Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik bencana alam
bencana non alam maupun bencana sosial. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
bencana adalah kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis yang rawan, epidemic,
wabah penyakit dan penyebab lain seperti keragaman sosial ekonomi budaya dan etnik yang
akan memicu terjadinya kerawanan sosial dan yang dalam keadaan tertentu dapat

menghambat pembangunan nasional.


Kejadian bencana di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, baik
frekuensi maupun intensitasnya. Data-data tentang kejadian bencana tersebut dipantau oleh
PusatPenanggulangan Krisis Departemen Kesehatan. Data dan informasi yang didapatkan
merupakan dasar dalam perencanaan program pengurangan risiko bencana dan merupakan
tantangan

bagi

sector

kesehatan

agar

terus

melakukan

peningkatan

kualitas

penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana.


Salah satu kunci keberhasilan dalam penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana
adalah pengelolaan informasi dan komunikasi yang mudah dijangkau termasuk ketersediaan
data terkini yang cepat, tepat dan akurat. Hal ini dibutuhkan oleh semua pemangku
kepentingan(stakeholders) yang terkait untuk menetapkan keputusan dan langkah-langkah
dalam penanggulangan bencana baik dalam situasi sedang tidak terjadi bencana (pra
bencana), tanggap darurat (saat bencana) maupun pasca bencana (pasca bencana). Untuk
kegiatan pra bencana, sistem informasi yang terangkai dengan sistem peringatan dini multi
hazard berbasis masyarakat, penting peranannya dalam mewujudkan pengurangan risiko
bencana.
Mengingat pentingnya informasi dan komunikasi dalam penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana, maka upaya pemantapan dan pengembangannya merupakan
suatu langkah yang perlu diwujudkan. Salah satu pengaplikasiannya adalah dengan
membentuk Pos informasi PK-AB yang akan berfungsi sebagai koordinator dalam
pengelolaan informasi dan komunikasi penanggulangan krisis akibat bencana.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bencana dapat menimbulkan krisis kesehatan?
2. Bagaimana pentingnya komunikasi risiko dalam penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana?
3. Bagaimana peran pos komunikasi risiko dalam penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana?

C. Tujuan
1. Memahami bagaimana bencana menimbulkan krisis kesehatan
2. Mengetahui pentingnya komunikasi risiko dalam penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana
3. Mengetahui peranan pos komunikasi risiko dalam penanggulangan krisis kesehatan
akibat bencana

BAB II
ISI

A. HUBUNGAN BENCANA DAN KRISIS KESEHATAN


Bencana merupakan suatu rangkaian peristiwa ataupun peristiwa yang dapat
menimbulkan suatu dampak yang dapat merugikan bagi daerah dan penduduk tempat
terjadinya peristiwa tersebut. Bencana tersebut dapat berupa bencana alam, non alam, dan
bencana sosial. Bencana yang terjadi tersebut dapat menimbulkan krisis kesehatan, antara
lain:lumpuhnya pelayanan kesehatan, korban mati, korban luka, pengungsi, masalah
gizi,masalah ketersediaan air bersih, masalah sanitasi lingkungan, penyakit menular,
gangguan kejiwaan dan gangguan pelayanan kesehatan reproduksi.
Beberapa bencana yang dapat menyebabkan krisis kesehatan antara lain : gempa
bumi, tanah longsor, konflik, perang, ledakan bom, banjir, tsunami, pembakaran hutan,
ledakan nuklir, dan lain sebagainya.
Terjadinya bencana, memiliki konsekuensi yang dimana timbulnya banyak korban dan
kerugian sehingga pastilah ada tempat penampungan korban atau barak pengungsian. Barak
pengungsian setidaknya harus memiliki dapur umum dan kendala yang sering ditemukan
adalah kurangnya sanitasi dan jaminan kesehatan pada barak pengungsian tersebut.
Kurangnya sanitasi ditambah lagi kurangnya kesadaran hygiene pribadi yang
menyebabkan bibit penyakit mudah berkembang. Terutama

penyakit infeksi yang

penularannya semakin mudah dan menjadi wabah. Wabah tersebut kemudian bisa
menimbulkan krisis kesehatan.
Sehingga diperlukan upaya penanggulangan dalam menghadapi krisis kesehatan yang
terjadi, salah satunya adalah sistem komunikasi. Namun hal tersebut masih menghadapi
berbagai macam kendala, antara lain:
a. sistem informasi yang belum berjalan dengan baik;
b. mekanisme koordinasi belum berfungsi dengan baik;
c. mobilisasi bantuan ke lokasi bencana masih terhambat;
d. sistem pembiayaan belum mendukung;

