Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS UROLOGI

BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA

PEMBIMBING
dr. Tommy Yuwono, Sp. U

DISUSUN OLEH
Belanny Dwi D.
Budi Mulyawan
M. Fauzi Assegaf

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
JAKARTA

I.

IDENTITAS
Nama

: Tn. Mustofa

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 67 Tahun

Alamat

: Kabupaten Cirebon

Agama

: Islam

Masuk Rumah Sakit : 20 Februari 2013

II.

ANAMNESIS
Keluhan Utama

: Kesulitan berkemih

Keluhan Tambahan

: Rasa tidak puas saat berkemih, harus mengedan bila


ingin BAK

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan kesulitan berkemih sejak kurang lebih dua
bulan terakhir, keluhan tersebut dirasakan semakin memberat sejak seminggu yang
lalu. Pasien biasanya dapat berkemih walaupun hanya sedikit dan harus mengedan
terlebih dahulu tetapi sejak seminggu yang lalu pasien mengeluh sangat sulit
berkemih walaupun sudah mengedan. Pasien juga mengeluh rasa tidak puas saat
berkemih, rasanya seperti belum habis tetapi sudah tidak dapat dikeluarkan lagi.
Pasien sebelumnya sudah berobat ke poliklinik RSUD gunung jati dan dipasang
kateter urin. Selama dipasang kateter urin pasien tidak mengeluh apapun, os tidak
merasa seperti ada rasa belum tuntas saat berkemih, tetapi setelah dilepas pasien
kembali tidak dapat berkemih dengan lancar. Lalu tanggal 20/02/2013 os disarankan
dirawat di bangsal 8 dan akan dilakukan rencana operasi cystoscopy + TUR-P bila Hb
sudah lebih dari 10 mg/dL. Riwayat kencing batu, riwayat demam, riwayat kencing
keluar darah, riwayat kencing bercabang disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit Diabetes Mellitus disangkal


Riwayat Hipertensi diakui
2

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada penyakit serupa dalam keluarga pasien

III.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Internus
Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Vital sign
: TD
: 170/80 mmHg
N
: 80x/menit
RR
: 20x/menit
S
: 36,40C
Kepala
: Normocephal
Mata
: Conjungtiva
: Anemis
Palpebra
: Tidak edema
Sclera
: Tidak ikterik
Leher
: Pembesaran KGB (-)
Deviasi trakea (-)
Massa (-)
THT
: Liang telinga
: Lapang kanan / kiri
Sekret / Serumen
: (-/-)
Perdarahan
: (-/-)
Hidung
: Deviasi septum (-)
Epistaksis
: (-)
Thoraks
: Cor
: BJ I-II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Paru
: VBS (+/+),Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen
: Inspeksi
: Perut tampak cembung
Palpasi
: Teraba supel, nyeri tekan (-)
Perkusi
: Timpani di 4 kuadran abdomen
Auskultasi
: Bising usus (+)
Ekstremitas
: Akral hangat
Edema (-), Sianosis (-)
2. Status Urologi
a. Renal
Nyeri ketok CVA -/Ballotement test -/b. Vesika Urinaria
Nyeri tekan (-)
Teraba lembek dan kosong
Tidak ada bekas luka di region suprapubik
c. Genitalia eksterna
MUE : meatal stenosis (-)
d. Skrotum : testis kanan-kiri dalam batas normal
e. Rectal Toucher :

Tonus spinchter ani menjepit, ampulla recti tidak kolaps, mukosa teraba licin,
teraba prostat dengan ukuran 20 gram, permukaan tidak bernodul, simetris,
konsistensi keras. Pada handschoen tidak ada bercak darah.
IV.

RESUME
Pasien datang dengan keluhan kesulitan berkemih sejak kurang lebih dua
bulan terakhir, keluhan tersebut dirasakan semakin memberat sejak seminggu yang
lalu. Pasien biasanya dapat berkemih walaupun hanya sedikit dan harus mengedan
terlebih dahulu. Pasien juga mengeluh rasa tidak puas saat berkemih. Pasien
sebelumnya sudah berobat ke poliklinik RSUD gunung jati dan dipasang kateter urin.
Lalu tanggal 20/02/2013 os disarankan dirawat di bangsal 8 dan akan dilakukan
rencana operasi cystoscopy + TUR-P bila Hb sudah lebih dari 10 mg/dL. Pada
pemeriksaan fisik, tes ballotement (-/-), nyeri tekan vesika urinaria (+), teraba kosong
dan prostat teraba membesar lebih dari 20 gram. Riwayat kencing batu, riwayat
demam, riwayat kencing keluar darah, riwayat kencing bercabang disangkal oleh
pasien.

