PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik bencana alam
bencana non alam maupun bencana sosial. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
bencana adalah kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis yang rawan, epidemic,
wabah penyakit dan penyebab lain seperti keragaman sosial ekonomi budaya dan etnik yang
akan memicu terjadinya kerawanan sosial dan yang dalam keadaan tertentu dapat
bagi
sector
kesehatan
agar
terus
melakukan
peningkatan
kualitas
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bencana dapat menimbulkan krisis kesehatan?
2. Bagaimana pentingnya komunikasi risiko dalam penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana?
3. Bagaimana peran pos komunikasi risiko dalam penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana?
C. Tujuan
1. Memahami bagaimana bencana menimbulkan krisis kesehatan
2. Mengetahui pentingnya komunikasi risiko dalam penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana
3. Mengetahui peranan pos komunikasi risiko dalam penanggulangan krisis kesehatan
akibat bencana
BAB II
ISI
penularannya semakin mudah dan menjadi wabah. Wabah tersebut kemudian bisa
menimbulkan krisis kesehatan.
Sehingga diperlukan upaya penanggulangan dalam menghadapi krisis kesehatan yang
terjadi, salah satunya adalah sistem komunikasi. Namun hal tersebut masih menghadapi
berbagai macam kendala, antara lain:
a. sistem informasi yang belum berjalan dengan baik;
b. mekanisme koordinasi belum berfungsi dengan baik;
c. mobilisasi bantuan ke lokasi bencana masih terhambat;
d. sistem pembiayaan belum mendukung;
Pengertian
Komunikasi risiko merupakan suatu disiplin ilmu terapan yang mulai berkembang sejak
awal tahun 1970-an.
organisasi, pendidikan dan komunikasi. Komunikasi risiko pada awalnya banyak digunakan
berkenaan dengan risiko/bahaya lingkungan, namun kemudian berkembang ke bidang
kesehatan. Kegagalan komunikasi risiko pada waktu lalu, seringkali mengakibatkan terjadinya
akselerasi kekhawatiran publik menjadi sengketa yang berlarut-larut antara masyarakat,
industri, pemerintah bahkan para akademisi atau ahli.
Menurut Covello (1986) komunikasi risiko adalah kegiatan menyampaikan informasi
diantara pihak-pihak yang terlibat tentang :
keputusan, kegiatan atau kebijakan yang ditujukan untuk mengelola dan mengontrol resiko
kesehatan atau lingkungan.
Sementara itu National Research Council (1989) dalam Lundgren dan Andrea Mc Makin
(2004,15) menyatakan bahwa risk communication can be defined as the interactive process of
exchange of information and opinion among individuals, group, and institution concerning a risk
or potential risk to human health or the environment. Senada dengan pendapat di atas Powell
dan William Leiss (2001) mengatakan bahwa komunikasi risiko adalah proses pertukaran
tentang bagaimana sebaiknya menilai dan mengelola risiko diantara akademisi, pejabat
pemerintah, industri dan masyarakat.
Risiko bagi kebanyakan orang sering diartikan sebagai suatu kejadian yang tidak atau
kurang menyenangkan, misalnya cedera atau kehilangan. Oleh karena itu, risiko cenderung
dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindarkan. Banyak ahli mendefinisikan risiko sebagai
probabilitas dari suatu kejadian yang tidak direncanakan. Estimasi probabilitas dan konsekuensi
dari kejadian-kejadian tersebut sejak lama telah dimanfaatkan oleh ilmu penaksiran risiko (risk
assessment). Risiko sering pula dihubungkan dengan ketidak-pastian yang dalam banyak kasus
melibatkan konflik persepsi dan sudut pandang. Persepsi publik tentang risiko terkadang
memainkan peranan penting, sebagaimana hasil penelitian para pakar tentang adanya zat yang
membahayakan kesehatan dalam produk makanan tertentu misalnya.