B. PENTINGNYA KOMUNIKASI RISIKO

Pengertian

Komunikasi risiko merupakan suatu disiplin ilmu terapan yang mulai berkembang sejak
awal tahun 1970-an.

Disiplin ini mengkombinasikan kerangka teoritis psikologi, sosiologi,

organisasi, pendidikan dan komunikasi. Komunikasi risiko pada awalnya banyak digunakan
berkenaan dengan risiko/bahaya lingkungan, namun kemudian berkembang ke bidang
kesehatan. Kegagalan komunikasi risiko pada waktu lalu, seringkali mengakibatkan terjadinya
akselerasi kekhawatiran publik menjadi sengketa yang berlarut-larut antara masyarakat,
industri, pemerintah bahkan para akademisi atau ahli.
Menurut Covello (1986) komunikasi risiko adalah kegiatan menyampaikan informasi
diantara pihak-pihak yang terlibat tentang :

tingkat resiko kesehatan atau lingkungan

pemaknaan kesehatan dan lingkungan

keputusan, kegiatan atau kebijakan yang ditujukan untuk mengelola dan mengontrol resiko
kesehatan atau lingkungan.
Sementara itu National Research Council (1989) dalam Lundgren dan Andrea Mc Makin

(2004,15) menyatakan bahwa risk communication can be defined as the interactive process of
exchange of information and opinion among individuals, group, and institution concerning a risk
or potential risk to human health or the environment. Senada dengan pendapat di atas Powell
dan William Leiss (2001) mengatakan bahwa komunikasi risiko adalah proses pertukaran
tentang bagaimana sebaiknya menilai dan mengelola risiko diantara akademisi, pejabat
pemerintah, industri dan masyarakat.
Risiko bagi kebanyakan orang sering diartikan sebagai suatu kejadian yang tidak atau
kurang menyenangkan, misalnya cedera atau kehilangan. Oleh karena itu, risiko cenderung
dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindarkan. Banyak ahli mendefinisikan risiko sebagai
probabilitas dari suatu kejadian yang tidak direncanakan. Estimasi probabilitas dan konsekuensi
dari kejadian-kejadian tersebut sejak lama telah dimanfaatkan oleh ilmu penaksiran risiko (risk
assessment). Risiko sering pula dihubungkan dengan ketidak-pastian yang dalam banyak kasus
melibatkan konflik persepsi dan sudut pandang. Persepsi publik tentang risiko terkadang
memainkan peranan penting, sebagaimana hasil penelitian para pakar tentang adanya zat yang
membahayakan kesehatan dalam produk makanan tertentu misalnya.
Risiko juga didefinisikan sebagai ketidak-pastian hasil (outcome), baik berupa oportunitas
atau ancaman, dari suatu tindakan dan kejadian. Risiko merupakan kombinasi dari
kemungkinan dan pengaruh/dampak, termasuk persepsi kepentingan. Risiko tertentu dapat
bersifat lebih signifikan pada konteks yang lain atau jika dipandang dari perspektif yang
berbeda. Eliminasi semua risiko merupakan hal yang mustahil, sehingga kesulitannya adalah

menentukan risiko mana yang sebenarnya masih dapat diterima. Identifikasi dan pengenalan
tentang risiko seharusnya juga mengandung arti bagaimana cara mengatasinya, atau bagaimana
agar lebih siap menghadapi jika insiden tersebut terjadi.