V.

DIAGNOSIS SEMENTARA
Retensi Urin e/c Suspek Benign Prostate Hyperplasia
Hipertensi grade II

VI.

DIAGNOSIS BANDING

BPH

Ca prostat

Prostatitis

Striktur uretra

Batu uretra

VII.

VIII.

Batu buli

Tumor buli

TERAPI
a. IVFD NaCl 0,9%
b. Observasi TNRS
c. Monitor I-O
d. Diet rendah garam
e. Antibiotik
f. Analgetik
g. ACE inhibitor
h. Rujuk spesialis urologi
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

Tinjauan Pustaka
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

EPIDEMIOLOGI
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum
usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dan
lahir sampai pubertas, dimana pada selang waktu tersebut terjadi peningkatan cepat dalam
ukuran yang berkelanjutan sampai usia sekitar 30-an. Pertengahan dasawarsa ke 5 prostat
bisa mengalami perubahan hiperplasia.1
Berdasarkan angka autopsy perubahan mikroskpoik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan
terjadi. Akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada proses usia 50 tahun angka
kejadiannya sekitar 50 % dan pada usia 80 tahun 80%. Sekitar 50 % dari angka tersebut
diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.2
DEFINISI
Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah hiperplasia kelenjar periuretral prostat
yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. 1
Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah
histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat.
ANATOMI PROSTAT
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler, yang terletak di sebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian
proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada di sebelah anterior rektum. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan
jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.3
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :
1. Lobus medius
2. Lobus lateralis (2 lobus)
3. Lobus anterior
4. Lobus posterior
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi
satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-kadang tak
tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista
kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.4
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah:
zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona
periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya
proksimal dari sfingter eksternus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona periuretral.

Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan
pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Secara histopatologik, kelenjar
prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri atas otot
polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyanggah yang lain.5
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan dari
verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Di sebelah depan didapatkan
ligamentum pubo prostatika, di sebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan di sebelah
belakang didapatkan fascia denonvilliers. 5
Vaskularisasi
Vaskularisasi kelenjar prostat yang utama berasal dari a. vesikalis inferior (cabang
dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a.mesenterium inferior), dan
a.pudenda interna (cabang dari a.iliaca interna). Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk
lewat basis prostat di Vesico Prostatic Junction. Penyebaran arteri di dalam prostat dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Kelompok arteri urethra, menembus kapsul di postero lateral dari vesico prostatic junction
dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok kelenjar periurethral.
2. Kelompok arteri kapsule, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa cabang yang
memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar paraurethral).6
Aliran Limfe
Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat yang kemudian
bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang menuju ke kelenjar limfe iliaca
interna , iliaca eksterna, obturatoria dan sakral. 6
Persarafan
Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus dari
Hipogastricus dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.
FISIOLOGI PROSTAT
Prostat adalah kelenjar sex sekunder pada laki-laki yang menghasilkan cairan dan
plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis
46-80% pada waktu ejakulasi.
ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).5
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:

1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)


Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari
kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh
globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam
keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam target
cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk ke dalam sitoplasma, di
dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5
dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi
hormone receptor complex. Kemudian hormone receptor complex ini mengalami
transformasi reseptor, menjadi nuclear receptor yang masuk kedalam inti yang
kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan
menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.
2. Teori Ketidakseimbangan Estrogen-testosteron
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu
antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Karena produksi testosteron menurun
dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer
dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang
terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron
diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogen lah yang
berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi
relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor
pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat. Pada
keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon
androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin
bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis)
yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini
mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon
estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua
bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer
yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
3. Interaksi stroma epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel
prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya
proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.