Risiko juga didefinisikan sebagai ketidak-pastian hasil (outcome), baik berupa oportunitas
atau ancaman, dari suatu tindakan dan kejadian. Risiko merupakan kombinasi dari
kemungkinan dan pengaruh/dampak, termasuk persepsi kepentingan. Risiko tertentu dapat
bersifat lebih signifikan pada konteks yang lain atau jika dipandang dari perspektif yang
berbeda. Eliminasi semua risiko merupakan hal yang mustahil, sehingga kesulitannya adalah
menentukan risiko mana yang sebenarnya masih dapat diterima. Identifikasi dan pengenalan
tentang risiko seharusnya juga mengandung arti bagaimana cara mengatasinya, atau bagaimana
agar lebih siap menghadapi jika insiden tersebut terjadi.
(b)
orang
yang
mengingatkan/
memberitahu
sangat
bahaya
seringkali
berkaitan
erat,
antara
lain
dengan
kemauan,
Mempromosikan kepedulian dan pemahaman isu-isu spesifik dari proses analisis risiko
Memperkuat hubungan kerja serta saling menghormati antara asesor risiko dengan pihak
manajemen
Saling tukar menukar informasi antara pihak-pihak yang tertarik dengan analisis risiko dan
manajemen
Meningkatkan kepercayaan dan keyakinan publik terhadap analisis risiko dan manajemen
Laporan tersebut juga mempertimbangkan komunikasi risiko sebagai bagian integral dari
pengembangan teknologi, bukan hanya sekedar transfer pengetahuan satu arah dari ilmuwan
kepada pengguna. Komunikasi risiko juga merupakan salah satu dari tiga komponen dalam
proses analisis risiko. Penaksiran risiko (risk assessment) adalah proses yang digunakan untuk
mengestimasi dan mengkarakterisasi risiko secara kuantitatif atau kualitatif. Manajemen risiko
(risk management) diarahkan sebagai alat untuk menimbang dan menseleksi berbagai opsi
serta melaksanakan pengendalian/pengawasan agar dapat menjamin suatu tingkat proteksi
yang tepat. Komunikasi risiko sebagai bagian integral dari analisis risiko merupakan suatu alat
yang diperlukan dan kritikal untuk mendefinisikan isu-isu, serta mengembangkan, memahami
dan memutuskan keputusan pengelolaan risiko terbaik.
Sebelum penaksiran risiko formal dimulai, berbagai informasi dari pihak-pihak yang
berkepentingan harus dikumpulkan untuk menyiapkan suatu profil risiko. Profil ini menguraikan
masalah, misalnya keamanan pangan, beserta kontekstualnya dan mengidentifikasi elemenelemen bahaya atau risiko yang relevan dengan berbagai keputusan manajemen risiko. Hal ini
seringkali melibatkan kegiatan evaluasi risiko awal yang sangat bergantung pada komunikasi
risiko yang efektif. Karakterisasi risiko merupakan cara utama untuk mengkomunikasikan
temuan-temuan penaksiran risiko.
Hadden (2001) memberikan argumentasi bahwa publik (a) berhak mengetahui risiko yang
dihadapi serta kebijakan apa yang ada untuk mengatur risiko tersebut, dan (b) berhak
berpartisipasi dalam pengkajian risiko serta pengambilan keputusan manajemen. Elemen
esensial dari komunikasi risiko adalah fasilitasi proses identifikasi risiko serta pembebanan
alternatif keputusan oleh manajer risiko dan publik. Dengan demikian, komunikasi risiko yang
tepat adalah komunikasi risiko interaktif.
hal, diantaranya makanan, pola hidup, dan teknonogi baru. Dalam hal pengenalan teknologi
baru yang ditengarai membawa risiko bagi kesehatan dan lingkungan, FAO/WHO dalam
laporannya menguraikan aspek-aspek esensial atau prinsip-prinsip dari komunikasi risiko yang
tepat diantaranya adalah:
Mengetahui target audiens. Audiens harus dianalisis sehubungan dengan upaya untuk
memahami pengetahuan dan pendapat/opini audiens berkenaan dengan teknologi baru.