Prinsip-prinsip panduan komunikasi risiko


Sandman (1993) mengemukakan bahwa perkataan awas! dan jangan khawatir
merupakan dua frasa yang sering digunakan untuk: (a) mengingatkan orang lain akan adanya
potensi bahaya, dan (b) memberitahu orang lain bahwa tidak perlu terlalu khawatir terhadap
potensi bahaya tersebut. Komunikasi risiko seperti di atas pada dasarnya merupakan proses
komunikasi satu arah yang mengasumsikan: (a) orang yang mengingatkan/memberitahu
memiliki pengetahuan lebih mengenai risiko dimaksud dibandingkan dengan orang yang
diingatkan/diberitahu,

(b)

orang

yang

mengingatkan/

memberitahu

sangat

memperhatikan/khawatir terhadap kepentingan orang yang diingatkan/diberitahu, dan (c)


peringatan/pemberitahuan lebih didasarkan kepada informasi aktual, tidak hanya sekedar nilai
atau preferensi.
Hasil-hasil penelitian dalam tiga dekade terakhir menunjukkan bahwa besaran ketakutan
atau kekhawatiran yang dirasakan publik bergantung pada persepsi karakteristik risiko dari
setiap bahaya tertentu. Beberapa jenis bahaya tertentu memang kurang dapat ditoleransi
seperti yang lainnya dan seringkali tidak ada hubungannya dengan probabilitas statistik. Secara
umum, karakteristik risiko sebagai determinan penting bagi publik untuk menetapkan risiko dari
suatu

bahaya

seringkali

berkaitan

erat,

antara

lain

dengan

kemauan,

pengendalian/pengawasan, fairness, familiaritas dan dampak terhadap generasi yang akan


datang (Fischhoff et al., 2002). Paling tidak ada tiga faktor yang secara konsisten muncul sebagai
determinan penting untuk menghindarkan kontroversi, yaitu mengenal persepsi publik,
membuka kesempatan partisipasi publik secara dini dan berarti, serta meraih kepercayaan
publik. Strategi baru komunikasi risiko mengandung suatu gerakan yang mendorong
keterlibatan stakeholders serta partisipasi publik dalam isu-isu pemerintah dan kebijakan,
termasuk validasi persepsi publik mengenai risiko (Chartier and Gabler, 2001).
Menurut laporan FAO/WHO (1998), tujuan dari komunikasi risiko diantaranya adalah:

Memperbaiki efektivitas dan efisiensi proses analisis risiko

Mempromosikan konsistensi dan transparansi dalam mengimplementasikan keputusankeputusan manajemen risiko

Mempromosikan kepedulian dan pemahaman isu-isu spesifik dari proses analisis risiko

Memperkuat hubungan kerja serta saling menghormati antara asesor risiko dengan pihak
manajemen

Saling tukar menukar informasi antara pihak-pihak yang tertarik dengan analisis risiko dan
manajemen

Meningkatkan kepercayaan dan keyakinan publik terhadap analisis risiko dan manajemen

Laporan tersebut juga mempertimbangkan komunikasi risiko sebagai bagian integral dari
pengembangan teknologi, bukan hanya sekedar transfer pengetahuan satu arah dari ilmuwan
kepada pengguna. Komunikasi risiko juga merupakan salah satu dari tiga komponen dalam
proses analisis risiko. Penaksiran risiko (risk assessment) adalah proses yang digunakan untuk
mengestimasi dan mengkarakterisasi risiko secara kuantitatif atau kualitatif. Manajemen risiko
(risk management) diarahkan sebagai alat untuk menimbang dan menseleksi berbagai opsi
serta melaksanakan pengendalian/pengawasan agar dapat menjamin suatu tingkat proteksi
yang tepat. Komunikasi risiko sebagai bagian integral dari analisis risiko merupakan suatu alat
yang diperlukan dan kritikal untuk mendefinisikan isu-isu, serta mengembangkan, memahami
dan memutuskan keputusan pengelolaan risiko terbaik.
Sebelum penaksiran risiko formal dimulai, berbagai informasi dari pihak-pihak yang
berkepentingan harus dikumpulkan untuk menyiapkan suatu profil risiko. Profil ini menguraikan
masalah, misalnya keamanan pangan, beserta kontekstualnya dan mengidentifikasi elemenelemen bahaya atau risiko yang relevan dengan berbagai keputusan manajemen risiko. Hal ini
seringkali melibatkan kegiatan evaluasi risiko awal yang sangat bergantung pada komunikasi
risiko yang efektif. Karakterisasi risiko merupakan cara utama untuk mengkomunikasikan
temuan-temuan penaksiran risiko.
Hadden (2001) memberikan argumentasi bahwa publik (a) berhak mengetahui risiko yang
dihadapi serta kebijakan apa yang ada untuk mengatur risiko tersebut, dan (b) berhak
berpartisipasi dalam pengkajian risiko serta pengambilan keputusan manajemen. Elemen
esensial dari komunikasi risiko adalah fasilitasi proses identifikasi risiko serta pembebanan
alternatif keputusan oleh manajer risiko dan publik. Dengan demikian, komunikasi risiko yang
tepat adalah komunikasi risiko interaktif.