4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)

Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang
dewasa berada dalam keadaan keseimbangan steady state, antara pertumbuhan sel
dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu
dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat
berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga
terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral
prostat menjadi berlebihan.
5. Berkurangnya apoptosis
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi
dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan
difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga
menyebabkan pertumbuhan massa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang
menghambat proses apoptosis. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat
proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel
prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGF berperan dalam proses apoptosis.5
Patofisiologi BPH
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan
menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase
penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan
gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter.
Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.5
Manifestasi Klinis BPH
Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan di luar saluran kemih.
9

1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah


Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruktif dan
gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan urethra pars prostatika
karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi
cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah :
a. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy)
b. Pancaran miksi yang lemah (Weak stream)
c. Miksi terputus (Intermittency)
d. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
e. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak
sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitifitas otot detrusor karena
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh. Gejalanya ialah :
a. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
b. Nokturia
c. Miksi sulit ditahan (Urgency)
d. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah,
WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut Skor
Internasional Gejala Prostat atau IPSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem
skoring IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS)
dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang
menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
Dari skor IPSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
Ringan : skor 0-7
Sedang : skor 8-19
Berat : skor 20-35
Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica urinaria untuk
mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan mengalami kepayahan
(fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi
urin akut.5

Pertanyaan
Keluhan Pada Bulan
Terakhir
a. Adakah anda merasa
buli-buli tidak kosong
setelah berkemih
b. Berapa kali anda

Tidak
Sekali
0
0

Jawaban dan Skor


<20%
<50%
50%

>50%

Hampir
Selalu
5

5
10

berkemih lagi dalam


waktu 2 menit
c. Berapa kali terjadi
0
1
2
3
arus
urin
berhenti
sewaktu berkemih
d. Berapa kali anda tidak
0
1
2
3
dapat menahan untuk
berkemih
e. Beraapa kali terjadi
0
1
2
3
arus lemah sewaktu
memulai kencing
f. Berapa keli terjadi
0
1
2
3
bangun
tidur
anda
kesulitan memulai untuk
berkemih
g. Berapa kali anda
0
1
2
3
bangun untuk berkemih
di malam hari
Tabel 1. International Prostatic Symptom Score
Jumlah nilai :
0 = baik sekali
1 = baik
2 = kurang baik

3 = kurang
4 = buruk
5 = buruk sekali

Timbulnya dekompensasi vesica urinaria biasanya didahului oleh beberapa faktor


pencetus, antara lain:
a.
Volume vesica urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing
terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum
(alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah yang berlebihan
b.
Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut
c.
Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor
atau yang dapat mempersempit leher vesica urinaria, antara lain: golongan
antikolinergik atau alfa adrenergik.5

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat penyulit hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa
gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.5
3. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.5
11

DIAGNOSIS
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :
1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif
2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai prostat
yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan menonjol ke
dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas semakin sulit
untuk diraba.
3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.
4. Pemeriksaan pencitraan :
Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian kontras pada dasar kandung
kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail.
Dengan trans rectal ultrasonography (TRUS) dapat terlihat prostat yang membesar.
5. Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.
6. Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume residu urin
yang meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml dianggap
sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi).
PEMERIKSAAN KLINIS
a. Pada retensi urin akut, buli-buli penuh (ditemukan massa supra pubis) yang nyeri dan
pekak pada perkusi. Kadang-kadang didapatkan urin yang selalu menetes yang
merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.
b. Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination (DRE)
Pada colok dubur yang harus diperhatikan;
Tonus sfingter ani/reflex bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan buli-buli
neurogenik
Mukosa rectum
Keadaan prostat antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi
prostat, simetris antar lobus dan batas prostat (apakah batas atas dapat diraba dan
apabila batas atas masih dapat diraba biasanya besar prostat diperkirakan < 60 g).
Pada colok dubur pembesaran prostat benigna menunjukan konsistensi prostat
kenyal, seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul. Volume yang normal pada dewasa adalah 20-30 g. Pengukuran
lebih tepat dapat menggunakan transrektal ultrasonografi (TRUS). Raba apakah
terdapat fluktuansi (abses prostat) / nyeri tekan (prostatitis). Konsistensi prostat
keras/teraba nodul dan mungkin diantara lobus prostat tidak simetris.

