales, dan subfamili ini termasuk alphacoronavirus, beta-coronavirus, gamma-
coronavirus, dan delta-coronavirus. Virus corona terutama menyebabkan infeksi enzootic pada
burung dan mamalia dan, dalam beberapa dekade terakhir, telah terbukti mampu menginfeksi
manusia juga. Wabah SARS pada tahun 2002 dan MERS pada tahun 2012 telah menunjukkan
kematian virus corona ketika mereka melintasi penghalang spesies dan menginfeksi manusia
(Zhang & Liu, 2020).

Pada epidemi yang terjadi di China, tanggung jawab Pusat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada semua tingkatan termasuk
mengatur, koordinasi, supervisi, dan evaluasi surveilans untuk pengumpulan, analisis, laporan, dan
memberikan umpan balik terhadap data monitoring, melakukan pelatihan investigasi lapangan,
pemeriksaan laboratorium dan pengetahuan profesional lainnya, memberikan pendidikan
kesehatan pada masyarakat dan evaluasi risiko, menyiapkan pedoman metode perlindungan
pribadi/ individu untuk masyarakat umum dan orang-orang khusus dan petunjuk disinfeksi tempat-
tempat khusus.

Kurang efektifnya penerapan strategi manajemen krisis yang dilakukan oleh pemerintah
sebagimana diuraikan diatas pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa factor. Pertama, buruknya
komunikasi public yang dilakukan pemangku kepentingan atas pandemic yang sedang
berlangsung serta kebijakan-kebijakan yang menyertainya. Kedua, perbedaan persepsi dalam
menerjemahkan kebijakan-kebijakan terkait penanganan COVID-19 baik oleh para pemangku
kepentingan di pusat maupun daerah. Ketiga, perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang diakibatkan oleh perbedaan kepentingan dan factor politik maupun
ketidakjelasan arahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.

53
5.2 Saran

Oleh karena itu, kita bersama Pemerintah harus dengan sebaik-baiknya melindungi derajat
kesehatan masyarakat, serta perekonomian dari dampak covid-19 tersebut. Indonesia bisa
melakukannya karena mempunyai system perlindungan social yang relative maju dibandingkan
negara-negara berkembang lainnya. Mari saling bergandengan tangan bersama-sama untuk
memelihara kesehatan dan perekonomian kita, serta menghindari sikap egois karena sekarang pada
masa pandemic covid-19 ini sangat dibutuhkan kerjasama sehingga masalah yang dialami oleh
bangsa dan negara kita dapat diselesaikan dengan baik dan bersama-sama mematuhi peraturan dari
Pemerintah sehingga covid-19 dapat berakhir pada waktunya, apabila kita terus-terusan tidak
mematuhinya maka pandemic covid-19 akan terus berlangsung yang diakibatkan oleh kurangnya
kesadaran kita sebagai masyarakat untuk menaati peraturan yang telah dibuat oleh Pemerintah.

54
DAFTAR PUSTAKA

(n.d.). Retrieved April 27, 2020, from https://www.ui.ac.id/pengenalan.html

Almatsier. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Penerbit Gramedia, 2002

https://www.kemendagri.go.id/documents/covid-19/BUKU_PEDOMAN_COVID-
19_KEMENDAGRI.pdf

https://www.jogloabang.com/komunitas/pedoman-pencegahan-pengendalian-coronavirus-
disease-covid-19

http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1402-evaluasi-manajemen-krisis-
negara-dalam-penanganan-pandemi-covid-19

Khomsan, A. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002.

Mardiansyah, L. Gizi Buruk di Indonesia. Jakarta: SMP 167, 2008.

Notoadmodjo. Prinsip Ilmu Dasar Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rinneka Cipta, 2003

Noor, N. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Rinneka Cipta, 1997.

Pratama, E. (2020, April 11). Retrieved April 27, 2020, from


https://jurnalintelijen.net/2020/04/11/urgensi-rencana-kontingensi-dalam-menghadapi-
pandemi-covid-19/

Purwanto, A., Pramono, R., Asbari, M., Santoso, P. B., Wijayanti, L. M., Hyun, C. C., et al.
(2020). Studi Ekdploratif Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Proses Pembelajaran
Online di Sekolah Dasar. EduPsyCouns, 1-13.

Soetjaningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC, 1995.

Suhardjo. Berbagai cara pendidikan Gizi. Jakarta: EGC, 2003.

Supariasa. Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia, 2001.

Zhang, L., & Liu, Y. (2020). Potensi Intervensi untuk Novel Coronavirus di Cina: Tinjauan
Sistemik. Accepted Article, 1-36.

55
Zuliansyah, R. A. (2020, April 22). Retrieved April 27, 2020, from
https://tangerangnews.com/nasional/read/31115/Waspadai-Gizi-Buruk-Anak-saat-
Pandemi-COVID-19

56

Anda mungkin juga menyukai