Elemen-elemen dari komunikasi risiko efektif


Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa komunikasi risiko berkenaan dengan
informasi yang berhubungan dengan risiko kesehatan dan lingkungan berserta kebijakan dan
kegiatan untuk mengontrol risiko tersebut. Informasi tentang risiko bisa berasal dari berbagai

hal, diantaranya makanan, pola hidup, dan teknonogi baru. Dalam hal pengenalan teknologi
baru yang ditengarai membawa risiko bagi kesehatan dan lingkungan, FAO/WHO dalam
laporannya menguraikan aspek-aspek esensial atau prinsip-prinsip dari komunikasi risiko yang
tepat diantaranya adalah:

Mengetahui target audiens. Audiens harus dianalisis sehubungan dengan upaya untuk
memahami pengetahuan dan pendapat/opini audiens berkenaan dengan teknologi baru.
Mendengarkan berbagai pihak yang terkait merupakan salah satu elemen kritikal dari
aspek ini.

Melibatkan pakar atau ilmuwan. Keputusan-keputusan kebijakan teknologi harus


berlandaskan pertimbangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ahli-ahli ilmu pengetahuan
harus dilibatkan untuk menguraikan pengetahuan saat ini (aktual) mengenai teknologi baru
secara jelas dan ringkas.

Melibatkan keahlian tertentu di bidang komunikasi. Keberhasilan komunikasi risiko


memerlukan keahlian dalam meneruskan informasi dengan jelas agar mudah dipahami
publik. Dalam kaitan ini, publik juga harus menunjukkan upaya yang seimbang untuk lebih
memahami ilmu pengetahuan.

Memanfaatkan sumber informasi yang kredibel. Faktor-faktor yang mempengaruhi


kredibilitas sumber diantaranya adalah persepsi menyangkut kompetensi dan rasa
kepercayaan. Pesan-pesan yang konsisten dapat membantu terbangunnya kredibilitas.

Melakukan sharing tanggung jawab. Ilmuwan, lembaga regulator dan industri harus
berbagi tangung jawab dalam mengembangkan serta mengelola teknologi yang efektif dan
aman. Pihak-pihak ini juga semakin menuntut agar konsumen turut bertanggung jawab
secara lebih aktif berupaya mencari informasi mengenai pengembangan teknologi dan
pembuatan kebijakan.

Membedakan antara science dan value-judgment. Komunikasi risiko harus fokus


berdasarkan kenyataan-kenyataan, bukan nilai-nilai. Namun demikian, pendekatan
terhadap komunikasi risiko ini hampir tidak mungkin, karena mustahil suatu ilmu
pengetahuan bebas dari bias dan value-judgment. Oleh karena itu, ilmuwan harus
berupaya semaksimal mungkin untuk menghapuskan value-judgmentnya dari komunikasi
risiko.

Menjamin transparansi. Dalam batas-batas tertentu menyangkut kerahasiaan suatu


teknologi, ilmuwan tetap harus membantu publik untuk memahami proses pengembangan
teknologi dan pengkajian risiko.

Menempatkan atau memposisikan risiko dalam perspektif. Risiko dan manfaat serta
probabilitasnya masing-masing harus diperbandingkan satu sama lain. Namun demikian,
memperbandingkan risiko ini harus dilakukan secara hati-hati, karena pilihan risiko-risiko
yang hendak diperbandingkan tersebut mungkin saja merefleksikan bias.

Mengapa komunikasi yang baik menjadi penting dalam menghadapi risiko?