12

Gambar 1. Pemeriksaan Rektal Digital (DRE)

Derajat
Colok Dubur
Sisa Volume Urin
I
Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba
< 50 ml
II
Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai
50 100 ml
III
Batas atas prostat tidak dapat diraba
> 100 ml
IV
Retensi urin total
Tabel 2. Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis
Derajat berat obstruksi
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah
miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan
kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih
setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi
melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.
Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu
miksi, yang disebut uroflowmetri.
Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal
sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 8 ml/detik,
sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhatikan etiologi lain
seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri
dapat menyebabkan hematuria.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi
ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu
biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 410 ng/ml, hitunglah Prostate Spesifik Antigen Density
(PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD 0,15 maka
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
2. Pemeriksaan radiologis
13

Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena
(IVP), USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu
urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak dengan
BPH.
Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal
atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan
prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
Dari IVP dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter,
fish hook appearance (gambaran ureter berbelok-belok di vesica), indentansi pada dasar
bulibuli, divertikel, residu urin, atau filling defect di vesica.
Cara pencitraan yang lain ialah pemeriksaan USG. Cara pemeriksaan ini dianggap
sebagai pemeriksaan yang baik oleh karena ketepatannya dalam mendeteksi pembesaran
prostat, tidak adanya bahaya radiasi dan juga relatif murah. Pemeriksaan USG dapat
dilakukan secara trans abdominal atau transrektal ( TRUS = Trans Rectal Ultrasonografi).
Ultrasonografi trans abdominal
Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan pembesaran bagian
dalam glandula, yang relatif hipoechoic dibanding zona perifer. Zona
transisihipoekoik cenderung menekan zona central dan perifer. Batas yang
memisahkan hyperplasia dengan zona perifer adalah surgical capsule.
USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun
kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.

Gambar 2. Gambaran Sonografi Prostat Normal

Gambar 3. Gambaran Sonografi Benign Prostat Hiperplasia


Ultrasonografi transrektal

14

Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS) adalah tes USG melalui rectum.


Dalam prosedur ini, probe dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara
di prostat. Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari kelenjar prostat pada
layar tampilan. Untuk menentukan apakah suatu daerah yang abnormal tampak memang
tumor, digunakan probe dan gambar USG untuk memandu jarum biopsi untuk tumor
yang dicurigai. Jarum mengumpulkan beberapa potong jaringan prostat untuk
pemeriksaan dengan mikroskop. Biopsy terutama dilakukan untuk pasien yang dicurigai
memiliki keganasan prostat.
Transrektal ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan untuk pengukur volume
prostat, caranya antara lain :
Metode step planimetry. Yang menghitung volume rata-rata area horizontal diukur
dari dasar sampai puncak.
Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi (H/height), lebar
(W/width) dan panjang (L/length) dengan rumus : (H x W x L).
Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi
residu urin, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli.
3. Sistoskopi
Sistoskopi sebaiknya dilakukan pada anamnesa ditemukan adanya hematuri atau pada
pemeriksaan urin ditemukan adanya mikro hematuri, untuk mengetahui adanya
kemungkinan tumor di dalam vesica atau sumber perdarahan dari atas yang dapat dilihat
apabila darah datang dari muara ureter, atau adanya batu kecil yang radiolusent di dalam
vesica. Selain itu sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat
dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat kedalam
uretra.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan stroma di
prostat.Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot hampir murni, meskipun
kebanyakan menunjukkan pola fibroadenomyomatous hyperplasia.

Gambar 4. Makroskopis dan Mikroskopis Benigna Prostat Hiperplasia


5. CT Scan atau MRI
Pencitraan dengan CTScaning dan Magnetic Resonance Imaging / MRI dalam
praktek jarang dipakai karena cara pemeriksaan ini mahal dan keterangan yang diperoleh
tidak terlalu banyak dibandingkan cara lain.
15

6. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur:
Residual urin :
Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan kateterisasi/USG setelah
miksi.
Pancaran urin/flow rate :
Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung
(ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran
urin.
Aliran yang berkurang sering pada BPH. Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya
kurang dari 15mL/s dan terdapat peningkatan residu urin. Post-void residual mengukur
jumlah air seni yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah buang air kecil. PRV
kurang dari 50 mL umum menunjukkan pengosongan kandung kemih yang memadai dan
pengukuran 100 sampai 200 ml atau lebih sering menunjukkan sumbatan. Pasien diminta
untuk buang air kecil segera sebelum tes dan sisa urin ditentukan oleh USG atau
kateterisasi.