Mendengarkan berbagai pihak yang terkait merupakan salah satu elemen kritikal dari
aspek ini.
Melakukan sharing tanggung jawab. Ilmuwan, lembaga regulator dan industri harus
berbagi tangung jawab dalam mengembangkan serta mengelola teknologi yang efektif dan
aman. Pihak-pihak ini juga semakin menuntut agar konsumen turut bertanggung jawab
secara lebih aktif berupaya mencari informasi mengenai pengembangan teknologi dan
pembuatan kebijakan.
Menempatkan atau memposisikan risiko dalam perspektif. Risiko dan manfaat serta
probabilitasnya masing-masing harus diperbandingkan satu sama lain. Namun demikian,
memperbandingkan risiko ini harus dilakukan secara hati-hati, karena pilihan risiko-risiko
yang hendak diperbandingkan tersebut mungkin saja merefleksikan bias.
Sifat
risiko
cenderung
menjadi
semakin
kompleks
dan
semakin
tidak
pasti.
Perilaku publik terhadap risiko maupun pemerintah telah berubah. Rasa skeptis yang
semakin tinggi terhadap institusi, kekhawatiran terhadap risiko yang semakin
meningkat,serta akses terhadap informasi yang semakin luas, telah menempatkan
pemerintah padaposisi yang semakin menjadi sorotan publik. Hal ini mengimplikasikan
bahwa pemerintah harus bekerja lebih keras dan beroperasi secara lebih transparan untuk
menjaga kepercayaan publik berkaitan dengan informasi yang disebarkan.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
dan
ditetapkan
dengan
Surat
Keputusan
Kepala
Dinas
Kesehatan
Provinsi/Kabupaten/Kota. Pos Informasi di provinsi yang menjadi PPK Regional dan Sub
Regional sekaligus menjadi Pos Informasi Regional dan Pos Informasi Sub Regional.
2. Tugas
Pos informasi mempunyai tugas melaksanakan pengumpulan data, pengolahan data,
penyajian data dan distribusi informasi. Bagi Provinsi yang menjadi PPK Regional dan PPK
Sub Regional wajib mengelola data dan informasi dari Anggota Regional dan Anggota Sub
Regional. Koordinator Pos Informasi mempunyai tugas :
a. Penanggung jawab dalam pengoperasionalan Pos Informasi.
b. Penanggung jawab terhadap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
c. kegiatan pengumpulan, pengolahan dan penyajian data dan informasi dalam
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana dan masalah kesehatan lain
selama 24 jam.
Pelaksana Pemantauan mempunyai tugas :
a. Melaksanakan pemantauan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain melalui
media cetak,elektronik (televisi,radio,website dan internet) dan komunikasi radio.
b. Melaksanakan pengumpulan data yang berhubungan dengan penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana.
c. Melaksanakan penyusunan data pelaksanaan penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana untuk disampaikan kepada pimpinan.
d. Melaksanakan pendistribusian data penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana.
pemeliharaan,
perawatan
peralatan
radio
komunikasi
dalam
3.
Fungsi
Pos informasi adalah sebagai pengelola data dan informasi penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana.
Mekanisme Kerja
Informasi yang dikumpulkan oleh Pos Informasi adalah informasi yang terkait dengan
bencana baik pada tahap pra bencana, tahap saat bencana maupun tahap pasca bencana.
Informasi tersebut dapat berasal dari lingkungan jajaran kesehatan, lintas sektor, media dan
masyarakat.