Berdasarkan asumsi proses komunikasi dua arah, komunikasi dengan publik dapat membantu
penanganan risiko secara lebih efektif, yaitu:

Membantu untuk mencegah berkembangnya krisis

Membantu pengambilan keputusan yang lebih baik dalam menangani risiko

Membantu untuk menjamin kelancaran implementasi kebijakan penanganan risiko

Membantu untuk memberdayakan dan meyakinkan publik

Membantu untuk membangun kepercayaan publik

Mengapa mengkomunikasikan tentang risiko menjadi semakin penting?


Mengkomunikasikan risiko kepada publik menjadi isu yang semakin penting, terutama bagi
pihak pemerintah. Beberapa alasan yang melatar-belakangi kepentingan ini diantaranya adalah:

Sifat

risiko

cenderung

menjadi

semakin

kompleks

dan

semakin

tidak

pasti.

Kecepatanperkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengarah pada


kekhawatiran barumengenai manufactured risiko yang seringkali sukar dibuktikan. Sejalan
dengan keadaandunia yang semakin interconnected dan interdependent, maka probabilitas
seseorangterekspos pada risiko yang dahulunya tidak mungkin, menjadi semakin tinggi.

Perilaku publik terhadap risiko maupun pemerintah telah berubah. Rasa skeptis yang
semakin tinggi terhadap institusi, kekhawatiran terhadap risiko yang semakin
meningkat,serta akses terhadap informasi yang semakin luas, telah menempatkan
pemerintah padaposisi yang semakin menjadi sorotan publik. Hal ini mengimplikasikan
bahwa pemerintah harus bekerja lebih keras dan beroperasi secara lebih transparan untuk
menjaga kepercayaan publik berkaitan dengan informasi yang disebarkan.

C. Peran Pos Komunikasi Resiko dalam Penanggulangan Krisis Bencana

Pos Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana adalah unit


fungsional yang dibentuk untuk mengelola informasi dan komunikasi penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana.Sistem informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana adalah rangkaian kegiatan untuk menghasilkan informasi terkait denganupaya
penanggulangan krisis akibat bencana.
Berdasarkan

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor145/Menkes/SK/I/2007 Tanggal 31 Januari 2007 Tentang Pedoman Penanggulangan


Bencana Bidang Kesehatan, Dinas kesehatan Provinsi danDinas Kesehatan Kabupaten/Kota
berkewajiban untuk mengembangkan system informasi dan komunikasi. Upaya penyediaan
data dan informasi penanggulangan krisis kesehatan berpedoman pada Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 064/Menkes/SK/II/2006 tanggal 1 Pebruari 2006
Tentang Pedoman Sistem Informasi Penanggulangan Krisis AkibatBencana.

Kedudukan dan Alur Informasi


Pos Informasi adalah unit pelaksana fungsional di Dinas Kesehatan Provinsi dan
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh seorang Koordinator dan bertanggung
jawab kepada Kepala Seksi yang menangani Penangggulangan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana

dan

ditetapkan

dengan

Surat

Keputusan

Kepala

Dinas

Kesehatan

Provinsi/Kabupaten/Kota. Pos Informasi di provinsi yang menjadi PPK Regional dan Sub
Regional sekaligus menjadi Pos Informasi Regional dan Pos Informasi Sub Regional.

Struktur, Tugas dan Fungsi


1. Struktur Pos Informasi

2. Tugas
Pos informasi mempunyai tugas melaksanakan pengumpulan data, pengolahan data,
penyajian data dan distribusi informasi. Bagi Provinsi yang menjadi PPK Regional dan PPK
Sub Regional wajib mengelola data dan informasi dari Anggota Regional dan Anggota Sub
Regional. Koordinator Pos Informasi mempunyai tugas :
a. Penanggung jawab dalam pengoperasionalan Pos Informasi.
b. Penanggung jawab terhadap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
c. kegiatan pengumpulan, pengolahan dan penyajian data dan informasi dalam
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana dan masalah kesehatan lain
selama 24 jam.
Pelaksana Pemantauan mempunyai tugas :
a. Melaksanakan pemantauan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain melalui
media cetak,elektronik (televisi,radio,website dan internet) dan komunikasi radio.
b. Melaksanakan pengumpulan data yang berhubungan dengan penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana.
c. Melaksanakan penyusunan data pelaksanaan penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana untuk disampaikan kepada pimpinan.
d. Melaksanakan pendistribusian data penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana.