Gambar 5.
Pancaran

Gambaran
Urin Normal dan
pada BPH

Keterangan :
Gambaran aliran urin atas : dewasa muda yang asimtomatik, aliran urin lebih dari
15mL/s, urin residu 9 mL pada ultrasonografi.
Gambaran aliran urin bawah : dewasa tua dengan benigna hyperplasia prostat, terlihat
waktu berkemih memanjang dengan aliran urin kurang dari 10mL/s, pasien ini urin
residunya 100 mL.
DIAGNOSIS BANDING
Proses miksi bergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas leher kandung
kemih dengan tonus ototnya dan resistensi uretra. Setiap kesulitan miksi disebabkan oleh
salah satu dari ketiga faktor tersebut. Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh kelainan
saraf (kandung kemih neurologik), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropati diabetes,
16

bedah radikal yang mengorbankan persarafan di daerah pelvis, penggunaan obat penenang,
obat penghambat reseptor ganglion dan parasimpatolitik. Kekakuan leher vesika disebabkan
oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi uretra disebabkan oleh pembesaran prostat jinak
atau ganas, tumor di leher kandung kemih, batu di uretra atau striktur uretra. Kelainan
tersebut dapat dilihat dengan sistokopi.

Diagnosis banding BPH


Kondisi
Gejala
Frekuansi, aliran dan volume urin normal
Diabetes mellitus
Gejala iritasi
Sistitis , kanker buli, batu buli
Gejala iritasi dan obstruksi
Prostatitis
Divertikulum buli
Kondisi neurologis (injuri medulla spinalis,
kelainan medulla spinalis dsb)
Riwayat minum obat (antikolinergik,
antidepresan, dekongestan, tranquilezer)
Gejala obstruksi
Kanker prostat
Striktur uretra
Kontraktur/striktur buli
Tabel 3. Diagnosa Banding Benign Prostat Hiperplasia

KOMPLIKASI
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin. Karena produksi
urin terus berlanjut maka pada suatu saat bulibuli tidak mapu menampung urin sehingga
tekanan intra vesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal.
Proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam bulibuli. Batu
ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula
menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat
menyebabkan hernia atau hemoroid.
Retensi urine akut ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin, distensi kandung
kemih, nyeri suprapubik
Retensi urine kronik residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba, tidak nyeri
Infeksi traktus urinarius
Batu buli
Hematuri
Inkontinensia-urgensi
Hidroureter
Hidronefrosis -gangguan pada fungsi ginjal
PENATALAKSANAAN

17

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik. Kadangkadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa
mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja. Namun adapula yang
membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena
keluhannya semakin parah.5
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4) mengembalikan
fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urine setelah miksi dan
(6) mencegah progrefitas penyakit. Hal ini dapat dicegah dengan medikamentosa,
pembedahan atau tindakan endourologi yang kurang invasif.5
Observasi
Watchful
waiting

Medikamentosa
Penghambat adrenergik
Penghambat reduktese
Fisioterapi
Hormonal

Operasi
Invasive minimal
Prostatektomi terbuka TUMT
Endourologi
TUBD
1. TURP
Stent uretra
2. TUIP
TUNA
3. TULP
Elektovaporasi
Tabel 4. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna

Riwayat
Pemeriksaan fisik & DRE
Urinalisa
PSA (meningkat/tidak)

Indeks gejala
AUA
Gejala ringan
(AUA7)/
tdk ada

Gejala sedang
Tes diagnostic
Uroflow
Residu urin postvoid

Retensi urinaria+gejala yang


berhubungan dg BPH
Hematuria persistent
Batu buli
Infeksi saluran urinaria
berulang
Insufisiensi renal
Operasi