1) Pra Bencana
Informasi yang dikumpulkan pada saat pra bencana adalah :
a. Informasi sumber daya baik tenaga, dana, sarana dan prasarana dalam rangka
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana (Form Kesiapsiagaan pada
Pedoman Sistem Informasi Penangggulangan Krisis Akibat Bencana). Informasi
tersebut bersumber dari Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dan Dinas Kesehatan Provinsi.
b. Informasi dari lintas sektor terkait, misalnya meteorologi dan geofisika dalam rangka
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana yang disebabkan oleh fenomena
cuaca dan iklim (prakiraan cuaca harian/mingguan, prakiraan hujan bulanan dan
prakiraan musim hujan/kemarau) serta informasi gempa bumi dan tsunami yang
bersumber dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
c. Informasi nomor telepon, faksimili (kantor dan rumah) serta nomor telepon
genggam/mobile dari petugas yang telah ditunjuk untuk bertanggung jawab dalam
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana baik dari lintas program maupun
lintas sektor untuk membangun jaringan informasi dan komunikasi ( contact person).
Informasi tersebut bersumber dari Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan lintas sektoryang terkait dalam
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Berdasarkan informasi yang telah
dikumpulkan tersebut kemudian dilakukan pengolahan , dengan melakukan :
o
Pembuatan peta jalur evakuasi sarana kesehatan pada daerah rawan bencana (ring
1, ring 2 dan ring 3)
Informasi
yang
telah
diolah
tersebut
kemudian
disebarluaskan
dengan
2)
Saat Bencana
Informasi yang dikumpulkan pada saat bencana adalah :
a. Informasi awal penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain (Form B1 dan
B4 pada Pedoman Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Akibat Bencana).
b. Informasi perkembangan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain
(Form B2 pada Pedoman Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Akibat
Bencana).
Informasi tersebut bersumber dari Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, instansi terkait, masyarakat, media cetak
dan media elektronik. Berdasarkan informasi yang telah dikumpulkan tersebut
kemudian diolah, dengan melakukan :
dengan
kebutuhan
akan
informasi,
pemantauan
dan
pelaporan
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana dapat dilakukan sesering mungkin. Semua
data dan informasi yang didapatkan akan menjadi landasan dalam pengambilan langkah dan
strategi penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Pemantauan ini terus berlangsung
hingga penangulangan krisis kesehatan akibat bencana dapat ditangani terutama pada masa
tanggap darurat.
Informasi
yang
telah
diolah
tersebut
kemudian
disebarluaskan
dengan
3) Pasca Bencana
Informasi yang dikumpulkan pada saat pasca bencana adalah :
a. Informasi pemulihan/rehabilitasi dan pembangunan kembali/rekonstruksi
sarana/prasarana kesehatan yang mengalami kerusakan.
b. Informasi upaya pelayanan kesehatan (pencegahan KLB, pemberantasan
penyakit menular, perbaikan gizi), kegiatan surveilans epidemiologi, promosi
kesehatan dan penyelenggaraan kesehatan lingkungan dan sanitasi dasar di
tempat penampungan pengungsi maupun lokasi sekitarnya yang terkena
dampak.
c. Informasi relawan, kader dan petugas pemerintah yang memberikan KIE kepada
masyarakat luas, bimbingan pada kelompok yang berpotensi mengalami
gangguan stress pasca trauma dan memberikan konseling pada individu yang
berpotensi mengalami gangguan stress pasca trauma.
d. Informasi pelayanan kesehatan rujukan dan penunjang.
e. Informasi rujukan korban yang tidak dapat ditangani dengan konseling awal dan
membutuhkan konseling lanjut, psikoterapi atau penanggulangan lebih spesifik.
a. Penyusunan
informasi
pemulihan/rehabilitasi
dengan
dan
program
terkait
pembangunan
dalam
rangka
upaya
kembali/rekonstruksi
Kesimpulan :
Jadi, dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi resiko memiliki peran
dalan penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana, dimana dengan adanya komunikasi
resiko ini krisis kesehatan yang akan terjadi atau bahkan telah terjadi akibat bencana dapat
diminimalisir ataupun dapat dicegah sehingga derajat kesehatan menjadi lebih terjamin.
Dalam pengaplikasian komunikasi resiko ini, dapat dibentuk suatu Pos Informasi PK-AB yang
mempermudah dalam mengembangkan komunikasi resiko tersebut kepada masyarakat.