Pelaksana Informasi mempunyai tugas :


a. Melaksanakan analisa data dan informasi yang berhubungan dengan penanggulangan
krisis kesehatan akibat bencana.
b. Melaksanakan penyajian informasi yang berhubungan dengan penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana melalui website,news letter,GIS dan sebagainya.

Pelaksana Komunikasi Radio mempunyai tugas :


a. Melaksanakan pencatatan komunikasi radio dalam penanggulangan krisis kesehatan
akibat bencana.
b. Melaksanakan

pemeliharaan,

perawatan

peralatan

radio

komunikasi

dalam

Penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana.

3.

Fungsi
Pos informasi adalah sebagai pengelola data dan informasi penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana.

Mekanisme Kerja

Informasi yang dikumpulkan oleh Pos Informasi adalah informasi yang terkait dengan
bencana baik pada tahap pra bencana, tahap saat bencana maupun tahap pasca bencana.
Informasi tersebut dapat berasal dari lingkungan jajaran kesehatan, lintas sektor, media dan
masyarakat.
1) Pra Bencana
Informasi yang dikumpulkan pada saat pra bencana adalah :
a. Informasi sumber daya baik tenaga, dana, sarana dan prasarana dalam rangka
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana (Form Kesiapsiagaan pada
Pedoman Sistem Informasi Penangggulangan Krisis Akibat Bencana). Informasi
tersebut bersumber dari Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dan Dinas Kesehatan Provinsi.
b. Informasi dari lintas sektor terkait, misalnya meteorologi dan geofisika dalam rangka
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana yang disebabkan oleh fenomena
cuaca dan iklim (prakiraan cuaca harian/mingguan, prakiraan hujan bulanan dan
prakiraan musim hujan/kemarau) serta informasi gempa bumi dan tsunami yang
bersumber dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

c. Informasi nomor telepon, faksimili (kantor dan rumah) serta nomor telepon
genggam/mobile dari petugas yang telah ditunjuk untuk bertanggung jawab dalam
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana baik dari lintas program maupun
lintas sektor untuk membangun jaringan informasi dan komunikasi ( contact person).
Informasi tersebut bersumber dari Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan lintas sektoryang terkait dalam
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Berdasarkan informasi yang telah
dikumpulkan tersebut kemudian dilakukan pengolahan , dengan melakukan :
o

Penyusunan tabel bencana.

Penyusunan peta daerah rawan krisis kesehatan akibat bencana.

Penyusunan buku profil penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana yang


berisi informasi tentang sumber daya baik tenaga, dana, sarana dan prasarana
dalam rangka penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain.

d. Penyusunan buku informasi penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana yang


pernah terjadi.
e. Pembuatan website.
f.

Pembuatan peta jalur evakuasi sarana kesehatan pada daerah rawan bencana (ring
1, ring 2 dan ring 3)
Informasi

yang

telah

diolah

tersebut

kemudian

disebarluaskan

dengan

memanfaatkan teknologi informasi untuk lebih memudahkan penyampaian informasi ke


seluruh pengguna yang membutuhkan informasi secara cepat dengan biaya yang relatif
murah.

2)

Saat Bencana
Informasi yang dikumpulkan pada saat bencana adalah :
a. Informasi awal penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain (Form B1 dan
B4 pada Pedoman Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Akibat Bencana).
b. Informasi perkembangan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain
(Form B2 pada Pedoman Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Akibat
Bencana).
Informasi tersebut bersumber dari Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, instansi terkait, masyarakat, media cetak
dan media elektronik. Berdasarkan informasi yang telah dikumpulkan tersebut
kemudian diolah, dengan melakukan :

a. Penyusunan laporan awal penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana.