Pilihan terapi

Terapi non-invasif

Watchful waiting

Terapi invasif

Terapi medis

Tes diagnostic
Pressure flow
Uretrosistoskopi
USG prostat

Terapi minimal invasif

Operasi

18

Gambar 6. Bagan Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia

Penatalaksanaan
Watchful waiting

Nilai indeks gejala BPH


Gejala hilang/timbul

Efek samping
Risiko kecil , dapat terjadi retensi
urinaria

Penatalaksanaan medis
Alpha-blockers

Sedang 6-8

5 alpha-reductase inhibitors

Ringan 3-4

Terapi kombinasi
Terapi invasi minimal
Transuretral microwave heat

Sedang 6-7

Gaster/usus halus-11%
Hidung berair-11%
Sakit kepala-12%
Menggigil-15%
Masalah ereksi-8%
Kehilangan hasrat sex-5%
Berkurangnya semen-4%
Kombinasi

TUNA

Sedang 9

Operasi
TURP, laser & operasi
sejenis

Berat 14-20

Operasi terbuka

Berat

Sedang-berat 9-11

Urgensi/frekuensi-28-74%
Infeksi-9%
Prosedur kedua dibutuhkan-1016%
Urgensi/frekuensi-31%
Infeksi-17%
Prosedur kedua dibutuhkan-23%
Retensi urinaria-1-21%
Urgensi&frekuensi-6-99%
Gangguan ereksi-3-13%
Inkontinensia 6%

Tabel 5. Penatalaksanan Berdasarkan Nilai Indeks Gejala Benigna Prostat Hiperplasia


a. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu
keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapat terapi
namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya, misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2)
kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), (3)
19

batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi


makanan pedas dan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya apakah
menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan
pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek
daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.5
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi resistansi otot
polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan
penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa blocker dan (2) mengurangi volume prostat
sebagai komponen static dengan cara menurunkan kadar hormon testosterone/
dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5-reduktase.5
Penghambat reseptor adrenergik
Penghambat 5 reduktase
Fitofarmaka
1)

Penghambat reseptor adrenergik . mengendurkan otot polos prostat dan leher


kandung kemih, yang membantu untuk meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh
pembesaran prostat di BPH.7,8
Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan.
Umumnya digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin (Flomax), afluzosin
(Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti terazosin (Hytrin) atau doxazosin
(Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan pancaran urin dan mengakibatkan
perbaikan gejala dalam beberapa minggu dan tidak berpengaruh pada ukuran prostat.

Gambar 7. Lokasi Reseptor 1-Adrenergik ( 1-ARs)


2)

Penghambat 5 reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron
(DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 reduktase di dalam sel
20

prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel
prostat menurun. Pembesaran prostat di BPH secara langsung tergantung pada DHT,
sehingga obat ini menyebabkan pengurangan 25% perkiraan ukuran prostat lebih dari
6 sampai 12 bulan.7,8

Gambar 8. Model Aksi Penghambat 5 reduktase


Contoh obat penghambat 5 reduktase berdasarkan tipenya :
Avodart (dutasteride) - pada tipe 1 dan 2 5ARI
Proscar (finasteride) - hanya pada tipe 2 5ARI
3)

Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki
gejala akibat obstruksi parsial, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat
aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fisioterapi sampai sata ini belum
diketahui dengan pasti. Kemungkinan fitofarmaka bekerja sebagai : antiestrogen,
antiandrogen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi
basic fibroblast growth factos (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF),
mengacaukan metabolism prostaglandin, efek anti inflamasi, menuruknan outflow
resistance dan memperkecil volume prostat. Diantara fitofarmaka yang banyak
dipasarkan adalah: Pyegeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix
urtica dan masih banyak lainnya.5

c. Terapi Invasif Minimal


Diperuntukkan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap pembedahan :
1) Microwave transurethral. Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang
menggunakan gelombang mikro untuk memanaskan dan menghancurkan jaringan
prostat yang berlebih. Dalam prosedur yang disebut microwave thermotherapy
transurethral (TUMT), perangkat mengirim gelombang mikro melalui kateter untuk
memanaskan bagian prostat dipilih untuk setidaknya 111 derajat Fahrenheit. Sebuah
sistem pendingin melindungi saluran kemih selama prosedur.
Prosedur ini memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat dilakukan secara rawat
jalan tanpa anestesi umum. TUMT belum dilaporkan menyebabkan disfungsi ereksi
atau inkontinensia. Meskipun terapi microwave tidak menyembuhkan BPH, tapi
mengurangi gejala frekuensi kencing, urgensi, tegang, dan intermitensi.
21

Gambar 9. Microwave Transurethral


2) Transurethral jarum ablasi. Juga pada tahun 1996, FDA menyetujui transurethral
jarum ablasi invasif minimal (TUNA) sistem untuk pengobatan BPH. Sistem TUNA
memberikan energy radiofrekuensi tingkat rendah melalui jarum kembar untuk region
prostat yang membesar. Shields melindungi uretra dari kerusakan akibat panas. Sistem
TUNA meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala dengan efek samping yang
lebih sedikit jika dibandingkan dengan reseksi transurethral dari prostat (TURP).

Gambar 10. Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal


3) Thermotherapy dengan air. Terapi ini menggunakan air panas untuk menghancurkan
jaringan kelebihan dalam prostat. Sebuah kateter mengandung beberapa lubang
diposisikan dalam uretra sehingga balon pengobatan terletak di tengah prostat. Sebuah
komputer mengontrol suhu air, yang mengalir ke balon dan memanaskan jaringan
prostat sekitarnya. Sistem ini memfokuskan panas di wilayah yang tepat prostat.
Sekitar jaringan dalam uretra dan kandung kemih dilindungi. Jaringan yang hancur
keluar melalui urin.

22

Gambar 11. Thermotherapy dengan Air


4) Intra-Prostatic Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena
pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di
sebelah proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati lumen uretra
prostatika. Stent temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang
tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi jaringan. Stent yang permanen terbuat dari
anyaman dari bahan logam super alloy, nikel atau titanium. Sayangnya setelah
pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif,
perdarahan uretra atau rasa tidak enak di daerah penis.

Gambar 12. Intra-Prostatic Stent


d. Bedah
1) Operasi transurethral
Pada jenis operasi, sayatan eksternal tidak diperlukan. Setelah memberikan
anestesi, ahli bedah mencapai prostat dengan memasukkan instrumen melalui uretra.
Prosedur yang disebut reseksi transurethral dari prostat (TURP) digunakan
untuk 90 persen dari semua operasi prostat dilakukan untuk BPH. Dengan TURP, alat
yang disebut resectoscope dimasukkan melalui penis. Resectoscope, yaitu panjang
sekitar 12 inci dan diameter 1/2 inci, berisi lampu, katup untuk mengendalikan cairan
irigasi, dan loop listrik yang memotong jaringan dan segel pembuluh darah.
Cairan irigan yang dipakai adalah aquades. Kerugian dari aquades adalah
sifatnya yang hipotonis sehingga dapat masuk melalui sirkulasi sistemik dan
menyebabkan hipotermia relative atau gejala intoksikasi air yang dikenal dengan
sindrom TURP. Ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, somnolen dan tekanan
23

darah meningkat dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan
mengalami edema otak dan jatuh ke dalam koma. Untuk mengurangi risiko timbulnya
sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih
dari 1 jam dan harus memasang sistostomi terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan
dapat mengurangi penyerapan air ke sistemik.
Selama operasi 90 menit, ahli bedah menggunakan loop kawat resectoscope
untuk menghilangkan jaringan obstruksi satu bagian pada suatu waktu. Potonganpotongan jaringan dibawa oleh cairan ke kandung kemih dan kemudian dibuang
keluar pada akhir operasi. Prosedur transurethral kurang traumatis dari pada bentuk
operasi terbuka dan memerlukan waktu pemulihan lebih pendek. Salah satu efek
samping yang mungkin TURP adalah ejakulasi retrograde, atau ke belakang. Dalam
kondisi ini, semen mengalir mundur ke dalam kandung kemih selama klimaks
bukannya keluar uretra.
Selama operasi
Perdarahan
Sindrom TURP
Perforasi

Pasca bedah dini


Perdarahan
Infeksi lokal/sistemik

Pasca bedah lanjut


Inkontinensi
Dinsfungsi ereksi
Ejakulasi retrograde
Striktur uretra

Tabel 6. Berbagai Penyulit TURP, Selama maupun Setelah Pembedahan

(a)

(b)
(c)

Gambar 13. (a)alat TURP, (b)cara melakukan TURP, (c)uretra prostatika pasca TURP
Prosedur bedah yang disebut insisi transurethral dari prostat (TUIP), prosedur
ini melebar urethra dengan membuat beberapa potongan kecil di leher kandung
kemih, di mana terdapat kelenjar prostat. Prosedur ini digunakan pada hiperplasi
24

prostat yang tidak terlalu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius dan pada pasien
yang umurnya masih muda.

Gambar 14. Prosedur Trans Uretral Incision Prostat (TUIP)


2) Open surgery
Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak dapat
digunakan, operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal, dapat digunakan. Open
surgery sering dilakukan ketika kelenjar sangat membesar (>100 gram), ketika ada
komplikasi, atau ketika kandung kemih telah rusak dan perlu diperbaiki.
Prostateksomi terbuka dilakukan melalui pendekatan suprarubik transvesikal (Freyer)
atau retropubik infravesikal (Millin). Penyulit yang dapat terjadi adalah inkontinensia
urin (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur leher
buli-buli (305%). Perbaikan gejala klinis 85-100%.
3) Operasi laser
Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami koagulasi dan pada suhu
yang lebih dari 100oC mengalami vaporasi. Teknik laser menimbulkan lebih sedikit
komplikasi sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun.
Kekurangannya adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi,
sering banyak menimbulkan disuri pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2
bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi dan peak flow rate lebih
rendah daripada pasca TURP. Serat laser melalui uretra ke dalam prostat
menggunakan cystoscope dan kemudian memberikan beberapa semburan energi yang
berlangsung 30 sampai 60 detik.Energi laser menghancurkan jaringan prostat dan
menyebabkan penyusutan.

25

Gambar 15. Operasi Laser pada Prostat


a) Interstitial laser coagulation. Tidak seperti prosedur laser lain, koagulasi laser
interstisial tempat ujung probe serat optik langsung ke jaringan prostat untuk
menghancurkannya.

Gambar 16. Interstitial laser coagulation


b) Potoselectif vaporisasi prostat (PVP)
PVT a-energi laser tinggi untuk menghancurkan jaringan prostat. Cara sama
dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dengan
mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporasi kelenjar
prostat. Teknik ini cukup aman tidak menimbulkan perdarahan pada saat operasi.
Namun teknik ini hanya diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50
gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.

Gambar 17. Potoselectif vaporisasi prostat


e. Kontrol berkala
26

Watchful waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terdapat
perbaikan klinis
Pengobatan penghambat 5-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
Pengobatan penghambat 5-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan melakukan pemeriksaan
IPSS uroflometri dan residu urin pasca miksi
Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan penilaian skor miksi, juga
diperiksa kultur urin
Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan penyulit.9

27

DAFTAR PUSTAKA
1.

Sjamsuhidajat R, de Jong W. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi. Jakarta : EGC.

2.

Sabiston, David C. 1994. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2.
Jakarta : EGC.

3.

Anonim. 1997. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus. Jakarta : Aksara Medisina.

4.

Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi. Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK
UNDIP.

5.

Purnomo B.P. 2000. Buku Kuliah Dasar Dasar Urologi. Jakarta : CV.Sagung Seto.

6.

Cockett A.T.K, Koshiba K : Manual of Urologic Surgery, New York, Springer Verlag,
5, 1979, 125-4.

7.

Tenggara T. 1998. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat. Majalah


Kedokteran Indonesia volume: 48. Jakarta : IDI.

8.

Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI. Jakarta : EGC.

9.

De la Rossette JJMH, Alivizatos G, Madersbacher S, Nording J, Emberton M, dan


Sanz CR. EAU guidelines on benign prostatic Hyperplasia (BPH). Eur Urol 40: 256263, 2001.

Anda mungkin juga menyukai