b. Penyusunan laporan perkembangan penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana.
Sesuai

dengan

kebutuhan

akan

informasi,

pemantauan

dan

pelaporan

penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana dapat dilakukan sesering mungkin. Semua
data dan informasi yang didapatkan akan menjadi landasan dalam pengambilan langkah dan
strategi penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Pemantauan ini terus berlangsung
hingga penangulangan krisis kesehatan akibat bencana dapat ditangani terutama pada masa
tanggap darurat.
Informasi

yang

telah

diolah

tersebut

kemudian

disebarluaskan

dengan

memanfaatkan teknologi informasi/elektronik untuk lebih memudahkan penyampaian


informasi ke seluruh pengguna yang membutuhkan informasi secara cepat dengan biaya
yang relatif murah dengan membuat Media Center di Pos Informasi.

3) Pasca Bencana
Informasi yang dikumpulkan pada saat pasca bencana adalah :
a. Informasi pemulihan/rehabilitasi dan pembangunan kembali/rekonstruksi
sarana/prasarana kesehatan yang mengalami kerusakan.
b. Informasi upaya pelayanan kesehatan (pencegahan KLB, pemberantasan
penyakit menular, perbaikan gizi), kegiatan surveilans epidemiologi, promosi
kesehatan dan penyelenggaraan kesehatan lingkungan dan sanitasi dasar di
tempat penampungan pengungsi maupun lokasi sekitarnya yang terkena
dampak.
c. Informasi relawan, kader dan petugas pemerintah yang memberikan KIE kepada
masyarakat luas, bimbingan pada kelompok yang berpotensi mengalami
gangguan stress pasca trauma dan memberikan konseling pada individu yang
berpotensi mengalami gangguan stress pasca trauma.
d. Informasi pelayanan kesehatan rujukan dan penunjang.
e. Informasi rujukan korban yang tidak dapat ditangani dengan konseling awal dan
membutuhkan konseling lanjut, psikoterapi atau penanggulangan lebih spesifik.

Informasi tersebut bersumber dari Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan lintas sektor. Berdasarkan informasi yang
telah dikumpulkan tersebut kemudian diolah, dengan melakukan :

a. Penyusunan

informasi

pemulihan/rehabilitasi

dengan
dan

program

terkait

pembangunan

dalam

rangka

upaya

kembali/rekonstruksi

sarana/prasarana kesehatan yang mengalami kerusakan.


b. Penyusunan informasi dengan program terkait dalam upaya pelayanan
kesehatan (pencegahan KLB, pemberantasan penyakit menular, perbaikan gizi),
kegiatan surveilans epidemiologi, promosi kesehatan dan penyelenggaraan
kesehatan lingkungan dan sanitasi dasar di tempat penampungan pengungsi
maupun lokasi sekitarnya yang terkena dampak.
c. Penyusunan informasi dengan program terkait tentang upaya relawan, kader
dan petugas pemerintah yang memberikan KIE kepada masyarakat luas,
bimbingan pada kelompok yang berpotensi mengalami gangguan stress pasca
trauma dan memberikan konseling pada individu yang berpotensi mengalami
gangguan stress pasca trauma.
d. Penyusunan informasi dengan program terkait dalam rangka upaya pelayanan
kesehatan rujukan dan penunjang.
e. Penyusunan informasi dengan program terkait dalam rangka upaya rujukan
korban yang tidak dapat ditangani dengan konseling awal dan membutuhkan
konseling lanjut, psikoterapi atau penanggulangan lebih spesifik. Informasi yang
telah diolah tersebut kemudian disebarluaskan dengan memanfaatkan teknologi
informasi untuk lebih memudahkan penyampaian informasi ke seluruh
pengguna yang membutuhkan informasi secara cepat dengan biaya yang relatif
murah.

Kesimpulan :
Jadi, dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi resiko memiliki peran
dalan penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana, dimana dengan adanya komunikasi
resiko ini krisis kesehatan yang akan terjadi atau bahkan telah terjadi akibat bencana dapat
diminimalisir ataupun dapat dicegah sehingga derajat kesehatan menjadi lebih terjamin.
Dalam pengaplikasian komunikasi resiko ini, dapat dibentuk suatu Pos Informasi PK-AB yang
mempermudah dalam mengembangkan komunikasi resiko tersebut kepada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai